Sultan-Sultan Minangkabau: Melunasi Utang Demi Marwah Nagari
Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT
Tanah Minangkabau dikenal sebagai negeri para raja adat, ulama, dan pedagang tangguh. Namun di balik kejayaannya, para sultan dan pemimpin Minang menghadapi tantangan ekonomi serius, terutama sejak abad ke-18 saat intervensi kolonial Belanda dan sistem utang dagang mulai menjerat rakyat.
Dalam kondisi itu, para penghulu adat, raja, dan sultan di nagari-nagari besar Sumatera Barat mengambil sikap. Utang rakyat bukan hanya beban pribadi, tapi kehormatan nagari. Dan ketika marwah nagari terancam karena utang, maka para pemimpinnya harus turun tangan.
1. Sultan Alam Bagagarsyah: Melunasi Utang Rakyat di Era Kolonial
Pada masa Sultan Alam Bagagarsyah (raja Pagaruyung terakhir, 1795–1833), intervensi kolonial Belanda mulai menggoyang ekonomi lokal. Melalui praktik rente dan sistem “pinjaman paksa” kepada para penghulu dan rakyat, banyak nagari jatuh miskin, dan harta pusaka mulai tergadai.
Sang Sultan:
Menolak pinjaman berbungakan tinggi dari pemerintah kolonial
Melunasi utang beberapa penghulu nagari dari kas kerajaan dan emas simpanan istana
Mewajibkan musyawarah adat untuk menyelesaikan persoalan utang tanpa kekerasan
Beliau berkata kepada para datuk:
“Utang yang membuat rakyat kehilangan sawah dan ladang, akan membuat kita kehilangan harga diri.”
2. Para Datuk Nagari: Melindungi Rakyat dari Utang Menindas
Dalam sistem pemerintahan Minangkabau, para Datuk atau penghulu bukan hanya tokoh adat, tapi juga pelindung ekonomi rakyatnya. Banyak kisah turun-temurun tentang datuk yang:
Menebus tanah rakyat yang digadaikan karena utang
Melarang menjual pusaka tinggi (tanah warisan kaum) demi utang pribadi
Menggalang kas bersama (sando, pitih sanak, pitih nagari) untuk melunasi utang petani dan pedagang kecil
“Tanah pusako bukan untuk dilelang. Bila anak kemenakan terjerat utang, datuk yang terlebih dulu malu.”
3. Ulama Harimau Nan Salapan: Menentang Utang Kolonial dan Rente
Kelompok ulama reformis Minang, seperti Tuanku Nan Renceh, Tuanku Imam Bonjol, dan ulama Harimau Nan Salapan pada abad ke-18–19, bukan hanya berjuang dalam medan jihad fisik, tetapi juga melawan sistem ekonomi rente yang menjajah rakyat.
Mereka:
Membakar buku utang yang dibuat rentenir Belanda dan pedagang Cina di pasar-pasar
Mendirikan lembaga zakat dan pinjaman tanpa bunga
Mendorong rakyat menghindari utang konsumtif dan melawan sistem “gadai pusako”
Tuanku Imam Bonjol berkata:
“Jika utang menjadikan kita budak, maka membebaskannya adalah jihad.”
4. Falsafah Minang: Utang Adalah Ujian Adat dan Agama
Falsafah Minangkabau menempatkan utang dalam posisi serius:
“Utang dibayar, janji ditunai.”
“Nan tabao pinjam, nan digadai ditebus.”
“Biar lapar, asal tidak berutang ke musuh.”
Karena itu, kesultanan dan sistem nagari bertanggung jawab membantu rakyat keluar dari jeratan utang yang menghina.
Penutup: Utang, Marwah, dan Kepemimpinan Minangkabau
Para sultan dan pemimpin adat Minangkabau telah memberi contoh:
Tidak menjadikan utang sebagai alat menundukkan rakyat
Menggunakan kas kerajaan dan sistem sako-pusako untuk menolong rakyat
Menjaga agar tanah pusaka tidak terjual demi utang sesaat
“Kita bukan bangsa peminta, tapi pewaris marwah. Jika anak nagari terjerat utang, pemimpin wajib membebaskannya dengan kehormatan, bukan dengan menjual negeri.”
0 komentar: