Sultan-Sultan Makassar: Melunasi Utang, Menyelamatkan Marwah Bangsa
Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT
Di pesisir barat Sulawesi Selatan, berdiri dua kekuatan maritim yang pernah menjadi poros dagang dan dakwah Islam di Nusantara: Kesultanan Gowa dan Kesultanan Tallo. Keduanya bersatu dalam kekuasaan Islam yang tidak hanya membangun pelabuhan dan armada laut, tetapi juga menata ekonomi rakyat berdasarkan syariat dan keadilan.
Sultan-sultan mereka sadar betul: utang bisa menjadi alat penjajahan yang halus namun menghancurkan. Maka mereka memilih jalan sulit—melunasi utang rakyat, menolak ketergantungan, dan menjaga kehormatan.
1. Sultan Alauddin (Raja Gowa Pertama yang Masuk Islam): Awal Kebijakan Ekonomi Islam
Setelah memeluk Islam pada 1605, Sultan Alauddin mulai menata ulang sistem pemerintahan dan ekonomi. Ia mendirikan Baitul Mal lokal yang dananya berasal dari zakat, infak, sedekah, serta hasil bumi.
Tujuan utamanya:
Membantu petani dan nelayan yang terlilit utang kepada saudagar asing
Menebus hasil bumi yang disita karena gagal bayar
Menghapus bunga dalam transaksi perdagangan
Ia berkata kepada ulama dari Tallo:
“Jika rakyatku ditindas karena utang, maka aku yang menanggungnya. Sebab kemuliaan negeri ini bukan pada emasnya, tapi pada keadilan penguasanya.”
2. Sultan Malikussaid: Menolak Utang Dagang VOC
Sultan Malikussaid (putra Sultan Alauddin) menghadapi gempuran Belanda dengan cara halus: dengan "membantu" rakyat lewat kontrak dagang dan pinjaman barang.
Tapi sang sultan menolak keras. Ia membentuk lembaga keuangan maritim yang:
Memberi modal dagang bebas bunga
Membeli kembali kapal rakyat yang dijadikan jaminan utang
Melindungi pasar lokal dari utang berbunga saudagar Belanda dan Portugis
Ia berkata kepada utusan VOC:
“Kami bukan negeri miskin yang menjual harga diri demi lada dan cengkih.”
3. Sultan Hasanuddin: Membebaskan Rakyat dari Jerat Utang Kolonial
Sultan Hasanuddin (memerintah 1653–1669), sang "Ayam Jantan dari Timur", terkenal karena perlawanan militernya terhadap VOC. Tapi yang kurang disorot adalah perjuangannya membebaskan rakyat Makassar dari jerat utang kolonial.
Dalam masa blokade dan perang ekonomi, ia:
Melunasi utang saudagar lokal kepada VOC dengan dana negara
Menghapus pajak darurat yang memaksa rakyat berutang
Memberi pinjaman dari kas kesultanan tanpa riba, berdasarkan syariat
Hasanuddin sadar, VOC tidak hanya menyerang dengan senjata, tapi juga dengan utang dagang dan monopoli.
Ia berseru kepada bangsawan dan kapitan:
“Utang kepada penjajah adalah tali yang menjerat leher bangsa.”
4. Sultan-Sultan Tallo: Membantu Melunasi Utang Rakyat di Pedalaman
Sebagai mitra Gowa, para sultan Tallo seperti Karaeng Matoaya juga membentuk lembaga wakaf dan zakat untuk melunasi utang petani, pengrajin, dan nelayan.
Dalam tradisi setempat, rakyat yang tidak sanggup membayar utang karena bencana atau gagal panen dapat mengajukan pembebasan melalui masjid dan dewan ulama.
Para pejabat istana diwajibkan menyisihkan harta untuk dana penebusan utang sebagai bagian dari pengabdian sosial.
5. Warisan dan Wasiat Para Sultan
Sebelum wafat, para sultan Makassar mewasiatkan agar negeri ini tidak diwariskan dalam kondisi terikat:
“Jangan biarkan rakyatmu hidup dari pinjaman yang mencekik. Lebih baik kita menanggung lapar bersama, daripada kenyang di bawah kendali penjajah.”
Penutup: Kedaulatan Itu Bukan Hanya Pedang, Tapi Bebas dari Utang
Para sultan Makassar paham betul, kedaulatan sejati adalah ketika rakyat tidak bergantung pada belas kasihan bangsa asing. Maka melunasi utang, menolak pinjaman berbunga, dan membela rakyat dari jerat finansial adalah jihad ekonomi yang tak kalah penting dari perang fisik.
“Utang yang memiskinkan rakyat adalah penjajahan dalam rupa baru. Dan seorang sultan tak boleh membiarkan itu terjadi.”
— Prinsip Sultan Hasanuddin
0 komentar: