Sultan-Sultan Maluku: Melunasi Utang, Menjaga Martabat Negeri Rempah
Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT
Maluku, gugusan pulau penghasil cengkih dan pala, pernah menjadi pusat ekonomi dunia sejak abad ke-15. Kekayaan ini menarik bangsa Eropa—Portugis, Spanyol, Belanda—datang bukan hanya untuk berdagang, tetapi juga untuk menguasai dan menjajah lewat utang dan tipu daya.
Namun di tengah tekanan itu, muncul para sultan dari Kesultanan Ternate dan Tidore yang berdiri tegak, menolak dijadikan budak ekonomi, dan berani melunasi utang rakyat agar tidak menjadi alat kolonialisme.
1. Sultan Baabullah (Ternate): Membebaskan Rakyat dari Jerat Utang Portugis
Sultan Baabullah (memerintah 1570–1583), dijuluki “Raja dari 72 Pulau”, adalah tokoh besar Maluku yang berhasil mengusir Portugis dari Ternate. Tapi perjuangannya bukan hanya di medan perang. Ia juga menghadapi perang ekonomi.
Sebagian rakyat Ternate dipaksa berutang oleh Portugis—baik dalam bentuk pajak rempah, barang dagang dengan harga manipulatif, maupun cicilan peralatan pertanian.
Setelah kemenangan militer, Sultan Baabullah memerintahkan:
Penghapusan seluruh utang rakyat kepada Portugis
Pembebasan sandera dan jaminan hutang
Pemulihan hak milik tanah dan rumah rakyat yang disita
Ia berkata kepada para ulama dan kapitan:
“Utang kepada penjajah bukanlah kewajiban, tapi belenggu. Kita lunasi dengan kemerdekaan.”
2. Sultan Saifuddin (Tidore): Membayar Utang Rakyat dengan Harta Pribadi
Pada awal abad ke-17, ketika VOC mulai menguasai jalur rempah dan menerapkan sistem monopoli paksa, banyak petani dan pedagang lokal terjerat utang karena:
Dipaksa menjual cengkih dengan harga rendah
Harus membeli barang VOC dengan harga tinggi
Dikenai denda jika gagal setor
Sultan Tidore, Saifuddin (memerintah 1657–1687), menolak sistem ini. Ia bahkan menggunakan harta pribadi dan kekayaan istana untuk:
Menebus utang rakyat miskin kepada pedagang asing
Membeli kembali kebun cengkih rakyat yang disita
Membebaskan utang nelayan yang tidak mampu membayar pajak garam atau kapal
Ia juga mengirim utusan ke Batavia untuk menuntut penghapusan utang yang tidak adil.
3. Sultan Hairun dan Sultan Nuku: Utang adalah Perang Tanpa Darah
Sultan Hairun (Ternate) yang gugur dibunuh oleh Portugis pada 1570, pernah berkata kepada penasihatnya:
“Bangsa asing datang dengan emas, tapi ujungnya belenggu. Jika utang menjadi alat mereka mengikat rakyatku, maka aku akan menebusnya dengan darah.”
Penerus perjuangannya, Sultan Nuku (Tidore), tokoh anti-Belanda akhir abad ke-18, memimpin gerakan perlawanan dengan filosofi bahwa kedaulatan ekonomi dimulai dari pelunasan utang dan pembebasan tanah rakyat.
Nuku memerintahkan:
Setiap daerah yang dibebaskan dari VOC harus dibersihkan dari sistem utang paksa
Petani cengkih diberi hak penuh atas hasil panennya
Rakyat tidak boleh dijerat dalam utang oleh elit lokal
4. Utang dan Harga Diri dalam Islam di Maluku
Para sultan Maluku sangat memahami prinsip Islam tentang utang:
“Barang siapa mati dalam keadaan masih menanggung utang, maka jiwanya tergantung sampai utangnya dilunasi.” (HR. Tirmidzi)
Maka mereka meyakini: melunasi utang rakyat bukan hanya soal ekonomi, tapi soal penyelamatan jiwa dan kehormatan bangsa.
Penutup: Martabat Maluku, Bebas dari Utang dan Monopoli
Kisah para sultan di Maluku mengajarkan bahwa kedaulatan tak hanya ditentukan oleh kekuatan militer, tapi juga keberanian untuk membebaskan rakyat dari beban ekonomi yang menindas.
“Lebih baik miskin dan merdeka, daripada kaya tapi tergadai.”
— Prinsip Sultan Nuku
Di tengah dunia yang terus memutarkan roda utang sebagai alat dominasi, kisah para sultan Maluku tetap relevan: bahwa melunasi utang rakyat adalah bagian dari jihad menjaga martabat umat.
0 komentar: