Kisah Pangeran Diponegoro Melunasi Utang: Kehormatan, Bukan Kemewahan
Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT
Pangeran Diponegoro (1785–1855), tokoh utama dalam Perang Jawa (1825–1830), bukan hanya dikenal karena keberaniannya melawan penjajahan Belanda, tapi juga karena keteguhan moral dan integritasnya, termasuk dalam mengelola harta, menolak suap, dan melunasi utang.
Meskipun hidup sebagai bangsawan dari keluarga Kesultanan Yogyakarta, Diponegoro memilih hidup zuhud. Ia menolak warisan yang berasal dari kompromi dengan Belanda dan hidup di desa Tegalrejo dengan cara sederhana, bercocok tanam, dan berdakwah.
---
1. Menolak Suap, Tapi Melunasi Utang Sendiri
Ketika Belanda berusaha membeli loyalitasnya dengan jabatan dan tunjangan, Diponegoro menolak secara tegas. Bahkan ia pernah ditawari uang besar dan gelar politik, tapi ditolak dengan kata-kata:
> “Apakah kalian kira aku akan menjual tanah dan kehormatan hanya dengan emas kalian?”
Namun di saat yang sama, Diponegoro tetap berusaha memenuhi kewajiban keuangan pribadinya, termasuk utang kepada pedagang lokal atau rakyat biasa yang pernah membantunya dalam logistik atau keperluan perjuangan. Ia tidak membiarkan utangnya menumpuk atau membebani orang kecil.
Ketika dalam masa gerilya, ia bahkan pernah memerintahkan salah satu pembantunya untuk menjual barang pribadi milik keluarganya demi membayar kembali utang perlengkapan pasukan kepada pedagang muslim di pesisir selatan.
---
2. Mengganti Kerugian Rakyat Akibat Perang
Diponegoro memimpin perang besar yang menyebabkan kekacauan ekonomi di banyak daerah. Namun ketika melewati desa-desa yang rusak akibat konflik, ia berusaha mengirimkan bantuan pangan dan membayar kembali kerugian rakyat kecil dengan apa yang dimilikinya. Jika tak cukup, ia mencatat untuk dibayar kemudian.
Beberapa sumber lisan dan naskah babad menyebut, sebelum menyerahkan diri kepada Belanda (yang ternyata menjebaknya), Diponegoro sempat berkata kepada para pengikutnya:
> “Siapa yang masih menanggung utang karena membantu perjuangan ini, maka aku wajib membayarnya, bila perlu dengan tanah warisanku di Tegalrejo.”
---
3. Wasiat Saat Ditawan: Bebaskan Rakyat dari Beban
Saat diasingkan ke Manado dan kemudian ke Makassar, Diponegoro tetap berpegang teguh pada prinsip keuangan yang adil. Ia mewasiatkan kepada anak-anak dan pengikutnya agar:
Tidak meninggalkan utang tanpa pelunasan
Tidak menagih utang kepada rakyat miskin
Menggunakan harta untuk membebaskan, bukan menekan
---
4. Mengajarkan Zuhud dalam Kekuasaan
Dalam kitab catatannya yang kini dikenal sebagai “Babad Diponegoro”, ia menulis bahwa kekuasaan bukan tempat memperkaya diri, melainkan menjadi wakil Allah di bumi untuk menegakkan keadilan dan membela yang lemah.
Bagi Diponegoro, melunasi utang adalah bagian dari menjaga kehormatan sebagai Muslim dan sebagai pemimpin. Ia menolak gaya hidup boros dan mengajarkan bahwa utang harus dibayar walaupun musuh sedang mengepung.
---
Penutup: Pahlawan Tanpa Beban Dunia
Pangeran Diponegoro wafat dalam pengasingan di Makassar, tanpa harta, tanpa istana, tanpa jabatan. Tapi ia wafat tanpa utang dan tanpa penyesalan. Kehormatannya tetap tinggi, bukan karena kekayaan, tapi karena kesucian prinsip dan konsistensi moral.
> “Utang bukan sekadar angka. Ia adalah ujian jiwa. Barang siapa meremehkannya, maka ia telah menggali jurang kehinaan.”
– Pangeran Diponegoro
0 komentar: