Sultan-Sultan Nusa Tenggara Barat: Melunasi Utang, Menjaga Marwah Umat
Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT
Di balik pegunungan dan lautan Nusa Tenggara Barat, berdiri kesultanan-kesultanan Islam yang teguh dalam menjaga kedaulatan spiritual dan ekonomi rakyatnya. Di antaranya, Kesultanan Bima dan Kesultanan Sumbawa telah mencatatkan sejarah bahwa utang bukan hanya soal angka, tapi soal kehormatan dan amanah.
1. Kesultanan Bima: Melunasi Utang Petani dan Nelayan
Pada abad ke-18 hingga ke-19, banyak rakyat Bima, terutama petani dan nelayan, yang terjerat utang akibat gagal panen, pajak kolonial, atau monopoli hasil bumi oleh pedagang luar.
Sultan Abdul Hamid (memerintah 1854–1881) dari Kesultanan Bima dikenal sebagai sultan yang adil dan sangat peduli pada utang rakyat. Ia membentuk badan semacam baitul mal lokal untuk:
Menebus utang rakyat kepada saudagar besar dan lintah darat
Memberi pinjaman tanpa bunga kepada petani yang kesulitan modal tanam
Melunasi utang nelayan yang perahunya disita oleh pedagang Belanda
Dalam salah satu dokumen lokal, ia menyatakan:
“Rakyatku tidak boleh kehilangan tanah atau perahu hanya karena utang. Jika mereka lemah, negara harus membantunya, bukan membiarkannya ditindas.”
2. Kesultanan Sumbawa: Melindungi Rakyat dari Jerat Utang Dagang Kolonial
Kesultanan Sumbawa, yang aktif berdagang hasil pertanian dan ternak dengan pedagang luar, sempat ditekan oleh perjanjian dagang Belanda. Rakyat diminta menyetor hasil bumi, tetapi harga dipaksa rendah. Akibatnya, banyak rakyat berutang demi bertahan hidup.
Sultan Muhammad Jalaluddin III (abad ke-19), dikenal sangat cermat dalam keuangan negara. Ia mengeluarkan kebijakan:
Membayar utang rakyat miskin dari kas negara
Menghapus sistem gadai tanah karena utang
Menebus kembali kebun dan ternak rakyat yang jatuh ke tangan pedagang asing
Ia mengingatkan pejabatnya:
“Utang yang menindas adalah bentuk penjajahan. Rakyat tidak boleh diperbudak oleh bunga atau oleh kongsi dagang asing.”
3. Utang dan Prinsip Islam dalam Kepemimpinan NTB
Sultan-sultan NTB sangat terpengaruh ajaran Islam dan tradisi dakwah para ulama lokal (tuan guru). Mereka memandang utang bukan sekadar kewajiban ekonomi, tapi tanggung jawab ruhani.
Mereka percaya pada sabda Nabi ï·º:
“Menunda pembayaran utang oleh orang mampu adalah kezaliman.” (HR. Bukhari-Muslim)
Maka mereka:
Menolak menggunakan utang negara untuk kemewahan istana
Tidak mewariskan utang pada rakyat di akhir kekuasaan
Melunasi utang rakyat sebagai bentuk ibadah sosial
4. Wasiat Sultan: Jangan Wariskan Negeri yang Terikat
Beberapa wasiat sultan NTB yang tercatat dalam hikayat lokal menyebut:
“Bila engkau memimpin negeri ini, jangan kau pinjam uang dari orang yang ingin membeli tanah rakyat. Bila rakyat lapar, beri mereka makan, tapi jangan biarkan mereka berutang kepada orang zalim.”
Penutup: Warisan Marwah Ekonomi Islam di Timur Nusantara
Dari Bima hingga Sumbawa, jejak para sultan menunjukkan bahwa melunasi utang bukan hanya perkara membayar, tapi menyelamatkan umat dari jerat ketergantungan dan kehilangan kehormatan.
“Lebih baik kas negara kosong, tapi rakyat berdiri tegak—daripada istana penuh emas, tapi rakyat hidup sebagai budak utang.”
— Prinsip Para Sultan NTB
0 komentar: