Sultan-Sultan Muslim Maroko dan Amanah Melunasi Utang
Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT
Dari abad ke-8 hingga abad ke-20, Maroko telah diperintah oleh berbagai dinasti Islam: Idrisiyah, Murabitun, Muwahhidun, Marinid, Sa‘diyah, hingga ‘Alawiyah. Dalam setiap masa, selalu ada sultan-sultan yang tidak hanya berkuasa, tapi juga mengemban misi moral dan spiritual: melindungi rakyat dari kehinaan ekonomi, terutama dari jeratan utang.
Berikut adalah beberapa kisah penting dari para sultan Muslim Maroko yang menjadikan pelunasan utang sebagai jalan ibadah dan keadilan:
1. Sultan Yusuf bin Tasyfin (Murabitun): Menghapus Pajak Penindas dan Membayar Utang Rakyat
Yusuf bin Tasyfin (w. 1106 M), pendiri Dinasti Murabitun dan penyatu Maghrib (Barat Islam), dikenal bukan hanya karena kemenangannya atas pasukan Kristen dalam Perang Zallaqah (Spanyol), tapi juga karena kepeduliannya terhadap kondisi ekonomi rakyat.
Ia menghapus pajak dzalim yang diwariskan penguasa sebelumnya, lalu mengembalikan harta hasil pungutan tidak sah kepada rakyat.
Ia mendirikan wakaf sosial untuk membayar utang petani dan buruh miskin yang terjerat lintah darat.
Ia memerintahkan para qadhi dan mufti mendata utang rakyat secara adil, lalu melunasinya dari kas negara.
Ia pernah berkata:
“Negeri yang damai bukanlah negeri yang kaya, tetapi negeri yang pemimpinnya tidak menyisakan air mata rakyat karena utang.”
2. Sultan Abu Yusuf Ya’qub Al-Manshur (Muwahhidun): Baitul Mal untuk Melunasi Hutang Ulama dan Fakir
Sultan Ya’qub Al-Manshur (memerintah 1184–1199 M) adalah penguasa besar Dinasti Muwahhidun yang pernah mengalahkan pasukan Salib dalam Perang Alarcos di Spanyol.
Namun, ia juga terkenal karena reformasi keuangan Islamnya.
Ia memerintahkan agar baitul mal digunakan bukan hanya untuk membangun benteng dan istana, tetapi juga untuk:
Membebaskan ulama yang dipenjara karena utang
Melunasi utang rakyat yang terjerat lintah darat Kristen
Menghapus utang yatim-piatu dan janda
Ia juga menetapkan bahwa utang di bawah jumlah tertentu akan otomatis dihapus jika si pengutang tidak mampu bayar dan terbukti miskin.
3. Sultan Ahmad Al-Manshur (Sa‘diyah): Membayar Utang Negara Tanpa Menambah Beban Rakyat
Sultan Ahmad Al-Manshur (memerintah 1578–1603 M) adalah penguasa Dinasti Sa‘diyah yang berjuluk “Adh-Dhahabi” (Emas), karena kekayaannya luar biasa pasca kemenangan Perang Tondibi di Afrika.
Namun saat ia naik takhta, kas negara kosong dan utang besar tertinggal dari perang.
Ia menolak menambah pajak rakyat, dan justru:
Mengurangi gaji pejabat tinggi
Menjual sebagian harta pribadi sultan
Memotong belanja istana
Dalam waktu singkat, ia berhasil melunasi utang negara tanpa membuat rakyat menderita.
Ia juga menolak pinjaman dari pedagang Eropa karena khawatir menggadaikan kedaulatan.
4. Sultan Muhammad III (Dinasti ‘Alawiyah): Membayar Utang Rakyat, Menolak Utang Zionis
Sultan Muhammad bin Abdullah (memerintah 1757–1790 M), pendiri kota Essaouira, dikenal karena membangun hubungan internasional pertama dengan Amerika Serikat. Namun, yang jarang diketahui: ia sangat peduli pada beban utang rakyat.
Ia memerintahkan pelunasan utang rakyat miskin kepada rentenir asing di wilayah pesisir dan pedalaman.
Ia mengeluarkan larangan keras terhadap praktik lintah darat dan memaksa para tuan tanah untuk menghapus utang rakyat yang terbukti dizalimi.
Ia juga membentuk dana zakat nasional khusus untuk pelunasan utang (garimîn), sesuai anjuran Al-Qur’an.
Ketika ada utusan Yahudi dari Eropa menawarkan investasi besar dengan imbalan akses tanah dan konsesi ekonomi, Sultan menolak tegas, seraya berkata:
“Kami akan menanggung penderitaan demi kehormatan. Kami tidak menjual tanah dan rakyat demi emas.”
5. Sultan Hasan I dan Muhammad V: Membela Rakyat dari Utang Kolonial
Menjelang masa kolonialisme, Maroko mulai dibebani utang luar negeri oleh bank-bank Eropa. Sultan Hasan I (w. 1894) dan cucunya Sultan Muhammad V (w. 1961) berupaya menolak pinjaman yang menjerat.
Sultan Hasan I membayar bunga utang dengan emas pribadi dan menyita properti bangsawan korup, agar rakyat tidak dipajaki lebih berat.
Sultan Muhammad V, sang pemimpin kemerdekaan, menolak utang tambahan dari Prancis pada akhir masa penjajahan, karena ia tahu utang itu akan mengikat negeri secara politik.
Penutup: Kepemimpinan yang Membebaskan, Bukan Membebani
Para Sultan Muslim Maroko bukanlah penguasa yang membiarkan rakyat menderita demi proyek-proyek megah. Mereka memahami satu hal:
“Utang adalah ujian. Dan pemimpin sejati adalah mereka yang menjadi penebus, bukan penindas.”
Di tangan mereka, baitul mal bukan alat kekuasaan, tapi perisai kehormatan umat. Mereka menolak emas yang menjatuhkan harga diri rakyat, dan lebih memilih hidup sederhana demi mencegah air mata ummat.
0 komentar: