Sultan-Sultan Aceh: Melunasi Utang demi Menjaga Martabat Umat
Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT
Aceh Darussalam adalah salah satu kesultanan Islam tertua dan terkuat di Nusantara. Sejak abad ke-16, ia bukan hanya pusat dakwah dan pendidikan Islam, tetapi juga pusat perdagangan dunia, penghubung antara Timur Tengah dan Asia Tenggara. Namun dalam keagungan itu, para sultan Aceh sangat menyadari satu hal: utang bisa menjadi alat penjajahan yang halus dan mematikan.
Oleh karena itu, para sultan Aceh menjadikan pelunasan utang—baik utang rakyat maupun negara—sebagai bagian dari jihad kepemimpinan.
1. Sultan Iskandar Muda (1607–1636): Melunasi Utang Dagang Rakyat
Di masa Sultan Iskandar Muda, rakyat Aceh sangat aktif dalam perdagangan internasional. Tapi dalam situasi badai, kegagalan panen, atau gangguan pelayaran, banyak pedagang kecil yang berutang kepada mitra dagang asing, termasuk pedagang Gujarat, Arab, bahkan Portugis.
Sultan Iskandar Muda membentuk “Baitul Mal Kesultanan”, yang di antaranya digunakan untuk:
Menebus utang pedagang lokal yang hartanya disita
Memberi pinjaman syariah kepada nelayan dan petani
Melindungi rakyat dari rente dan bunga dagang luar
Dalam khutbahnya di hadapan ulama dan qadhi, sang Sultan menegaskan:
“Utang yang menjerat rakyat akan mengundang kehinaan. Maka wajib bagi pemimpin untuk membebaskan mereka dari belenggu itu.”
2. Sultanah Shafiyyatuddin (1641–1675): Membebaskan Janda-Janda dari Jerat Utang
Sebagai pemimpin perempuan yang bijaksana dan alim, Sultanah Shafiyyatuddin, istri dari Sultan Iskandar Tsani, sangat peduli pada nasib perempuan miskin dan janda yang terlilit utang karena ditinggal suami syahid atau wafat.
Ia mewajibkan Baitul Mal menyisihkan dana untuk:
Melunasi utang rumah tangga fakir miskin
Membebaskan hamba sahaya karena utang
Memberi modal usaha tanpa bunga kepada janda dan anak yatim
Beliau berkata:
“Yang terbebani bukan hanya mereka yang berutang, tapi negara yang diam membiarkan rakyatnya terhina.”
3. Sultan Alauddin Johan Syah (1735–1760): Menolak Bantuan Utang dari Kompeni
Pada masa ini, Belanda mulai merangsek ke perairan barat Sumatra dan menawarkan kerja sama dagang dengan embel-embel pinjaman dan pembangunan pelabuhan.
Namun Sultan Alauddin Johan Syah menolaknya mentah-mentah. Ia menyampaikan kepada utusan Belanda:
“Kami tidak meminta bantuan yang menjadikan negeri ini terikat. Kami hidup dari hasil bumi kami, bukan dari pinjaman yang menjebak.”
Beliau bahkan menggunakan emas simpanan istana dan wakaf keluarga untuk melunasi utang-utang para saudagar dan kapten kapal yang terancam kehilangan armadanya.
4. Kebijakan Umum Para Sultan Aceh: Utang Rakyat Adalah Tanggung Jawab Negara
Dalam berbagai dokumen lokal dan hukum adat Aceh yang disebut Qanun Meukuta Alam, para sultan menerapkan prinsip-prinsip Islam yang kuat:
Utang yang zalim boleh dibatalkan
Utang rakyat karena musibah harus dilunasi Baitul Mal
Rentenir asing yang menindas bisa diusir atau diputuskan hak dagangnya
Kas istana harus digunakan untuk menolong yang lemah, bukan memperkaya bangsawan
5. Wasiat Sultan: Jangan Wariskan Negeri yang Bergantung
Dalam wasiat Sultan Aceh yang tertulis dalam naskah kuno Hikayat Raja-raja Pasai dan Tawarikh Aceh, tercatat pesan berulang:
“Bila rakyat lapar, beri makan dari gudang. Bila mereka terjerat utang, lunasi dari kas negara. Tapi jangan sekali-kali pinjam kepada musuh yang kelak menuntut tanah kita.”
Penutup: Utang, Kedaulatan, dan Marwah Islam
Para Sultan Aceh mengajarkan bahwa:
Utang tidak boleh dijadikan alat menghinakan rakyat
Pelunasan utang adalah jihad ekonomi
Negara Islam harus berdiri di atas kemandirian, bukan pinjaman berbunga
“Biar kita miskin di mata dunia, asal kita tidak menjual kehormatan kepada penjajah.”
— Prinsip para Sultan Aceh
0 komentar: