Sultan Agung Mataram: Melunasi Utang, Menegakkan Kedaulatan
Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT
Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja besar dari Mataram Islam, bukan hanya dikenal karena keberaniannya menyerbu Batavia dan menantang hegemoni VOC, tetapi juga karena kebijakan fiskalnya yang bijak, nasionalistis, dan penuh kehormatan.
Meski istilah “utang” dalam konteks abad ke-17 di Jawa berbeda dengan definisi utang internasional modern, Sultan Agung telah menunjukkan sikap tegas terhadap semua bentuk ketergantungan finansial yang bisa melemahkan kemandirian rakyat dan negara.
---
1. Menolak Bantuan Keuangan dari VOC: "Utang adalah Awal dari Penjajahan"
Pada awal kekuasaannya, Sultan Agung ditawari “kerja sama ekonomi” oleh utusan VOC—yang intinya adalah pemberian bantuan logistik dan dana dalam bentuk barter dan pinjaman. Tapi sang Sultan menolaknya mentah-mentah.
Ia berkata kepada para patih dan penasihatnya:
> “Uang dari musuh adalah racun yang manis. Kita terima hari ini, tapi besok kita akan dijajah.”
Keputusan itu terbukti tepat. Banyak kerajaan pesisir lain yang menerima bantuan VOC, akhirnya kehilangan kedaulatan secara bertahap melalui utang dan perjanjian dagang yang timpang.
---
2. Melunasi Utang Pejabat dan Prajurit Rakyat
Sultan Agung tahu bahwa rakyat seringkali berutang kepada lintah darat untuk membayar pajak atau memenuhi kebutuhan perang. Ia membentuk Lembaga Keuangan Negara (semacam baitul mal) yang dananya diambil dari:
Pajak hasil bumi
Denda dari pelanggaran hukum istana
Perdagangan lada dan beras
Dana ini digunakan untuk:
Melunasi utang prajurit yang gugur dalam perang
Membebaskan tanah rakyat miskin dari sita
Memberi bantuan modal usaha tanpa bunga
---
3. Menolak Pajak Tak Adil, Menghapus Utang Hasil Pemerasan
Ketika terjadi keluhan dari rakyat pedalaman karena pemungutan pajak yang berlebihan oleh pejabat lokal, Sultan Agung segera mengutus penyelidik rahasia dan menghapus semua utang yang berasal dari pemerasan.
Ia menghukum beberapa pejabat tinggi yang memperkaya diri dengan cara menjerat rakyat dalam utang palsu.
---
4. Membangun Ekonomi Mandiri untuk Hindari Ketergantungan
Sultan Agung sadar bahwa utang tidak selalu dalam bentuk uang, tapi juga dalam bentuk ketergantungan terhadap komoditas asing. Maka ia memerintahkan:
Swasembada pangan melalui pertanian intensif di daerah pedalaman
Produksi tekstil lokal untuk menandingi produk India
Reformasi pasar untuk melindungi pedagang kecil
Ini adalah strategi ekonomi jangka panjang agar negara tidak perlu “berutang” kepada asing dalam bentuk apa pun.
---
5. Wasiat Kepada Penerus: Jangan Wariskan Negeri yang Terikat
Sebelum wafat pada tahun 1645, Sultan Agung berwasiat kepada putranya:
> “Janganlah kamu menjual tanah Mataram demi emas. Dan janganlah kamu berutang kepada bangsa yang datang membawa senjata dan senyum.”
Wasiat ini ditulis dalam serat-serat istana dan menjadi pedoman bagi generasi Mataram berikutnya (meski tak semua menerapkannya dengan setia).
---
Penutup: Utang Itu Beban, Kemerdekaan Itu Kehormatan
Sultan Agung tidak tercatat sebagai raja yang berutang besar kepada asing atau membebani rakyatnya dengan pajak demi kemewahan istana. Ia adalah simbol pemimpin yang berjuang membayar utang dalam arti luas:
Utang kepada rakyat yang harus dibayar dengan keadilan
Utang kepada sejarah yang dibayar dengan perjuangan
Utang kepada Tuhan yang dibayar dengan amanah kepemimpinan
> “Pemimpin yang sejati bukan yang meminta kepada rakyat, tetapi yang mengembalikan apa yang menjadi hak mereka.”
— Sultan Agung Hanyokrokusumo
0 komentar: