Abu Bakar Ash-Shiddiq: Teladan Mengelola Uang dengan Amanah dan Akhirat di Hati
Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT
Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. adalah sahabat Nabi ï·º yang paling dicintai dan khalifah pertama setelah wafatnya Rasulullah. Namun di balik kemuliaan iman dan kepemimpinannya, ada satu hal penting yang kerap dilupakan: cara beliau mengelola uang—dengan akhlak, amanah, dan pandangan akhirat yang tajam.
1. Mengelola Uang di Keluarga: Sederhana dan Bertanggung Jawab
Abu Bakar hidup dengan penuh kesederhanaan. Rumahnya tak lebih dari bangunan batu sederhana di Madinah. Ia tetap berdagang kain meski telah memeluk Islam dan menjadi tangan kanan Rasulullah.
Suatu ketika, setelah diangkat menjadi khalifah, ia tetap memikul barang dagangannya. Umar bin Khattab melihat dan berkata, "Wahai Abu Bakar, uruslah umat! Kami akan mencukupimu dari Baitul Mal."
Namun ia menjawab, "Siapa yang akan menafkahi keluargaku jika aku tak berdagang?"
Bagi Abu Bakar, keluarga adalah amanah dunia, dan ia tidak ingin membebani umat karena tanggung jawab pribadinya. Ia baru menerima gaji khalifah setelah dipastikan jumlahnya cukup untuk kebutuhan dasar istri dan anak-anaknya, tanpa berlebihan.
2. Mengelola Uang dalam Bisnis: Jujur dan Bersih
Sebagai pedagang, Abu Bakar terkenal jujur, adil, dan tak pernah menipu. Ia lebih suka mengambil untung sedikit tapi halal daripada meraih banyak keuntungan dari ketidakjujuran.
Ia tidak berutang untuk spekulasi. Ia berdagang berdasarkan modal nyata, dengan prinsip ridha dan kejelasan. Ia tahu bahwa setiap dirham akan dihisab.
Karena kejujurannya, banyak orang Quraisy percaya padanya—dan itulah yang menjadi bekal spiritual ketika ia menemani Rasulullah ï·º hijrah: dipercaya membawa harta dan rahasia, karena dikenal tak pernah menyalahgunakan amanah.
3. Mengelola Uang Soal Utang: Segera Dilunasi, Jangan Ditunda
Abu Bakar sangat berhati-hati terhadap utang. Ia sering berkata, "Utang kepada manusia adalah beban dunia, dan hisab di akhirat."
Bahkan menjelang wafat, ia mewasiatkan:
“Barang siapa yang merasa memiliki hak atau piutang atas diriku, hendaklah mendatanginya anakku agar dilunasi.”
Ia tidak pernah menunda-nunda. Bila punya utang, ia akan segera membayar. Bila menerima titipan, ia kembalikan tepat waktu. Ia hidup dengan prinsip: jangan bawa utang ke liang kubur.
4. Mengelola Uang di Kas Negara: Bersih dan Sangat Hati-hati
Sebagai kepala negara, Abu Bakar mengelola Baitul Mal dengan penuh takut kepada Allah. Ia memastikan harta negara tidak digunakan untuk kepentingan pribadi, bahkan sekadar lilin penerang saat menulis surat pribadi pun ia padamkan jika urusan negara selesai.
Jika ada kelebihan dari kas negara, ia kembalikan. Bila ada kebutuhan darurat dari rakyat, ia prioritaskan.
Ia tidak memungut pajak berlebihan. Zakat dikelola dengan baik. Saat ada pemberontakan yang menolak membayar zakat, Abu Bakar tegas:
“Demi Allah, aku akan perangi siapa pun yang memisahkan zakat dari salat!”
5. Mengelola Uang Gaji Khalifah: Kembalikan Jika Tidak Layak
Gaji khalifah ditetapkan oleh para sahabat dengan sangat minimal. Abu Bakar hanya menerima gaji cukup untuk makan, pakaian sederhana, dan kebutuhan dasar.
Namun menjelang wafatnya, ia merasa khawatir gaji itu melebihi kebutuhannya.
Ia berkata kepada Aisyah ra.:
“Aku telah mengambil beberapa dirham dari Baitul Mal. Jika aku wafat, juallah kebun milikku, dan kembalikan seluruhnya ke kas negara.”
Ia tidak ingin bertemu Allah dalam keadaan masih menanggung harta yang bukan miliknya, meski itu diberikan secara resmi.
6. Wasiat Uang Saat Wafat: Bersih dan Tak Meninggalkan Beban
Sebelum wafat, Abu Bakar menghitung seluruh hartanya. Ia berkata kepada Umar:
“Aku tidak meninggalkan harta, kecuali satu budak, seekor unta, dan satu kebun. Sisanya, kembalikan ke umat.”
Ia mewasiatkan kepada anaknya untuk melunasi semua utangnya dan menyelesaikan segala urusan harta dengan manusia sebelum tubuhnya masuk ke liang lahat.
Ia tidak ingin dikenal sebagai orang kaya, tidak juga dikenang sebagai pemimpin berpakaian mewah. Ia ingin wafat seperti ia hidup: ringan, bersih, dan tak menggantung satu dirham pun milik orang lain.
Teladan di Era Penuh Godaan
Hari ini, ketika banyak orang bangga dengan kekuasaan, jabatan, dan harta, Abu Bakar justru memberi teladan kepemimpinan yang takut kepada Allah dalam setiap sen uang yang dikelola.
Harta tidak membuatnya tinggi,
utang tidak membuatnya merunduk,
dan jabatan tidak mengubah kejujurannya.
Jika para pemimpin, pebisnis, dan kepala keluarga hari ini belajar dari Abu Bakar, mungkin negeri ini akan lebih ringan beban utangnya—baik di dunia, maupun di akhirat.
0 komentar: