basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Ketika Madinah Tumbuh di Tengah Perang: Mengapa Sebagian Kota Runtuh?  Oleh: Nasrulloh Baksolahar Perang, bagi sebagian bangsa, ...

Ketika Madinah Tumbuh di Tengah Perang: Mengapa Sebagian Kota Runtuh? 

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Perang, bagi sebagian bangsa, adalah awal kehancuran. Tapi bagi Madinah, perang justru menjadi percikan yang menyalakan obor peradaban. Ketika kota-kota besar seperti Mekah, Persia, dan Romawi kehilangan napas karena konflik berkepanjangan, Madinah—yang kecil dan terancam dari segala arah—malah tumbuh menjadi poros dunia baru. Bagaimana mungkin kota yang dikepung musuh, terlibat perang hampir setiap tahun, justru berkembang menjadi pusat spiritual, militer, dan sosial?

Bukankah pertempuran menguras tenaga, waktu, dan sumber daya? Ya, kecuali jika pertempuran itu dipimpin oleh visi langit, bukan ambisi bumi.

Madinah: Kota yang Berjuang dan Bertumbuh

Sejak tahun kedua hijrah, Madinah nyaris tak pernah bebas dari ancaman perang: Badar, Uhud, Khandaq, Khaibar, Tabuk—deretan pertempuran yang seharusnya membuat kota ini bangkrut secara ekonomi dan psikologis. Namun realitas berkata lain. Madinah tidak hanya bertahan, tapi bangkit. Rahasianya?

Allah menurunkan konsep pembagian tugas yang sangat penting:

“Tidak sepatutnya bagi seluruh orang mukmin pergi (berperang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk mendalami agama, dan agar mereka memberi peringatan kepada kaumnya ketika mereka kembali, supaya mereka bisa menjaga diri.”
(QS At-Taubah: 122)

Inilah model pertahanan spiritual dan peradaban: sebagian berperang, sebagian mendalami ilmu. Madinah tidak seluruhnya ditarik ke medan tempur. Ada yang bertani, ada yang berdagang, ada yang belajar dan mengajarkan wahyu, ada yang mengatur pasar, ada yang menjadi guru, dan ada yang menyusun strategi.

Pertempuran bukan penghambat kehidupan, tapi bagian dari sistem ketahanan Madinah yang utuh dan adaptif.



Sementara Itu, Mekah Redup dan Retak dari Dalam

Bandingkan dengan Mekah, kota yang secara ekonomi lebih kuat, namun mentalitasnya rapuh. Di bawah kuasa oligarki Quraisy, Mekah mengandalkan tiga hal:

1. Simbol keagamaan (Ka’bah)
2. Dominasi dagang
3. Retorika keturunan dan kehormatan suku

Namun semua itu tidak cukup melindungi kota dari kehancuran moral dan sosial. Ketika Islam datang dengan tawaran nilai, ilmu, dan keadilan sosial, mereka menolak. Dan penolakan terhadap kebenaran selalu melahirkan stagnasi. Bahkan ketika Perang Badar dan Uhud pecah, Mekah tidak tumbuh dalam semangat, tetapi justru tenggelam dalam kebencian dan dendam. Hasilnya: ekonomi mereka stagnan, kaum miskin tetap tertindas, dan generasi muda—seperti Khalid bin Walid dan Amr bin Ash—lebih tertarik pada kekuatan Islam daripada kejayaan Quraisy.



Persia dan Romawi: Bangsa Besar yang Tumbang oleh Perang Tanpa Jiwa

Sebelum Islam, dua kekuatan dunia—Romawi dan Persia—terlibat perang panjang (602–628 M) yang melemahkan keduanya. Perang mereka bersifat imperialis dan egoistik: soal wilayah, balas dendam, dan kebanggaan dinasti. Rakyat sengsara, ekonomi anjlok, dan spiritualitas hampa.

Di Persia, pemberontakan internal dan penggulingan 14 raja dalam 4 tahun memperlihatkan keruntuhan sistem.

Di Romawi, korupsi birokrasi, penurunan loyalitas militer, dan krisis iman dalam gereja melumpuhkan stabilitas.

Keduanya menjadi raksasa yang kelelahan. Maka ketika Islam datang dengan visi tauhid, keadilan, dan sistem zakat, banyak rakyat wilayah jajahan justru menyambut pasukan Muslim sebagai pembebas, bukan penjajah.



Israel dan Gaza: Kemenangan yang Justru Melemahkan

Kita menyaksikan ironi sejarah berulang hari ini. Israel, negara dengan kekuatan militer modern, teknologi tinggi, dan dukungan besar dari Amerika dan Eropa, justru semakin rapuh setelah berperang melawan Gaza.

Sejak invasi Gaza pasca 7 Oktober 2023, Israel menghadapi:

Kehancuran ekonomi: sektor pariwisata anjlok, anggaran perang membengkak, pertumbuhan ekonomi hanya 0,3% (terendah dalam dua dekade).

Kerusakan sosial: lebih dari 200.000 warga Israel mengungsi dari wilayah utara dan selatan.

Krisis politik: konflik antara Netanyahu, militer, dan rakyat sipil memicu protes besar-besaran di Tel Aviv.

Kemunduran citra global: 60+ negara menyerukan gencatan senjata, kampanye boikot meningkat tajam.

Trauma psikologis: ratusan tentara mengalami PTSD, dan masyarakat hidup dalam ketakutan roket dan penyusupan.

Israel menang secara militer di atas kertas, tapi kalah secara moral, politik, dan spiritual. Gaza mungkin hancur secara fisik, tapi seperti Madinah dulu, yang kecil dan terblokade bisa menang karena memiliki arah, iman, dan tekad kolektif.



Apa Bedanya Madinah dengan Mekah, Persia, Romawi, dan Israel?

1. Madinah membangun dengan visi langit, bukan dominasi dunia.
2. Pertempuran diatur, bukan membabi buta.
3. Ilmu dan iman tetap dijaga di tengah perang.
4. Ekonomi dijalankan secara adil, tidak eksploitatif.
5. Masyarakat dilibatkan, bukan diperalat.
6. Ketahanan spiritual jadi pusat kekuatan.



Pertempuran Bisa Membunuh Atau Melahirkan Peradaban

Perang bukan hanya soal senjata. Perang adalah ujian visi dan nilai. Madinah membuktikan bahwa pertempuran bisa menjadi jalan pertumbuhan jika dipimpin oleh orang-orang yang sabar, jujur, dan memiliki misi agung. Tapi perang bisa menjadi jalan kematian ketika hanya dipenuhi ambisi, dendam, dan kekosongan spiritual.

Di zaman modern, Israel memperlihatkan bahwa teknologi dan senjata tak cukup membuatmu menang. Ketika rakyatmu tak percaya lagi pada pemerintah, dan dunia memalingkan wajah karena kezalimanmu, maka bom sekuat apapun tidak akan menguatkanmu.

Sedangkan Gaza, seperti Madinah dulu, menunjukkan bahwa kota yang terlihat lemah bisa menjadi pusat perlawanan dan peradaban jika didorong oleh nilai, pengorbanan, dan solidaritas.



Penutup

Madinah tidak menang karena perangnya. Tapi karena visi Rasulullah ï·º yang membagi peran, menanam ilmu, membangun sistem, dan menginspirasi jiwa-jiwa. Kota itu tumbuh bukan dari reruntuhan musuh, tapi dari kebangkitan ruhani para sahabat.

Kini sejarah seolah mengulang. Gaza, seperti Madinah, dikepung dan dibombardir. Tapi mereka tetap melahirkan pemuda-pemuda berani, pemikir, dan syuhada. Sementara itu, kekuatan dunia yang menyerang mereka mulai kehilangan semangat, narasi, dan legitimasi.

Maka siapa pun yang memimpin kota hari ini, belajarlah dari Madinah: bahwa kota yang bertumbuh bukanlah yang bebas dari perang, tetapi yang tahu untuk apa mereka bertahan, dan kepada siapa mereka berserah.

Belajar dari Saigon, Tel Aviv, dan Turki: Ketika Dukungan Amerika Tak Lagi Menyelamatkan Oleh: Nasrulloh Baksolahar Sejarah mode...

Belajar dari Saigon, Tel Aviv, dan Turki: Ketika Dukungan Amerika Tak Lagi Menyelamatkan

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Sejarah modern menyimpan ironi pahit: negara-negara yang paling disokong oleh Amerika Serikat—dengan dana, teknologi, pasukan, diplomasi, dan narasi perang—justru tak jarang menjadi yang paling hancur dari dalam. Saigon (1975), Tel Aviv (2024), dan Turki sebelum era Erdogan adalah tiga kisah tragis sekaligus pelajaran besar bagi dunia Islam dan dunia ketiga: bahwa kekuatan asing tidak bisa menggantikan kemandirian, legitimasi rakyat, dan arah sejarah yang benar.



Dukungan Amerika: Total, Tapi Tidak Menyelamatkan

Ketiga negara/kota ini adalah “anak emas” dalam agenda strategis AS:

1. Dana dan Bantuan Ekonomi

Saigon menerima miliaran dolar selama perang Vietnam untuk mendirikan pemerintahan anti-komunis.

Israel (Tel Aviv) rutin menerima $3,8 miliar per tahun, menjadikannya penerima bantuan terbesar dari AS sejak 1979.

Turki sekuler dibanjiri bantuan ekonomi dan militer untuk menjadikannya benteng NATO di Timur.


2. Pasukan dan Teknologi

Di Vietnam, lebih dari 500.000 tentara AS dikerahkan langsung untuk menjaga Saigon.

Israel dibekali Iron Dome, F-35, dan sistem AI pengawasan tempur dari Amerika.

Turki menjadi lokasi pangkalan militer penting (seperti Incirlik), serta penerima perangkat militer Barat.


3. Strategi dan Perlindungan Diplomatik

Strategi kontra-gerilya di Vietnam dan operasi militer Israel terhadap Gaza dirancang bersama Pentagon.

AS melindungi Tel Aviv di PBB dengan hak veto, bahkan di tengah tuduhan kejahatan perang.

Turki diarahkan untuk mengikuti agenda NATO meski sering bertentangan dengan aspirasi umat Muslim.



Mengapa Dukungan Itu Tak Menyelamatkan?

Bantuan luar negeri hanya menjadi berkah jika negara itu berdiri di atas fondasi kuat: legitimasi rakyat, keadilan sosial, dan arah politik yang bermartabat. Tanpa itu, bantuan asing justru menjadi bom waktu yang menanti kehancuran dari dalam.

1. Kehilangan Legitimasi Internal

Saigon dipimpin oleh rezim boneka yang korup dan represif. Ia dijauhi rakyatnya sendiri.

Tel Aviv hari ini berada di bawah pemerintahan yang kehilangan simpati baik dari kalangan kiri, kanan, maupun keluarga para tentara. Polarisasi menghancurkan kepercayaan.

Turki sekuler mencabut simbol Islam dari ruang publik: azan dilarang, jilbab ditekan, pendidikan Islam dikekang. Akibatnya? Rakyat tercerabut dari identitas dan sejarahnya.


2. Ketergantungan Total

Ketika AS menarik pasukan, Saigon runtuh hanya dalam hitungan hari.

Israel tak dapat berperang lama tanpa veto dan logistik dari Amerika.

Turki pra-Erdogan tidak dapat memutus siklus utang dan dominasi IMF, menjadikannya negara besar dengan jiwa kecil.


3. Menang Senjata, Kalah Narasi

Saigon dibanjiri senjata, tapi Viet Cong disambut sebagai pembebas karena narasi moral berpihak pada mereka.

Israel hari ini menang secara militer atas Gaza, tapi kalah secara moral di mata dunia.

Turki sekuler menang di panggung Barat, tapi kalah di hati rakyat sendiri.



Pemimpin: Akar Kerapuhan Negara

Nguyá»…n Văn Thiệu – Presiden Vietnam Selatan

Otoriter, paranoid, dan represif. Ia tidak membangun loyalitas rakyat, hanya loyal pada Washington. Ketika Saigon jatuh, ia kabur meninggalkan rakyatnya.

Benjamin Netanyahu – PM Israel

Populis ekstrem yang mempermainkan konflik untuk kepentingan politik. Dituduh korupsi, merusak sistem hukum, dan mendorong perang hanya demi bertahan di kursi kekuasaan. Kini, rakyat Israel sendiri mulai menuntut pengunduran dirinya.

Pemimpin Turki Sekuler (Pra-Erdogan)

Menerapkan sekularisme radikal yang memutus hubungan rakyat dengan Islam. Diam terhadap penjajahan Palestina, tunduk pada IMF, dan kehilangan arah sejarah sebagai bangsa besar bekas Khilafah.



Erdogan dan Kebangkitan Narasi Islam

Datanglah Recep Tayyip ErdoÄŸan, pemimpin yang—dengan segala kekurangan pribadinya—mengubah peta sejarah Turki.

Mengembalikan azan, madrasah, dan simbol Islam ke ruang publik.

Membuka kembali hubungan rakyat dengan sejarah Utsmani dan nilai Islam.

Mengurangi ketergantungan pada IMF dan mulai membangun industri strategis lokal, termasuk drone Bayraktar.

Berani bersuara untuk Palestina di forum internasional.

Hasilnya: Turki tak lagi dipandang sebagai pion kecil NATO, tapi sebagai kekuatan independen Muslim yang punya wibawa di dunia Islam dan dihormati kawan maupun lawan.



Saigon Tumbang, Tel Aviv Goyah, Turki Bangkit

Jika dibuat grafik moral-politik:

Saigon tumbang karena tidak dicintai rakyatnya.

Tel Aviv goyah, bukan karena senjata musuh, tapi karena kehilangan arah moral dan kohesi dalam negeri.

Turki bangkit, karena kembali berpijak pada identitas, iman, dan harga diri nasional.



Refleksi untuk Dunia Islam

Kita tidak kalah karena lemah. Kita kalah karena menyerahkan harga diri pada kekuatan asing.

Saigon memperlihatkan betapa lemahnya negara yang hanya hidup karena infus Barat.

Tel Aviv membuktikan bahwa teknologi tidak bisa menyelamatkan negara yang kehilangan moralitas dan kepercayaan rakyat.

Turki membuktikan bahwa kemandirian dan keberanian berdiri sendiri—meski dilawan dunia—adalah kunci kebangkitan yang sejati.



Pilihan Kita Hari Ini

Madinah di masa Rasulullah ï·º tidak dibangun dengan kekuatan asing, tapi dengan kekuatan iman, ukhuwah, dan nilai.

Tel Aviv hari ini dibangun dengan dana, tapi runtuh dalam jiwa.
Turki bangkit bukan karena dibantu, tapi karena kembali pada jati dirinya.

Umat Islam hari ini harus memilih: Ingin menjadi seperti Tel Aviv yang kuat tapi kosong,
Atau Madinah yang kecil tapi penuh berkah?

Ingin menjadi Turki yang dibimbing IMF, Atau Turki yang kembali kepada kehormatan Islam?

Capung: Penjaga Sunyi dari Langit, Penawar Hama di Kebun Oleh: Nasrulloh Baksolahar  Di suatu sore yang tenang, di antara sorot ...

Capung: Penjaga Sunyi dari Langit, Penawar Hama di Kebun

Oleh: Nasrulloh Baksolahar 


Di suatu sore yang tenang, di antara sorot matahari dan ujung pucuk daun, seekor capung melayang. Sayapnya bening, tubuhnya ramping berkilau, dan geraknya seperti jurus rahasia dari langit. Tidak bersuara. Tidak mencuri. Tapi penuh makna.

Capung sering dianggap makhluk tak penting. Tapi bagi petani yang jeli, ia bukan sekadar serangga, melainkan penanda rahmat, penjaga alam, dan kadang, tanda bahwa kebun sedang disayangi Tuhan.



Apa Itu Capung?

Capung adalah serangga dari ordo Odonata, dikenal dengan sayap transparan, terbang cepat, dan tubuh memanjang. Ia hidup di dua dunia: air dan udara. Masa kecilnya di air sebagai larva, dan setelah bermetamorfosis, ia terbang bebas sebagai makhluk langit.

Capung bukan serangga biasa. Ia predator alami, penjaga ketenangan di permukaan air dan pemangsa senyap di antara daun. Ia hidup bukan untuk mengganggu, tapi untuk menyeimbangkan.



Karakter Capung: Lincah, Tertib, dan Misterius

1. Pengendali udara yang piawai
Capung bisa terbang mundur, diam di tempat, dan meluncur cepat seperti peluru. Ia adalah pilot alami terbaik di dunia serangga.

2. Tak pernah hinggap sembarangan
Capung memilih ranting tertinggi, titik cahaya terbaik. Ia tahu di mana ia harus terlihat dan kapan harus menghilang.

3. Tak mengganggu tanaman, tapi memangsa pengganggu tanaman
Capung memakan nyamuk, lalat kecil, ulat terbang, dan serangga pengisap daun.


Di tengah kebun, capung adalah penegak keadilan tanpa pengadilan.



Kehidupan Capung: Siang Aktif, Malam Menghilang

Capung adalah makhluk diurnal, aktif saat cahaya matahari menyentuh dedaunan.
Ia suka terbang di sekitar air, sawah, kanal, atau parit yang bersih.

Saat malam, ia bersembunyi. Bukan karena takut, tapi karena tahu: waktu malam bukan ladangnya.

Kehadirannya adalah simbol cahaya. Jika capung sering terlihat, maka cahaya kebun Anda masih utuh.



Apa Makanan Capung?

Capung tidak makan daun, tidak mengganggu bunga, apalagi batang tanaman. Ia adalah pemangsa:

Nyamuk

Serangga kecil

Ngengat

Kutu kebul

Lalat buah muda


Bahkan capung muda (nimfa) di air pun menjadi predator jentik nyamuk dan larva hama tanaman air.

Ia bekerja tanpa upah, tanpa pestisida, tanpa pamrih.



Tanda Kehadiran Capung di Kebun

Terbang rendah di atas semak, kanal, atau bunga

Mengambang sebentar lalu melesat seperti kilat

Hinggap di pucuk ranting yang tinggi

Muncul di pagi dan sore hari saat udara bersih dan hangat


Jika kebun Anda tak pernah dikunjungi capung, mungkin airnya terlalu kotor, udaranya terlalu beracun, atau pestisida terlalu banyak disemprotkan.



Apakah Capung Membantu Pembuahan Tanaman?

Tidak secara langsung. Capung bukan penyerbuk. Ia tidak mengisap nektar, tidak membawa serbuk sari, dan tidak masuk ke kelopak bunga.

Tapi secara tidak langsung, capung melindungi bunga dari perusak, seperti lalat buah dan ulat pemakan kelopak.

Jadi meski bukan penyerbuk, capung adalah penjaga bunga. Ia memastikan calon buah tidak dirusak sebelum sempat berkembang.



Apakah Capung Makan Batang? Apakah Itu Menumbuhkan Tunas Baru?

Tidak. Capung tidak makan batang, daun, atau bagian tanaman apa pun. Ia bukan herbivora.
Namun dengan memangsa hama daun dan bunga, capung menjaga kesehatan tanaman.

Dan tanaman yang sehat, dengan daun utuh dan bunga terlindungi, akan:

Tumbuh lebih banyak cabang

Menghasilkan lebih banyak daun muda

Lebih siap menghasilkan bunga dan buah

Dalam ekosistem, capung tidak membuat luka. Tapi menjaga agar luka tidak bertambah. Itu peran spiritualnya.




Capung dan Doa Pertanian yang Tak Tertulis

Capung seperti malaikat kecil. Ia tidak bersuara, tapi setiap kepakan sayapnya seperti doa penjaga pertanian:
"Ya Tuhan, lindungi pohon ini dari hama, beri ruang bagi bunga untuk mekar, dan jadikan kebun ini layak bagi kehidupan."

Kehadiran capung adalah tanda bahwa kebun sedang diawasi langit.
Karena capung hanya datang ke tempat yang airnya jernih, udaranya bersih, dan pohonnya penuh kehidupan.



Saat Capung Datang, Jangan Dihalau—Tapi Disyukuri

Di tengah dunia yang sibuk menyemprot pestisida, memotong ranting sehat, dan menebang kebun demi proyek, capung datang sebagai pengingat bahwa ada cara bertani yang lebih damai.

Bertani bukan hanya soal hasil, tapi juga soal harmoni.
Dan capung, dengan sayap bening dan mata tajamnya, adalah guru ekosistem yang kita lupakan.

Jangan buru-buru membasmi semua ulat, jangan racuni semua semak.
Biarkan capung datang. Biarkan ia menjaga.

Karena selama capung masih bersedia menari di kebun Anda, berarti alam belum menyerah untuk hidup bersama Anda.




  Kupu-Kupu: Dari Sayap Luka Menuju Buah Kehidupan Oleh: Nasrulloh Baksolahar  Ia datang tanpa suara, hinggap sebentar, lalu ter...



 
Kupu-Kupu: Dari Sayap Luka Menuju Buah Kehidupan

Oleh: Nasrulloh Baksolahar 

Ia datang tanpa suara, hinggap sebentar, lalu terbang menari di antara bunga. Tak mencakar, tak mencuri, tak menyengat. Tapi kehadirannya seperti doa diam yang dikirim langit: tanda bahwa kebun masih bernapas, bunga masih berharap, dan alam belum sepenuhnya mati oleh racun manusia.

Itulah kupu-kupu—makhluk mungil yang lembut, tapi menyimpan kekuatan besar: penyerbuk, penanda ekosistem sehat, dan saksi perjalanan spiritual tanaman dari luka menuju buah.



Dari Ulat yang Dibenci, Lahir Kupu-Kupu yang Dicintai

Tak ada kupu-kupu yang lahir indah. Semuanya bermula dari ulat—makhluk yang sering dianggap hama, pemakan daun, pengganggu pohon. Tapi justru dari tubuh ulat yang rakus dan dipandang jijik itu, lahirlah keajaiban.

Kupu-kupu tidak muncul dari kemewahan. Ia lahir dari kepompong sepi, dari luka daun yang dimakan, dari proses panjang yang tak instan. Sama seperti kebun yang perlu musim kering sebelum panen besar. Seperti manusia yang perlu kesabaran sebelum kematangan.

Alam mengajarkan satu hukum suci: keindahan bukan hadiah, tapi hasil dari luka yang diterima dan ditumbuhkan.




Si Penari Siang Hari: Kupu-Kupu dan Ritme Cahaya

Berbeda dengan ngengat yang aktif malam, kupu-kupu adalah penari siang hari. Mereka mencintai sinar mentari, aroma bunga, dan udara hangat.

Ketika pagi merekah dan bunga mulai mekar, kupu-kupu datang bukan untuk memperindah taman, tapi untuk bekerja. Mereka mencari nektar—cairan manis dari bunga—dan dalam proses itu, serbuk sari menempel di tubuhnya dan berpindah ke bunga lain.

Apa yang terjadi? Penyerbukan.
Dan apa hasilnya? Buah.

Tanpa disadari, kupu-kupu adalah pembawa benih kehidupan, penghubung bunga dan buah, antara keindahan dan kebermanfaatan.



Makanan Kupu-Kupu: Manisnya Kehidupan yang Tak Merusak

Kupu-kupu tidak menggigit daun, tidak melubangi batang, tidak memakan buah.
Ia hanya mengisap nektar bunga, cairan dari buah yang matang, atau air dari tanah basah.

Di sini letak perbedaan spiritualnya dengan ulat:

Ulat tumbuh dengan melukai,

Kupu-kupu hidup dengan menyambung.


Dan bukankah begitu seharusnya manusia? Belajar dari luka, lalu menjadi penyejuk yang menyatukan kehidupan.



Tanda Kehadiran Kupu-Kupu: Kebun Masih Disayangi Langit

Jika di kebun Anda banyak kupu-kupu, itu bukan hanya indah. Itu indikasi spiritual-ekologis bahwa:

Tanaman Anda menghasilkan bunga sehat.

Tidak ada pestisida berlebihan.

Masih ada rantai kehidupan: dari bunga, ulat, burung, hingga manusia.

Alam masih bersedia menitipkan penari suci ke tempat itu.


Kupu-kupu tak datang ke kebun yang beracun. Mereka hanya hadir di tempat yang alam percaya masih pantas dititipi kehidupan.




Apakah Kupu-Kupu Membantu Pembuahan Tanaman?

Ya. Dan bahkan sangat penting.

Banyak tanaman buah—mangga, jambu, belimbing, pepaya, semangka—bergantung pada penyerbuk alami. Selain lebah, kupu-kupu adalah pekerja yang senyap tapi efektif.
Tanpa mereka, proses reproduksi tanaman bisa terganggu.
Tanpa mereka, bunga hanya menjadi bunga, tidak menjadi buah.

Mereka bukan hanya memperindah taman.
Mereka menyambung hidup.



Apakah Kupu-Kupu Merusak atau Membantu Pertumbuhan Cabang Baru?

Kupu-kupu tidak memakan batang atau daun, sehingga tidak secara langsung menyebabkan tumbuhnya cabang baru. Namun, fase sebelum menjadi kupu-kupu—yakni ulat—sering menggigit batang muda atau daun.

Ironisnya, batang yang digigit ulat justru kadang melahirkan tunas baru, cabang muda, atau bunga baru. Ini seperti hukum kehidupan:
rasa sakit bisa memicu kebangkitan.
Daun yang luka bisa melahirkan pucuk harapan.



Kupu-Kupu dan Jiwa Pertanian

Kupu-kupu mengajarkan kita bahwa keindahan lahir dari proses, bukan dari permulaan yang sempurna.
Ia mengajarkan bahwa kerusakan tak selalu akhir, tapi bisa menjadi jalan pertumbuhan.
Ia mengingatkan kita bahwa alam tak butuh manusia sebagai penguasa, tapi sebagai penjaga.

Jika kita bisa menciptakan kebun yang cukup ramah bagi kupu-kupu, maka mungkin kita juga bisa menciptakan dunia yang cukup ramah bagi anak cucu kita.
Karena di balik sayap lembut kupu-kupu, ada pesan keras dari langit: “Rawat yang kecil, maka yang besar akan terjaga.”


Dari Bunga ke Buah, dari Luka ke Keindahan

Kupu-kupu tidak hanya membantu pembuahan. Ia mewakili rahmat ekologi, simbol kehadiran langit di kebun kita.

Ia tidak memotong, tidak menyiram, tidak mencangkul. Tapi tanpanya, banyak buah tak akan jadi. Banyak bunga hanya akan layu tanpa pernah berbuah.

Maka jika Anda melihat kupu-kupu hinggap di kebun Anda, jangan hanya kagumi sayapnya.
Lihat juga jiwanya.
Karena ia tak hanya membawa warna—ia membawa kehidupan yang diam-diam kita harapkan.



Ulat: Si Pemakan Daun yang Diam-diam Menyuburkan Kehidupan Oleh: Nasrulloh Baksolahar  Banyak orang melihat ulat sebagai musuh t...



Ulat: Si Pemakan Daun yang Diam-diam Menyuburkan Kehidupan

Oleh: Nasrulloh Baksolahar 

Banyak orang melihat ulat sebagai musuh tanaman. Wajahnya tak ramah, jalannya pelan dan menggerogoti daun tanpa ampun. Ia dianggap perusak, pengganggu, dan hama yang harus segera dienyahkan. Tapi benarkah ulat hanya serangga perusak?

Atau justru, dalam diam dan rakusnya, ulat menyimpan pelajaran penting tentang pertumbuhan, pembaharuan, dan keseimbangan alam?


Apa Itu Ulat?

Ulat adalah larva dari kupu-kupu atau ngengat. Ia bukan serangga dewasa, tapi fase awal dari makhluk bersayap indah yang sering kita kagumi di taman-taman bunga.
Sebelum menjadi kupu-kupu penyerbuk, ia menjalani hidup sebagai ulat—tahap yang paling “kasar” dan sering dibenci manusia.

Namun di sinilah letak ironi:
Kita mencintai kupu-kupu, tapi membenci ulat yang menjadi jalannya.



Karakter Ulat: Pemakan Rakus yang Tak Pernah Minta Maaf

Ulat adalah pemakan ulung. Tubuh lunaknya bersegmen, dilengkapi mulut penggigit yang efektif menghancurkan daun. Ia tidak meminta izin, tidak berpura-pura, tidak membuang waktu.

Beberapa ulat berbulu dan bisa menyebabkan iritasi, tapi sebagian besar tidak berbahaya bagi manusia. Mereka hanya sibuk dengan satu hal: makan untuk tumbuh.

Ia lahir kecil, lalu makan tanpa henti. Dalam beberapa hari, ukurannya bisa membesar beberapa kali lipat. Dan ketika tiba waktunya, ia berhenti makan, membungkus diri dalam kepompong, dan… diam.

Di dalam keheningan itulah, keajaiban metamorfosis terjadi.



Siang, Malam, dan Kehidupan Diam-Diam

Tak semua ulat aktif di siang hari. Beberapa bersembunyi di balik daun atau tanah, lalu keluar di malam hari untuk makan. Mereka tahu kapan harus menyelinap, kapan harus menampakkan diri.

Ulat tidak bersuara. Tapi jejaknya terasa: daun yang hilang, batang yang berlubang, dan bunga yang tertunda mekar.

Namun, apakah semua itu kerugian?



Makanan Ulat: Daun, Bunga, Kadang Buah

Ulat adalah herbivora, pemakan daun, bunga, dan kadang buah muda. Ini yang membuat petani resah. Mereka takut panen gagal karena ulat mengunyah apa yang mestinya jadi hasil.

Tapi siapa sangka, dari batang yang digigit ulat, terkadang justru tumbuh cabang baru, daun muda, bahkan tunas bunga.

Dalam dunia pertanian, ini dikenal sebagai efek pemangkasan alami. Sama seperti manusia yang memangkas ranting untuk merangsang pertumbuhan, ulat melakukannya dengan cara yang lebih kasar, tapi hasilnya bisa serupa: pemulihan dan regenerasi.



Tanda Kehadiran Ulat di Kebun

Ulat tidak mudah disadari, tapi meninggalkan banyak jejak:

Daun berlubang atau habis separuh

Daun menggulung, sering kali tempat ulat bersembunyi

Butiran kotoran kecil (frass) di bawah daun

Jejak lendir atau gigi di bunga dan buah muda

Kemunculan kupu-kupu dewasa di sekitar kebun (karena berarti sebelumnya ada ulat)



Apakah Ulat Membantu Pembuahan Tanaman?

Jawabannya: tidak secara langsung.

Ulat justru sering memakan bunga atau daun muda yang penting untuk pembuahan. Tapi setelah ia menjadi kupu-kupu dewasa, ia bisa berperan sebagai penyerbuk alami.
Artinya, fase ulat adalah jalan menuju fase penyerbuk.

Namun, kehadiran ulat juga menyumbang sesuatu yang lebih dalam:

Ia mengundang burung pemangsa, yang juga membantu mengontrol hama lain.

Ia membuka ruang untuk pertumbuhan cabang baru dari batang yang digigitnya.

Ia memberi pelajaran tentang keseimbangan dan keterbatasan.



Ulat dalam Perspektif Ekosistem: Hama atau Katalis Kehidupan?

Ulat memang bisa merusak jika jumlahnya tak terkendali. Tapi dalam jumlah alami, ia adalah bagian penting dari siklus hidup:

Makan daun → membuka ruang tunas baru

Dimakan burung → mendukung rantai makanan

Jadi kupu-kupu → membantu penyerbukan

Mati → jadi pupuk mikroorganisme


Dalam ekosistem kebun yang sehat, ulat bukan musuh, melainkan bagian dari orkestra kehidupan.



Yang Tampak Merusak, Belum Tentu Merugikan

Petani sering menganggap ulat sebagai pengganggu. Tapi bagaimana jika kita ubah cara pandangnya?

Ulat bisa dilihat sebagai pemangkas alami yang mendorong pertumbuhan baru.
Sebagai uji kesabaran sebelum panen.
Bahkan sebagai guru kehidupan: ia mengajari kita tentang pertumbuhan yang menyakitkan, proses yang rakus, dan keindahan yang lahir dari kesunyian kepompong.

Tanpa ulat, tidak akan ada kupu-kupu.
Dan tanpa luka pada daun, barangkali tak akan tumbuh cabang baru.



Ulat, Sang Pengganggu yang Mengandung Potensi

Jika Anda menemukan ulat di kebun Anda, jangan buru-buru membunuh semuanya.
Lihat dulu: berapa jumlahnya, apakah masih dalam kendali, apakah sudah mengganggu keseimbangan?

Karena kadang, yang tampak sebagai perusak, justru pemicu kehidupan baru.
Dan ulat, sang pemakan daun yang dibenci itu, bisa jadi penyubur rahasia yang tak kita sadari.

Bunglon di Kebun: Penjaga Tak Bernama yang Tak Pernah Diminta Terima Kasih Oleh: Nasrulloh Baksolahar  Di kebun-kebun buah, kita...

Bunglon di Kebun: Penjaga Tak Bernama yang Tak Pernah Diminta Terima Kasih

Oleh: Nasrulloh Baksolahar 


Di kebun-kebun buah, kita biasa berbicara tentang pupuk, hama, hasil panen, dan harga pasar. Tapi ada satu makhluk yang jarang disebut, jarang disadari, dan bahkan sering diusir karena dianggap aneh, lambat, dan tak berguna. Ia tak berisik, tak memakan buah, bahkan tak meninggalkan jejak kerusakan apa pun.

Tapi justru makhluk inilah yang berjasa menjaga daun tetap hijau, bunga tetap utuh, dan buah tetap tumbuh.
Namanya: bunglon.



Ia Tidak Membawa Paku atau Pisau, Tapi Menjaga Lebih Baik dari Banyak Petani

Bunglon tidak butuh upah, tidak minta pujian, tidak mencari perhatian. Ia hanya hadir di kebun—diam, lambat, dan menyatu dengan batang pohon.

Tapi ia punya keahlian yang tidak dimiliki manusia: menangkap hama tanpa pestisida, membasmi ulat tanpa racun, dan menjaga keseimbangan kebun hanya dengan menjadi dirinya sendiri.

Bunglon tidak mencangkul, tapi ia bekerja lebih tenang dari petani. Ia tidak menanam, tapi menjaga apa yang kita tanam.



Di Mana Bunglon, Di Situ Kebun Masih Waras

Jika Anda melihat bunglon di kebun Anda, itu bukan sekadar penampakan satwa liar. Itu adalah pertanda ekosistem Anda masih hidup. Bahwa masih ada rantai makanan, bahwa pohon Anda masih menarik serangga alami, dan bahwa lingkungan belum terlalu rusak oleh pestisida kimia.

Karena bunglon tidak akan hidup di tempat yang mati.

Bunglon datang ketika ada ulat untuk ia buru.
Bunglon tinggal jika pohon-pohon punya ranting untuk ia pegang.
Dan bunglon akan bertahan jika manusia membiarkan ia bekerja dalam sunyi.



Bunglon Tidak Mengotori, Tidak Mengganggu, Tapi Dianggap Mengganggu

Ironi manusia modern: mengusir yang tidak merusak, dan memelihara yang merusak.

Berapa banyak petani yang mengusir bunglon karena "takut warna kulitnya berubah"?
Berapa banyak orang tua yang mengajarkan anaknya bahwa bunglon itu “menyeramkan”?
Padahal bunglon tidak menggigit, tidak beracun, dan tidak pernah memakan buah atau bunga.

Ia hanya memakan belalang, ulat, lalat buah, dan serangga-serangga kecil yang justru sering merugikan panen.



Apakah Bunglon Membantu Pembuahan?

Tidak secara langsung.

Bunglon bukan lebah. Ia tidak memindahkan serbuk sari dari bunga ke bunga. Tapi ia melakukan sesuatu yang lebih sunyi, tapi tak kalah penting:
Menjaga bunga tetap utuh sebelum ia sempat diserbuki.

Bayangkan: seekor ulat bisa membuat bunga rontok. Seekor belalang bisa menggigit kelopak.
Tapi jika bunglon hadir, ulat itu tidak sempat menggigit. Belalang itu tidak sempat melompat.

Bunglon bukan penyubur, tapi ia penjaga. Dan kadang, penjaga lebih penting daripada pemupus.



Si Penjaga yang Tak Punya Lencana

Di dunia manusia, penjaga dihargai karena berseragam. Tapi di dunia tumbuhan, penjaga seperti bunglon tidak bersuara, tidak berseragam, dan tidak punya lencana.

Ia hanya menyatu dengan dahan, berubah warna mengikuti matahari, dan muncul kadang kala seperti pesan dari alam bahwa "masih ada yang peduli, meski tak terlihat".

Kita mungkin tidak pernah mengucap terima kasih. Tapi pohon buah tahu siapa yang menjaga mereka diam-diam.



Bunglon Tidak Membuat Panen Berlimpah, Tapi Menjaga agar Tak Gagal

Petani sering berpikir soal panen besar. Tapi siapa yang berpikir soal kegagalan panen akibat hama?

Kita terlalu sibuk menghitung pupuk dan pestisida, hingga lupa bahwa ada yang menjaga bunga tetap utuh tanpa biaya. Bunglon adalah bagian dari sistem alam yang tak butuh instruksi. Ia datang ketika diperlukan, dan pergi ketika ekosistem sudah rusak.

Pertanyaannya: apakah kita masih memberi ruang untuk ia tinggal?



Belajar dari Bunglon yang Sabar

Bunglon tidak protes ketika kita menyemprot pestisida dan membunuh serangga yang jadi makanannya.
Ia tidak marah saat dahan tempat ia tidur ditebang.
Ia tidak menggigit ketika ditangkap dan dibuang jauh.

Tapi barangkali, kita yang perlu belajar darinya:
Bagaimana bekerja dalam diam.
Bagaimana menjaga yang kita cintai tanpa perlu sorotan.
Bagaimana setia pada peran meski tak pernah disapa terima kasih.



Jika Anda Melihat Bunglon di Kebun Anda…

…berhentilah sejenak.
Lihatlah bagaimana ia berjalan pelan, bagaimana matanya mengamati dua arah, dan bagaimana tubuhnya menyatu dengan daun.

Lalu ucapkan dalam hati:

“Terima kasih, penjaga sunyi. Teruslah tinggal di sini. Kami butuh kamu, meski kami sering lupa bahwa kamu ada.”

Dan mungkin, saat itu, kebun Anda menjadi lebih hidup dari sebelumnya.


Esai ini ditulis untuk membuka mata para petani, pencinta tanaman, dan siapa saja yang percaya bahwa alam tak pernah bekerja sendirian. Terkadang, penjaga terbaik adalah yang tak kita sadari kehadirannya.

Dari Mu’tah ke Gaza: Ketika Panglima Gugur, Perlawanan Justru Bangkit Oleh: Nasrulloh Baksolahar Israel membunuh para pemimpin G...

Dari Mu’tah ke Gaza: Ketika Panglima Gugur, Perlawanan Justru Bangkit

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Israel membunuh para pemimpin Gaza, berharap perlawanan padam. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: lahir generasi baru, lebih cerdas, lebih berani, dan lebih mematikan

Dalam sejarah militer Islam, Perang Mu’tah adalah pelajaran besar tentang krisis dan kebangkitan. Ketika tiga panglima Muslim gugur secara beruntun—Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah—pasukan Islam tidak lumpuh. Mereka bermusyawarah, menunjuk pemimpin baru di tengah kobaran perang, dan terus melanjutkan perjuangan. Dari situ lahirlah Khalid bin Walid, panglima muda yang cerdas dan taktis, yang menyelamatkan pasukan dari kehancuran total melalui manuver mundur strategis.

1.400 tahun kemudian, sejarah itu seperti berulang. Di Gaza—tanah yang tidak jauh dari tapal batas Mu’tah—para pemimpin perlawanan Palestina dibunuh satu per satu oleh Israel. Dari Syekh Ahmad Yasin, Dr. Rantisi, Abu al-Ata, hingga puluhan komandan Al-Qassam dan Saraya Al-Quds, tak satu pun dibiarkan hidup lama. Tapi alih-alih perlawanan melemah, Gaza justru menjadi lebih berani, lebih terorganisir, dan lebih canggih dalam taktik perang kota dan infiltrasi.



Mu’tah dan Gaza: Dua Medan, Satu Spirit

Mu’tah dan Gaza mungkin berbeda zaman, tapi keduanya menyimpan semangat yang sama: ketika panglima gugur, ruh perjuangan justru menyala.

Di Mu’tah, 3.000 pasukan Muslim menghadapi lebih dari 100.000 pasukan Romawi dan Arab Kristen. Ketika tiga pemimpin syahid, para sahabat tidak menunggu perintah pusat. Mereka bermusyawarah di medan perang dan memilih Khalid bin Walid, pemuda yang bahkan belum lama masuk Islam. Hasilnya luar biasa: bukan hanya keselamatan pasukan, tapi munculnya strategi militer Islam yang fleksibel dan adaptif.

Di Gaza, strategi serupa hidup kembali dalam bentuk modern. Israel menyangka bahwa dengan membunuh tokoh sentral, mereka bisa mematikan arah. Tapi Gaza telah menyiapkan sistem regenerasi jauh lebih cepat dari kecepatan rudal. Saat satu pemimpin gugur, sepuluh lainnya sudah selesai dilatih di terowongan, di masjid, di ruang bawah tanah yang sunyi tapi penuh tekad.



Israel Membunuh, Tapi Tak Memahami

Israel percaya pada dogma militer konvensional: kill the commander, collapse the troops. Tapi sistem Islam tidak bekerja seperti itu. Kepemimpinan bukan terpusat pada satu figur. Ia terdistribusi dalam kesadaran umat.

Di Gaza, perlawanan tidak dibangun di atas figur, tapi pada jaringan, musyawarah, dan kesadaran akidah. Mereka tidak hanya mengganti panglima, tapi melahirkan pola perlawanan baru: sistem shura internal, kaderisasi militer organik, dan keahlian teknologi tempur yang terus berkembang—dari roket jarak menengah, drone penyusup, hingga sabotase jaringan komunikasi dan penyergapan urban.

Sementara itu, ironisnya, Israel justru mengalami krisis mobilisasi. Rakyatnya ogah direkrut. Tentara muda dilanda trauma karena membunuh anak-anak. Para pemimpin politik mereka sibuk bertengkar, saling menyalahkan. Negara yang membunuh panglima lawan, justru tak mampu mencetak prajurit sendiri.



Kesamaan yang Tak Terbantahkan

Mu’tah dan Gaza sama-sama memperlihatkan bahwa kekuatan Islam terletak pada jiwa kolektif yang sadar dan siap berkorban.

Di Mu’tah, pasukan selamat bukan karena jumlah, tapi karena kesatuan hati dan kecerdasan kolektif. Di Gaza, perlawanan bertahan bukan karena senjata, tapi karena kesadaran jihad yang hidup di dada rakyatnya.

Di Mu’tah, taktik Khalid bin Walid menyelamatkan pasukan dari kehancuran total. Di Gaza, taktik gabungan para komandan muda menghasilkan operasi-operasi spektakuler seperti Tufan al-Aqsa, penyergapan pasukan elite Israel, dan penguasaan wilayah yang tak disangka.

Di Mu’tah, lawannya adalah Byzantium, superpower abad ke-7. Di Gaza, lawannya adalah Israel, negara nuklir dengan teknologi tempur tercanggih di Timur Tengah. Tapi keduanya sama-sama terbentur pada satu tembok tak kasat mata: ruh jihad dan semangat yang tidak bisa dihancurkan dengan senjata.



Kemenangan yang Lahir dari Kesadaran

Apa yang menyatukan Mu’tah dan Gaza bukan hanya sejarah, tapi model peradaban kepemimpinan Islam.

Rasulullah ï·º tidak membangun umat yang bergantung pada satu tokoh. Beliau membangun sistem: jika pemimpin gugur, maka umat siap melahirkan pemimpin baru dari barisan. Gaza adalah pengejawantahan modern dari sistem itu: tanpa negara, tanpa senjata canggih, tapi dengan kesadaran jihad yang diwariskan secara ruhiyah.

Israel menghancurkan rumah-rumah, tapi tidak bisa menghancurkan cita-cita. Mereka membunuh para komandan, tapi tidak bisa membunuh keyakinan. Mereka meledakkan markas, tapi tidak tahu bahwa basis perlawanan sejati hidup di dada anak-anak yang kehilangan ayahnya.



Jika Panglima Gugur, Siapa yang Bangkit?

Di Mu’tah, yang bangkit adalah Khalid bin Walid.
Di Gaza, yang bangkit adalah ribuan Khalid—tanpa nama, tanpa pangkat, tapi dengan kecerdasan dan keimanan.

Perlawanan bukan di tangan satu orang. Tapi di dada setiap yang beriman.
Dan selagi ruh itu hidup, perang belum berakhir—karena jiwa umat tak bisa dibunuh.

Jika dunia bertanya, mengapa Gaza tidak tumbang meski pemimpinnya terus dibunuh, maka jawablah:
Karena mereka tidak dipimpin oleh satu komandan. Mereka dipimpin oleh kesadaran.
Dan kesadaran, tidak bisa dibunuh dengan drone.

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (356) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (542) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (27) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (7) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (230) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (505) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (489) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (250) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (228) Sirah Sahabat (150) Sirah Tabiin (42) Sirah Ulama (144) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)