Belajar dari Saigon, Tel Aviv, dan Turki: Ketika Dukungan Amerika Tak Lagi Menyelamatkan
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Sejarah modern menyimpan ironi pahit: negara-negara yang paling disokong oleh Amerika Serikat—dengan dana, teknologi, pasukan, diplomasi, dan narasi perang—justru tak jarang menjadi yang paling hancur dari dalam. Saigon (1975), Tel Aviv (2024), dan Turki sebelum era Erdogan adalah tiga kisah tragis sekaligus pelajaran besar bagi dunia Islam dan dunia ketiga: bahwa kekuatan asing tidak bisa menggantikan kemandirian, legitimasi rakyat, dan arah sejarah yang benar.
Dukungan Amerika: Total, Tapi Tidak Menyelamatkan
Ketiga negara/kota ini adalah “anak emas” dalam agenda strategis AS:
1. Dana dan Bantuan Ekonomi
Saigon menerima miliaran dolar selama perang Vietnam untuk mendirikan pemerintahan anti-komunis.
Israel (Tel Aviv) rutin menerima $3,8 miliar per tahun, menjadikannya penerima bantuan terbesar dari AS sejak 1979.
Turki sekuler dibanjiri bantuan ekonomi dan militer untuk menjadikannya benteng NATO di Timur.
2. Pasukan dan Teknologi
Di Vietnam, lebih dari 500.000 tentara AS dikerahkan langsung untuk menjaga Saigon.
Israel dibekali Iron Dome, F-35, dan sistem AI pengawasan tempur dari Amerika.
Turki menjadi lokasi pangkalan militer penting (seperti Incirlik), serta penerima perangkat militer Barat.
3. Strategi dan Perlindungan Diplomatik
Strategi kontra-gerilya di Vietnam dan operasi militer Israel terhadap Gaza dirancang bersama Pentagon.
AS melindungi Tel Aviv di PBB dengan hak veto, bahkan di tengah tuduhan kejahatan perang.
Turki diarahkan untuk mengikuti agenda NATO meski sering bertentangan dengan aspirasi umat Muslim.
Mengapa Dukungan Itu Tak Menyelamatkan?
Bantuan luar negeri hanya menjadi berkah jika negara itu berdiri di atas fondasi kuat: legitimasi rakyat, keadilan sosial, dan arah politik yang bermartabat. Tanpa itu, bantuan asing justru menjadi bom waktu yang menanti kehancuran dari dalam.
1. Kehilangan Legitimasi Internal
Saigon dipimpin oleh rezim boneka yang korup dan represif. Ia dijauhi rakyatnya sendiri.
Tel Aviv hari ini berada di bawah pemerintahan yang kehilangan simpati baik dari kalangan kiri, kanan, maupun keluarga para tentara. Polarisasi menghancurkan kepercayaan.
Turki sekuler mencabut simbol Islam dari ruang publik: azan dilarang, jilbab ditekan, pendidikan Islam dikekang. Akibatnya? Rakyat tercerabut dari identitas dan sejarahnya.
2. Ketergantungan Total
Ketika AS menarik pasukan, Saigon runtuh hanya dalam hitungan hari.
Israel tak dapat berperang lama tanpa veto dan logistik dari Amerika.
Turki pra-Erdogan tidak dapat memutus siklus utang dan dominasi IMF, menjadikannya negara besar dengan jiwa kecil.
3. Menang Senjata, Kalah Narasi
Saigon dibanjiri senjata, tapi Viet Cong disambut sebagai pembebas karena narasi moral berpihak pada mereka.
Israel hari ini menang secara militer atas Gaza, tapi kalah secara moral di mata dunia.
Turki sekuler menang di panggung Barat, tapi kalah di hati rakyat sendiri.
Pemimpin: Akar Kerapuhan Negara
Nguyá»…n Văn Thiệu – Presiden Vietnam Selatan
Otoriter, paranoid, dan represif. Ia tidak membangun loyalitas rakyat, hanya loyal pada Washington. Ketika Saigon jatuh, ia kabur meninggalkan rakyatnya.
Benjamin Netanyahu – PM Israel
Populis ekstrem yang mempermainkan konflik untuk kepentingan politik. Dituduh korupsi, merusak sistem hukum, dan mendorong perang hanya demi bertahan di kursi kekuasaan. Kini, rakyat Israel sendiri mulai menuntut pengunduran dirinya.
Pemimpin Turki Sekuler (Pra-Erdogan)
Menerapkan sekularisme radikal yang memutus hubungan rakyat dengan Islam. Diam terhadap penjajahan Palestina, tunduk pada IMF, dan kehilangan arah sejarah sebagai bangsa besar bekas Khilafah.
Erdogan dan Kebangkitan Narasi Islam
Datanglah Recep Tayyip ErdoÄŸan, pemimpin yang—dengan segala kekurangan pribadinya—mengubah peta sejarah Turki.
Mengembalikan azan, madrasah, dan simbol Islam ke ruang publik.
Membuka kembali hubungan rakyat dengan sejarah Utsmani dan nilai Islam.
Mengurangi ketergantungan pada IMF dan mulai membangun industri strategis lokal, termasuk drone Bayraktar.
Berani bersuara untuk Palestina di forum internasional.
Hasilnya: Turki tak lagi dipandang sebagai pion kecil NATO, tapi sebagai kekuatan independen Muslim yang punya wibawa di dunia Islam dan dihormati kawan maupun lawan.
Saigon Tumbang, Tel Aviv Goyah, Turki Bangkit
Jika dibuat grafik moral-politik:
Saigon tumbang karena tidak dicintai rakyatnya.
Tel Aviv goyah, bukan karena senjata musuh, tapi karena kehilangan arah moral dan kohesi dalam negeri.
Turki bangkit, karena kembali berpijak pada identitas, iman, dan harga diri nasional.
Refleksi untuk Dunia Islam
Kita tidak kalah karena lemah. Kita kalah karena menyerahkan harga diri pada kekuatan asing.
Saigon memperlihatkan betapa lemahnya negara yang hanya hidup karena infus Barat.
Tel Aviv membuktikan bahwa teknologi tidak bisa menyelamatkan negara yang kehilangan moralitas dan kepercayaan rakyat.
Turki membuktikan bahwa kemandirian dan keberanian berdiri sendiri—meski dilawan dunia—adalah kunci kebangkitan yang sejati.
Pilihan Kita Hari Ini
Madinah di masa Rasulullah ï·º tidak dibangun dengan kekuatan asing, tapi dengan kekuatan iman, ukhuwah, dan nilai.
Tel Aviv hari ini dibangun dengan dana, tapi runtuh dalam jiwa.
Turki bangkit bukan karena dibantu, tapi karena kembali pada jati dirinya.
Umat Islam hari ini harus memilih: Ingin menjadi seperti Tel Aviv yang kuat tapi kosong,
Atau Madinah yang kecil tapi penuh berkah?
Ingin menjadi Turki yang dibimbing IMF, Atau Turki yang kembali kepada kehormatan Islam?
0 komentar: