Dari Mu’tah ke Gaza: Ketika Panglima Gugur, Perlawanan Justru Bangkit
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Israel membunuh para pemimpin Gaza, berharap perlawanan padam. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: lahir generasi baru, lebih cerdas, lebih berani, dan lebih mematikan
Dalam sejarah militer Islam, Perang Mu’tah adalah pelajaran besar tentang krisis dan kebangkitan. Ketika tiga panglima Muslim gugur secara beruntun—Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah—pasukan Islam tidak lumpuh. Mereka bermusyawarah, menunjuk pemimpin baru di tengah kobaran perang, dan terus melanjutkan perjuangan. Dari situ lahirlah Khalid bin Walid, panglima muda yang cerdas dan taktis, yang menyelamatkan pasukan dari kehancuran total melalui manuver mundur strategis.
1.400 tahun kemudian, sejarah itu seperti berulang. Di Gaza—tanah yang tidak jauh dari tapal batas Mu’tah—para pemimpin perlawanan Palestina dibunuh satu per satu oleh Israel. Dari Syekh Ahmad Yasin, Dr. Rantisi, Abu al-Ata, hingga puluhan komandan Al-Qassam dan Saraya Al-Quds, tak satu pun dibiarkan hidup lama. Tapi alih-alih perlawanan melemah, Gaza justru menjadi lebih berani, lebih terorganisir, dan lebih canggih dalam taktik perang kota dan infiltrasi.
Mu’tah dan Gaza: Dua Medan, Satu Spirit
Mu’tah dan Gaza mungkin berbeda zaman, tapi keduanya menyimpan semangat yang sama: ketika panglima gugur, ruh perjuangan justru menyala.
Di Mu’tah, 3.000 pasukan Muslim menghadapi lebih dari 100.000 pasukan Romawi dan Arab Kristen. Ketika tiga pemimpin syahid, para sahabat tidak menunggu perintah pusat. Mereka bermusyawarah di medan perang dan memilih Khalid bin Walid, pemuda yang bahkan belum lama masuk Islam. Hasilnya luar biasa: bukan hanya keselamatan pasukan, tapi munculnya strategi militer Islam yang fleksibel dan adaptif.
Di Gaza, strategi serupa hidup kembali dalam bentuk modern. Israel menyangka bahwa dengan membunuh tokoh sentral, mereka bisa mematikan arah. Tapi Gaza telah menyiapkan sistem regenerasi jauh lebih cepat dari kecepatan rudal. Saat satu pemimpin gugur, sepuluh lainnya sudah selesai dilatih di terowongan, di masjid, di ruang bawah tanah yang sunyi tapi penuh tekad.
Israel Membunuh, Tapi Tak Memahami
Israel percaya pada dogma militer konvensional: kill the commander, collapse the troops. Tapi sistem Islam tidak bekerja seperti itu. Kepemimpinan bukan terpusat pada satu figur. Ia terdistribusi dalam kesadaran umat.
Di Gaza, perlawanan tidak dibangun di atas figur, tapi pada jaringan, musyawarah, dan kesadaran akidah. Mereka tidak hanya mengganti panglima, tapi melahirkan pola perlawanan baru: sistem shura internal, kaderisasi militer organik, dan keahlian teknologi tempur yang terus berkembang—dari roket jarak menengah, drone penyusup, hingga sabotase jaringan komunikasi dan penyergapan urban.
Sementara itu, ironisnya, Israel justru mengalami krisis mobilisasi. Rakyatnya ogah direkrut. Tentara muda dilanda trauma karena membunuh anak-anak. Para pemimpin politik mereka sibuk bertengkar, saling menyalahkan. Negara yang membunuh panglima lawan, justru tak mampu mencetak prajurit sendiri.
Kesamaan yang Tak Terbantahkan
Mu’tah dan Gaza sama-sama memperlihatkan bahwa kekuatan Islam terletak pada jiwa kolektif yang sadar dan siap berkorban.
Di Mu’tah, pasukan selamat bukan karena jumlah, tapi karena kesatuan hati dan kecerdasan kolektif. Di Gaza, perlawanan bertahan bukan karena senjata, tapi karena kesadaran jihad yang hidup di dada rakyatnya.
Di Mu’tah, taktik Khalid bin Walid menyelamatkan pasukan dari kehancuran total. Di Gaza, taktik gabungan para komandan muda menghasilkan operasi-operasi spektakuler seperti Tufan al-Aqsa, penyergapan pasukan elite Israel, dan penguasaan wilayah yang tak disangka.
Di Mu’tah, lawannya adalah Byzantium, superpower abad ke-7. Di Gaza, lawannya adalah Israel, negara nuklir dengan teknologi tempur tercanggih di Timur Tengah. Tapi keduanya sama-sama terbentur pada satu tembok tak kasat mata: ruh jihad dan semangat yang tidak bisa dihancurkan dengan senjata.
Kemenangan yang Lahir dari Kesadaran
Apa yang menyatukan Mu’tah dan Gaza bukan hanya sejarah, tapi model peradaban kepemimpinan Islam.
Rasulullah ﷺ tidak membangun umat yang bergantung pada satu tokoh. Beliau membangun sistem: jika pemimpin gugur, maka umat siap melahirkan pemimpin baru dari barisan. Gaza adalah pengejawantahan modern dari sistem itu: tanpa negara, tanpa senjata canggih, tapi dengan kesadaran jihad yang diwariskan secara ruhiyah.
Israel menghancurkan rumah-rumah, tapi tidak bisa menghancurkan cita-cita. Mereka membunuh para komandan, tapi tidak bisa membunuh keyakinan. Mereka meledakkan markas, tapi tidak tahu bahwa basis perlawanan sejati hidup di dada anak-anak yang kehilangan ayahnya.
Jika Panglima Gugur, Siapa yang Bangkit?
Di Mu’tah, yang bangkit adalah Khalid bin Walid.
Di Gaza, yang bangkit adalah ribuan Khalid—tanpa nama, tanpa pangkat, tapi dengan kecerdasan dan keimanan.
Perlawanan bukan di tangan satu orang. Tapi di dada setiap yang beriman.
Dan selagi ruh itu hidup, perang belum berakhir—karena jiwa umat tak bisa dibunuh.
Jika dunia bertanya, mengapa Gaza tidak tumbang meski pemimpinnya terus dibunuh, maka jawablah:
Karena mereka tidak dipimpin oleh satu komandan. Mereka dipimpin oleh kesadaran.
Dan kesadaran, tidak bisa dibunuh dengan drone.
0 komentar: