basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Israel: "Hakim, Juri, dan Algojo Sekaligus, Atas Gencatan Senjata yang Disepakati Sendiri" 1. Keheningan yang Palsu Ha...


Israel: "Hakim, Juri, dan Algojo Sekaligus, Atas Gencatan Senjata yang Disepakati Sendiri"


1. Keheningan yang Palsu

Hari itu, langit Gaza tampak seolah tenang. Suara drone berhenti sejenak, debu reruntuhan mulai mengendap, dan orang-orang mencoba menyalakan kompor kecil di antara puing. Tapi seperti yang dikatakan seorang ibu di Khan Younis kepada Al Jazeera, “setiap kali kami mencoba bernapas, ada suara peluru yang memotong udara.”

Gencatan senjata — katanya — hanyalah jeda yang dibuat agar dunia kembali diam.

Namun, bahkan dalam keheningan itu, kematian tidak berhenti. Israel masih menembaki rumah-rumah yang tersisa, membatasi makanan, memblokir obat-obatan, dan menutup jalan bantuan kemanusiaan. Seolah-olah damai hanyalah taktik baru perang: perang terhadap kelaparan, penyakit, dan waktu.


---

2. “Hakim, Juri, dan Algojo Sekaligus”

Dalam laporannya dari Yordania — sebab Al Jazeera kini dilarang melaporkan langsung dari Israel dan Tepi Barat — jurnalis Nour Odeh menyebut Israel sebagai pihak yang “bertindak sebagai hakim, juri, dan algojo” atas gencatan senjata yang mereka sepakati sendiri.

Perjanjian itu tidak memiliki tenggat waktu untuk pemulangan jenazah sandera. Namun, Israel kini menggunakan isu tersebut untuk menekan pihak lawan dan menjustifikasi pemblokiran bantuan.

Sebagaimana disebutkan dalam laporan, lebih dari 55 juta ton puing menutupi Gaza, dan lebih dari 10.000 orang masih tertimbun di bawahnya. Agar jenazah para sandera dapat ditemukan pun, Israel harus mengizinkan alat berat masuk — namun izin itu sengaja ditahan.

Sementara itu, bantuan kemanusiaan dibatasi. Truk-truk bantuan yang seharusnya berjumlah 600 per hari hanya diizinkan 173 truk, menurut laporan OCHA dan Pemerintah Media Gaza. Jumlah yang bahkan “tidak mencukupi kebutuhan minimum populasi.”


---

3. “Membunuh Tanpa Peluru”

Perserikatan Bangsa-Bangsa, melalui UNRWA, menegaskan pada 15 Oktober 2025 bahwa Israel masih memblokir bantuan meskipun gencatan senjata telah disepakati sejak Jumat sebelumnya.

Lebih dari 12.000 staf UNRWA di Gaza tidak dapat menyalurkan logistik, padahal ratusan ribu ton makanan dan bahan bangunan telah menumpuk di Rafah, siap disalurkan untuk tiga bulan ke depan.

 “Pembatasan yang berkepanjangan ini berisiko memperburuk kondisi yang sudah sangat buruk,” tulis UNRWA.

Foto-foto dari AFP menunjukkan truk bantuan yang berbaris di sisi Mesir, menunggu izin dari Israel untuk melintas. Sementara dari sisi Palestina, anak-anak berdiri di jalanan yang rusak, memegang wadah kosong, menunggu air yang tak kunjung datang.

Mereka bukan dibunuh oleh peluru — tetapi oleh kelaparan yang sengaja diciptakan.


---

4. Genosida dengan Bahasa Diplomasi

Tulisan Ramona Wadi di Middle East Monitor mengungkap bahwa Israel tidak hanya melanggar gencatan senjata, tetapi juga mengubah bentuk perang itu sendiri.

 “Kelaparan kini dijadikan sarana genosida — dan itu menghancurkan seluruh paradigma kemanusiaan.”

Pernyataannya tegas: diplomasi internasional justru memelihara kekaburan. Amerika Serikat dengan bangga menandatangani perjanjian di Sharm el-Sheikh, menyebutnya sebagai “kesepakatan damai”, padahal itu hanya memberi ruang bagi Israel untuk melanjutkan dominasi dengan cara yang lebih halus.

Uni Eropa, yang merasa “tersisih” dari peran politik Timur Tengah oleh Presiden Trump, kini berusaha menegaskan dirinya sebagai “penjaga perdamaian”. Namun, sebagaimana dikutip Ramona, “pengaruh politik mereka lebih besar pada Israel dan kaki tangannya, bukan pada rakyat Palestina.”

Eropa ingin duduk di Dewan Pengawas Perdamaian, tetapi tak ada yang berani mengucap kata yang paling penting dalam konflik ini: dekolonisasi.


---

5. Rencana Dua Negara: Sebuah Penipuan Lama

Wadi melanjutkan analisanya bahwa rencana dua negara yang diulang-ulang sejak Perjanjian Oslo hanyalah ilusi. Paradigma itu dibangun di atas Rencana Pembagian 1947 — bukan untuk membentuk negara Palestina, tetapi untuk mencegahnya lahir selamanya.

 “Satu-satunya negara Palestina yang diakui dunia hanyalah negara simbolis yang tidak pernah ada,” tulisnya.

Rencana Trump yang kini direvisi pasca-genosida Gaza masih memuat pola yang sama: menunda kenegaraan Palestina tanpa pernah menutupnya secara resmi. Sebuah penundaan permanen agar Israel bisa terus membangun permukiman di atas reruntuhan rumah orang-orang Gaza.

Dan dunia — yang katanya mencintai perdamaian — memilih untuk membisu, atau paling jauh, menulis laporan.


---

6. Luka yang Terus Dihitung

Dalam laporan Anadolu Agency, disebutkan bahwa sejak awal gencatan senjata, Israel telah melakukan 37 pelanggaran tembak-menembak kecil, terutama di Beit Hanoun dan Rafah. Di antaranya menewaskan dua anak.

Bagi dunia, itu “pelanggaran kecil”.
Bagi keluarga korban, itu adalah dunia yang runtuh.

Sementara di pihak Israel, para keluarga sandera yang tak kunjung dipulangkan mulai menekan pemerintahnya untuk “kembali berperang.” Tekanan internal ini — menurut Nour Odeh — digunakan Netanyahu sebagai dalih untuk menunda pelaksanaan penuh perjanjian. Ia tahu bahwa rakyatnya haus akan kepastian, dan kepastian itu hanya datang dari perang.


---

7. Narasi Barat dan Amnesia Dunia

BBC dan The Guardian melaporkan pergeseran opini publik di Eropa dan Amerika. Dukungan terhadap Israel mulai menurun, tetapi tak diikuti dengan kebijakan nyata. Pemerintah masih mengirimkan senjata, masih menyebut Israel “berhak membela diri.”

Apakah dunia sedang lupa, atau berpura-pura tidak tahu?

Sosiolog Prancis Jean Baudrillard pernah menulis, “Perang modern tidak lagi berakhir dengan kemenangan atau kekalahan, tapi dengan kebingungan moral yang menjadi konsumsi media.”
Begitulah Gaza hari ini. Sebuah perang yang tidak dimenangkan siapa pun — kecuali kamera, algoritma, dan narasi.


---

8. Suara yang Tersisa: Nurani

Dalam salah satu khutbahnya, Nabi ï·º bersabda:

 “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya — dan itu selemah-lemahnya iman.”
(HR. Muslim)

Gaza mungkin kini hanya tersisa pada tahap ketiga: iman yang bergetar dalam diam.
Mereka tak punya tangan untuk melawan, tak punya suara untuk didengar. Tetapi hati mereka tetap hidup — dan itulah yang ditakuti oleh penjajah mana pun.


---

9. Tafsir Jiwa: Ketika Hati Menolak Mati

Seorang pakar psikologi trauma dari Universitas Harvard, Dr. Richard Mollica, dalam wawancaranya dengan Psychology Today, menyebut bahwa manusia bisa bertahan dalam kondisi ekstrem “selama masih memiliki makna.”

Makna — bukan makanan — yang membuat manusia tetap hidup di kamp konsentrasi, di ruang penyiksaan, di reruntuhan kota.
Dan bagi rakyat Gaza, makna itu jelas: bertahan adalah bentuk ibadah.

Seorang pemuda Palestina pernah berkata kepada Reuters:

 “Kami tidak mati karena kelaparan. Kami hidup karena iman.”

Itulah jenius spiritual umat yang tak tunduk pada logika kekuasaan.


---

10. Seruan dari Debu

Maka, apakah gencatan senjata ini sungguh damai?
Ataukah hanya ruang bagi Israel untuk mengatur ulang peluru dan retorikanya?

Dunia boleh menyebutnya truce, ceasefire, atau peace process — tetapi di jalanan Rafah, anak-anak tahu bahwa kedamaian sejati hanya datang dari Allah, bukan dari resolusi Dewan Keamanan.

Sebagaimana firman-Nya:

“Dan apabila mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah.”
(QS. Al-Anfal: 61)

Namun Allah juga memperingatkan:

“Dan janganlah kamu lemah menghadapi kaum yang berkhianat.”
(QS. Al-Anfal: 58)

Maka, antara ayat 61 dan 58 itu, umat beriman berdiri: bukan sebagai pihak yang pasrah, tetapi yang sabar dan sadar. Karena sabar tidak berarti diam.


---

11. Penutup: Damai yang Belum Datang

Kini, langit Gaza kembali redup oleh asap, bukan senja. Dunia menulis laporan baru tentang pelanggaran baru, seolah sejarah bisa disembunyikan di balik laporan harian.

Tetapi, seperti kata penyair Mahmoud Darwish:

 “Mereka bisa menghancurkan rumahku, tetapi tidak bisa menghancurkan aku yang di dalamnya.”

Itulah paradoks gencatan senjata Israel: menghentikan bom, tetapi tidak menghentikan kejahatan. Mengizinkan diplomasi, tetapi menolak kemanusiaan.

Dan di tengah reruntuhan itu, seorang anak kecil masih menulis di dinding bata:

 “Kami belum kalah.”

Algoritma dan Metrik Interaksi Media Sosial Agar  Dunia Tak Mempercayai Genosida di Gaza  1. Dialog Batin Pemuda: “Apakah Ini Be...


Algoritma dan Metrik Interaksi Media Sosial Agar  Dunia Tak Mempercayai Genosida di Gaza 


1. Dialog Batin Pemuda: “Apakah Ini Benar Genosida?”

Di ruang-ruang chat malam, di pojok pekat media sosial, seorang pemuda mengetik:

> “Gencatan senjata sudah diumumkan — lalu kenapa masih ada bom atau nyawa melayang? Apakah ini benar genosida atau propaganda?”



Banyak di antara generasi muda tumbuh di antara berita instan, video viral, dan narasi yang disaring oleh algoritma. Mereka rentan terhadap distorsi, “kebenaran tersaring”, dan manipulasi media. Israel — baik secara diplomatis maupun digital — tampaknya sangat menyadari hal ini: bahwa kemenangan narasi bisa lebih mudah diraih daripada kemenangan militer.

Mereka membangun peta perang baru: mematahkan kepercayaan, menyamarkan bukti, mengalihkan perhatian.
Maka muncul propaganda bahwa apa yang terjadi adalah “kegagalan logistik”, “korban perang tak sengaja”, “kecelakaan dalam perang terbatas”, bukan genosida yang disengaja.


---

2. Strategi Propaganda: Memutarbalik Fakta dan Memblokir Akses

a. Disinformasi & Narasi Alternatif

Platform media sosial dan kanal diplomatik Israel serta pendukungnya acap menyebarkan narasi tandingan:

Tuduhan bahwa korban Palestina berpura-pura agar menarik simpati

Penekanan bahwa kematian terjadi akibat kesalahan Hamas sendiri

Mengontraskan penderitaan rakyat Israel sebagai korban yang “patut disimpatikkan”


Menurut laporan Atlantic Council tentang konflik Israel-Hamas, platform seperti X, TikTok, Telegram telah didesain sehingga konten yang mendukung Israel lebih cepat naik ke permukaan — sedangkan konten pro-Palestina sering kali di-moderasi lebih ketat atau disensor. 
Penelitian dari ISD juga menyebut bahwa narasi kebencian dan disinformasi ditargetkan khusus ke audiens Muslim dan Eropa, untuk melemahkan empati terhadap Palestina. 

b. Membatasi Akses Bantuan Kemanusiaan sebagai Taktik Tekanan

Israel memegang kunci perbatasan dan rute bantuan. Meskipun gencatan senjata telah disepakati, Israel tetap mengurangi jumlah truk bantuan, menutup Rafah, dan menuntut agar jenazah sandera dipulangkan sebagai kondisi agar bantuan diringankan. 

UNRWA menegaskan bahwa Israel terus memblokir suplai makanan dan barang penting ke Gaza meski sudah ada gencatan senjata. 
Sebelumnya, Israel juga pernah menghentikan semua suplai sejak 2 Maret 2025 sebagai tekanan diplomatik. 

Dengan membiarkan warga lapar dan hidup dalam kekosongan berita, Israel berharap kekacauan akan membuat klaim genosida tampak hiperbolis atau tak masuk akal bagi generasi muda yang “terputus” dari narasi lapangan.


---

3. Pernyataan Ambigu & Penyangkalan Resmi

Israel sering mengganti narasi ketika difokuskan:

Ketika jenazah sandera dikembalikan, mereka mengklaim salah satu bukan sandera sama sekali. 

Ketika bantuan ditolak, mereka menyalahkan keterlambatan Hamas dalam menyerahkan jenazah. 

Ketika serangan terjadi di zona “larangan bergerak”, mereka menyebut korban memasuki zona ilegal dan “menjadi target” — mendefinisikan ulang batas secara sepihak. 


Narasi semacam ini menanam keraguan di benak pemuda: “Kalau mereka tidak mau mengakui, apakah benar-benar terjadi kejahatan besar?”


---

4. Algoritma yang Memihak & Efek Resonansi Media

Media sosial tidak netral. Algoritma dan metrik interaksi (like, share) memperkuat konten yang mengundang emosi kuat — sering kali konten provokatif dan polarizing. (Penelitian Avram et al.) 
Platform juga mengubah kebijakan moderasi yang melemahkan kemampuan untuk mendeteksi disinformasi konflik. 
Narasi tandingan yang pro-Israel sering mendapatkan prioritas visibilitas, sementara konten kemanusiaan Palestina disensor atau dibungkam lebih cepat. 

Akibatnya, pemuda yang mencari jawaban melalui media sosial bisa “terjebak” dalam gelembung informasi terfilter — di mana mereka hanya melihat sudut pandang minimal dan terdistorsi.


---

5. Kelelahan Emosi & Silau Konflik

Studi terhadap pemuda Muslim yang mengonsumsi berita konflik secara intensif menunjukkan dampak psikologis: kelelahan berita (news fatigue), keraguan terhadap kebenaran, dan emosi yang mati rasa. 
Banyak yang mengatakan: “Kadang saya ragu apa yang saya baca itu benar — bisa jadi propaganda musuh.” 

Karena kelelahan itu, narasi yang lebih sederhana dan “tak kontroversial” (bahwa konflik sudah selesai, “damai tercapai”) terasa lebih aman dan diterima, bahkan jika hati tahu ada yang salah.


---

6. Memori yang Dihapus, Bukti yang Dikubur

Menghapus ingatan adalah bagian dari strategi pemupukan amnesia kolektif. Israel memberi tekanan agar dokumentasi korban dan laporan investigasi tidak kuat disebarluaskan.

Contohnya: tuduhan bahwa foto korban direkayasa, video palsu, atau alat propaganda “Pallywood” digunakan untuk mencemarkan narasi Palestina. 
Identifikasi korban juga sengaja dirahasiakan atau dibatasi. Ketika jenazah dikembalikan, banyak yang tidak diidentifikasi atau cedera parah. 

Tanpa bukti visual yang kuat, generasi muda bisa menolak klaim genosida sebagai “berlebihan”, “tak terbukti”, atau “propaganda ekstrem.”


---

7. Narasi “Perang Sudah Berakhir” sebagai Manipulasi

Israel dan pendukungnya menyebarkan klaim bahwa gencatan senjata berarti perang selesai. Seolah konflik kritis telah “ditangani”.
Artikel Arwa Mahdawi menyindir ini sebagai gestur diplomatik: kita diharapkan berterima kasih bahwa bom tidak jatuh hari ini.

Namun fakta di lapangan menolak itu: bahkan di masa gencatan senjata, setidaknya 3 warga Palestina tewas akibat tembakan Israel menurut Al Jazeera. 

Pengumuman “perdamaian” dini ini bertujuan mengaburkan bahwa perang mitos mungkin hanya diganti dengan perang bentuk lain: kelaparan, pembatasan, kontrol populasi.


---

8. Refleksi Antara Hati & Batin: Bisikan Lurus di Tengah Kebisingan

Generasi muda yang berpikir kritis harus dilatih “membaca sela-sela narasi”—tanpa panik, tetapi dengan hati waspada.
Ketika dunia mengatakan “damai tercapai”, hati bisa bertanya: “Kalau korban masih jatuh, kalau bantuan diblokir, kalau mereka menyebut korban bukan korban — maka di mana damai itu?”

Allah berfirman:

> “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya — dan itu selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)



Pemuda harus menjaga hati mereka tetap sebagai ruang paling suci — tempat pertanyaan benar dan nurani menolak berkompromi dengan kezaliman.

Dukungan Militer dan Non Militer Amerika dan Eropa kepada Israel untuk Mengenosida Gaza  “Perang bukan sekadar pertempuran di me...


Dukungan Militer dan Non Militer Amerika dan Eropa kepada Israel untuk Mengenosida Gaza


 “Perang bukan sekadar pertempuran di medan, tetapi—terutama—pertarungan sumber daya, legitimasi, dan dukungan di balik layar.”

Konflik Israel–Gaza bersama eskalasi regional yang sering disebut “Badai Al-Aqsha” atau operasi militer besar Israel setelah 7 Oktober 2023 menimbulkan kerugian yang amat besar—baik dalam hal manusia maupun finansial. Di balik rontoknya gedung, hancurnya infrastruktur, dan nyawa yang hilang, muncul pertanyaan: Siapa yang membayar perang ini? Dan seberapa besar beban yang ditanggung oleh Israel sendiri dibandingkan dukungan luar?

Tulisan ini mencoba menyajikan struktur biaya perang Israel pasca Al-Aqsha: (1) biaya dari anggaran negara sendiri, (2) komponen militer, (3) bantuan Amerika Serikat (militer & non), (4) kontribusi diaspora Yahudi global, (5) dukungan perusahaan-perusahaan global, (6) bantuan dan penjualan senjata dari Eropa/negara lain, dan (7) dukungan infrastruktur militer


---

1. Biaya dari Anggaran Negara Israel Sendiri

1.1. Skala Anggaran Tambahan dan Dana Darurat

Israeli Kementerian Keuangan dan Bank of Israel telah secara terbuka menyatakan bahwa perang menuntut alokasi tambahan anggaran besar di luar rencana anggaran tahunan biasa. Dalam laporan & wawancara publik, Gubernur Bank of Israel menyebut bahwa anggaran perang selama 2024 telah melonjak secara drastis, dan tahun 2025 juga menghadapi tekanan yang sama.

Secara konkret, pada tahun 2024 tambahan “supplementary budgets” yang disetujui Knesset mencapai 112 miliar NIS khusus untuk perang (termasuk operasi militer, perlindungan sipil, pengungsi internal, dan biaya operasional).

1.2. Komponen Pengeluaran Internal

Pengeluaran internal Israel mencakup sejumlah elemen kritis:

Operasi militer & amunisi: produksi ulang atau pembelian amunisi, senjata, kendaraan militer.

Gaji dan kompensasi reservis: mobilisasi cadangan (reservists) memerlukan pembayaran besar untuk personel yang keluar dari pekerjaan sipil.

Biaya perlindungan sipil & evakuasi: pembangunan tempat perlindungan (shelter), evakuasi masyarakat yang terkena serangan rudal, penyediaan kebutuhan dasar di daerah terdampak.

Dampak ekonomi domestik: kehilangan pendapatan pajak karena perekonomian melambat, bantuan ekonomi untuk daerah-daerah terdampak, subsidi, pemulihan infrastruktur kota.

Kompensasi infrastruktur rusak: memperbaiki jalan, listrik, saluran air, fasilitas publik yang hancur akibat perang.

Jika digabungkan, estimasi total biaya dari anggaran Israel sendiri mencapai puluhan hingga ratusan miliar NIS (tergantung cakupan waktu). Laporan-laporan awal memperkirakan bahwa hingga akhir 2024, Israel telah menanggung sendiri pengeluaran dekat 170 miliar NIS. (Catatan: angka ini di-updated dan bisa berbeda dalam laporan resmi berikutnya.)


---

2. Bantuan Amerika Serikat untuk Israel (Militer & Non)

2.1. Bantuan Militer Langsung

AS merupakan penyuplai utama militer Israel sejak dekade lalu, dan dalam konteks perang ini kontribusi AS melonjak:

Kontrak bantuan militer / pengeluaran FMS / drawdowns kepada Israel dalam periode konflik (2023–2025) mencapai US$17.9 miliar atau lebih menurut laporan awal beberapa media.

Bantuan tersebut mencakup amunisi, suku cadang, kendaraan militer, sistem pertahanan udara (seperti Iron Dome), logistik, dan dukungan teknologi militer (intelligence, satelit, sistem komunikasi).

Lebih dari itu, AS sering melakukan drawdowns dari stok militer AS internal untuk memenuhi kebutuhan Israel tanpa menunggu produksi baru.


2.2. Bantuan Non-Militer AS

Selain persenjataan, AS juga memberikan dukungan non-militer:

Dukungan intelijen dan keamanan: akses satelit, data ISR (Intelligence, Surveillance, Reconnaissance), pembagian intelijen kontra-terorisme.

Bantuan diplomatik dan jaminan politik (misalnya jembatan diplomasi, veto di PBB, dukungan moral konsensus AS).

Kemungkinan bantuan keuangan tidak langsung (garansi hutang, pinjaman, stabilisasi mata uang) untuk membantu Israel menanggung beban perang.



---

3. Bantuan Diaspora Yahudi Global

Diaspora Yahudi di AS, Eropa, Kanada, Australia, dan tempat lain memainkan peran penting dalam pendanaan sosial, kemanusiaan, dan dukungan sipil untuk Israel.

Jewish Federations / federasi Yahudi di AS melaporkan penggalangan dana besar: misalnya laporan menunjukkan telah terkumpul > US$833 juta sampai Juli 2024 untuk dukungan kepada Israel, keluarga korban, dan proyek sosial.

Pemerintah Israel sendiri mengumumkan bahwa sumbangan global diaspora, lembaga filantropi dan yayasan Yahudi secara kolektif sudah mencapai > US$1,4 miliar selama fase awal konflik.

Sumbangan ini tidak selalu militer — banyak dialokasikan ke bidang humaniter, kesehatan, rehabilitasi masyarakat Israel terdampak, NGO lokal, rumah sakit, dan dukungan psikososial.

Diaspora menyediakan “modal moral & keuangan tidak langsung” yang membantu meringankan beban negara bagian Israel dalam konteks sosial dan domestik.


---

4. Bantuan / Kontrak Perusahaan Global ke Israel

Perusahaan-perusahaan besar global ikut terlibat dalam berbagai level:

Teknologi dan layanan sipil: banyak perusahaan besar (cloud, TI, komunikasi) menyediakan layanan untuk institusi Israel (cloud hosting, data centers, sistem komunikasi) — beberapa laporan menyebut bahwa layanan infrastruktur IT digunakan oleh lembaga keamanan Israel.

Kontrak pertahanan / suku cadang militer: meskipun tidak selalu jelas secara publik, sejumlah lembaga advokasi menyebut daftar perusahaan-perusahaan yang diduga memasok komponen sistem militer ke Israel (komponen drone, sensor, sistem elektronik). Laporan UN rapporteur & NGO mempublikasikan daftar perusahaan “komplicity” (terlibat) dalam konflik.

Maintenance dan dukungan teknis: perusahaan luar negeri juga menyediakan perawatan dan dukungan teknis untuk sistem-sistem militer Israel (misalnya integrasi perangkat, software, komponen jaringan kompleks) berdasarkan kontrak besar pertahanan.

Perlu dicatat bahwa beberapa perusahaan menghadapi tekanan boikot dan kampanye publik karena hubungan mereka dengan aktivitas militer Israel.


---

5. Bantuan & Penjualan Senjata dari Eropa / Negara Lain

5.1. Penjualan / Eksport Senjata ke Israel

AS tetap pemasok utama senjata besar ke Israel (jet tempur, rudal, sistem pertahanan).

Eropa: Beberapa negara Eropa (Jerman, Inggris, Prancis) selama berdekade memiliki kontrak ekspor sistem pertahanan ke Israel. Namun sejak eskalasi konflik 2024–2025, beberapa negara meninjau/menangguhkan lisensi ekspor senjata ke Israel karena tekanan publik dan kebijakan domestik. Laporan Reuters & SIPRI mencatat beberapa negara yang membekukan atau membatasi ekspor senjata ke Israel.

India: hubungan industri pertahanan Israel–India kuat, tetapi penjualan senjata dari India ke Israel kurang dipublikasikan secara luas sebagai kontribusi khusus konflik.

Negara lain: negara-negara yang memiliki industri pertahanan (Rusia, Ukraina, dll.) sebagian berkontrak dengan Israel dalam simpul-simpul bisnis militer, tetapi volume langsung ke konflik perlu diverifikasi lewat database SIPRI.


5.2. Bantuan Infrastruktur Militer (Eropa & AS)

AS: mendukung pembangunan infrastruktur militer Israel melalui penyediaan suku cadang, depot logistik, sistem pendukung, pemeliharaan yang dilakukan oleh perusahaan AS atau kontraktor yang berafiliasi.

Eropa: beberapa negara Eropa menyumbang komponen sistem (mesin, elektronik, sensor) dan dukungan teknis; sebagian negara menangguhkan ekspor sistem ofensif, tetapi masih menyuplai bagian non-ofensif (komponen elektronik, radar, sistem komunikasi).

Kontrak pemeliharaan antara Israel dan perusahaan global (misalnya perusahaan asal Eropa / AS) untuk sistem pertahanan (radar, sistem kendali, perangkat optik) juga tercatat dalam dokumen tender pertahanan regional.


---

6. Rangkuman Proporsi dan Tantangan

Mayoritas biaya militer dan operasional langsung dibiayai oleh Israel sendiri melalui anggaran tambahan.

Amerika Serikat adalah pemasok help terbesar dalam dukungan persenjataan, logistik militer, dan jaminan politik.

Diaspora Yahudi global mentransfer ratusan juta hingga miliaran USD terutama untuk keperluan sipil, bantuan masyarakat, dan organisasi non-militer di Israel.

Perusahaan global turut berperan dalam layanan teknologi & dukungan militer tidak langsung, seringkali lewat kontrak privat dan pemasokan komponen.

Negara Eropa & ekspor senjata ke Israel masih signifikan historis, tapi sejak eskalasi konflik beberapa negara menahan ekspor senjata ofensif demi pertimbangan politik dan tekanan publik.

Infrastruktur militer dan maintenance disokong juga oleh perusahaan dan negara yang memiliki teknologi tinggi, sebagian melalui kerjasama teknologi bilateral.

Tantangan terbesarnya adalah transparansi. Banyak kontrak pertahanan dan transfer senjata disamarkan melalui perjanjian rahasia atau keamanan nasional, sehingga publik kesulitan memastikan angka tepat dan proporsinya.

Jadi siapa yang bertanggung jawab terhadap genosida di Gaza, bila Amerika dan Eropa terlibat? Wajar bila hukum internasional mandul.

Jadi, apakah Israel itu negara hebat?

Perjuangan Petani Palestina: Dari Perjanjian Balfour hingga Badai Al-Aqsha Surat untuk Kekaisaran yang Menjual Sebidang Surga Ha...


Perjuangan Petani Palestina: Dari Perjanjian Balfour hingga Badai Al-Aqsha


Surat untuk Kekaisaran yang Menjual Sebidang Surga

Hai Inggris, apakah engkau tahu?
Pada pagi 2 November 1917, pena di tanganmu tak hanya menulis surat diplomatik. Ia menulis luka yang akan berdarah seabad lamanya. Kalimat pendekmu—“Pemerintah Yang Mulia memandang dengan baik pendirian sebuah tanah air bagi bangsa Yahudi di Palestina”—adalah kontrak kematian bagi ladang-ladang zaitun, bagi petani yang menanam gandum di bawah matahari Yerusalem, bagi desa-desa yang telah hidup berabad-abad dalam damai sederhana.

Engkau mungkin mengira sedang menulis sejarah kebesaranmu, padahal engkau sedang menandatangani pengkhianatan paling halus: menjual tanah yang bukan milikmu, untuk membayar utang perangmu sendiri. Dalam satu kalimat, engkau memindahkan langit dari atas kepala rakyat Palestina.

Balfour tidak sedang menulis ayat keagamaan, tetapi nota dagang.
Zionisme tidak lahir dari doa, melainkan dari kalkulasi: Inggris membutuhkan dana, Zionis membutuhkan tanah. Maka yang satu menjual kehormatan, dan yang lain membeli surga orang lain dengan emas.

Dan di ladang-ladang itu, para petani belum tahu bahwa hidup mereka baru saja dijual di meja makan di London.


---

Dari Ladang ke Peta Kekuasaan

Ketika Perang Dunia I berakhir dan Ottoman jatuh, Inggris datang membawa bendera kemenangan dan retorika “peradaban.” Mereka menyebut dirinya pembawa hukum dan kemajuan. Tapi bagi para petani Palestina, kemajuan itu datang dengan serdadu dan peta baru.

Di bawah Mandat Liga Bangsa-Bangsa tahun 1922, Inggris berjanji akan “mempersiapkan rakyat Palestina menuju pemerintahan sendiri.” Tapi janji itu kosong. Di tangan birokrat kolonial, tanah yang selama ini menjadi warisan keluarga dan komunitas mulai dipetakan ulang menjadi sertifikat individu.
Dan hukum baru itu seperti jebakan: tanah yang tak bersertifikat resmi—karena tradisi Palestina berbasis kepemilikan bersama—dianggap “tanah negara” dan dapat dijual atau dialihkan kepada lembaga-lembaga Zionis.

Maka muncullah Palestine Land Development Company dan Jewish National Fund, membeli lahan dari tuan-tuan tanah Arab yang tinggal jauh di Beirut atau Damaskus.
Para petani penggarap yang telah menanam beras, gandum, dan zaitun selama puluhan tahun—dipaksa hengkang.
Mereka tidak paham surat jual-beli, tidak punya pengacara, tidak tahu bahwa “modernisasi tanah” berarti kehilangan tanah itu selamanya.

Sejarawan Ilan Pappé mencatat: “Ribuan keluarga terusir bukan oleh perang, tetapi oleh pena dan stempel.”
Dari sinilah kolonialisme Inggris menunjukkan bentuknya yang paling dingin: tidak dengan senapan, tapi dengan hukum.


---

Kolonialisme dengan Bahasa Kemajuan

Inggris menyebutnya reformasi agraria.
Zionis menyebutnya pembangunan tanah air.
Tapi bagi petani Palestina, itu berarti satu hal: perampasan.

Sistem pajak kolonial mencekik desa-desa Arab. Tanah yang dulu mereka kelola bersama dikenai tarif tinggi atas nama “efisiensi ekonomi.”
Yang tak mampu membayar, tanahnya disita.
Yang mencoba bertahan, dihukum oleh mekanisme utang yang menjerat.
Kolonialisme kini mengenakan jas rapi dan berbicara dengan bahasa administrasi.

Di sisi lain, pemerintah Inggris memberikan izin konsesi luas kepada lembaga-lembaga Zionis untuk membangun jaringan listrik, air, dan irigasi. Mereka menyebutnya “modernisasi.”
Namun akses air dibatasi; petani Palestina tak bisa menyalurkan irigasi tanpa izin.
Pertanian yang dulu swasembada berubah menjadi ladang upahan bagi koloni baru.

Polisi kolonial dilatih bukan untuk menjaga rakyat, tapi melindungi proyek-proyek Zionis.
Milisi Haganah mendapatkan senjata dan pelatihan; sementara demonstrasi petani Palestina dibubarkan dengan tembakan.
Laporan Colonial Office tahun 1930 mencatat secara dingin: “Migrasi Yahudi meningkat, tanah Arab berkurang cepat, ketegangan memuncak.”

Namun di luar statistik itu, ada sesuatu yang tak bisa dihitung: kehilangan martabat.
Sebab bagi petani, tanah bukan hanya sumber hidup—tanah adalah identitas.


---

1936: Revolusi dari Ladang yang Hilang

Mereka yang dianggap lemah mulai bangkit.
Petani yang selama ini diam mulai menulis sejarahnya sendiri dengan darah.

Pada April 1936, Palestina meledak. Petani menyerang jalur kereta, memboikot produk Inggris, menolak membayar pajak.
Dari desa ke desa, dari lembah ke gunung, revolusi bergelora: “Kembalikan tanah kami!”
Selama tiga tahun penuh (1936–1939), Inggris memerangi rakyatnya sendiri.
Pasukan kolonial menghancurkan rumah, membakar desa, dan menembak para pemimpin desa yang dianggap pemberontak.

Surat kabar The Guardian tahun 1938 menulis:

> “Pasukan Inggris memerangi pemberontak Palestina dengan cara yang hanya dapat dibandingkan dengan operasi di koloni Afrika. Desa-desa dibakar, ladang dibumihanguskan.”



Ratusan desa rata dengan tanah.
Tapi semangat itu tak padam.
Dari revolusi petani inilah muncul generasi baru perlawanan, yang kelak melahirkan nama-nama seperti Abd al-Qadir al-Husayni dan Haj Amin al-Husayni—para pemimpin nasionalis yang memadukan agama, tanah, dan harga diri dalam satu kalimat: Palestina adalah amanah.


---

Inggris Mundur, Tapi Dosa Tak Pergi

Ketika Perang Dunia II usai, Inggris adalah kerajaan lelah yang kehilangan darah dan makna.
Arnold Toynbee menulis, “Kekaisaran Inggris memenangkan perang, tapi kehilangan dunianya.”
Di tanah Palestina, kekalahan moral itu bahkan lebih nyata.

Pada tahun 1947, Inggris menyerahkan “masalah Palestina” kepada PBB—bukan karena keadilan, tapi karena kehabisan tenaga.
Ia meninggalkan ladang-ladang yang telah direbut, meninggalkan senjata di tangan milisi Zionis, meninggalkan rakyat Palestina tanpa tanah dan pemerintahan.

Setahun kemudian, tragedi Nakba terjadi.
Lebih dari 700 ribu warga Palestina terusir dari rumah mereka.
Kota-kota tua seperti Haifa dan Jaffa dikosongkan.
Desa-desa hancur, ladang dibakar.
Dan ketika Israel berdiri pada 1948, Inggris menyebutnya “proses transisi yang sulit.”
Tapi bagi rakyat Palestina, itu bukan transisi—itu penghapusan.

Sejarawan Avi Shlaim menulis dengan getir:

> “Inggris bukan mediator antara dua bangsa, melainkan bidan yang melahirkan Israel di atas reruntuhan Palestina.”




---

Dari Pengungsian ke Ketabahan

Setelah 1948, dunia petani berubah menjadi dunia pengungsi.
Orang-orang yang dulu menanam zaitun kini menanam harapan di kamp-kamp tenda: Jenin, Nablus, Gaza, Shatila.
Mereka membawa kunci rumah—simbol bahwa rumah itu masih ada, meski tak bisa ditinggali.

Sosiolog Palestina, Salim Tamari, menulis:

> “Petani berubah menjadi bangsa tanpa ladang, buruh tanpa rumah.”



Namun dari kehilangan itu tumbuh kata yang kini menjadi simbol Palestina: sumud—keteguhan, bertahan meski tanpa tanah, tanpa senjata, tanpa negara.
Mereka tetap menanam, tetap menolak meninggalkan ladang, bahkan ketika tentara Israel membangun pos militer di tengah desa.
Setiap kali pohon zaitun ditebang, mereka menanam dua pohon baru.
Setiap kali tembok pemisah dibangun, mereka menggali sumur baru di sisi lain.

Bagi dunia, mereka tampak kalah.
Tapi dalam kesetiaan mereka pada tanah, ada kemenangan yang lebih besar daripada segala kemenangan militer: kemenangan untuk tetap manusia.


---

Kapitalisme dan Pendudukan: Warisan Kolonial yang Hidup

Seabad setelah Balfour, kolonialisme berganti baju.
Kini bukan lagi Inggris dengan seragam kolonial, melainkan jaringan global: bank, korporasi, dan diplomasi.

Laporan The New Arab tahun 2023 menyebut bahwa lebih dari enam puluh perusahaan Eropa dan Amerika masih aktif mendukung proyek militer dan teknologi Israel di wilayah pendudukan—dengan dalih “pembangunan pasca-konflik.”
Bahkan, beberapa perusahaan pertanian Eropa memasok benih dan pupuk kepada permukiman ilegal, sementara petani Palestina dihalangi dari sumber air.

Kapitalisme menjadi perpanjangan tangan kolonialisme.
Di bawahnya, sistem lama masih hidup: hukum tanah yang berat sebelah, perizinan yang diskriminatif, ekonomi yang meminggirkan.
Inilah Balfour modern—tanpa surat, tanpa tinta, tapi dengan kesepakatan dagang dan sanksi ekonomi.


---

Dari Ladang Balfour ke Langit Gaza

Kini, di abad ke-21, Gaza berdiri sebagai simbol terakhir dari perlawanan agraria yang berubah menjadi perjuangan eksistensial.
Pesawat-pesawat F-16 menggantikan pasukan kolonial Inggris, tapi esensinya sama: menghancurkan kehidupan dari udara agar dunia tak melihat darah di tanah.

Namun Gaza bukan hanya perang militer. Ia adalah kelanjutan dari satu garis sejarah: dari petani yang diusir pada 1930-an, ke keluarga yang kehilangan rumah pada 1948, ke anak-anak yang kini menggenggam batu dan memelihara harapan.
Mereka yang dulu menanam gandum kini menanam keberanian.
Dan setiap kali dunia berkata, “Palestina kalah,” tanah itu sendiri menjawab, “Tidak. Aku masih di sini.”


---

Refleksi: Tanah yang Lebih Luas dari Dunia

Hai Inggris, lihatlah apa yang telah terjadi pada peta yang dulu kau coret di mejamu.
Kini garis-garis itu menjadi tembok, izin, blokade, dan checkpoint.
Tapi lihat pula apa yang tidak bisa kau hapus: tekad manusia untuk tetap mencintai tanahnya.

Engkau mengira telah memenangkan perang dengan pena, tapi kalah di hati sejarah.
Sebab sejarah tak mencatat siapa yang menang, melainkan siapa yang tetap berpegang pada kebenaran saat segalanya runtuh.

Petani Palestina tak punya universitas besar, tak punya tentara, tapi mereka punya keteguhan yang membuat imperium-imperium runtuh malu.
Mereka mengajarkan kepada dunia arti sejati dari kemerdekaan: bukan memiliki tanah, tapi menolak menyerah walau tanah direbut.


---

Epilog: Surat yang Belum Selesai

Hai Inggris, engkau menulis suratmu dengan tinta diplomatik.
Tapi lihatlah—setelah seratus tahun, surat itu belum selesai dibaca.
Masih ada bab yang belum engkau pahami: bahwa tanah yang ditulis dengan ketidakadilan tidak akan pernah menjadi milik siapa pun.

Engkau menjual sebidang tanah, tapi yang kau lukai adalah sejarah manusia.
Namun sejarah memiliki cara sendiri untuk menulis ulang dirinya.
Setiap generasi petani yang menolak pergi adalah kalimat baru dalam surat panjang Palestina kepada dunia.
Dan surat itu akan terus dibaca, sampai tinta terakhir dari penindasanmu mengering.

Sebab tanah Palestina bukan sekadar bumi—ia adalah jiwa yang tak bisa dipindahkan.
Ia menolak mati karena ia ditanam dengan air mata, kesabaran, dan keyakinan.
Dan pada akhirnya, seperti semua kekaisaran sebelum engkau, Inggris, kau akan terlupakan.
Tapi setiap musim semi, saat bunga zaitun kembali mekar di Nablus, dunia akan tahu:
masih ada bangsa yang bertani di antara puing-puing sejarah—
dan menanam bukan sekadar gandum,
tetapi keadilan.

Mengukur Efektivitas Demonstrasi Global Melawan Genosida Gaza: Antara Eropa dan Negri Muslim  --- 1. Ketika Nurani Bergerak, Dun...


Mengukur Efektivitas Demonstrasi Global Melawan Genosida Gaza: Antara Eropa dan Negri Muslim 


---

1. Ketika Nurani Bergerak, Dunia Terbelah

Musim dingin 2023 mencatat pemandangan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya di jantung peradaban Barat: jutaan manusia turun ke jalan di London, Paris, Berlin, Madrid, New York, dan Sydney—bukan untuk menuntut upah, bukan untuk memprotes inflasi, tapi untuk membela Gaza. Mereka membawa poster bertuliskan “Ceasefire Now”, “Stop the Genocide”, dan “From the River to the Sea, Palestine Will Be Free.”

Dari Trafalgar Square hingga Times Square, dari Melbourne hingga Marseille, lautan manusia yang beragam warna kulit dan keyakinan bersatu menolak diam di hadapan kekejaman. Di Inggris, menurut Reuters (November 2023), lebih dari satu juta orang turun ke jalan—demonstrasi terbesar sejak perang Irak 2003. Di New York, Al Jazeera mencatat barisan panjang mahasiswa, pemuka agama Yahudi anti-Zionis, dan warga kulit hitam yang menyebut Palestina “the moral question of our generation.”

Namun di saat yang sama, di dunia Muslim—yang secara emosional dan spiritual lebih dekat dengan Gaza—pemandangan itu tak sebanding. Kairo sunyi. Riyadh hening. Amman diam. Di Jakarta dan Istanbul, massa memang turun, tetapi energi itu cepat padam tanpa arah politik yang jelas.

Dunia terbelah antara mereka yang bersuara dan mereka yang berdiam, antara yang menekan kekuasaan dan yang dibungkam oleh kekuasaan. Lalu muncul pertanyaan yang menggigit: mengapa suara nurani justru lebih nyaring di jantung peradaban Barat ketimbang di negeri-negeri Muslim sendiri?


---

2. Ledakan Moral di Barat: Ketika Publik Menantang Kekuasaan

Demonstrasi besar-besaran di Eropa dan Amerika bukan sekadar luapan emosi. Ia adalah ekspresi politik moral yang menantang paradigma lama—bahwa dukungan terhadap Israel adalah harga wajib bagi stabilitas Barat.

The New Arab (Desember 2023) menulis:

“Untuk pertama kalinya sejak dekade 1970-an, narasi publik di Barat bergeser dari keamanan Israel menuju penderitaan Palestina. Ini bukan lagi gerakan Arab, melainkan gerakan manusia.”

Di Inggris, barisan demonstran membentang dari Whitehall ke Hyde Park. BBC News mencatat bahwa protes 11 November 2023 di London melibatkan lebih dari 1,2 juta orang—terbesar dalam sejarah modern Inggris. Di antara mereka ada anggota parlemen, serikat buruh, akademisi, hingga keluarga tentara Inggris yang menolak pendudukan.

Di Amerika Serikat, Associated Press menyoroti gelombang demonstrasi kampus yang mengguncang universitas-universitas ternama: Columbia, Harvard, UCLA, dan Stanford. Mahasiswa mendirikan “Gaza Solidarity Encampments” dan menolak keluar hingga universitas menghentikan investasi pada perusahaan yang terlibat dalam industri senjata Israel.

Gelombang itu kemudian menjalar ke ruang politik. The Washington Post (Mei 2024) mencatat bahwa tekanan mahasiswa dan komunitas progresif memaksa Partai Demokrat untuk pertama kali dalam sejarah mempertanyakan bantuan militer senilai USD 14 miliar bagi Israel.

Di Australia, ABC News melaporkan ribuan orang berunjuk rasa setiap pekan di Sydney dan Melbourne. Beberapa gereja dan komunitas Yahudi liberal ikut bergabung, menuntut pemerintah menghentikan ekspor suku cadang senjata ke Tel Aviv.

Inilah kekuatan demonstrasi di Barat: ia menembus struktur kekuasaan melalui opini publik, media, dan ekonomi politik.


---

3. Dunia Muslim: Antara Solidaritas dan Sensor

Sementara itu, di dunia Muslim, jalan-jalan besar yang dahulu menjadi panggung revolusi kini senyap atau dikontrol ketat.

Di Mesir, Middle East Eye (Oktober 2023) melaporkan bahwa aparat keamanan menahan ratusan aktivis yang mencoba menggelar aksi solidaritas di Kairo. Demonstrasi diizinkan hanya di wilayah tertentu dan di bawah pengawasan intelijen. Di Yordania, ribuan warga berusaha menuju perbatasan Israel namun diblokade. Di Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, protes dilarang total—bahkan doa berjamaah yang menyinggung Gaza bisa diawasi.

Turki dan Indonesia menjadi dua pengecualian yang relatif bebas. Di Istanbul, jutaan orang berkumpul di bawah seruan Presiden ErdoÄŸan yang menyebut Israel “teroris negara.” 

Di Jakarta, aksi “Bela Palestina” di Monas dan Senayan berlangsung damai, dihadiri tokoh-tokoh ormas dan ulama besar. Namun, seperti dicatat The Jakarta Post (Desember 2023), “protes besar ini tidak disertai tekanan diplomatik atau langkah konkret dari pemerintah Indonesia, yang tetap memilih jalur simbolik.”

Fenomena ini menunjukkan pola yang dalam: di dunia Muslim, solidaritas moral tak memiliki kanal politik. Kekuasaan tersentralisasi, masyarakat sipil lemah, dan ruang publik dikontrol oleh negara.


---

4. Siapa yang Lebih Efektif? Antara Simbol dan Struktur

Efektivitas demonstrasi tidak hanya diukur dari jumlah massa, tetapi dari dampaknya terhadap sistem kekuasaan.

Di Barat, demonstrasi pro-Palestina berhasil mengguncang legitimasi politik pemerintah. Menurut survei YouGov (April 2024), dukungan terhadap Israel di kalangan warga Inggris turun dari 41% menjadi hanya 22% sejak dimulainya perang Gaza. Di AS, jajak pendapat Pew Research Center menunjukkan perubahan tajam di kalangan pemilih muda: 60% menganggap Israel melakukan kejahatan perang.

Sementara itu, di dunia Muslim, demonstrasi berfungsi sebagai pemersatu moral, tetapi tidak menghasilkan tekanan kebijakan. Tak ada embargo, tak ada sanksi, tak ada konsensus diplomatik yang kuat. Bahkan negara-negara Arab yang dahulu lantang kini justru menormalisasi hubungan dengan Israel dalam bingkai ekonomi Abraham Accords.

Refleksi geopolitik menunjukkan perbedaan mendasar: di Barat, sistem demokrasi memberikan ruang bagi tekanan publik; di dunia Muslim, sistem otoritarian menyalurkan aspirasi moral menjadi ritual emosional.


---

5. Tekanan Ekonomi dan Narasi Global

Kekuatan demonstrasi di Barat juga tampak dalam sektor ekonomi.

Laporan The Guardian (Januari 2024) menyebut bahwa tekanan publik memaksa perusahaan besar seperti Barclays dan AXA menghadapi boikot internasional karena investasi mereka di industri senjata Israel. Di Prancis, serikat buruh CGT menyerukan penghentian semua ekspor senjata ke Israel.

The New Arab (Februari 2024) mencatat gerakan “#BoycottGenocide” yang mendorong kampanye digital menargetkan merek-merek global seperti HP, McDonald’s, dan Puma. Beberapa perusahaan kemudian merespons dengan menghapus logo atau cabang di Israel untuk meredam protes.

Di Amerika, tekanan moral dari kampus dan lembaga sosial mengubah lanskap politik. Menurut Politico (Mei 2024), Gedung Putih terpaksa menunda pengiriman sebagian paket amunisi ke Israel karena “kekhawatiran atas dampak politik dalam negeri.”

Sebaliknya, di dunia Muslim, boikot lebih bersifat individual. Meskipun gerakan #BoikotIsrael viral di media sosial Indonesia dan Malaysia, tidak ada kebijakan resmi yang mengikat sektor ekonomi. Negara-negara Teluk bahkan tetap menjadi investor besar di perusahaan teknologi yang terafiliasi dengan Israel.

Inilah perbedaan paling tajam: di Barat, gerakan moral mengarah pada tekanan sistemik; di dunia Muslim, ia berhenti di kesadaran emosional.


---

6. Renungan Geopolitik: Antara Nurani dan Struktur

Ada ironi sejarah yang mencolok di sini. Seratus tahun lalu, kolonialisme Eropa-lah yang menciptakan luka Palestina melalui Deklarasi Balfour dan mandat Inggris. Kini, masyarakat Eropa-lah yang memenuhi jalanan menuntut keadilan bagi rakyat yang sama.

Sementara dunia Muslim—yang seharusnya menjadi penjaga pertama kehormatan Al-Aqsha—terjebak dalam fragmentasi politik, ketergantungan ekonomi, dan kalkulasi diplomatik.

Menurut analisis Rashid Khalidi dalam The Hundred Years’ War on Palestine (2020), kegagalan dunia Arab bukan karena kurangnya simpati, tetapi karena “kehilangan otonomi strategis.” Negara-negara Muslim bergantung pada Barat untuk keamanan, energi, dan legitimasi internasional, sehingga tak mampu menentang struktur yang sama yang menopang Israel.

Di sisi lain, sosiolog Prancis Olivier Roy menyebut fenomena protes di Eropa sebagai “renaissance of moral politics”—kebangkitan politik nurani yang lahir dari rasa bersalah kolonial dan trauma kemanusiaan. Ia menulis, “Ketika institusi politik bisu, nurani kolektif mengambil alih fungsi negara.”

Barangkali di sinilah letak perbedaan besar: Barat memiliki struktur politik yang bisa ditantang; dunia Muslim memiliki struktur kekuasaan yang menantang rakyatnya.


---

7. Dari Toynbee ke Ibn Khaldun: Siklus Kekuasaan dan Kesadaran

Arnold Toynbee dalam A Study of History pernah menulis bahwa peradaban runtuh bukan karena serangan luar, melainkan karena hilangnya moral challenge dari dalam. Ibn Khaldun menyebutnya hilangnya asabiyyah—rasa solidaritas yang mempersatukan rakyat dan pemimpinnya.

Hari ini, dunia Muslim hidup dalam paradoks itu. Solidaritas untuk Palestina tetap kuat di hati rakyat, tetapi tercerai di tangan penguasa. Pemerintah berbicara dengan bahasa diplomasi, sementara rakyat berbicara dengan bahasa iman. Tidak ada jembatan di antara keduanya.

Sementara itu, di Barat, rakyat menantang negara mereka dengan moralitas yang justru dekat dengan nilai-nilai Islam: menolak penindasan, membela yang tertindas, dan menegakkan keadilan meski melawan arus kekuasaan.

Inilah momen reflektif geopolitik yang penting: gerakan pro-Palestina di Barat adalah cermin bagi dunia Muslim—bahwa kekuatan sejati tak hanya terletak pada iman, tapi juga pada keberanian menantang sistem.


---

8. Kemenangan yang Tak Diukur dengan Bom

Apakah demonstrasi di London dan New York bisa menghentikan genosida Gaza? Tidak secara langsung. Tapi ia mengubah arus opini dunia. Ia mengguncang legitimasi moral Israel, menekan elite politik Barat, dan menumbuhkan generasi baru aktivis global yang menolak logika perang dan kolonialisme.

Dan di dunia Muslim, meski demonstrasi terbatas, ia menjaga bara spiritual solidaritas agar tak padam. Dalam setiap doa, bendera, dan seruan di jalan, umat menegaskan bahwa Palestina bukan isu politik, melainkan cermin kemanusiaan.

Namun efektivitas moral tak bisa berhenti di simbol. Dunia Muslim memerlukan transformasi struktural agar suara rakyat bisa menjadi kekuatan kebijakan, bukan hanya gema spiritual.


---

9. Epilog: Ketika Barat Menangis dan Timur Membisu

Suatu hari di London, seorang ibu Yahudi memegang papan bertuliskan: “Never Again—For Anyone.” Di belakangnya, seorang pemuda Muslim memegang poster: “You bomb Gaza, you kill your own humanity.” Mereka berjalan bersama di tengah hujan.

Pemandangan itu lebih kuat daripada seribu pertemuan diplomatik. Sebab di sana, nurani manusia melampaui politik, ras, dan agama.

Dunia Muslim perlu belajar kembali bahwa solidaritas sejati bukan hanya tentang berbicara, tetapi berani menantang struktur yang melahirkan ketidakadilan. Dan Barat, dalam rasa bersalah kolonialnya, sedang menemukan kembali makna kemanusiaan yang universal.

Mungkin di sinilah takdir sejarah berpindah: yang beragama belajar dari yang sekuler tentang moralitas, dan yang sekuler belajar dari yang beragama tentang harapan.

Ketika jalan-jalan di Eropa, Amerika, dan Australia bergemuruh dengan suara Gaza, dunia Muslim seharusnya bertanya pada dirinya sendiri:
apakah kita masih memiliki keberanian untuk menjadikan doa menjadi kebijakan, dan solidaritas menjadi kekuatan?

Sebab pada akhirnya, kemenangan Gaza bukan hanya kemenangan rakyat yang terjajah—tetapi kemenangan nurani dunia terhadap sistem yang mematikan rasa.

Model Mekah dan Madinah: Kesunyian yang Membangun Dunia Baru 1. Sungai-Sungai yang Masih Mengalir, Tapi Peradaban yang Mati Di t...


Model Mekah dan Madinah: Kesunyian yang Membangun Dunia Baru


1. Sungai-Sungai yang Masih Mengalir, Tapi Peradaban yang Mati

Di tepi Efrat dan Tigris, di lembah Nil, di dataran Indus, di tepi Huang Ho—di sanalah sejarah manusia mula-mula memahat bentuknya.
Di situlah lahir kota, tulisan, hukum, dan kerajaan. Namun lihatlah kini: sungai-sungai itu tetap mengalir, tetapi peradaban yang dulu mereka hidupkan telah berubah menjadi museum, reruntuhan, dan legenda.

Sumeria dan Akkadia tinggal catatan pada tablet tanah liat.
Mesir purba tinggal piramida dan mumi yang membisu.
Yunani dan Romawi yang pernah menaklukkan dunia kini hidup sebagai kisah klasik dalam buku-buku sekolah.
Persia, Indus, dan Cina kuno—semuanya pernah menggenggam dunia, lalu kehilangan arah dan runtuh di bawah beban keagungan sendiri.

Ibn Khaldun menulis dalam Muqaddimah:

 “Setiap peradaban memiliki usia, seperti manusia: ia lahir, tumbuh, menua, lalu mati.”

Oswald Spengler dalam The Decline of the West menyebut bahwa kebudayaan itu punya “biologi sendiri”—ia lahir dari jiwa, mencapai puncak kejayaan, lalu membatu menjadi bentuk tanpa ruh.
Arnold Toynbee menambahkan dalam A Study of History:

 “Peradaban tidak hancur karena serangan luar, melainkan karena kegagalan menjawab tantangan dari dalam.”

Sumeria gagal menjaga makna spiritual.
Mesir tenggelam dalam pemujaan penguasa.
Romawi memuja hukum tapi melupakan keadilan.
Persia membangun istana tapi kehilangan ruh pengabdian.
Mereka mati bukan karena ditaklukkan, tetapi karena kehilangan makna.


---

2. Keagungan yang Membatu

Sumeria melahirkan tulisan pertama, namun menuhankan raja.
Ziggurat mereka menjulang, tapi kosong dari doa yang tulus.
Mesir membangun piramida demi keabadian, namun mengurung dirinya dalam kuburan raksasa.

Arnold Toynbee menyindir:

“Ketika manusia menolak ilham Ilahi, mereka mencari keabadian dalam batu.”

Dan batu memang bertahan, tapi ruh yang menggerakkannya mati.
Demikianlah paradoks pertama sejarah manusia: kemajuan yang meniadakan jiwa.


---

3. Dari Assyria hingga Romawi: Kekuasaan yang Kehilangan Tujuan

Assyria menaklukkan dunia dengan teror.
Persia menguasai dengan kemegahan.
Yunani memuja rasio.
Romawi mengandalkan hukum dan tentara.

Namun semuanya berakhir sama: kelelahan spiritual.
Spengler menyebut Romawi sebagai “peradaban yang menua”—masih besar, tapi sudah kosong dari makna.
Bangsa Romawi tak lagi berjuang demi cita-cita, melainkan demi roti dan sirkus.
Ketika bangsa barbar menyerang, Romawi sebenarnya sudah mati dari dalam.

Peradaban besar jarang dibunuh oleh musuh luar; mereka bunuh diri karena kehilangan arah.


---

4. Dunia di Ambang Kegelapan

Menjelang abad ke-6 Masehi, dunia seperti padam.
Bizantium dan Persia berperang tanpa makna.
India tenggelam dalam sistem kasta.
Cina terpecah perang saudara.

Sejarawan sirah Nabawiyah, Dr. Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, menggambarkan dunia pra-Islam sebagai zaman “gelap akal dan gelap hati”.
Tak ada keadilan universal, tak ada makna yang menyatukan umat manusia.

Dan di ujung selatan Asia, di padang tandus tanpa sungai—ada Jazirah Arab.
Tanah sunyi tanpa istana, tapi masih menyimpan fitrah: hati yang menunggu wahyu.

Sejarawan Marshall Hodgson menulis dalam The Venture of Islam:

 “Bangsa Arab hidup dalam kesunyian spiritual, tapi kesunyian itu menyiapkan mereka untuk mendengar suara wahyu.”


---

5. Mekah dan Madinah: Dua Kota Sunyi yang Mengubah Dunia

Mekah hanyalah kota kecil di antara bebatuan.
Namun di sanalah terletak Ka’bah—pusat spiritual dunia sejak zaman Nabi Ibrahim.
Dari kota itu lahir revolusi yang tak diawali pedang, melainkan kalimat.

Muhammad ï·º datang membawa satu kalimat pembebasan: La ilaha illallah.
Ia memutus rantai perbudakan manusia oleh manusia.
Ia menyatukan yang terpecah, meninggikan yang tertindas.

Syekh Abul Hasan Ali Nadwi dalam Maza Khasiral ‘Alam binhithat al-Muslimin menulis:

“Dunia kehilangan makna ketika wahyu terputus. Dan ketika wahyu turun di Mekah, dunia mendapat kembali jiwanya.”

Mekah menjadi pusat pembersihan akidah.
Madinah menjadi pusat pembangunan masyarakat.
Dari keduanya lahirlah tatanan baru: negara tanpa raja, hukum tanpa tirani, kekuasaan yang tunduk pada wahyu.

Dalam satu abad, cahaya dari dua kota itu menjalar ke tiga benua.
Islam tak hanya menaklukkan wilayah, tapi menyalakan akal dan hati manusia.


---

6. Rahasia dari Padang Pasir

Bagaimana mungkin padang tandus melahirkan peradaban agung?

Sayyid Qutb menulis dalam Fi Zhilal al-Qur’an:

“Islam membangun manusia dengan iman sebelum membangun dunia dengan tangan.”

Iman menjadi tenaga penggerak.
Solidaritas yang disebut Ibn Khaldun sebagai ‘ashabiyyah—bukan karena darah, tapi karena aqidah—membentuk kekuatan kolektif yang luar biasa.

Toynbee menyebut kebangkitan Islam sebagai “respons kreatif terhadap krisis spiritual global.”
Sementara Spengler melihat Islam sebagai “renaisans Timur”—suara baru yang menandai akhir peradaban lama dan lahirnya dunia baru.

Islam membangun ruh sebelum membangun struktur.
Dan ketika ruh hidup, kota, ilmu, dan keadilan tumbuh dengan sendirinya.


---

7. Dari Jiwa ke Struktur: Peradaban yang Bertumpu pada Iman

Peradaban Islam berdiri di atas tiga pilar:

1. Tauhid sebagai ruh — pusat segala nilai.

2. Ilmu sebagai jalan ibadah.

3. Keadilan sebagai sistem sosial.


Ketiga pilar ini menciptakan keseimbangan antara langit dan bumi.
Ketika kekuasaan berpindah ke khalifah, wahyu tetap jadi batas.
Ketika ilmu berkembang, ia tetap diikat oleh ibadah.

Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menulis:

“Ilmu tanpa iman adalah kesesatan; iman tanpa ilmu adalah kebutaan.”

Karena itu Baghdad, Kairo, Andalusia, dan Samarkand menjadi mercusuar dunia.
Ibn Sina menulis ilmu kedokteran untuk memahami kebijaksanaan Tuhan.
Al-Khwarizmi menulis aljabar demi keteraturan ciptaan.
Al-Farabi menulis filsafat politik untuk meniru keadilan Rasulullah ï·º di Madinah.

Peradaban Islam tumbuh bukan dari kerakusan, tapi dari pengabdian.


---

8. Mekanisme Kejatuhan: Ketika Ruh Melemah

Namun hukum sejarah tetap bekerja.
Ketika iman melemah, peradaban kehilangan daya hidupnya.

Ibn Khaldun mencatat:

 “Ketika kemewahan menggantikan semangat jihad, peradaban memasuki masa senja.”

Sayyid Qutb menyebutnya sebagai jahiliyah modern—masa ketika manusia membangun kota tapi menghancurkan hati.
Toynbee menamainya internal decay, pembusukan dari dalam.

Spengler menjelaskan fenomena ini:

“Setiap kebudayaan yang berhenti mendengarkan suara langit, akan menjadi peradaban yang membatu.”

Umat Islam pun pernah jatuh.
Tapi berbeda dengan Romawi, ia tidak mati.
Sebab sumber kehidupannya bukan istana, tapi wahyu yang hidup di dada manusia.


---

9. Kemampuan Bangkit yang Tak Dimiliki Peradaban Lain

Inilah keunikan Islam: ia bisa jatuh politiknya, tapi tidak ruhnya.

Dari Andalusia yang hilang, lahir ilmuwan di Maghrib.
Dari Baghdad yang dibakar Mongol, lahir madrasah di Mesir.
Dari kolonialisme Barat, lahir kebangkitan Islam abad ke-20.

Toynbee mengakui:

“Islam adalah satu-satunya peradaban besar yang masih hidup secara spiritual, dan mungkin akan membangkitkan dunia dari krisis materialisme.”

Selama ada satu hati yang tunduk kepada Allah, peradaban Islam masih berdenyut. Karena fondasinya bukan geografi, tapi iman.


---

10. Dunia Modern: Mengulang Kesalahan Kuno

Kini dunia modern tengah mengulang kesalahan peradaban kuno.

Eropa, Amerika, dan Cina mencapai puncak teknologi tapi kehilangan ruh. Kemanusiaan diukur dengan angka, bukan nilai. Kemajuan menggantikan kebijaksanaan.

Spengler menyebut ini fase Caesarisme — masa teknokrasi menggantikan kebudayaan.
Toynbee menyebutnya “kelesuan spiritual global.”
Dan jika Ibn Khaldun hidup hari ini, ia akan menulis bab baru tentang kemewahan yang menggerogoti kekuatan moral umat manusia.

Perang, ketimpangan, dan kehancuran lingkungan hanyalah gejala dari penyakit batin: hilangnya kesadaran sebagai hamba.


---

11. Mekah dan Madinah: Kembali ke Akar

Ketika dunia kehilangan arah, dua kota itu kembali menjadi penunjuk jalan.

Mekah mengingatkan bahwa kekuasaan sejati dimulai dari penaklukan diri.
Madinah mengingatkan bahwa negara sejati dibangun di atas keadilan, bukan dominasi.

Ulama besar seperti Syekh Muhammad al-Ghazali menulis dalam Sirah Nabawiyah ‘Ibrah wa al-Ma’ani:

“Madinah bukan hanya kota sejarah, tetapi model politik ilahiah: menegakkan hukum Allah tanpa kehilangan rahmat kemanusiaan.”

Selama ruh Mekah dan Madinah hidup, Islam tidak akan mati. Karena keduanya bukan tempat, melainkan paradigma — cara memandang dunia dengan cahaya wahyu.


---

12. Refleksi: Hukum Sejarah dan Hukum Langit

Hukum sejarah berkata: setiap peradaban akan mati bila kehilangan makna.
Namun hukum langit berkata: Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mengubah diri mereka sendiri.

Keduanya bertemu dalam Islam: peradaban bukan soal ras atau sungai, tapi soal iman dan moral.
Mekah dan Madinah membuktikan: padang gersang pun bisa menjadi taman bila disiram dengan tauhid.

Dunia modern yang lelah harus kembali belajar dari dua kota sunyi ini — tentang keseimbangan antara akal dan wahyu, kemajuan dan keadilan.


---

13. Epilog: Dua Kota, Dua Cahaya

Ketika Sumeria runtuh, tulisannya tinggal di museum.
Ketika Mesir runtuh, piramidanya jadi monumen.
Ketika Romawi runtuh, hukumnya jadi catatan.
Ketika Yunani runtuh, filsafatnya jadi kuliah.
Tapi ketika Islam melemah, cahayanya berpindah dari satu hati ke hati lain.

Karena fondasinya bukan batu, tapi iman dan ilmu yang berpadu.
Mekah dan Madinah tak punya sungai, tapi dari keduanya mengalir arus nilai yang menghidupkan dunia.

Dua kota itu membuktikan satu hal:
bahwa Tuhan bisa menumbuhkan peradaban dari tempat paling sunyi—asal manusia mau tunduk dan beriman.


---

Penutup: Di Antara Reruntuhan dan Janji

Kini reruntuhan Sumeria, Mesir, Romawi, dan Persia menjadi cermin bagi dunia modern.
Setiap menara kaca dan kota futuristik hanyalah piramida baru.

Namun dari balik hiruk-pikuk itu, dua kota di Hijaz masih berbisik lembut:

“Bangunlah peradaban bukan untuk kekuasaan, tapi untuk kebenaran.
Bukan untuk keabadian dunia, tapi untuk ridha Tuhan.”

Selama pesan itu hidup, sejarah tidak akan berhenti di reruntuhan.
Ia akan berputar menuju cahaya — dan cahaya itu, sebagaimana seribu tahun lalu,
akan kembali terbit dari tempat yang paling sunyi di bumi: Mekah dan Madinah.

Saat Pencipta Takdir Menceritakan Takdir-Nya Antara Sejarah yang Ditulis Manusia dan Takdir yang Ditulis Tuhan Sejarah manusia a...


Saat Pencipta Takdir Menceritakan Takdir-Nya

Antara Sejarah yang Ditulis Manusia dan Takdir yang Ditulis Tuhan


Sejarah manusia adalah kisah tentang pencarian makna di tengah keterbatasan pengetahuan. Namun sebelum pena pertama menulis, sebelum batu pertama ditatahkan menjadi prasasti, telah ada Pena lain — Pena yang menulis takdir. Di sana, sejarah bukanlah upaya rekonstruksi, tetapi wahyu dari Sang Pencipta Takdir.

Dan di sinilah perbedaan paling mendasar: manusia menulis sejarah dengan keraguan, sementara Allah menulis takdir dengan kepastian.


---

1. Saat Sejarawan Menafsir, Tuhan Menetapkan

Menulis sejarah bukan sekadar menyalin peristiwa masa lalu. Ia adalah upaya merekonstruksi realitas yang telah hilang — berdasarkan sisa-sisa bukti yang terserak dan interpretasi manusia yang tak pernah sepenuhnya netral. Karena itu, penulisan sejarah selalu mengandung keruwetan epistemologis, ideologis, dan metodologis.

E.H. Carr dalam What is History? menulis bahwa sejarah adalah “dialog antara masa kini dan masa lalu.” Sejarawan tidak pernah benar-benar menjadi cermin pasif. Ia memilih fakta, menyaringnya, menafsirkannya sesuai nilai zamannya. Maka, sejarah bukanlah potret realitas, melainkan hasil dari pilihan-pilihan manusia.

> “Fakta sejarah tidak berbicara sendiri,” tulis Carr, “sejarawanlah yang membuatnya berbicara.”



Namun, bukankah Tuhan yang sebenarnya membuat segala sesuatu “berbicara”? Bukankah setiap fakta di alam semesta adalah ayat yang menunjuk kepada-Nya? Ketika manusia berusaha menulis sejarah, ia sedang berusaha memahami potongan kecil dari naskah besar takdir Ilahi. Tapi setiap kali manusia menulis, ia menulis dari luar — sedangkan Tuhan menulis dari dalam realitas itu sendiri.


---

2. Fragmen dan Keutuhan

R.G. Collingwood menyebut sejarawan sebagai “perakit mosaik dari pecahan kaca.” Ia merangkai serpihan catatan, prasasti, dan ingatan untuk membentuk gambaran utuh — tapi selalu ada bagian yang hilang, kabur, atau terhapus.

Namun Tuhan tidak bekerja dengan pecahan. Takdir Ilahi adalah gambaran utuh. Tidak ada yang terhapus, tidak ada yang terlupakan. Apa yang bagi manusia tampak sebagai fragmen, bagi Tuhan adalah simfoni.

Manusia menulis sejarah dengan keterbatasan waktu; Tuhan menulis takdir dengan keabadian. Manusia membaca dari belakang; Tuhan menulis dari awal hingga akhir sekaligus.

Keruwetan sejarawan adalah tanda keterbatasan akal. Keteraturan takdir adalah tanda kesempurnaan hikmah.


---

3. Sejarah dan Kekuasaan

Michel Foucault menafsir sejarah sebagai “arsip kekuasaan.” Ia melihat bahwa sejarah sering ditulis oleh mereka yang menang, untuk meneguhkan legitimasi dan menghapus suara yang kalah.

Tetapi dalam pandangan tauhid, kekuasaan sejati bukanlah milik manusia. Yang disebut pemenang dan pecundang dalam buku sejarah hanyalah ilusi sementara dari perspektif bumi. Dalam buku takdir, sering kali yang kalah di dunia justru menang di sisi Tuhan.

Maka, ketika sejarawan sibuk menulis tentang pahlawan dan penguasa, Tuhan mencatat niat dan kesetiaan. Sejarah manusia mencatat kemenangan pasukan; sejarah Tuhan mencatat kebenaran perjuangan.

Di sinilah letak perbedaan: manusia mencatat peristiwa, Tuhan mencatat makna.


---

4. Antara Ilmu dan Hikmah

Leopold von Ranke menginginkan sejarah “apa adanya sebagaimana terjadinya.” Namun sejarawan modern seperti Hayden White menyebut sejarah sebagai “narasi” yang dibentuk oleh gaya bahasa dan imajinasi. Sejarah, katanya, adalah seni menyusun realitas menjadi cerita.

Tapi Sang Pencipta Takdir tidak “menyusun cerita”; Ia mencipta realitas. Ia tidak menafsirkan fakta; Ia yang menjadikannya ada. Dalam ilmu Tuhan, tidak ada retorika, hanya kebenaran mutlak. Dalam tulisan manusia, selalu ada tafsir dan kemungkinan salah.

Ketika manusia berbicara tentang sebab dan akibat, Tuhan sudah mengetahui ujung dari setiap awal. Maka sejarah di tangan manusia adalah ilmu tentang jejak, sedangkan di tangan Tuhan adalah hikmah tentang tujuan.


---

5. Ketika Barat Menulis Dunia

Edward Said menyebut sejarah modern sebagai proyek orientalisme — cara Barat melihat Timur sebagai “yang lain”, objek yang diamati, bukan subjek yang berbicara. Maka, sejarah dunia sering diputar dari poros Eropa, menjadikan dunia Islam dan Timur sebagai “lampiran” dari kisah kemajuan Barat.

Namun Tuhan tidak menulis sejarah dari satu pusat geografis. Ia menebar hikmah di setiap sudut bumi. Mekkah yang kering dan sunyi menjadi poros dunia, sementara istana Mesir dan Babilonia runtuh tanpa makna. Sejarah Tuhan tidak tunduk pada imperium, karena pusat sejarah-Nya adalah hati manusia yang beriman.

Maka benar kata Syed Naquib al-Attas dan Marshall Hodgson: sejarah harus ditulis dari pandangan tauhid, bukan kekuasaan. Karena tauhid memandang waktu bukan sebagai garis, tapi sebagai amanah. Yang besar bukan yang menang, tapi yang benar.


---

6. Antara Memori dan Wahyu

Maurice Halbwachs menulis bahwa sejarah sering kalah oleh memori kolektif. Ingatan manusia disusun oleh ritual, lagu, dan simbol — lebih hidup daripada arsip. Tapi dalam wahyu, ingatan tidak lahir dari nostalgia, melainkan dari pengingat (dzikr).

Ketika Tuhan menceritakan sejarah dalam wahyu — kisah Nabi Nuh, Yusuf, Musa, Isa, hingga Muhammad ï·º — Ia tidak sekadar menyusun kronologi. Ia sedang mengingatkan manusia akan pola-pola takdir. Bahwa kesabaran akan diuji, kebenaran akan ditentang, dan kemenangan sejati hanyalah ketaatan kepada-Nya.

Dengan demikian, sejarah wahyu bukan catatan, tapi cermin jiwa. Ia menunjukkan bagaimana manusia berulang kali jatuh pada kesalahan yang sama — sombong ketika makmur, berdoa ketika terjepit, dan lupa ketika ditolong.


---

7. Fakta dan Kebenaran

Ibn Khaldun menegaskan bahwa kebohongan adalah penyakit umum dalam penulisan sejarah. Sejarawan menyalin tanpa menimbang konteks, fanatisme menggantikan akal, kepentingan mengaburkan kebenaran.

Namun dalam wahyu, kebenaran tidak ditafsirkan — ia diwahyukan. Fakta mungkin bisa direka ulang, tapi kebenaran tidak bisa dipalsukan.

Maka, bagi yang beriman, membaca wahyu adalah membaca sejarah dari sisi Tuhan. Ia melihat bagaimana setiap zaman berputar dengan hukum-hukum moral yang sama. Bahwa kezhaliman akan runtuh, sebagaimana Fir’aun dan Qarun, sebagaimana Romawi dan Persia, sebagaimana siapa pun yang menolak kebenaran.


---

8. Ketika Tuhan Menulis Sejarah

Jika manusia menulis sejarah berdasarkan bukti, Tuhan menulis sejarah berdasarkan kehendak. Setiap daun yang jatuh, setiap peradaban yang bangkit dan runtuh, semuanya adalah bagian dari skenario agung.

Peradaban Sumeria, Mesir, Assyria, Persia, Romawi, Indus, Yunani — semuanya telah menulis bab-bab megah dalam buku manusia. Namun semua itu lenyap, seakan tak pernah ada. Dan kemudian, dari padang tandus Mekah dan Madinah, bangkit sebuah bangsa yang tak memiliki istana, tapi memiliki tauhid.

Itulah momen ketika Pencipta Takdir menceritakan takdir-Nya sendiri — bukan melalui arkeologi atau prasasti, tapi melalui wahyu.


---

9. Penutup: Ketika Pena Tuhan Menulis

Keruwetan sejarawan adalah bagian dari keterbatasan manusia memahami yang telah terjadi. Tetapi bagi Tuhan, yang terjadi, sedang terjadi, dan akan terjadi — semuanya telah tertulis.

Ketika manusia menulis sejarah, ia mencari makna di antara debu.
Ketika Tuhan menulis takdir, Ia meniupkan makna ke dalam debu itu, dan jadilah manusia.

Sejarah manusia adalah upaya memahami takdir Tuhan.
Dan takdir Tuhan adalah cara Tuhan mengajarkan makna sejarah manusia.

Maka, siapa yang ingin memahami sejarah dengan jernih, jangan hanya membaca arsip dan prasasti — bacalah wahyu. Karena hanya di sana, sejarah bukan sekadar catatan tentang apa yang terjadi, tetapi penjelasan mengapa semuanya harus terjadi.

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (360) Al-Qur’an (4) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) cerpen Nabi Musa (2) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fiqh (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) kecerdasan (2) Kecerdasan (263) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) kisah para nabi dan rasul (1) Kisah para nabi dan rasul (1) Kisah Para Nabi dan Rasul (577) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (29) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) nusantara (3) Nusantara (249) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (567) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (493) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (258) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah penguasa (1) Sirah Penguasa (243) Sirah Sahabat (156) Sirah Tabiin (43) Sirah ulama (13) Sirah Ulama (157) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)