Mengukur Efektivitas Demonstrasi Global Melawan Genosida Gaza: Antara Eropa dan Negri Muslim
---
1. Ketika Nurani Bergerak, Dunia Terbelah
Musim dingin 2023 mencatat pemandangan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya di jantung peradaban Barat: jutaan manusia turun ke jalan di London, Paris, Berlin, Madrid, New York, dan Sydney—bukan untuk menuntut upah, bukan untuk memprotes inflasi, tapi untuk membela Gaza. Mereka membawa poster bertuliskan “Ceasefire Now”, “Stop the Genocide”, dan “From the River to the Sea, Palestine Will Be Free.”
Dari Trafalgar Square hingga Times Square, dari Melbourne hingga Marseille, lautan manusia yang beragam warna kulit dan keyakinan bersatu menolak diam di hadapan kekejaman. Di Inggris, menurut Reuters (November 2023), lebih dari satu juta orang turun ke jalan—demonstrasi terbesar sejak perang Irak 2003. Di New York, Al Jazeera mencatat barisan panjang mahasiswa, pemuka agama Yahudi anti-Zionis, dan warga kulit hitam yang menyebut Palestina “the moral question of our generation.”
Namun di saat yang sama, di dunia Muslim—yang secara emosional dan spiritual lebih dekat dengan Gaza—pemandangan itu tak sebanding. Kairo sunyi. Riyadh hening. Amman diam. Di Jakarta dan Istanbul, massa memang turun, tetapi energi itu cepat padam tanpa arah politik yang jelas.
Dunia terbelah antara mereka yang bersuara dan mereka yang berdiam, antara yang menekan kekuasaan dan yang dibungkam oleh kekuasaan. Lalu muncul pertanyaan yang menggigit: mengapa suara nurani justru lebih nyaring di jantung peradaban Barat ketimbang di negeri-negeri Muslim sendiri?
---
2. Ledakan Moral di Barat: Ketika Publik Menantang Kekuasaan
Demonstrasi besar-besaran di Eropa dan Amerika bukan sekadar luapan emosi. Ia adalah ekspresi politik moral yang menantang paradigma lama—bahwa dukungan terhadap Israel adalah harga wajib bagi stabilitas Barat.
The New Arab (Desember 2023) menulis:
“Untuk pertama kalinya sejak dekade 1970-an, narasi publik di Barat bergeser dari keamanan Israel menuju penderitaan Palestina. Ini bukan lagi gerakan Arab, melainkan gerakan manusia.”
Di Inggris, barisan demonstran membentang dari Whitehall ke Hyde Park. BBC News mencatat bahwa protes 11 November 2023 di London melibatkan lebih dari 1,2 juta orang—terbesar dalam sejarah modern Inggris. Di antara mereka ada anggota parlemen, serikat buruh, akademisi, hingga keluarga tentara Inggris yang menolak pendudukan.
Di Amerika Serikat, Associated Press menyoroti gelombang demonstrasi kampus yang mengguncang universitas-universitas ternama: Columbia, Harvard, UCLA, dan Stanford. Mahasiswa mendirikan “Gaza Solidarity Encampments” dan menolak keluar hingga universitas menghentikan investasi pada perusahaan yang terlibat dalam industri senjata Israel.
Gelombang itu kemudian menjalar ke ruang politik. The Washington Post (Mei 2024) mencatat bahwa tekanan mahasiswa dan komunitas progresif memaksa Partai Demokrat untuk pertama kali dalam sejarah mempertanyakan bantuan militer senilai USD 14 miliar bagi Israel.
Di Australia, ABC News melaporkan ribuan orang berunjuk rasa setiap pekan di Sydney dan Melbourne. Beberapa gereja dan komunitas Yahudi liberal ikut bergabung, menuntut pemerintah menghentikan ekspor suku cadang senjata ke Tel Aviv.
Inilah kekuatan demonstrasi di Barat: ia menembus struktur kekuasaan melalui opini publik, media, dan ekonomi politik.
---
3. Dunia Muslim: Antara Solidaritas dan Sensor
Sementara itu, di dunia Muslim, jalan-jalan besar yang dahulu menjadi panggung revolusi kini senyap atau dikontrol ketat.
Di Mesir, Middle East Eye (Oktober 2023) melaporkan bahwa aparat keamanan menahan ratusan aktivis yang mencoba menggelar aksi solidaritas di Kairo. Demonstrasi diizinkan hanya di wilayah tertentu dan di bawah pengawasan intelijen. Di Yordania, ribuan warga berusaha menuju perbatasan Israel namun diblokade. Di Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, protes dilarang total—bahkan doa berjamaah yang menyinggung Gaza bisa diawasi.
Turki dan Indonesia menjadi dua pengecualian yang relatif bebas. Di Istanbul, jutaan orang berkumpul di bawah seruan Presiden ErdoÄŸan yang menyebut Israel “teroris negara.”
Di Jakarta, aksi “Bela Palestina” di Monas dan Senayan berlangsung damai, dihadiri tokoh-tokoh ormas dan ulama besar. Namun, seperti dicatat The Jakarta Post (Desember 2023), “protes besar ini tidak disertai tekanan diplomatik atau langkah konkret dari pemerintah Indonesia, yang tetap memilih jalur simbolik.”
Fenomena ini menunjukkan pola yang dalam: di dunia Muslim, solidaritas moral tak memiliki kanal politik. Kekuasaan tersentralisasi, masyarakat sipil lemah, dan ruang publik dikontrol oleh negara.
---
4. Siapa yang Lebih Efektif? Antara Simbol dan Struktur
Efektivitas demonstrasi tidak hanya diukur dari jumlah massa, tetapi dari dampaknya terhadap sistem kekuasaan.
Di Barat, demonstrasi pro-Palestina berhasil mengguncang legitimasi politik pemerintah. Menurut survei YouGov (April 2024), dukungan terhadap Israel di kalangan warga Inggris turun dari 41% menjadi hanya 22% sejak dimulainya perang Gaza. Di AS, jajak pendapat Pew Research Center menunjukkan perubahan tajam di kalangan pemilih muda: 60% menganggap Israel melakukan kejahatan perang.
Sementara itu, di dunia Muslim, demonstrasi berfungsi sebagai pemersatu moral, tetapi tidak menghasilkan tekanan kebijakan. Tak ada embargo, tak ada sanksi, tak ada konsensus diplomatik yang kuat. Bahkan negara-negara Arab yang dahulu lantang kini justru menormalisasi hubungan dengan Israel dalam bingkai ekonomi Abraham Accords.
Refleksi geopolitik menunjukkan perbedaan mendasar: di Barat, sistem demokrasi memberikan ruang bagi tekanan publik; di dunia Muslim, sistem otoritarian menyalurkan aspirasi moral menjadi ritual emosional.
---
5. Tekanan Ekonomi dan Narasi Global
Kekuatan demonstrasi di Barat juga tampak dalam sektor ekonomi.
Laporan The Guardian (Januari 2024) menyebut bahwa tekanan publik memaksa perusahaan besar seperti Barclays dan AXA menghadapi boikot internasional karena investasi mereka di industri senjata Israel. Di Prancis, serikat buruh CGT menyerukan penghentian semua ekspor senjata ke Israel.
The New Arab (Februari 2024) mencatat gerakan “#BoycottGenocide” yang mendorong kampanye digital menargetkan merek-merek global seperti HP, McDonald’s, dan Puma. Beberapa perusahaan kemudian merespons dengan menghapus logo atau cabang di Israel untuk meredam protes.
Di Amerika, tekanan moral dari kampus dan lembaga sosial mengubah lanskap politik. Menurut Politico (Mei 2024), Gedung Putih terpaksa menunda pengiriman sebagian paket amunisi ke Israel karena “kekhawatiran atas dampak politik dalam negeri.”
Sebaliknya, di dunia Muslim, boikot lebih bersifat individual. Meskipun gerakan #BoikotIsrael viral di media sosial Indonesia dan Malaysia, tidak ada kebijakan resmi yang mengikat sektor ekonomi. Negara-negara Teluk bahkan tetap menjadi investor besar di perusahaan teknologi yang terafiliasi dengan Israel.
Inilah perbedaan paling tajam: di Barat, gerakan moral mengarah pada tekanan sistemik; di dunia Muslim, ia berhenti di kesadaran emosional.
---
6. Renungan Geopolitik: Antara Nurani dan Struktur
Ada ironi sejarah yang mencolok di sini. Seratus tahun lalu, kolonialisme Eropa-lah yang menciptakan luka Palestina melalui Deklarasi Balfour dan mandat Inggris. Kini, masyarakat Eropa-lah yang memenuhi jalanan menuntut keadilan bagi rakyat yang sama.
Sementara dunia Muslim—yang seharusnya menjadi penjaga pertama kehormatan Al-Aqsha—terjebak dalam fragmentasi politik, ketergantungan ekonomi, dan kalkulasi diplomatik.
Menurut analisis Rashid Khalidi dalam The Hundred Years’ War on Palestine (2020), kegagalan dunia Arab bukan karena kurangnya simpati, tetapi karena “kehilangan otonomi strategis.” Negara-negara Muslim bergantung pada Barat untuk keamanan, energi, dan legitimasi internasional, sehingga tak mampu menentang struktur yang sama yang menopang Israel.
Di sisi lain, sosiolog Prancis Olivier Roy menyebut fenomena protes di Eropa sebagai “renaissance of moral politics”—kebangkitan politik nurani yang lahir dari rasa bersalah kolonial dan trauma kemanusiaan. Ia menulis, “Ketika institusi politik bisu, nurani kolektif mengambil alih fungsi negara.”
Barangkali di sinilah letak perbedaan besar: Barat memiliki struktur politik yang bisa ditantang; dunia Muslim memiliki struktur kekuasaan yang menantang rakyatnya.
---
7. Dari Toynbee ke Ibn Khaldun: Siklus Kekuasaan dan Kesadaran
Arnold Toynbee dalam A Study of History pernah menulis bahwa peradaban runtuh bukan karena serangan luar, melainkan karena hilangnya moral challenge dari dalam. Ibn Khaldun menyebutnya hilangnya asabiyyah—rasa solidaritas yang mempersatukan rakyat dan pemimpinnya.
Hari ini, dunia Muslim hidup dalam paradoks itu. Solidaritas untuk Palestina tetap kuat di hati rakyat, tetapi tercerai di tangan penguasa. Pemerintah berbicara dengan bahasa diplomasi, sementara rakyat berbicara dengan bahasa iman. Tidak ada jembatan di antara keduanya.
Sementara itu, di Barat, rakyat menantang negara mereka dengan moralitas yang justru dekat dengan nilai-nilai Islam: menolak penindasan, membela yang tertindas, dan menegakkan keadilan meski melawan arus kekuasaan.
Inilah momen reflektif geopolitik yang penting: gerakan pro-Palestina di Barat adalah cermin bagi dunia Muslim—bahwa kekuatan sejati tak hanya terletak pada iman, tapi juga pada keberanian menantang sistem.
---
8. Kemenangan yang Tak Diukur dengan Bom
Apakah demonstrasi di London dan New York bisa menghentikan genosida Gaza? Tidak secara langsung. Tapi ia mengubah arus opini dunia. Ia mengguncang legitimasi moral Israel, menekan elite politik Barat, dan menumbuhkan generasi baru aktivis global yang menolak logika perang dan kolonialisme.
Dan di dunia Muslim, meski demonstrasi terbatas, ia menjaga bara spiritual solidaritas agar tak padam. Dalam setiap doa, bendera, dan seruan di jalan, umat menegaskan bahwa Palestina bukan isu politik, melainkan cermin kemanusiaan.
Namun efektivitas moral tak bisa berhenti di simbol. Dunia Muslim memerlukan transformasi struktural agar suara rakyat bisa menjadi kekuatan kebijakan, bukan hanya gema spiritual.
---
9. Epilog: Ketika Barat Menangis dan Timur Membisu
Suatu hari di London, seorang ibu Yahudi memegang papan bertuliskan: “Never Again—For Anyone.” Di belakangnya, seorang pemuda Muslim memegang poster: “You bomb Gaza, you kill your own humanity.” Mereka berjalan bersama di tengah hujan.
Pemandangan itu lebih kuat daripada seribu pertemuan diplomatik. Sebab di sana, nurani manusia melampaui politik, ras, dan agama.
Dunia Muslim perlu belajar kembali bahwa solidaritas sejati bukan hanya tentang berbicara, tetapi berani menantang struktur yang melahirkan ketidakadilan. Dan Barat, dalam rasa bersalah kolonialnya, sedang menemukan kembali makna kemanusiaan yang universal.
Mungkin di sinilah takdir sejarah berpindah: yang beragama belajar dari yang sekuler tentang moralitas, dan yang sekuler belajar dari yang beragama tentang harapan.
Ketika jalan-jalan di Eropa, Amerika, dan Australia bergemuruh dengan suara Gaza, dunia Muslim seharusnya bertanya pada dirinya sendiri:
apakah kita masih memiliki keberanian untuk menjadikan doa menjadi kebijakan, dan solidaritas menjadi kekuatan?
Sebab pada akhirnya, kemenangan Gaza bukan hanya kemenangan rakyat yang terjajah—tetapi kemenangan nurani dunia terhadap sistem yang mematikan rasa.
0 komentar: