Perjuangan Petani Palestina: Dari Perjanjian Balfour hingga Badai Al-Aqsha
Surat untuk Kekaisaran yang Menjual Sebidang Surga
Hai Inggris, apakah engkau tahu?
Pada pagi 2 November 1917, pena di tanganmu tak hanya menulis surat diplomatik. Ia menulis luka yang akan berdarah seabad lamanya. Kalimat pendekmu—“Pemerintah Yang Mulia memandang dengan baik pendirian sebuah tanah air bagi bangsa Yahudi di Palestina”—adalah kontrak kematian bagi ladang-ladang zaitun, bagi petani yang menanam gandum di bawah matahari Yerusalem, bagi desa-desa yang telah hidup berabad-abad dalam damai sederhana.
Engkau mungkin mengira sedang menulis sejarah kebesaranmu, padahal engkau sedang menandatangani pengkhianatan paling halus: menjual tanah yang bukan milikmu, untuk membayar utang perangmu sendiri. Dalam satu kalimat, engkau memindahkan langit dari atas kepala rakyat Palestina.
Balfour tidak sedang menulis ayat keagamaan, tetapi nota dagang.
Zionisme tidak lahir dari doa, melainkan dari kalkulasi: Inggris membutuhkan dana, Zionis membutuhkan tanah. Maka yang satu menjual kehormatan, dan yang lain membeli surga orang lain dengan emas.
Dan di ladang-ladang itu, para petani belum tahu bahwa hidup mereka baru saja dijual di meja makan di London.
---
Dari Ladang ke Peta Kekuasaan
Ketika Perang Dunia I berakhir dan Ottoman jatuh, Inggris datang membawa bendera kemenangan dan retorika “peradaban.” Mereka menyebut dirinya pembawa hukum dan kemajuan. Tapi bagi para petani Palestina, kemajuan itu datang dengan serdadu dan peta baru.
Di bawah Mandat Liga Bangsa-Bangsa tahun 1922, Inggris berjanji akan “mempersiapkan rakyat Palestina menuju pemerintahan sendiri.” Tapi janji itu kosong. Di tangan birokrat kolonial, tanah yang selama ini menjadi warisan keluarga dan komunitas mulai dipetakan ulang menjadi sertifikat individu.
Dan hukum baru itu seperti jebakan: tanah yang tak bersertifikat resmi—karena tradisi Palestina berbasis kepemilikan bersama—dianggap “tanah negara” dan dapat dijual atau dialihkan kepada lembaga-lembaga Zionis.
Maka muncullah Palestine Land Development Company dan Jewish National Fund, membeli lahan dari tuan-tuan tanah Arab yang tinggal jauh di Beirut atau Damaskus.
Para petani penggarap yang telah menanam beras, gandum, dan zaitun selama puluhan tahun—dipaksa hengkang.
Mereka tidak paham surat jual-beli, tidak punya pengacara, tidak tahu bahwa “modernisasi tanah” berarti kehilangan tanah itu selamanya.
Sejarawan Ilan Pappé mencatat: “Ribuan keluarga terusir bukan oleh perang, tetapi oleh pena dan stempel.”
Dari sinilah kolonialisme Inggris menunjukkan bentuknya yang paling dingin: tidak dengan senapan, tapi dengan hukum.
---
Kolonialisme dengan Bahasa Kemajuan
Inggris menyebutnya reformasi agraria.
Zionis menyebutnya pembangunan tanah air.
Tapi bagi petani Palestina, itu berarti satu hal: perampasan.
Sistem pajak kolonial mencekik desa-desa Arab. Tanah yang dulu mereka kelola bersama dikenai tarif tinggi atas nama “efisiensi ekonomi.”
Yang tak mampu membayar, tanahnya disita.
Yang mencoba bertahan, dihukum oleh mekanisme utang yang menjerat.
Kolonialisme kini mengenakan jas rapi dan berbicara dengan bahasa administrasi.
Di sisi lain, pemerintah Inggris memberikan izin konsesi luas kepada lembaga-lembaga Zionis untuk membangun jaringan listrik, air, dan irigasi. Mereka menyebutnya “modernisasi.”
Namun akses air dibatasi; petani Palestina tak bisa menyalurkan irigasi tanpa izin.
Pertanian yang dulu swasembada berubah menjadi ladang upahan bagi koloni baru.
Polisi kolonial dilatih bukan untuk menjaga rakyat, tapi melindungi proyek-proyek Zionis.
Milisi Haganah mendapatkan senjata dan pelatihan; sementara demonstrasi petani Palestina dibubarkan dengan tembakan.
Laporan Colonial Office tahun 1930 mencatat secara dingin: “Migrasi Yahudi meningkat, tanah Arab berkurang cepat, ketegangan memuncak.”
Namun di luar statistik itu, ada sesuatu yang tak bisa dihitung: kehilangan martabat.
Sebab bagi petani, tanah bukan hanya sumber hidup—tanah adalah identitas.
---
1936: Revolusi dari Ladang yang Hilang
Mereka yang dianggap lemah mulai bangkit.
Petani yang selama ini diam mulai menulis sejarahnya sendiri dengan darah.
Pada April 1936, Palestina meledak. Petani menyerang jalur kereta, memboikot produk Inggris, menolak membayar pajak.
Dari desa ke desa, dari lembah ke gunung, revolusi bergelora: “Kembalikan tanah kami!”
Selama tiga tahun penuh (1936–1939), Inggris memerangi rakyatnya sendiri.
Pasukan kolonial menghancurkan rumah, membakar desa, dan menembak para pemimpin desa yang dianggap pemberontak.
Surat kabar The Guardian tahun 1938 menulis:
> “Pasukan Inggris memerangi pemberontak Palestina dengan cara yang hanya dapat dibandingkan dengan operasi di koloni Afrika. Desa-desa dibakar, ladang dibumihanguskan.”
Ratusan desa rata dengan tanah.
Tapi semangat itu tak padam.
Dari revolusi petani inilah muncul generasi baru perlawanan, yang kelak melahirkan nama-nama seperti Abd al-Qadir al-Husayni dan Haj Amin al-Husayni—para pemimpin nasionalis yang memadukan agama, tanah, dan harga diri dalam satu kalimat: Palestina adalah amanah.
---
Inggris Mundur, Tapi Dosa Tak Pergi
Ketika Perang Dunia II usai, Inggris adalah kerajaan lelah yang kehilangan darah dan makna.
Arnold Toynbee menulis, “Kekaisaran Inggris memenangkan perang, tapi kehilangan dunianya.”
Di tanah Palestina, kekalahan moral itu bahkan lebih nyata.
Pada tahun 1947, Inggris menyerahkan “masalah Palestina” kepada PBB—bukan karena keadilan, tapi karena kehabisan tenaga.
Ia meninggalkan ladang-ladang yang telah direbut, meninggalkan senjata di tangan milisi Zionis, meninggalkan rakyat Palestina tanpa tanah dan pemerintahan.
Setahun kemudian, tragedi Nakba terjadi.
Lebih dari 700 ribu warga Palestina terusir dari rumah mereka.
Kota-kota tua seperti Haifa dan Jaffa dikosongkan.
Desa-desa hancur, ladang dibakar.
Dan ketika Israel berdiri pada 1948, Inggris menyebutnya “proses transisi yang sulit.”
Tapi bagi rakyat Palestina, itu bukan transisi—itu penghapusan.
Sejarawan Avi Shlaim menulis dengan getir:
> “Inggris bukan mediator antara dua bangsa, melainkan bidan yang melahirkan Israel di atas reruntuhan Palestina.”
---
Dari Pengungsian ke Ketabahan
Setelah 1948, dunia petani berubah menjadi dunia pengungsi.
Orang-orang yang dulu menanam zaitun kini menanam harapan di kamp-kamp tenda: Jenin, Nablus, Gaza, Shatila.
Mereka membawa kunci rumah—simbol bahwa rumah itu masih ada, meski tak bisa ditinggali.
Sosiolog Palestina, Salim Tamari, menulis:
> “Petani berubah menjadi bangsa tanpa ladang, buruh tanpa rumah.”
Namun dari kehilangan itu tumbuh kata yang kini menjadi simbol Palestina: sumud—keteguhan, bertahan meski tanpa tanah, tanpa senjata, tanpa negara.
Mereka tetap menanam, tetap menolak meninggalkan ladang, bahkan ketika tentara Israel membangun pos militer di tengah desa.
Setiap kali pohon zaitun ditebang, mereka menanam dua pohon baru.
Setiap kali tembok pemisah dibangun, mereka menggali sumur baru di sisi lain.
Bagi dunia, mereka tampak kalah.
Tapi dalam kesetiaan mereka pada tanah, ada kemenangan yang lebih besar daripada segala kemenangan militer: kemenangan untuk tetap manusia.
---
Kapitalisme dan Pendudukan: Warisan Kolonial yang Hidup
Seabad setelah Balfour, kolonialisme berganti baju.
Kini bukan lagi Inggris dengan seragam kolonial, melainkan jaringan global: bank, korporasi, dan diplomasi.
Laporan The New Arab tahun 2023 menyebut bahwa lebih dari enam puluh perusahaan Eropa dan Amerika masih aktif mendukung proyek militer dan teknologi Israel di wilayah pendudukan—dengan dalih “pembangunan pasca-konflik.”
Bahkan, beberapa perusahaan pertanian Eropa memasok benih dan pupuk kepada permukiman ilegal, sementara petani Palestina dihalangi dari sumber air.
Kapitalisme menjadi perpanjangan tangan kolonialisme.
Di bawahnya, sistem lama masih hidup: hukum tanah yang berat sebelah, perizinan yang diskriminatif, ekonomi yang meminggirkan.
Inilah Balfour modern—tanpa surat, tanpa tinta, tapi dengan kesepakatan dagang dan sanksi ekonomi.
---
Dari Ladang Balfour ke Langit Gaza
Kini, di abad ke-21, Gaza berdiri sebagai simbol terakhir dari perlawanan agraria yang berubah menjadi perjuangan eksistensial.
Pesawat-pesawat F-16 menggantikan pasukan kolonial Inggris, tapi esensinya sama: menghancurkan kehidupan dari udara agar dunia tak melihat darah di tanah.
Namun Gaza bukan hanya perang militer. Ia adalah kelanjutan dari satu garis sejarah: dari petani yang diusir pada 1930-an, ke keluarga yang kehilangan rumah pada 1948, ke anak-anak yang kini menggenggam batu dan memelihara harapan.
Mereka yang dulu menanam gandum kini menanam keberanian.
Dan setiap kali dunia berkata, “Palestina kalah,” tanah itu sendiri menjawab, “Tidak. Aku masih di sini.”
---
Refleksi: Tanah yang Lebih Luas dari Dunia
Hai Inggris, lihatlah apa yang telah terjadi pada peta yang dulu kau coret di mejamu.
Kini garis-garis itu menjadi tembok, izin, blokade, dan checkpoint.
Tapi lihat pula apa yang tidak bisa kau hapus: tekad manusia untuk tetap mencintai tanahnya.
Engkau mengira telah memenangkan perang dengan pena, tapi kalah di hati sejarah.
Sebab sejarah tak mencatat siapa yang menang, melainkan siapa yang tetap berpegang pada kebenaran saat segalanya runtuh.
Petani Palestina tak punya universitas besar, tak punya tentara, tapi mereka punya keteguhan yang membuat imperium-imperium runtuh malu.
Mereka mengajarkan kepada dunia arti sejati dari kemerdekaan: bukan memiliki tanah, tapi menolak menyerah walau tanah direbut.
---
Epilog: Surat yang Belum Selesai
Hai Inggris, engkau menulis suratmu dengan tinta diplomatik.
Tapi lihatlah—setelah seratus tahun, surat itu belum selesai dibaca.
Masih ada bab yang belum engkau pahami: bahwa tanah yang ditulis dengan ketidakadilan tidak akan pernah menjadi milik siapa pun.
Engkau menjual sebidang tanah, tapi yang kau lukai adalah sejarah manusia.
Namun sejarah memiliki cara sendiri untuk menulis ulang dirinya.
Setiap generasi petani yang menolak pergi adalah kalimat baru dalam surat panjang Palestina kepada dunia.
Dan surat itu akan terus dibaca, sampai tinta terakhir dari penindasanmu mengering.
Sebab tanah Palestina bukan sekadar bumi—ia adalah jiwa yang tak bisa dipindahkan.
Ia menolak mati karena ia ditanam dengan air mata, kesabaran, dan keyakinan.
Dan pada akhirnya, seperti semua kekaisaran sebelum engkau, Inggris, kau akan terlupakan.
Tapi setiap musim semi, saat bunga zaitun kembali mekar di Nablus, dunia akan tahu:
masih ada bangsa yang bertani di antara puing-puing sejarah—
dan menanam bukan sekadar gandum,
tetapi keadilan.
0 komentar: