Algoritma dan Metrik Interaksi Media Sosial Agar Dunia Tak Mempercayai Genosida di Gaza
1. Dialog Batin Pemuda: “Apakah Ini Benar Genosida?”
Di ruang-ruang chat malam, di pojok pekat media sosial, seorang pemuda mengetik:
> “Gencatan senjata sudah diumumkan — lalu kenapa masih ada bom atau nyawa melayang? Apakah ini benar genosida atau propaganda?”
Banyak di antara generasi muda tumbuh di antara berita instan, video viral, dan narasi yang disaring oleh algoritma. Mereka rentan terhadap distorsi, “kebenaran tersaring”, dan manipulasi media. Israel — baik secara diplomatis maupun digital — tampaknya sangat menyadari hal ini: bahwa kemenangan narasi bisa lebih mudah diraih daripada kemenangan militer.
Mereka membangun peta perang baru: mematahkan kepercayaan, menyamarkan bukti, mengalihkan perhatian.
Maka muncul propaganda bahwa apa yang terjadi adalah “kegagalan logistik”, “korban perang tak sengaja”, “kecelakaan dalam perang terbatas”, bukan genosida yang disengaja.
---
2. Strategi Propaganda: Memutarbalik Fakta dan Memblokir Akses
a. Disinformasi & Narasi Alternatif
Platform media sosial dan kanal diplomatik Israel serta pendukungnya acap menyebarkan narasi tandingan:
Tuduhan bahwa korban Palestina berpura-pura agar menarik simpati
Penekanan bahwa kematian terjadi akibat kesalahan Hamas sendiri
Mengontraskan penderitaan rakyat Israel sebagai korban yang “patut disimpatikkan”
Menurut laporan Atlantic Council tentang konflik Israel-Hamas, platform seperti X, TikTok, Telegram telah didesain sehingga konten yang mendukung Israel lebih cepat naik ke permukaan — sedangkan konten pro-Palestina sering kali di-moderasi lebih ketat atau disensor.
Penelitian dari ISD juga menyebut bahwa narasi kebencian dan disinformasi ditargetkan khusus ke audiens Muslim dan Eropa, untuk melemahkan empati terhadap Palestina.
b. Membatasi Akses Bantuan Kemanusiaan sebagai Taktik Tekanan
Israel memegang kunci perbatasan dan rute bantuan. Meskipun gencatan senjata telah disepakati, Israel tetap mengurangi jumlah truk bantuan, menutup Rafah, dan menuntut agar jenazah sandera dipulangkan sebagai kondisi agar bantuan diringankan.
UNRWA menegaskan bahwa Israel terus memblokir suplai makanan dan barang penting ke Gaza meski sudah ada gencatan senjata.
Sebelumnya, Israel juga pernah menghentikan semua suplai sejak 2 Maret 2025 sebagai tekanan diplomatik.
Dengan membiarkan warga lapar dan hidup dalam kekosongan berita, Israel berharap kekacauan akan membuat klaim genosida tampak hiperbolis atau tak masuk akal bagi generasi muda yang “terputus” dari narasi lapangan.
---
3. Pernyataan Ambigu & Penyangkalan Resmi
Israel sering mengganti narasi ketika difokuskan:
Ketika jenazah sandera dikembalikan, mereka mengklaim salah satu bukan sandera sama sekali.
Ketika bantuan ditolak, mereka menyalahkan keterlambatan Hamas dalam menyerahkan jenazah.
Ketika serangan terjadi di zona “larangan bergerak”, mereka menyebut korban memasuki zona ilegal dan “menjadi target” — mendefinisikan ulang batas secara sepihak.
Narasi semacam ini menanam keraguan di benak pemuda: “Kalau mereka tidak mau mengakui, apakah benar-benar terjadi kejahatan besar?”
---
4. Algoritma yang Memihak & Efek Resonansi Media
Media sosial tidak netral. Algoritma dan metrik interaksi (like, share) memperkuat konten yang mengundang emosi kuat — sering kali konten provokatif dan polarizing. (Penelitian Avram et al.)
Platform juga mengubah kebijakan moderasi yang melemahkan kemampuan untuk mendeteksi disinformasi konflik.
Narasi tandingan yang pro-Israel sering mendapatkan prioritas visibilitas, sementara konten kemanusiaan Palestina disensor atau dibungkam lebih cepat.
Akibatnya, pemuda yang mencari jawaban melalui media sosial bisa “terjebak” dalam gelembung informasi terfilter — di mana mereka hanya melihat sudut pandang minimal dan terdistorsi.
---
5. Kelelahan Emosi & Silau Konflik
Studi terhadap pemuda Muslim yang mengonsumsi berita konflik secara intensif menunjukkan dampak psikologis: kelelahan berita (news fatigue), keraguan terhadap kebenaran, dan emosi yang mati rasa.
Banyak yang mengatakan: “Kadang saya ragu apa yang saya baca itu benar — bisa jadi propaganda musuh.”
Karena kelelahan itu, narasi yang lebih sederhana dan “tak kontroversial” (bahwa konflik sudah selesai, “damai tercapai”) terasa lebih aman dan diterima, bahkan jika hati tahu ada yang salah.
---
6. Memori yang Dihapus, Bukti yang Dikubur
Menghapus ingatan adalah bagian dari strategi pemupukan amnesia kolektif. Israel memberi tekanan agar dokumentasi korban dan laporan investigasi tidak kuat disebarluaskan.
Contohnya: tuduhan bahwa foto korban direkayasa, video palsu, atau alat propaganda “Pallywood” digunakan untuk mencemarkan narasi Palestina.
Identifikasi korban juga sengaja dirahasiakan atau dibatasi. Ketika jenazah dikembalikan, banyak yang tidak diidentifikasi atau cedera parah.
Tanpa bukti visual yang kuat, generasi muda bisa menolak klaim genosida sebagai “berlebihan”, “tak terbukti”, atau “propaganda ekstrem.”
---
7. Narasi “Perang Sudah Berakhir” sebagai Manipulasi
Israel dan pendukungnya menyebarkan klaim bahwa gencatan senjata berarti perang selesai. Seolah konflik kritis telah “ditangani”.
Artikel Arwa Mahdawi menyindir ini sebagai gestur diplomatik: kita diharapkan berterima kasih bahwa bom tidak jatuh hari ini.
Namun fakta di lapangan menolak itu: bahkan di masa gencatan senjata, setidaknya 3 warga Palestina tewas akibat tembakan Israel menurut Al Jazeera.
Pengumuman “perdamaian” dini ini bertujuan mengaburkan bahwa perang mitos mungkin hanya diganti dengan perang bentuk lain: kelaparan, pembatasan, kontrol populasi.
---
8. Refleksi Antara Hati & Batin: Bisikan Lurus di Tengah Kebisingan
Generasi muda yang berpikir kritis harus dilatih “membaca sela-sela narasi”—tanpa panik, tetapi dengan hati waspada.
Ketika dunia mengatakan “damai tercapai”, hati bisa bertanya: “Kalau korban masih jatuh, kalau bantuan diblokir, kalau mereka menyebut korban bukan korban — maka di mana damai itu?”
Allah berfirman:
> “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya — dan itu selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)
Pemuda harus menjaga hati mereka tetap sebagai ruang paling suci — tempat pertanyaan benar dan nurani menolak berkompromi dengan kezaliman.
0 komentar: