Saat Pencipta Takdir Menceritakan Takdir-Nya
Antara Sejarah yang Ditulis Manusia dan Takdir yang Ditulis Tuhan
Sejarah manusia adalah kisah tentang pencarian makna di tengah keterbatasan pengetahuan. Namun sebelum pena pertama menulis, sebelum batu pertama ditatahkan menjadi prasasti, telah ada Pena lain — Pena yang menulis takdir. Di sana, sejarah bukanlah upaya rekonstruksi, tetapi wahyu dari Sang Pencipta Takdir.
Dan di sinilah perbedaan paling mendasar: manusia menulis sejarah dengan keraguan, sementara Allah menulis takdir dengan kepastian.
---
1. Saat Sejarawan Menafsir, Tuhan Menetapkan
Menulis sejarah bukan sekadar menyalin peristiwa masa lalu. Ia adalah upaya merekonstruksi realitas yang telah hilang — berdasarkan sisa-sisa bukti yang terserak dan interpretasi manusia yang tak pernah sepenuhnya netral. Karena itu, penulisan sejarah selalu mengandung keruwetan epistemologis, ideologis, dan metodologis.
E.H. Carr dalam What is History? menulis bahwa sejarah adalah “dialog antara masa kini dan masa lalu.” Sejarawan tidak pernah benar-benar menjadi cermin pasif. Ia memilih fakta, menyaringnya, menafsirkannya sesuai nilai zamannya. Maka, sejarah bukanlah potret realitas, melainkan hasil dari pilihan-pilihan manusia.
> “Fakta sejarah tidak berbicara sendiri,” tulis Carr, “sejarawanlah yang membuatnya berbicara.”
Namun, bukankah Tuhan yang sebenarnya membuat segala sesuatu “berbicara”? Bukankah setiap fakta di alam semesta adalah ayat yang menunjuk kepada-Nya? Ketika manusia berusaha menulis sejarah, ia sedang berusaha memahami potongan kecil dari naskah besar takdir Ilahi. Tapi setiap kali manusia menulis, ia menulis dari luar — sedangkan Tuhan menulis dari dalam realitas itu sendiri.
---
2. Fragmen dan Keutuhan
R.G. Collingwood menyebut sejarawan sebagai “perakit mosaik dari pecahan kaca.” Ia merangkai serpihan catatan, prasasti, dan ingatan untuk membentuk gambaran utuh — tapi selalu ada bagian yang hilang, kabur, atau terhapus.
Namun Tuhan tidak bekerja dengan pecahan. Takdir Ilahi adalah gambaran utuh. Tidak ada yang terhapus, tidak ada yang terlupakan. Apa yang bagi manusia tampak sebagai fragmen, bagi Tuhan adalah simfoni.
Manusia menulis sejarah dengan keterbatasan waktu; Tuhan menulis takdir dengan keabadian. Manusia membaca dari belakang; Tuhan menulis dari awal hingga akhir sekaligus.
Keruwetan sejarawan adalah tanda keterbatasan akal. Keteraturan takdir adalah tanda kesempurnaan hikmah.
---
3. Sejarah dan Kekuasaan
Michel Foucault menafsir sejarah sebagai “arsip kekuasaan.” Ia melihat bahwa sejarah sering ditulis oleh mereka yang menang, untuk meneguhkan legitimasi dan menghapus suara yang kalah.
Tetapi dalam pandangan tauhid, kekuasaan sejati bukanlah milik manusia. Yang disebut pemenang dan pecundang dalam buku sejarah hanyalah ilusi sementara dari perspektif bumi. Dalam buku takdir, sering kali yang kalah di dunia justru menang di sisi Tuhan.
Maka, ketika sejarawan sibuk menulis tentang pahlawan dan penguasa, Tuhan mencatat niat dan kesetiaan. Sejarah manusia mencatat kemenangan pasukan; sejarah Tuhan mencatat kebenaran perjuangan.
Di sinilah letak perbedaan: manusia mencatat peristiwa, Tuhan mencatat makna.
---
4. Antara Ilmu dan Hikmah
Leopold von Ranke menginginkan sejarah “apa adanya sebagaimana terjadinya.” Namun sejarawan modern seperti Hayden White menyebut sejarah sebagai “narasi” yang dibentuk oleh gaya bahasa dan imajinasi. Sejarah, katanya, adalah seni menyusun realitas menjadi cerita.
Tapi Sang Pencipta Takdir tidak “menyusun cerita”; Ia mencipta realitas. Ia tidak menafsirkan fakta; Ia yang menjadikannya ada. Dalam ilmu Tuhan, tidak ada retorika, hanya kebenaran mutlak. Dalam tulisan manusia, selalu ada tafsir dan kemungkinan salah.
Ketika manusia berbicara tentang sebab dan akibat, Tuhan sudah mengetahui ujung dari setiap awal. Maka sejarah di tangan manusia adalah ilmu tentang jejak, sedangkan di tangan Tuhan adalah hikmah tentang tujuan.
---
5. Ketika Barat Menulis Dunia
Edward Said menyebut sejarah modern sebagai proyek orientalisme — cara Barat melihat Timur sebagai “yang lain”, objek yang diamati, bukan subjek yang berbicara. Maka, sejarah dunia sering diputar dari poros Eropa, menjadikan dunia Islam dan Timur sebagai “lampiran” dari kisah kemajuan Barat.
Namun Tuhan tidak menulis sejarah dari satu pusat geografis. Ia menebar hikmah di setiap sudut bumi. Mekkah yang kering dan sunyi menjadi poros dunia, sementara istana Mesir dan Babilonia runtuh tanpa makna. Sejarah Tuhan tidak tunduk pada imperium, karena pusat sejarah-Nya adalah hati manusia yang beriman.
Maka benar kata Syed Naquib al-Attas dan Marshall Hodgson: sejarah harus ditulis dari pandangan tauhid, bukan kekuasaan. Karena tauhid memandang waktu bukan sebagai garis, tapi sebagai amanah. Yang besar bukan yang menang, tapi yang benar.
---
6. Antara Memori dan Wahyu
Maurice Halbwachs menulis bahwa sejarah sering kalah oleh memori kolektif. Ingatan manusia disusun oleh ritual, lagu, dan simbol — lebih hidup daripada arsip. Tapi dalam wahyu, ingatan tidak lahir dari nostalgia, melainkan dari pengingat (dzikr).
Ketika Tuhan menceritakan sejarah dalam wahyu — kisah Nabi Nuh, Yusuf, Musa, Isa, hingga Muhammad ï·º — Ia tidak sekadar menyusun kronologi. Ia sedang mengingatkan manusia akan pola-pola takdir. Bahwa kesabaran akan diuji, kebenaran akan ditentang, dan kemenangan sejati hanyalah ketaatan kepada-Nya.
Dengan demikian, sejarah wahyu bukan catatan, tapi cermin jiwa. Ia menunjukkan bagaimana manusia berulang kali jatuh pada kesalahan yang sama — sombong ketika makmur, berdoa ketika terjepit, dan lupa ketika ditolong.
---
7. Fakta dan Kebenaran
Ibn Khaldun menegaskan bahwa kebohongan adalah penyakit umum dalam penulisan sejarah. Sejarawan menyalin tanpa menimbang konteks, fanatisme menggantikan akal, kepentingan mengaburkan kebenaran.
Namun dalam wahyu, kebenaran tidak ditafsirkan — ia diwahyukan. Fakta mungkin bisa direka ulang, tapi kebenaran tidak bisa dipalsukan.
Maka, bagi yang beriman, membaca wahyu adalah membaca sejarah dari sisi Tuhan. Ia melihat bagaimana setiap zaman berputar dengan hukum-hukum moral yang sama. Bahwa kezhaliman akan runtuh, sebagaimana Fir’aun dan Qarun, sebagaimana Romawi dan Persia, sebagaimana siapa pun yang menolak kebenaran.
---
8. Ketika Tuhan Menulis Sejarah
Jika manusia menulis sejarah berdasarkan bukti, Tuhan menulis sejarah berdasarkan kehendak. Setiap daun yang jatuh, setiap peradaban yang bangkit dan runtuh, semuanya adalah bagian dari skenario agung.
Peradaban Sumeria, Mesir, Assyria, Persia, Romawi, Indus, Yunani — semuanya telah menulis bab-bab megah dalam buku manusia. Namun semua itu lenyap, seakan tak pernah ada. Dan kemudian, dari padang tandus Mekah dan Madinah, bangkit sebuah bangsa yang tak memiliki istana, tapi memiliki tauhid.
Itulah momen ketika Pencipta Takdir menceritakan takdir-Nya sendiri — bukan melalui arkeologi atau prasasti, tapi melalui wahyu.
---
9. Penutup: Ketika Pena Tuhan Menulis
Keruwetan sejarawan adalah bagian dari keterbatasan manusia memahami yang telah terjadi. Tetapi bagi Tuhan, yang terjadi, sedang terjadi, dan akan terjadi — semuanya telah tertulis.
Ketika manusia menulis sejarah, ia mencari makna di antara debu.
Ketika Tuhan menulis takdir, Ia meniupkan makna ke dalam debu itu, dan jadilah manusia.
Sejarah manusia adalah upaya memahami takdir Tuhan.
Dan takdir Tuhan adalah cara Tuhan mengajarkan makna sejarah manusia.
Maka, siapa yang ingin memahami sejarah dengan jernih, jangan hanya membaca arsip dan prasasti — bacalah wahyu. Karena hanya di sana, sejarah bukan sekadar catatan tentang apa yang terjadi, tetapi penjelasan mengapa semuanya harus terjadi.
0 komentar: