Israel: "Hakim, Juri, dan Algojo Sekaligus, Atas Gencatan Senjata yang Disepakati Sendiri"
1. Keheningan yang Palsu
Hari itu, langit Gaza tampak seolah tenang. Suara drone berhenti sejenak, debu reruntuhan mulai mengendap, dan orang-orang mencoba menyalakan kompor kecil di antara puing. Tapi seperti yang dikatakan seorang ibu di Khan Younis kepada Al Jazeera, “setiap kali kami mencoba bernapas, ada suara peluru yang memotong udara.”
Gencatan senjata — katanya — hanyalah jeda yang dibuat agar dunia kembali diam.
Namun, bahkan dalam keheningan itu, kematian tidak berhenti. Israel masih menembaki rumah-rumah yang tersisa, membatasi makanan, memblokir obat-obatan, dan menutup jalan bantuan kemanusiaan. Seolah-olah damai hanyalah taktik baru perang: perang terhadap kelaparan, penyakit, dan waktu.
---
2. “Hakim, Juri, dan Algojo Sekaligus”
Dalam laporannya dari Yordania — sebab Al Jazeera kini dilarang melaporkan langsung dari Israel dan Tepi Barat — jurnalis Nour Odeh menyebut Israel sebagai pihak yang “bertindak sebagai hakim, juri, dan algojo” atas gencatan senjata yang mereka sepakati sendiri.
Perjanjian itu tidak memiliki tenggat waktu untuk pemulangan jenazah sandera. Namun, Israel kini menggunakan isu tersebut untuk menekan pihak lawan dan menjustifikasi pemblokiran bantuan.
Sebagaimana disebutkan dalam laporan, lebih dari 55 juta ton puing menutupi Gaza, dan lebih dari 10.000 orang masih tertimbun di bawahnya. Agar jenazah para sandera dapat ditemukan pun, Israel harus mengizinkan alat berat masuk — namun izin itu sengaja ditahan.
Sementara itu, bantuan kemanusiaan dibatasi. Truk-truk bantuan yang seharusnya berjumlah 600 per hari hanya diizinkan 173 truk, menurut laporan OCHA dan Pemerintah Media Gaza. Jumlah yang bahkan “tidak mencukupi kebutuhan minimum populasi.”
---
3. “Membunuh Tanpa Peluru”
Perserikatan Bangsa-Bangsa, melalui UNRWA, menegaskan pada 15 Oktober 2025 bahwa Israel masih memblokir bantuan meskipun gencatan senjata telah disepakati sejak Jumat sebelumnya.
Lebih dari 12.000 staf UNRWA di Gaza tidak dapat menyalurkan logistik, padahal ratusan ribu ton makanan dan bahan bangunan telah menumpuk di Rafah, siap disalurkan untuk tiga bulan ke depan.
“Pembatasan yang berkepanjangan ini berisiko memperburuk kondisi yang sudah sangat buruk,” tulis UNRWA.
Foto-foto dari AFP menunjukkan truk bantuan yang berbaris di sisi Mesir, menunggu izin dari Israel untuk melintas. Sementara dari sisi Palestina, anak-anak berdiri di jalanan yang rusak, memegang wadah kosong, menunggu air yang tak kunjung datang.
Mereka bukan dibunuh oleh peluru — tetapi oleh kelaparan yang sengaja diciptakan.
---
4. Genosida dengan Bahasa Diplomasi
Tulisan Ramona Wadi di Middle East Monitor mengungkap bahwa Israel tidak hanya melanggar gencatan senjata, tetapi juga mengubah bentuk perang itu sendiri.
“Kelaparan kini dijadikan sarana genosida — dan itu menghancurkan seluruh paradigma kemanusiaan.”
Pernyataannya tegas: diplomasi internasional justru memelihara kekaburan. Amerika Serikat dengan bangga menandatangani perjanjian di Sharm el-Sheikh, menyebutnya sebagai “kesepakatan damai”, padahal itu hanya memberi ruang bagi Israel untuk melanjutkan dominasi dengan cara yang lebih halus.
Uni Eropa, yang merasa “tersisih” dari peran politik Timur Tengah oleh Presiden Trump, kini berusaha menegaskan dirinya sebagai “penjaga perdamaian”. Namun, sebagaimana dikutip Ramona, “pengaruh politik mereka lebih besar pada Israel dan kaki tangannya, bukan pada rakyat Palestina.”
Eropa ingin duduk di Dewan Pengawas Perdamaian, tetapi tak ada yang berani mengucap kata yang paling penting dalam konflik ini: dekolonisasi.
---
5. Rencana Dua Negara: Sebuah Penipuan Lama
Wadi melanjutkan analisanya bahwa rencana dua negara yang diulang-ulang sejak Perjanjian Oslo hanyalah ilusi. Paradigma itu dibangun di atas Rencana Pembagian 1947 — bukan untuk membentuk negara Palestina, tetapi untuk mencegahnya lahir selamanya.
“Satu-satunya negara Palestina yang diakui dunia hanyalah negara simbolis yang tidak pernah ada,” tulisnya.
Rencana Trump yang kini direvisi pasca-genosida Gaza masih memuat pola yang sama: menunda kenegaraan Palestina tanpa pernah menutupnya secara resmi. Sebuah penundaan permanen agar Israel bisa terus membangun permukiman di atas reruntuhan rumah orang-orang Gaza.
Dan dunia — yang katanya mencintai perdamaian — memilih untuk membisu, atau paling jauh, menulis laporan.
---
6. Luka yang Terus Dihitung
Dalam laporan Anadolu Agency, disebutkan bahwa sejak awal gencatan senjata, Israel telah melakukan 37 pelanggaran tembak-menembak kecil, terutama di Beit Hanoun dan Rafah. Di antaranya menewaskan dua anak.
Bagi dunia, itu “pelanggaran kecil”.
Bagi keluarga korban, itu adalah dunia yang runtuh.
Sementara di pihak Israel, para keluarga sandera yang tak kunjung dipulangkan mulai menekan pemerintahnya untuk “kembali berperang.” Tekanan internal ini — menurut Nour Odeh — digunakan Netanyahu sebagai dalih untuk menunda pelaksanaan penuh perjanjian. Ia tahu bahwa rakyatnya haus akan kepastian, dan kepastian itu hanya datang dari perang.
---
7. Narasi Barat dan Amnesia Dunia
BBC dan The Guardian melaporkan pergeseran opini publik di Eropa dan Amerika. Dukungan terhadap Israel mulai menurun, tetapi tak diikuti dengan kebijakan nyata. Pemerintah masih mengirimkan senjata, masih menyebut Israel “berhak membela diri.”
Apakah dunia sedang lupa, atau berpura-pura tidak tahu?
Sosiolog Prancis Jean Baudrillard pernah menulis, “Perang modern tidak lagi berakhir dengan kemenangan atau kekalahan, tapi dengan kebingungan moral yang menjadi konsumsi media.”
Begitulah Gaza hari ini. Sebuah perang yang tidak dimenangkan siapa pun — kecuali kamera, algoritma, dan narasi.
---
8. Suara yang Tersisa: Nurani
Dalam salah satu khutbahnya, Nabi ï·º bersabda:
“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya — dan itu selemah-lemahnya iman.”
(HR. Muslim)
Gaza mungkin kini hanya tersisa pada tahap ketiga: iman yang bergetar dalam diam.
Mereka tak punya tangan untuk melawan, tak punya suara untuk didengar. Tetapi hati mereka tetap hidup — dan itulah yang ditakuti oleh penjajah mana pun.
---
9. Tafsir Jiwa: Ketika Hati Menolak Mati
Seorang pakar psikologi trauma dari Universitas Harvard, Dr. Richard Mollica, dalam wawancaranya dengan Psychology Today, menyebut bahwa manusia bisa bertahan dalam kondisi ekstrem “selama masih memiliki makna.”
Makna — bukan makanan — yang membuat manusia tetap hidup di kamp konsentrasi, di ruang penyiksaan, di reruntuhan kota.
Dan bagi rakyat Gaza, makna itu jelas: bertahan adalah bentuk ibadah.
Seorang pemuda Palestina pernah berkata kepada Reuters:
“Kami tidak mati karena kelaparan. Kami hidup karena iman.”
Itulah jenius spiritual umat yang tak tunduk pada logika kekuasaan.
---
10. Seruan dari Debu
Maka, apakah gencatan senjata ini sungguh damai?
Ataukah hanya ruang bagi Israel untuk mengatur ulang peluru dan retorikanya?
Dunia boleh menyebutnya truce, ceasefire, atau peace process — tetapi di jalanan Rafah, anak-anak tahu bahwa kedamaian sejati hanya datang dari Allah, bukan dari resolusi Dewan Keamanan.
Sebagaimana firman-Nya:
“Dan apabila mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah.”
(QS. Al-Anfal: 61)
Namun Allah juga memperingatkan:
“Dan janganlah kamu lemah menghadapi kaum yang berkhianat.”
(QS. Al-Anfal: 58)
Maka, antara ayat 61 dan 58 itu, umat beriman berdiri: bukan sebagai pihak yang pasrah, tetapi yang sabar dan sadar. Karena sabar tidak berarti diam.
---
11. Penutup: Damai yang Belum Datang
Kini, langit Gaza kembali redup oleh asap, bukan senja. Dunia menulis laporan baru tentang pelanggaran baru, seolah sejarah bisa disembunyikan di balik laporan harian.
Tetapi, seperti kata penyair Mahmoud Darwish:
“Mereka bisa menghancurkan rumahku, tetapi tidak bisa menghancurkan aku yang di dalamnya.”
Itulah paradoks gencatan senjata Israel: menghentikan bom, tetapi tidak menghentikan kejahatan. Mengizinkan diplomasi, tetapi menolak kemanusiaan.
Dan di tengah reruntuhan itu, seorang anak kecil masih menulis di dinding bata:
“Kami belum kalah.”
0 komentar: