basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Mental Ahli Dzikir, Mental Para Pebisnis --- Prolog: Antara Dzikir dan Pasar Bayangkan seorang pebisnis muda yang berdiri di dep...


Mental Ahli Dzikir, Mental Para Pebisnis


---

Prolog: Antara Dzikir dan Pasar

Bayangkan seorang pebisnis muda yang berdiri di depan kios barunya. Tangan kanannya menggenggam kunci, sementara di bibirnya lirih keluar kalimat: Bismillāhir-Raḥmānir-Raḥīm. Di saat yang sama, di sebuah masjid tua, seorang hamba Allah yang renta menundukkan kepala, mengulang pelan: Subḥānallāh, Alḥamdulillāh, Allāhu Akbar. Dua ruang berbeda, satu benang merah: latihan jiwa melalui dzikir.

Lalu muncul pertanyaan: Apakah mungkin mental seorang ahli dzikir dan mental seorang pebisnis sejati bertemu dalam satu garis lurus? Ataukah keduanya berjalan di jalur yang berbeda—yang satu menatap langit, yang satu menghitung angka?

Mari kita telusuri, perlahan namun mendalam, bagaimana empat kalimat dzikir utama yang dipuji ulama—Bismillāh, Alḥamdulillāh, Subḥānallāh, Allāhu Akbar—membentuk mental seorang mukmin. Lalu kita sandingkan dengan mentalitas para pebisnis menurut pakar modern. Dari situ, kita akan melihat bahwa keduanya ternyata bukan hanya selaras, melainkan bisa saling melengkapi.


---

Bismillāh: Mental Tawakkal, Mental Integritas

Para ulama tafsir dan tasawuf sepakat bahwa Bismillāh bukan sekadar pembuka kalimat. Imam al-Ṭabari menafsirkan: “Seakan seorang hamba berkata, aku memulai pekerjaanku ini dengan nama Allah, memohon pertolongan-Nya dan keberkahan-Nya.” Imam Ghazali bahkan menyebutnya sebagai dzikir hati dan lidah—hati menghadirkan Allah, lidah melafazkan nama-Nya, sehingga sebuah pekerjaan berubah menjadi ibadah.

Makna praktisnya jelas: Bismillāh melatih mental tawakkal, kesadaran bahwa daya dan kekuatan manusia terbatas, dan hanya dengan izin Allah amal akan berhasil. Ia menanamkan keyakinan sekaligus kerendahan hati.

Di dunia bisnis, mental ini sangat dekat dengan apa yang disebut pakar sebagai integritas. Seorang pebisnis yang berintegritas selalu memulai langkah dengan niat bersih, tidak tergoda untuk menipu, sebab ia sadar bisnisnya berdiri “dengan nama Allah”. Integritas inilah yang membuat kepercayaan lahir—modal yang jauh lebih mahal daripada sekadar modal finansial.

Maka Bismillāh bukan sekadar doa. Ia adalah pondasi mental yang dibutuhkan oleh setiap pebisnis: keberanian untuk melangkah dengan keyakinan, sekaligus kerendahan hati untuk mengakui keterbatasan diri.


---

Alḥamdulillāh: Mental Syukur, Mental Resiliensi

Kata Alḥamdulillāh adalah pernyataan syukur dan pengakuan bahwa semua pujian hanya milik Allah. Imam Ibn Katsir menegaskan: ia adalah pujian atas kesempurnaan sifat Allah dan kebaikan nikmat-Nya. Imam al-Qurthubi menambahkan: Alḥamdulillāh berlaku dalam segala keadaan—lapang maupun sempit, senang maupun susah.

Inilah latihan jiwa yang menghasilkan mental qana‘ah dan optimisme. Orang yang terbiasa dengan Alḥamdulillāh tidak mudah terjebak dalam keluhan. Ia melihat nikmat dalam setiap kondisi. Bahkan dalam kegagalan, ada pelajaran yang patut disyukuri.

Para pakar bisnis menyebut mental ini dengan istilah resiliensi—kemampuan untuk bangkit kembali setelah jatuh. Seorang entrepreneur sejati tidak pernah gagal sekali lalu berhenti. Ia belajar, ia bangun, dan ia bersyukur. Jim Collins dalam bukunya Good to Great menulis bahwa perusahaan besar justru lahir dari orang-orang yang bisa menghargai proses, bukan hanya hasil. Bukankah ini sejalan dengan ruh Alḥamdulillāh?

Maka seorang ahli dzikir dan seorang pebisnis sejati sama-sama belajar untuk berkata: Alḥamdulillāh—segala puji bagi Allah—sekalipun profit tidak sesuai harapan, sebab ia yakin selalu ada hikmah yang menguatkan.


---

Subḥānallāh: Mental Kesadaran, Mental Objektif

Dzikir Subḥānallāh berarti “Maha Suci Allah dari segala kekurangan.” Imam al-Qurthubi menyebutnya sebagai tanzīh—pensucian Allah dari sifat-sifat makhluk. Imam Nawawi menyebutnya dzikir agung yang mengikis kesombongan. Bagi para sufi, Subḥānallāh adalah kesadaran batin bahwa manusia penuh kekurangan dan Allah berada di puncak kesempurnaan.

Dari sini lahir mental kejernihan. Subḥānallāh mengajarkan kita untuk melihat realitas dengan jernih, tanpa ego yang menutupi pandangan. Ia menumbuhkan kerendahan hati—sekalipun usaha sukses, manusia sadar bahwa semua itu kecil di hadapan Allah.

Dalam ilmu bisnis modern, mental ini dekat dengan objektivitas dan disiplin. Pebisnis yang sukses harus bisa melihat pasar apa adanya, bukan seperti yang ia khayalkan. Ia harus rendah hati menerima data, masukan, dan kritik. Subjektivitas dan kesombongan seringkali menjadi jebakan yang menenggelamkan banyak pengusaha.

Maka Subḥānallāh menjadi rem yang mengingatkan: jangan biarkan ego membutakan. Biarlah pikiran jernih dan hati bersih mengarahkan keputusan. Dengan itu, bisnis tidak hanya berjalan dengan disiplin, tapi juga selaras dengan kesadaran spiritual.


---

Allāhu Akbar: Mental Keberanian, Mental Visioner

Kalimat Allāhu Akbar adalah pengakuan bahwa Allah lebih besar dari segala sesuatu. Imam Fakhruddin al-Rāzi menulis: “Setiap kali engkau membayangkan sesuatu yang besar, Allah lebih besar dari itu.” Kalimat ini menjadi pembuka shalat, seakan mengingatkan bahwa dunia kecil dibanding kebesaran Allah.

Mental yang lahir dari dzikir ini adalah keberanian. Seorang hamba yang yakin Allah lebih besar dari semua masalah, tidak akan mudah gentar menghadapi tantangan. Ia juga belajar menata prioritas: Allah lebih besar daripada harta, jabatan, atau pesaing.

Dalam dunia bisnis, pakar menyebut mental ini sebagai visi besar dan keberanian mengambil risiko. Seorang entrepreneur tidak akan tumbuh jika hanya bermain aman. Ia harus berani melangkah, bahkan ketika risiko mengintai. Namun keberanian itu tidak lahir dari nekat, melainkan dari visi besar yang menyalakan semangat.

Takbir—Allāhu Akbar—menjadi sumber energi yang sama: Allah lebih besar dari rasa takutmu, maka melangkahlah dengan yakin.


---

Menyandingkan Dzikir dan Bisnis

Jika keempat kalimat dzikir ini kita sejajarkan dengan mentalitas bisnis modern, terlihat keselarasan yang indah:

Bismillāh ↔ Integritas dan keyakinan.

Alḥamdulillāh ↔ Resiliensi dan optimisme.

Subḥānallāh ↔ Objektivitas dan disiplin.

Allāhu Akbar ↔ Visi besar dan keberanian.


Artinya, dzikir bukanlah pelarian dari dunia bisnis. Justru ia fondasi spiritual yang menjaga agar bisnis tidak kehilangan arah. Jika pakar bisnis berbicara tentang strategi, sistem, dan pasar, para ulama berbicara tentang hati, iman, dan kesadaran. Keduanya tidak bertentangan, melainkan saling mengisi.

Seorang pebisnis yang hanya berbekal strategi tanpa dzikir bisa kehilangan arah moral. Sebaliknya, seorang ahli dzikir yang abai pada realitas bisa terjebak pada pasifitas. Tetapi ketika keduanya digabung, lahirlah sosok yang kuat di pasar, kokoh di hati, dan lurus di jalan Allah.


---

Epilog: Pebisnis yang Berdzikir, Ahli Dzikir yang Berbisnis

Mari kita kembali pada gambaran awal: seorang pebisnis yang membuka kiosnya dengan Bismillāh. Apa yang membedakan dia dari sekadar pedagang biasa? Jawabannya adalah mental. Ia tidak sekadar menjual barang, tapi sedang menanam integritas. Ketika gagal, ia berbisik Alḥamdulillāh. Saat sukses, ia menunduk dengan Subḥānallāh. Ketika harus mengambil keputusan besar, ia meneguhkan hati dengan Allāhu Akbar.

Begitu pula seorang ahli dzikir yang menekuni ibadahnya di masjid. Jika dzikirnya benar-benar meresap, ia tidak akan menjadi pasif. Ia akan membawa mental tawakkal, syukur, kejernihan, dan keberanian itu ke dalam kehidupan nyata—termasuk dalam bisnis, kerja, dan perjuangan.

Maka, “mental ahli dzikir” dan “mental para pebisnis” sesungguhnya tidak berjalan di jalur yang berbeda. Mereka bertemu di satu titik: kesadaran bahwa hidup adalah amanah, bahwa kerja adalah ibadah, bahwa risiko adalah ujian, dan bahwa keberhasilan sejati bukan sekadar profit, tapi keberkahan.

Kesimpulan: Seorang pebisnis yang berdzikir akan berani tapi rendah hati, visioner tapi realistis, kaya tapi tetap bersyukur, sukses tapi tetap tawadhu’. Sebaliknya, seorang ahli dzikir yang paham makna dunia akan menjadi pebisnis yang jujur, tangguh, dan berani. Inilah jalan tengah yang diajarkan Islam: dunia bukan ditinggalkan, melainkan ditundukkan dengan dzikir.


---

Akhir kata: Mungkin inilah rahasia mengapa Rasulullah ﷺ, sahabat-sahabat beliau, dan para ulama besar mampu menjadi pedagang, pemimpin, dan ahli ibadah sekaligus. Karena bagi mereka, dzikir dan bisnis bukanlah dua dunia yang berlawanan. Mereka adalah dua sayap yang membawa manusia terbang lebih tinggi, menuju keberhasilan yang hakiki—di dunia dan di akhirat.

Puasa, Pengendalian Diri, dan Jalan Menuju Keuangan serta Bisnis yang Sehat “Puasa itu bukan hanya menahan lapar dan dahaga. Ia ...

Puasa, Pengendalian Diri, dan Jalan Menuju Keuangan serta Bisnis yang Sehat

“Puasa itu bukan hanya menahan lapar dan dahaga. Ia adalah latihan mengendalikan diri, menundukkan hawa nafsu, dan mendidik jiwa untuk lebih bijak dalam hidup.”

Kalimat ini kerap terdengar dalam ceramah para ulama, namun sering kita lupakan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, inti dari puasa—sebagaimana ditegaskan Al-Qur’an—bukan sekadar ritual, tetapi sekolah jiwa agar manusia sampai pada derajat taqwa. Allah ﷻ berfirman:

> “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 183)



Ayat ini menegaskan, tujuan utama puasa adalah lahirnya kesadaran diri. Kesadaran itu tampak dalam kemampuan menahan nafsu, mengendalikan emosi, menata perilaku, hingga mengatur harta. Dengan kata lain, puasa bukan hanya menata perut, melainkan juga menata dompet dan bisnis.


---

Puasa: Sekolah Pengendalian Diri

Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Puasa adalah perisai, maka janganlah berkata kotor atau berbuat bodoh. Jika seseorang mencacinya atau memusuhinya, hendaklah ia berkata: ‘Aku sedang berpuasa’.”
(HR. Bukhari & Muslim)



Hadits ini menunjukkan bahwa puasa berfungsi sebagai rem dalam hidup. Ia mencegah manusia dari ledakan emosi, dari nafsu syahwat, dari kerakusan terhadap dunia. Lapar yang dirasakan sepanjang siang bukan sekadar ujian fisik, melainkan terapi batin: menundukkan ego dan menajamkan empati.

Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menegaskan bahwa puasa bukanlah menahan lapar saja, tetapi menjaga lisan, menundukkan pandangan, mengendalikan hati dari lintasan buruk, dan menata jiwa agar lebih dekat kepada Allah.

Puasa, dengan demikian, adalah laboratorium spiritual. Dan di dalam laboratorium itu, manusia belajar tiga hal pokok:

1. Menunda kenikmatan – menunggu waktu berbuka meski makanan sudah tersedia.


2. Membedakan kebutuhan dan keinginan – cukup makan secukupnya, tidak berlebihan.


3. Disiplin pada aturan – sahur, berbuka, dan niat dilakukan pada waktu tertentu.



Tiga hal ini ternyata bukan hanya kunci keberhasilan spiritual, melainkan juga kunci dalam mengelola keuangan pribadi dan bisnis.


---

Dari Meja Makan ke Dompet

Siapa yang tidak pernah lapar mata saat berbuka puasa? Meja penuh makanan, hati ingin mencicipi semuanya, tetapi perut ternyata hanya mampu menampung sedikit. Dari sini puasa mengajarkan: tidak semua keinginan harus dituruti.

Begitu pula dalam keuangan pribadi. Sering kali, masalah finansial bukan karena gaji kecil, melainkan karena keinginan terlalu besar. Orang lebih sering membeli “ingin” daripada “butuh.” Di sinilah puasa menanamkan pelajaran: qana‘ah—merasa cukup, dan iffah—menahan diri.

Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Beruntunglah orang yang masuk Islam, diberi rezeki yang cukup, dan Allah menjadikannya qana‘ah terhadap apa yang diberikan.”
(HR. Muslim)



Qana‘ah adalah fondasi keuangan sehat. Orang yang mampu menahan diri tidak akan mudah tergoda oleh gaya hidup, promosi diskon, atau ajakan konsumsi berlebihan. Ia bisa menabung, berinvestasi, dan menyiapkan masa depan.

Ahli keuangan modern pun sepakat. Dave Ramsey, pakar finansial asal Amerika, mengatakan:

> “Keberhasilan finansial 80% adalah soal perilaku, hanya 20% soal pengetahuan.”



Artinya, kendali diri jauh lebih penting daripada teori investasi. Gaji besar tanpa pengendalian diri akan tetap habis. Sebaliknya, gaji kecil yang dikelola dengan disiplin bisa menjadi modal.


---

Pengendalian Diri: Jalan Menuju Modal dan Investasi

Bayangkan seseorang yang setiap bulan menyisihkan sebagian kecil penghasilannya. Ia menahan diri dari nongkrong berlebihan, menunda membeli barang konsumtif, dan konsisten menabung. Dalam beberapa tahun, ia memiliki modal untuk investasi atau memulai usaha.

Inilah makna pengendalian diri: menunda kesenangan sekarang demi keuntungan masa depan.

Puasa pun demikian. Kita menahan lapar sekarang, untuk mendapat pahala besar kelak. Kita menahan syahwat sekarang, untuk menjaga kesucian jiwa. Prinsipnya sama: delayed gratification.

Ekonom terkenal, Thomas J. Stanley dalam bukunya The Millionaire Next Door, menemukan bahwa mayoritas orang kaya bukanlah mereka yang bergaji besar, tetapi mereka yang berdisiplin dalam menahan konsumsi. Mereka hidup sederhana, menyimpan modal, lalu menginvestasikannya.

Dengan kata lain:

Penghasilan – Pengendalian Diri = Konsumsi

Penghasilan + Pengendalian Diri = Modal Investasi



---

Mengelola Bisnis: Puasa sebagai Metafora

Pengendalian diri bukan hanya melahirkan modal, tetapi juga menjaga bisnis tetap sehat. Banyak usaha hancur bukan karena produknya buruk, tetapi karena pemiliknya tidak mampu mengendalikan diri.

1. Tidak tahan menunggu → ingin cepat untung, lalu terburu-buru memperbesar usaha tanpa perhitungan.


2. Tidak tahan rugi → begitu sekali jatuh, langsung menyerah.


3. Tidak tahan godaan → laba dipakai untuk gaya hidup, bukan diputar kembali.



Puasa melatih kebalikan dari itu semua:

Sabar menunggu berbuka → sabar menunggu keuntungan.

Tabah menahan lapar → tabah menghadapi kerugian sementara.

Menahan nafsu berlebihan → menahan diri dari menghabiskan modal untuk kesenangan pribadi.


Peter Drucker, pakar manajemen modern, mengatakan:

> “Manajemen itu terutama soal disiplin diri. Tanpa disiplin, tidak ada strategi yang berhasil.”



Apa yang Drucker sebut disiplin diri, dalam bahasa agama kita sebut mujahadah an-nafs—jihad melawan hawa nafsu. Inilah yang puasa latih setiap hari.


---

Perspektif Spiritualitas & Bisnis

Puasa dan bisnis sebenarnya berbagi nilai yang sama: kesabaran, konsistensi, dan visi jangka panjang.

Puasa: menunda kesenangan sesaat untuk pahala abadi.

Investasi: menunda konsumsi hari ini untuk keuntungan masa depan.

Bisnis: menunda kesenangan laba pribadi demi pertumbuhan usaha jangka panjang.


Rasulullah ﷺ mencontohkan hal ini dalam hidupnya. Beliau tidak pernah boros, tidak berlebih-lebihan dalam makanan atau pakaian, dan selalu mendahulukan kebutuhan umat di atas diri sendiri. Para sahabat pengusaha seperti Abdurrahman bin Auf r.a. dan Utsman bin Affan r.a. pun menjadi teladan: mereka disiplin, sederhana, lalu memutar modal hingga menjadi konglomerat dermawan.


---

Kesimpulan Reflektif

Puasa bukan hanya ritual Ramadhan. Ia adalah sekolah kehidupan yang mengajarkan tiga hal:

1. Mengendalikan hawa nafsu – inti dari taqwa.


2. Mengendalikan keuangan pribadi – agar tidak boros dan bisa berinvestasi.


3. Mengendalikan bisnis – agar tumbuh sehat dan berkelanjutan.



Tanpa pengendalian diri, sehebat apa pun pemasukan dan sebesar apa pun bisnis, semua bisa runtuh. Tetapi dengan pengendalian diri, bahkan yang kecil bisa tumbuh menjadi besar.

Di bulan Ramadhan, kita belajar menahan diri dari makan dan minum. Tetapi di luar Ramadhan, mari kita teruskan dengan menahan diri dari belanja sia-sia, dari penggunaan uang bisnis untuk kesenangan pribadi, dan dari ambisi yang tak terkendali.

Karena pada akhirnya, puasa adalah cermin manajemen hidup. Ia menata perut, dompet, dan bisnis sekaligus.

Rasulullah ﷺ bersabda dengan tegas:

> “Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan buruk, maka Allah tidak butuh ia meninggalkan makan dan minumnya.”
(HR. Bukhari)



Maka jelaslah, puasa yang benar adalah puasa yang membuat kita lebih sabar, lebih qana‘ah, lebih disiplin—baik dalam ibadah, keuangan, maupun bisnis.


---

Akhirnya, kita bisa berkata:
Puasa adalah modal spiritual. Pengendalian diri adalah modal psikologis. Dari keduanya lahirlah modal finansial dan bisnis yang berkelanjutan.

Carilah Pasar: Jejak Abdurrahman bin Auf dan Umar bin Khattab Pasar: Denyut Tua Kehidupan Pasar adalah ruang paling tua dalam pe...


Carilah Pasar: Jejak Abdurrahman bin Auf dan Umar bin Khattab

Pasar: Denyut Tua Kehidupan

Pasar adalah ruang paling tua dalam peradaban manusia. Sejak manusia mengenal pertukaran, pasar menjadi tempat bertemunya kebutuhan dan keinginan, jerih payah dan harapan. Di sana, orang bukan hanya menjual barang, tetapi juga bertukar ide, membangun kepercayaan, bahkan menegakkan martabat.

Seorang pakar perilaku konsumen, Philip Kotler, menyebut pasar sebagai laboratorium kebutuhan manusia. Sementara dalam pandangan para ulama, pasar adalah madrasah kehidupan, tempat orang diuji dalam kejujuran, kesabaran, dan amanah. Ibn Khaldun menegaskan dalam al-Muqaddimah, bahwa perputaran ekonomi di pasar adalah pilar peradaban. Tanpa pasar yang sehat, sebuah masyarakat akan rapuh.

Namun Islam tidak melihat pasar semata sebagai urusan perut atau laba. Pasar adalah ruang moral. Umar bin Khattab, khalifah kedua, pernah berkata di tengah keramaian:

> “Janganlah ada yang berdagang di pasar kami ini kecuali orang yang paham hukum jual beli. Jika tidak, ia bisa terjerumus dalam riba—baik sadar maupun tidak.”



Kalimat itu adalah pagar. Umar ingin menegaskan: ilmu sebelum ke pasar. Barang siapa masuk pasar tanpa ilmu, ia bisa tergelincir. Pasar bukan ruang netral, tetapi tempat iman diuji.


---

Abdurrahman bin Auf: Permintaan Sederhana

Mari kita berjalan sejenak ke Madinah, tahun hijrah pertama. Seorang Muhajir bernama Abdurrahman bin Auf datang dengan langkah ringan namun hati penuh luka. Ia tinggalkan Mekah, tanah kelahirannya, beserta seluruh harta yang ia miliki. Kini ia hanya membawa iman.

Rasulullah ﷺ mempersaudarakannya dengan Sa’ad bin Rabi’, seorang Anshar kaya raya. Sa’ad dengan tulus berkata:

> “Aku punya dua kebun, dua istri, dan harta yang melimpah. Ambillah separuh darinya, dan pilihlah salah satu istriku untuk engkau nikahi setelah aku ceraikan.”



Betapa besar pengorbanan Sa’ad. Tetapi jawaban Abdurrahman menorehkan sejarah:

> “Semoga Allah memberkahi harta dan keluargamu. Tunjukkanlah kepadaku di mana pasar.”



Kalimat emas ini menjadi warisan peradaban. Abdurrahman tidak meminta harta, tidak menggantungkan hidup pada belas kasihan. Ia memilih jalan kemandirian.

Dan benar, ia pun pergi ke pasar Bani Qainuqa’, memulai dari kecil: menjual keju, minyak samin, dan kain. Tidak lama kemudian, ia mampu menikah dengan mahar emas seberat biji kurma. Inilah saksi bahwa langkah kecil di pasar bisa melahirkan kejayaan besar.


---

Umar bin Khattab: Jangan Menunggu Emas dari Langit

Kisah lain muncul dari sosok Umar. Ia bukan hanya pengawas pasar, tetapi juga guru keras bagi generasi muda.

Suatu kali ia memasuki masjid, mendapati sekelompok pemuda berdiam diri sepanjang hari. Mereka berkata, “Kami bertawakal kepada Allah.” Umar menatap tajam lalu berkata:

> “Keluarlah dari masjid ini! Jangan kalian berdusta atas nama tawakal. Allah tidak akan menghujankan emas dari langit.”



Bagi Umar, doa tanpa kerja hanyalah dalih kemalasan. Tawakal harus disertai ikhtiar. Ia lalu mengingatkan firman Allah dalam QS. Yusuf (12:55), ketika Nabi Yusuf berkata:

> “Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.”



Ayat itu, bagi Umar, adalah legitimasi: bekerja, mengelola, mengupayakan rezeki adalah bagian dari ibadah.


---

Mengapa Harus ke Pasar?

Kisah Abdurrahman dan Umar memberi jawaban: karena pasar adalah simbol nyata kehidupan.

1. Memahami Konsumen.
Pasar melatih kita membaca kebutuhan manusia. Kotler menulis: “Bisnis adalah menciptakan nilai dan memuaskan kebutuhan.” Abdurrahman mempraktikkannya: ia menjual apa yang dibutuhkan orang Madinah, bukan apa yang ia sukai.


2. Melihat Kesenjangan.
Pasar memperlihatkan ruang kosong. Joseph Schumpeter menyebutnya entrepreneurial opportunity. Ada celah, ada peluang. Umar mengingatkan: barang siapa pandai berdagang, jadilah pedagang yang handal.


3. Membangun Mental Tahan Banting.
Pasar keras: ada tawar-menawar, ada penolakan. Tetapi di situlah jiwa ditempa. Umar menolak generasi malas, sebab pasar mengajarkan arti keringat, kegagalan, dan kebangkitan.




---

Pasar sebagai Sekolah Jiwa

Peter Drucker, bapak manajemen modern, berkata: “The purpose of business is to create a customer.” Artinya, inti bisnis bukan pada barang, melainkan pada manusia. Pasar adalah sekolah terbaik, karena di sana kita belajar langsung dari perilaku manusia:

Mengamati daya beli masyarakat.

Menyesuaikan harga.

Memberi pelayanan yang membuat orang kembali.


Inilah yang dilakukan Abdurrahman bin Auf. Ia tidak menunggu modal besar, tidak menunggu bangunan megah, tetapi langsung turun ke pasar dengan barang sederhana. Ia belajar dari interaksi nyata, bukan teori kosong.


---

Pesan Umar: Jangan Jadi Beban

Umar mengutip sabda Nabi ﷺ:

> “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.”



Bagi Umar, ini bukan sekadar soal sedekah. Ini prinsip hidup: jadilah produktif, memberi, bukan meminta. Jika kita malas bekerja, kita akan menjadi beban. Jika kita berusaha, kita akan menjadi pemberi.

Psikologi modern mendukung ini. Albert Bandura menyebut konsep self-efficacy: rasa percaya diri lahir ketika seseorang mampu mengendalikan hidupnya. Pasar, dengan segala kerasnya, adalah ruang membangun kepercayaan diri.


---

Dialog Reflektif: Jika Umar dan Abdurrahman Hidup Hari Ini

Bayangkan jika Umar bin Khattab berjalan di pasar modern. Mungkin ia akan berkata:

“Periksa timbangan digitalmu. Jangan menipu dengan angka.”

“Jangan menimbun barang impor demi permainan harga.”

“Jangan menutupi cacat barang dengan cahaya toko yang terang.”


Dan bila Abdurrahman bin Auf hidup di era digital, mungkin kalimatnya adalah:

“Tunjukkan kepadaku di mana marketplace.”
Ia akan berjualan online, membaca tren konsumen, tetapi tetap menjaga kejujuran dan amanah.



---

Refleksi untuk Kita

Mari kita berhenti sejenak dan bertanya pada diri sendiri:

Sudahkah kita melihat pasar sebagai ruang moral, bukan sekadar laba?

Sudahkah kita meniru Abdurrahman yang berani memulai dari nol, tanpa menggantungkan diri?

Sudahkah kita mendengar teguran Umar, agar tidak bersembunyi di balik doa tanpa usaha?


Pasar hari ini bisa berarti banyak: pasar tradisional, mall, marketplace digital, media sosial, atau komunitas. Tetapi esensinya sama: tempat manusia saling membutuhkan, dan tempat kita bisa memberi nilai.


---

Penutup: Jalan Menuju Pasar

“Mulai berbisnis, pergilah ke pasar.”
Kalimat ini bukan sekadar ajakan berdagang, tetapi panggilan jiwa. Abdurrahman bin Auf tidak meminta harta, tetapi meminta pasar. Umar bin Khattab tidak memuji doa kosong, tetapi mengirim pemuda ke pasar. Rasulullah ﷺ sendiri bersabda:

> “Amal yang paling baik adalah bekerja dengan tangannya sendiri.”



Islam tidak mengajarkan kemiskinan sebagai kemuliaan, tetapi kemandirian sebagai kehormatan. Pasar adalah sekolah, dan setiap Muslim dipanggil untuk belajar di sana.

Mungkin pasar terlihat keras, penuh gesekan, penuh risiko. Tetapi dari pasar pula lahir keberanian, martabat, dan berkah rezeki. Karena emas tidak turun dari langit. Ia lahir dari tangan yang bekerja, dari keringat yang jujur, dan dari doa yang bergerak bersama usaha.

Prinsip Mengelola Perut dalam Keuangan Pribadi dan Bisnis Pernahkah kita merenung bahwa perut yang ada di tubuh kita ternyata me...


Prinsip Mengelola Perut dalam Keuangan Pribadi dan Bisnis


Pernahkah kita merenung bahwa perut yang ada di tubuh kita ternyata memiliki kesamaan prinsip dengan cara kita mengelola keuangan, baik pribadi maupun bisnis? Rasulullah ﷺ dengan jernih memberikan petunjuk tentang bagaimana perut seharusnya diatur. Dan ternyata, ketika prinsip itu disandingkan dengan ilmu manajemen modern, ada garis merah yang sangat jelas: mengendalikan perut sama halnya dengan mengendalikan harta.

Perut sebagai Simbol Pengendalian Diri

Perut adalah pusat kebutuhan paling dasar manusia. Ia menerima segala yang kita masukkan—baik yang sehat maupun yang beracun. Tidak heran, Al-Qur’an mengingatkan:

> “Makanlah dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A‘raf [7]: 31)



Ayat ini, meski tampak sederhana, sesungguhnya adalah prinsip manajemen hidup. Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya menekankan bahwa larangan berlebih-lebihan (isrāf) tidak hanya berlaku pada makan dan minum, tetapi juga pada semua aspek kehidupan, termasuk harta.

Rasulullah ﷺ menegaskan:

> “Tidaklah anak Adam memenuhi bejana yang lebih buruk daripada perutnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap untuk menegakkan tulang punggungnya. Jika tidak bisa, maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minum, dan sepertiga untuk udara.” (HR. Tirmidzi)



Hadits ini bukan sekadar etika makan. Ia adalah panduan proporsionalitas—sebuah prinsip yang di dunia manajemen keuangan dikenal dengan budget allocation atau proportional spending rule.

Empat Prinsip Mengelola Perut

1. Kontrol asupan → Tidak semua yang ada di depan mata harus dimakan.


2. Prioritas kebutuhan → Dahulukan yang bergizi dan halal, bukan hanya yang lezat.


3. Disiplin waktu → Makan teratur, bukan sembarangan.


4. Kesadaran dampak → Apa yang masuk ke perut memengaruhi energi, pikiran, dan bahkan kualitas ibadah.



Perut yang tak terkendali menimbulkan penyakit. Sama halnya dengan keuangan yang tak terkendali, ia melahirkan tekanan hidup, kecemasan, bahkan kebangkrutan.


---

Keuangan Pribadi: Perut Kedua Manusia

Kalau perut adalah wadah makanan, maka dompet adalah “perut finansial” manusia. Ia bisa sehat jika terkelola, atau sakit jika dibiarkan mengikuti hawa nafsu.

Dalam literatur keuangan modern, konsep ini disebut Personal Financial Management—manajemen keuangan pribadi. Prinsip-prinsipnya sejalan dengan apa yang diajarkan Islam sejak 14 abad lalu:

1. Kendalikan pengeluaran
– Bedakan kebutuhan (needs) dengan keinginan (wants). Inilah inti dari teori consumption smoothing dalam ekonomi: jangan membiarkan pengeluaran mengikuti nafsu sesaat.


2. Seimbang
– Sisihkan sebagian untuk kebutuhan harian, sebagian untuk tabungan dan investasi, sebagian lagi untuk berbagi (charity). Dalam literatur modern, dikenal dengan 50/30/20 rule—50% untuk kebutuhan, 30% untuk keinginan, 20% untuk tabungan.


3. Rencana jangka panjang
– Hari ini menentukan masa depan. Konsep long-term financial planning menegaskan bahwa keuangan harus diarahkan untuk pendidikan, pensiun, dan warisan.


4. Disiplin & kesadaran
– Hidup sederhana adalah kunci. Allah ﷻ berfirman:

> “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara-saudara setan.” (QS. Al-Isra [17]: 26–27)





Ekonom terkenal, Thomas J. Stanley, dalam bukunya The Millionaire Next Door menegaskan bahwa orang-orang yang benar-benar mapan secara finansial justru hidup sederhana, bukan bermewah-mewahan. Prinsip ini persis dengan ajaran Rasulullah ﷺ tentang menghindari isrāf dan tabdzīr.


---

Bisnis: Perut Sosial Ekonomi

Jika keuangan pribadi adalah “perut individu”, maka bisnis adalah “perut kolektif” yang menampung kebutuhan banyak orang—karyawan, konsumen, investor, bahkan masyarakat.

Dalam literatur manajemen, hal ini dikenal dengan Corporate Financial Management—pengelolaan keuangan bisnis. Prinsipnya mirip dengan keuangan pribadi, hanya skalanya lebih luas:

1. Kontrol pemasukan & pengeluaran
– Disebut cash flow management. Jika arus kas bocor, bisnis akan sakit meski penjualannya besar.


2. Prioritas kebutuhan
– Investasi pada hal yang produktif, bukan gaya hidup perusahaan. Peter Drucker, bapak manajemen modern, berkata: “Efficiency is doing things right; effectiveness is doing the right things.” Efisiensi tanpa arah hanya akan membuang energi.


3. Disiplin waktu & strategi
– Bisnis butuh perencanaan matang: produksi, distribusi, pemasaran. Tanpa disiplin, pasar akan merebut peluang.


4. Kesadaran dampak
– Bisnis bukan hanya tentang laba. Dalam konsep modern disebut Corporate Social Responsibility (CSR)—memberikan manfaat sosial, menjaga lingkungan, dan menumbuhkan keberkahan.




---

Benang Merah: Dari Perut ke Bisnis

Ada pola yang jelas:

Perut penuh → tubuh lemah.

Keuangan penuh utang → hidup tercekik.

Bisnis rakus ekspansi → cepat besar, cepat tumbang.


Sebaliknya:

Perut sehat → tubuh kuat.

Keuangan sehat → hidup tenang.

Bisnis sehat → tumbuh berkelanjutan.


Maka, siapa yang mampu mengelola perutnya, biasanya juga mampu mengelola hartanya. Dan siapa yang mampu mengelola keuangan pribadinya, lebih siap mengelola bisnis.


---

Analogi Liris: Tiga Sepertiga

Rasulullah ﷺ mengajarkan keseimbangan perut: sepertiga makanan, sepertiga minum, sepertiga udara. Jika kita bawa analogi ini ke keuangan, hasilnya luar biasa.

Dalam keuangan pribadi:
– Sepertiga untuk kebutuhan hidup.
– Sepertiga untuk tabungan & investasi.
– Sepertiga untuk kebaikan & fleksibilitas.

Dalam bisnis:
– Sepertiga untuk operasional.
– Sepertiga untuk reinvestasi.
– Sepertiga untuk cadangan & distribusi laba.


Inilah yang dalam manajemen modern disebut balanced allocation—membagi porsi secara proporsional agar semua aspek kehidupan mendapat ruang.


---

Analogi Kedua: Makan Ketika Lapar, Berhenti Sebelum Kenyang

Prinsip Nabi ﷺ ini sesungguhnya adalah dasar dari sustainable growth dalam ekonomi.

Dalam keuangan pribadi: belanjalah ketika perlu, berhentilah sebelum habis.

Dalam bisnis: ekspansi ketika siap, bukan karena serakah ingin meraih semua.


Banyak perusahaan besar tumbang karena rakus ekspansi. Kasus Lehman Brothers (2008) menjadi pelajaran: terlalu kenyang oleh kredit subprime membuatnya runtuh. Sama halnya dengan tubuh yang terlalu kenyang, akhirnya kolaps.


---

Hikmah dan Refleksi

Bayangkan, jika setiap Muslim mengelola perutnya dengan benar, tubuh akan sehat, ibadah khusyuk, pikiran jernih. Begitu pula jika setiap Muslim mengelola keuangan dengan benar, hidup akan tenang, tidak mudah terlilit utang, dan mampu berbagi.

Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menegaskan: “Perut adalah pangkal segala penyakit, dan pengendalian perut adalah kunci segala kebaikan.” Pernyataan ini relevan bukan hanya untuk kesehatan jasmani, tetapi juga kesehatan finansial.

Dalam dunia modern, pakar keuangan Dave Ramsey sering berkata: “Personal finance is 80% behavior and 20% head knowledge.” Kunci keuangan bukan sekadar pengetahuan, tapi pengendalian diri—persis seperti pesan Rasulullah ﷺ tentang perut.


---

Penutup: Mengelola Nafsu, Mengelola Arah

Perut adalah ladang ujian. Keuangan adalah cabang darinya. Bisnis adalah perluasan skala. Dan semuanya kembali pada satu kata: pengendalian nafsu.

Allah ﷻ berfirman:

> “Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain, Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Ali Imran [3]: 134)



Jika kita mampu menahan amarah, tentu lebih mampu menahan lapar. Jika kita mampu menahan lapar, tentu lebih mampu menahan nafsu belanja. Dan jika kita mampu menahan nafsu belanja, tentu lebih siap mengelola bisnis dengan bijak.

Maka, mengelola perut bukan hanya urusan dapur, tetapi juga urusan masa depan. Dari perut yang sehat lahirlah keuangan yang sehat, dari keuangan yang sehat lahirlah bisnis yang sehat, dan dari bisnis yang sehat lahirlah masyarakat yang sejahtera.


---

Dengan begitu, ternyata sabda Nabi ﷺ tentang perut bukan hanya panduan kesehatan jasmani, tetapi juga dasar manajemen keuangan dan bisnis modern.

Carilah Pasar: Jejak Abdurrahman bin Auf dan Umar bin Khattab Pasar: Denyut Tua Kehidupan Pasar adalah ruang paling tua dalam pe...


Carilah Pasar: Jejak Abdurrahman bin Auf dan Umar bin Khattab

Pasar: Denyut Tua Kehidupan

Pasar adalah ruang paling tua dalam peradaban manusia. Sejak manusia mengenal pertukaran, pasar menjadi tempat bertemunya kebutuhan dan keinginan, jerih payah dan harapan. Di sana, orang bukan hanya menjual barang, tetapi juga bertukar ide, membangun kepercayaan, bahkan menegakkan martabat.

Seorang pakar perilaku konsumen, Philip Kotler, menyebut pasar sebagai laboratorium kebutuhan manusia. Sementara dalam pandangan para ulama, pasar adalah madrasah kehidupan, tempat orang diuji dalam kejujuran, kesabaran, dan amanah. Ibn Khaldun menegaskan dalam al-Muqaddimah, bahwa perputaran ekonomi di pasar adalah pilar peradaban. Tanpa pasar yang sehat, sebuah masyarakat akan rapuh.

Namun Islam tidak melihat pasar semata sebagai urusan perut atau laba. Pasar adalah ruang moral. Umar bin Khattab, khalifah kedua, pernah berkata di tengah keramaian:

> “Janganlah ada yang berdagang di pasar kami ini kecuali orang yang paham hukum jual beli. Jika tidak, ia bisa terjerumus dalam riba—baik sadar maupun tidak.”



Kalimat itu adalah pagar. Umar ingin menegaskan: ilmu sebelum ke pasar. Barang siapa masuk pasar tanpa ilmu, ia bisa tergelincir. Pasar bukan ruang netral, tetapi tempat iman diuji.


---

Abdurrahman bin Auf: Permintaan Sederhana

Mari kita berjalan sejenak ke Madinah, tahun hijrah pertama. Seorang Muhajir bernama Abdurrahman bin Auf datang dengan langkah ringan namun hati penuh luka. Ia tinggalkan Mekah, tanah kelahirannya, beserta seluruh harta yang ia miliki. Kini ia hanya membawa iman.

Rasulullah ﷺ mempersaudarakannya dengan Sa’ad bin Rabi’, seorang Anshar kaya raya. Sa’ad dengan tulus berkata:

> “Aku punya dua kebun, dua istri, dan harta yang melimpah. Ambillah separuh darinya, dan pilihlah salah satu istriku untuk engkau nikahi setelah aku ceraikan.”



Betapa besar pengorbanan Sa’ad. Tetapi jawaban Abdurrahman menorehkan sejarah:

> “Semoga Allah memberkahi harta dan keluargamu. Tunjukkanlah kepadaku di mana pasar.”



Kalimat emas ini menjadi warisan peradaban. Abdurrahman tidak meminta harta, tidak menggantungkan hidup pada belas kasihan. Ia memilih jalan kemandirian.

Dan benar, ia pun pergi ke pasar Bani Qainuqa’, memulai dari kecil: menjual keju, minyak samin, dan kain. Tidak lama kemudian, ia mampu menikah dengan mahar emas seberat biji kurma. Inilah saksi bahwa langkah kecil di pasar bisa melahirkan kejayaan besar.


---

Umar bin Khattab: Jangan Menunggu Emas dari Langit

Kisah lain muncul dari sosok Umar. Ia bukan hanya pengawas pasar, tetapi juga guru keras bagi generasi muda.

Suatu kali ia memasuki masjid, mendapati sekelompok pemuda berdiam diri sepanjang hari. Mereka berkata, “Kami bertawakal kepada Allah.” Umar menatap tajam lalu berkata:

> “Keluarlah dari masjid ini! Jangan kalian berdusta atas nama tawakal. Allah tidak akan menghujankan emas dari langit.”



Bagi Umar, doa tanpa kerja hanyalah dalih kemalasan. Tawakal harus disertai ikhtiar. Ia lalu mengingatkan firman Allah dalam QS. Yusuf (12:55), ketika Nabi Yusuf berkata:

> “Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.”



Ayat itu, bagi Umar, adalah legitimasi: bekerja, mengelola, mengupayakan rezeki adalah bagian dari ibadah.


---

Mengapa Harus ke Pasar?

Kisah Abdurrahman dan Umar memberi jawaban: karena pasar adalah simbol nyata kehidupan.

1. Memahami Konsumen.
Pasar melatih kita membaca kebutuhan manusia. Kotler menulis: “Bisnis adalah menciptakan nilai dan memuaskan kebutuhan.” Abdurrahman mempraktikkannya: ia menjual apa yang dibutuhkan orang Madinah, bukan apa yang ia sukai.


2. Melihat Kesenjangan.
Pasar memperlihatkan ruang kosong. Joseph Schumpeter menyebutnya entrepreneurial opportunity. Ada celah, ada peluang. Umar mengingatkan: barang siapa pandai berdagang, jadilah pedagang yang handal.


3. Membangun Mental Tahan Banting.
Pasar keras: ada tawar-menawar, ada penolakan. Tetapi di situlah jiwa ditempa. Umar menolak generasi malas, sebab pasar mengajarkan arti keringat, kegagalan, dan kebangkitan.




---

Pasar sebagai Sekolah Jiwa

Peter Drucker, bapak manajemen modern, berkata: “The purpose of business is to create a customer.” Artinya, inti bisnis bukan pada barang, melainkan pada manusia. Pasar adalah sekolah terbaik, karena di sana kita belajar langsung dari perilaku manusia:

Mengamati daya beli masyarakat.

Menyesuaikan harga.

Memberi pelayanan yang membuat orang kembali.


Inilah yang dilakukan Abdurrahman bin Auf. Ia tidak menunggu modal besar, tidak menunggu bangunan megah, tetapi langsung turun ke pasar dengan barang sederhana. Ia belajar dari interaksi nyata, bukan teori kosong.


---

Pesan Umar: Jangan Jadi Beban

Umar mengutip sabda Nabi ﷺ:

> “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.”



Bagi Umar, ini bukan sekadar soal sedekah. Ini prinsip hidup: jadilah produktif, memberi, bukan meminta. Jika kita malas bekerja, kita akan menjadi beban. Jika kita berusaha, kita akan menjadi pemberi.

Psikologi modern mendukung ini. Albert Bandura menyebut konsep self-efficacy: rasa percaya diri lahir ketika seseorang mampu mengendalikan hidupnya. Pasar, dengan segala kerasnya, adalah ruang membangun kepercayaan diri.


---

Dialog Reflektif: Jika Umar dan Abdurrahman Hidup Hari Ini

Bayangkan jika Umar bin Khattab berjalan di pasar modern. Mungkin ia akan berkata:

“Periksa timbangan digitalmu. Jangan menipu dengan angka.”

“Jangan menimbun barang impor demi permainan harga.”

“Jangan menutupi cacat barang dengan cahaya toko yang terang.”


Dan bila Abdurrahman bin Auf hidup di era digital, mungkin kalimatnya adalah:

“Tunjukkan kepadaku di mana marketplace.”
Ia akan berjualan online, membaca tren konsumen, tetapi tetap menjaga kejujuran dan amanah.



---

Refleksi untuk Kita

Mari kita berhenti sejenak dan bertanya pada diri sendiri:

Sudahkah kita melihat pasar sebagai ruang moral, bukan sekadar laba?

Sudahkah kita meniru Abdurrahman yang berani memulai dari nol, tanpa menggantungkan diri?

Sudahkah kita mendengar teguran Umar, agar tidak bersembunyi di balik doa tanpa usaha?


Pasar hari ini bisa berarti banyak: pasar tradisional, mall, marketplace digital, media sosial, atau komunitas. Tetapi esensinya sama: tempat manusia saling membutuhkan, dan tempat kita bisa memberi nilai.


---

Penutup: Jalan Menuju Pasar

“Mulai berbisnis, pergilah ke pasar.”
Kalimat ini bukan sekadar ajakan berdagang, tetapi panggilan jiwa. Abdurrahman bin Auf tidak meminta harta, tetapi meminta pasar. Umar bin Khattab tidak memuji doa kosong, tetapi mengirim pemuda ke pasar. Rasulullah ﷺ sendiri bersabda:

> “Amal yang paling baik adalah bekerja dengan tangannya sendiri.”



Islam tidak mengajarkan kemiskinan sebagai kemuliaan, tetapi kemandirian sebagai kehormatan. Pasar adalah sekolah, dan setiap Muslim dipanggil untuk belajar di sana.

Mungkin pasar terlihat keras, penuh gesekan, penuh risiko. Tetapi dari pasar pula lahir keberanian, martabat, dan berkah rezeki. Karena emas tidak turun dari langit. Ia lahir dari tangan yang bekerja, dari keringat yang jujur, dan dari doa yang bergerak bersama usaha.

Bisnis Sang Pencari Kayu Bakar: Dimulai dari Menjual Perabotan Rumah yang Menganggur “Bisnis itu butuh modal besar.” “Kalau tida...


Bisnis Sang Pencari Kayu Bakar: Dimulai dari Menjual Perabotan Rumah yang Menganggur

“Bisnis itu butuh modal besar.”
“Kalau tidak punya barang berharga, dari mana memulainya?”

Kalimat-kalimat semacam itu kerap meluncur dari bibir orang yang merasa terkunci dalam lingkaran kekurangan. Seolah pintu usaha hanya terbuka bagi mereka yang sudah punya tabungan menumpuk, aset besar, atau akses permodalan.

Namun sebuah kisah yang diajarkan Rasulullah ﷺ justru membalik anggapan itu. Kisah ini sederhana, tetapi mengandung manajemen modal yang membumi sekaligus abadi. Ia mengajarkan bahwa modal pertama tidak selalu datang dari luar, melainkan bisa dimulai dari apa yang ada di rumah sendiri.

Mari kita ikuti perjalanan seorang pemuda Ansar yang belajar langsung dari Rasulullah ﷺ tentang bagaimana memulai usaha—bukan dengan pinjaman, bukan dengan belas kasihan, tetapi dengan keberanian untuk menggerakkan apa yang ada.


---

Pemuda Ansar yang Datang Meminta

Suatu siang, seorang pemuda dari kalangan Ansar datang kepada Rasulullah ﷺ. Wajahnya menggambarkan kesulitan. Nafasnya berat, sorot matanya penuh harap. Ia meminta sesuatu—entah uang, makanan, atau bantuan lain—untuk mencukupi kebutuhannya.

Rasulullah ﷺ menatapnya lembut. Pertanyaan yang keluar bukan tentang apa yang ia inginkan, melainkan apa yang ia miliki.
“Apakah engkau punya sesuatu di rumahmu?”

Pemuda itu terdiam sejenak, merenung. Lalu ia menjawab pelan,
“Ya. Ada selembar kain alas—setengahnya kami gunakan, setengahnya jadi alas duduk. Dan sebuah wadah untuk minum.”

Hanya itu. Dua barang yang sederhana. Bahkan mungkin, dalam pandangan orang lain, tak berharga. Tetapi di mata Rasulullah ﷺ, di situlah letak pintu modal.

“Bawa keduanya ke mari,” sabda beliau.


---

Dari Perabot Rumah Menjadi Modal

Pemuda itu pulang, lalu kembali dengan membawa kain dan wadah minum yang lusuh. Dua benda biasa yang tadinya hanya tersimpan di rumah, kini digenggam penuh harap.

Rasulullah ﷺ mengangkat barang itu, lalu melelangnya di hadapan para sahabat.
“Siapa yang mau membeli kedua barang ini?”

Seorang sahabat menyahut, “Aku, dengan harga satu dirham.”
Namun Rasulullah ﷺ tidak berhenti. Beliau menawar:
“Siapa yang mau menambah, menjadi dua atau tiga dirham?”

Sahabat lain pun menyahut, “Aku, dengan dua dirham.”

Barang itu pun terjual. Rasulullah ﷺ menyerahkan dua dirham itu kepada si pemuda.
“Belilah makanan dengan satu dirham untuk keluargamu. Dan belilah kapak dengan satu dirham lainnya. Lalu bawalah kapak itu kemari.”

Begitulah, kain dan wadah minum yang tadinya tak bernilai, berubah menjadi makanan untuk keluarga dan sebuah alat produksi.


---

Modal Ada di Rumah

Pelajaran pertama dari kisah ini begitu jelas: modal usaha sering kali ada di sekitar kita, bahkan di dalam rumah kita sendiri.

Perabot yang tak terpakai, perhiasan kecil yang tersimpan, atau barang yang sudah jarang dipakai—semuanya bisa menjadi pintu masuk untuk usaha. Masalahnya bukan pada ketiadaan modal, tetapi pada kebiasaan kita yang memandang remeh apa yang sudah ada.

Peter Drucker, bapak manajemen modern, pernah menulis: “The best way to predict the future is to create it.” Masa depan tidak menunggu datangnya modal besar, tetapi diciptakan dari langkah-langkah kecil yang dilakukan sekarang.

Ulama kontemporer pun sejalan dengan ini. Syekh Ali Jum’ah, misalnya, menegaskan bahwa salah satu bentuk keberkahan harta adalah ketika seseorang mampu memanfaatkannya, sekecil apa pun, untuk kebaikan dan kemandirian.


---

Konsumsi dan Investasi: Dua Sayap

Rasulullah ﷺ tidak menyerahkan seluruh hasil lelang untuk makanan. Beliau membaginya: satu dirham untuk konsumsi, satu dirham untuk investasi.

Ada keseimbangan di sini. Uang yang habis untuk makanan memang menyelamatkan keluarga dari lapar, tetapi tidak berputar. Sedangkan uang yang ditukar dengan kapak, berubah menjadi alat produksi yang melahirkan nilai tambah.

Robert Kiyosaki, dalam Rich Dad Poor Dad, menekankan hal serupa: konsumsi akan habis sekali pakai, sementara aset—meski sederhana seperti kapak—akan menghasilkan uang baru.

Inilah prinsip keuangan modern yang diajarkan Rasulullah ﷺ sejak 14 abad lalu: jangan habiskan seluruh pendapatan untuk konsumsi; sisihkan sebagian untuk aset produktif.


---

Alat Produksi Harus Menghasilkan

Pemuda itu kembali dengan kapak yang baru dibelinya. Rasulullah ﷺ mengambil sebatang kayu, lalu menunjukkan cara menggunakannya. “Pergilah, bekerjalah mencari kayu bakar, lalu juallah. Aku tidak ingin melihatmu selama lima belas hari.”

Kapak itu bukan pajangan, bukan simpanan. Ia harus menghasilkan. Maka pemuda itu pun berangkat. Hari demi hari ia gunakan kapaknya untuk menebang kayu, mengikat, mengangkut, dan menjualnya di pasar.

Lima belas hari kemudian, ia kembali dengan wajah berseri. Di tangannya ada sepuluh dirham. Rasulullah ﷺ tersenyum. “Belanjakan sebagian untuk makanan, sebagian lagi untuk pakaian.”

Kemudian beliau menutup dengan kalimat yang sarat makna:
“Bekerja seperti ini lebih baik daripada engkau meminta-minta. Sesungguhnya meminta hanya boleh bagi orang fakir yang sangat, atau karena hutang yang menjerat, atau denda yang amat berat.”


---

Proses dan Konsistensi

Sepuluh dirham itu tidak datang dalam semalam. Pemuda itu harus bekerja lima belas hari penuh. Kayu tidak berubah menjadi dirham tanpa tenaga yang menebang, mengikat, dan menjual.

Pelajaran penting: hasil besar butuh proses dan konsistensi.

Jim Collins menyebutnya flywheel effect: momentum besar lahir dari dorongan kecil yang konsisten. Rasulullah ﷺ mengajarkan hal itu dalam bahasa yang sederhana: ayunkan kapakmu, ulangi setiap hari, dan rezeki akan terkumpul sedikit demi sedikit.


---

Bisnis sebagai Ujian Jiwa

Namun inti kisah ini bukan hanya tentang bagaimana mendapatkan uang, melainkan tentang kehormatan jiwa. Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa bekerja—meski sekadar mencari kayu bakar—lebih mulia daripada meminta-minta.

Beliau tidak sekadar mengajarkan teknik ekonomi, tetapi menanamkan harga diri. Bahwa setiap manusia diberi kemampuan untuk menghasilkan, dan kemuliaan terletak pada usaha, bukan pada belas kasihan.

Imam Al-Ghazali pernah berkata: “Janganlah engkau mengira rezeki itu datang dari makhluk, sebab hakikatnya ia datang dari Allah. Maka bekerjalah, agar engkau tidak hina di hadapan manusia.”


---

Membagi Hasil dengan Bijak

Sepuluh dirham yang didapat pemuda itu tidak untuk dihamburkan. Rasulullah ﷺ membimbingnya agar membagi: sebagian untuk kebutuhan pokok, sebagian untuk pakaian, dan sisanya tentu bisa terus diputar dalam usaha.

Dalam ilmu keuangan modern, ini disebut money management: bagaimana mengelola pemasukan agar tetap tumbuh. Pakar keuangan Syariah, Muhammad Syafii Antonio, menekankan pentingnya prinsip alokasi yang seimbang antara kebutuhan harian, investasi, dan sedekah.

Dengan kata lain, uang dari aset menganggur tidak hanya menghidupi, tetapi juga bisa menjadi jalan berbagi.


---

Refleksi untuk Kita

Mari kita merenung sejenak.
Berapa banyak barang di rumah yang tidak terpakai?
Berapa banyak keterampilan kecil yang bisa diasah?
Berapa banyak waktu yang bisa dipakai untuk bekerja, alih-alih mengeluh?

Kisah pemuda Ansar ini memberi pola sederhana sekaligus abadi:

1. Gunakan apa yang ada di rumah. Jangan meremehkan barang kecil.


2. Seimbangkan konsumsi dan investasi. Jangan habiskan semua untuk makan hari ini.


3. Pastikan alat produksi menghasilkan. Kapak bukan pajangan, tapi alat.


4. Berproses dengan konsistensi. Sepuluh dirham lahir dari lima belas hari kerja.


5. Jaga kehormatan dengan bekerja. Lebih mulia daripada meminta-minta.




---

Penutup: Dari Kapak ke Kehormatan

Bekerja dengan kapak mungkin tampak kecil. Tetapi dari situlah lahir keteguhan hati, keteraturan keuangan, dan kemandirian. Dari kapak itu, pintu rezeki terbuka, dan kehormatan jiwa terjaga.

Siapa sangka, kain lusuh dan wadah minum yang dianggap sepele, ketika dikelola dengan bijak, bisa berubah menjadi modal usaha yang menyelamatkan sebuah keluarga?

Maka pertanyaan untuk kita: sudahkah kita melihat “kapak” kita masing-masing? Sudahkah kita berani mengayunkannya?

Karena sesungguhnya, bisnis tidak selalu dimulai dari modal besar. Kadang, ia hanya butuh satu kapak, dan keberanian untuk mengayunkannya.

Genosida Gaza: Mengapa Para Penguasa Masih Tidak Tegas kepada Israel? Langit Gaza telah lama kehilangan warna birunya. Ia kini b...


Genosida Gaza: Mengapa Para Penguasa Masih Tidak Tegas kepada Israel?

Langit Gaza telah lama kehilangan warna birunya. Ia kini berwujud abu-abu — bukan karena mendung, tetapi karena sisa-sisa ledakan yang menutupi langitnya dengan debu, duka, dan doa yang tak pernah berhenti naik. Dua tahun genosida berlalu, dan dunia masih terjebak di antara dua kata yang memalukan: “gencatan senjata.”
Bukan “keadilan,” bukan “pertanggungjawaban,” melainkan “jeda untuk bernapas, sebelum pembantaian berikutnya dimulai.”

Namun di balik itu, pertanyaan yang menampar hati kita justru bukan mengapa Israel begitu brutal. Dunia sudah tahu jawabannya. Yang lebih menakutkan adalah: mengapa para penguasa dunia — bahkan di negeri-negeri Muslim — masih tidak tegas kepada Israel, bahkan setelah darah dan tulang anak-anak Gaza berserakan di layar setiap rumah?


---

Dunia yang Menonton dari Kursi Kulit

Ketika berita gencatan senjata diumumkan, suara pembawa berita Al Jazeera bergetar. Ia bukan pembaca berita lagi, melainkan saksi yang menahan tangis. Ia telah menyebut nama-nama yang gugur — jurnalisnya sendiri, sahabat-sahabatnya sendiri — selama dua tahun. Dan kini, ia harus mengucap “gencatan senjata” seolah keadilan sudah tiba.

Namun siapa yang bisa percaya?
Ini bukan gencatan senjata pertama. Setiap jeda hanya menjadi interval antara dua babak kehancuran. Israel bisa memulai pembantaian lagi kapan saja — cukup dengan “alasan keamanan” yang dibuat dengan rapi oleh para penasihatnya di Washington dan London.

Sejarawan Palestina, Toufic Haddad, menulis:

“Gencatan senjata ini bukan kesempatan untuk menunggu dan menyaksikan apa yang terjadi, melainkan momen untuk melipatgandakan upaya mobilisasi akuntabilitas.”

Namun siapa yang berani menuntut akuntabilitas itu? Dunia, katanya, sedang menderita amnesia moral.
Lembaga internasional yang dahulu dibangun di atas luka Holocaust kini membisu saat genosida dilakukan oleh mereka yang mengaku mewarisi korban Holocaust itu.


---

Erdogan: “Kami Tidak Percaya Israel”

Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, berbicara dengan nada hati-hati usai pertemuan di Sharm el-Sheikh. Ia menyebut rekam jejak Israel dalam pelanggaran gencatan senjata sebagai “buruk.”

“Israel memiliki rekam jejak yang buruk dalam hal pelanggaran gencatan senjata. Hal ini memaksa kami untuk lebih berhati-hati dan teliti,” ujarnya. “Jika ini berubah menjadi genosida lagi, Israel tahu konsekuensinya akan berat.”

Turki, yang selama dua tahun terakhir memutuskan sebagian hubungan dagang dan militer dengan Tel Aviv, kini menjadi mediator — posisi yang sulit dan berisiko. Erdogan tahu, setiap gencatan senjata adalah jebakan diplomatik: Israel bisa menggunakan waktu untuk memperbaiki kekuatan militernya, sementara Gaza dibiarkan kelaparan.

Maka kekhawatiran Turki bukan hanya soal apakah gencatan senjata ini akan bertahan, tapi apakah dunia akan kembali tertipu oleh kesan bahwa genosida sudah berakhir.

Karena dalam sejarah, Israel jarang melanggar gencatan senjata secara terbuka — mereka hanya mengubah bentuknya: dari bom menjadi blokade, dari rudal menjadi kelaparan, dari tank menjadi penghalang bantuan.
Gencatan senjata hanyalah pergantian metode penindasan.


---

Barat: Dari “Never Again” menjadi “Not Yet”

Dalam dua tahun terakhir, Barat — yang selalu bangga dengan narasi moral “Never Again” — justru menyingkap kemunafikan terdalamnya.
Daniel Lindley, kolumnis The New Arab, menulis dengan getir:

“Dua tahun genosida di Gaza menunjukkan betapa hampanya Barat yang bersumpah ‘tidak akan pernah lagi’. Kini, mereka berkata, ‘belum saatnya’ — Not Yet.”

Laporan PBB baru-baru ini yang menyimpulkan bahwa Israel melakukan genosida jauh lebih sulit diabaikan daripada sebelumnya. Namun pemerintahan Eropa tetap bungkam, karena untuk mengakui genosida berarti mengakui keterlibatan mereka sendiri: senjata, pendanaan, veto, dan propaganda.

Di sinilah dunia terbagi dua:
— Mereka yang menyebut kebenaran, dan kehilangan pekerjaan, izin siaran, atau visa.
— Dan mereka yang diam, dan mendapatkan promosi.

Kita hidup di masa ketika media lebih takut kehilangan pendapatan iklan daripada kehilangan nurani.
Dan di masa ketika “demokrasi liberal” menjadi topeng baru kolonialisme lama.


---

Keheningan Para Penguasa Muslim

Namun bagian paling menyakitkan tidak datang dari Barat, melainkan dari negeri-negeri yang seharusnya menyebut “La ilaha illallah” dengan bangga.

Di antara menara-megara kaca dan istana marmer, para pemimpin Muslim berbicara dengan suara lembut: “Kami prihatin.”
Mereka menyumbang sebagian dana kemanusiaan, mengirim pernyataan, bahkan menyelenggarakan konferensi. Tapi di balik semua itu, tidak ada keputusan politik yang mengguncang dunia.

Tidak ada pemutusan hubungan diplomatik besar-besaran. Tidak ada embargo minyak. Tidak ada penolakan pelabuhan.
Hanya doa, dan itu pun diucapkan sambil tersenyum dalam jamuan makan malam bersama duta besar negara pendukung genosida.

Mengapa?
Karena sistem dunia modern menjadikan mereka bagian dari jaringan yang sama — jaringan utang, kontrak, keamanan, dan pengakuan internasional.
Mereka takut kehilangan kursi, lebih daripada kehilangan kehormatan.

Padahal Al-Qur’an telah memperingatkan:

“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang zalim, yang menyebabkan kamu disentuh api neraka.”
(QS. Hud: 113)


---

Dari Kolonialisme Lama ke Kolonialisme Digital

Genosida Gaza bukan sekadar pembunuhan fisik, melainkan juga penghapusan makna.
Israel tidak hanya menghancurkan rumah, tetapi juga menarget sekolah, perpustakaan, dan bahkan jaringan komunikasi — agar bangsa Palestina kehilangan narasinya sendiri.
Mereka ingin agar dunia hanya mengenal Gaza melalui kamera milik tentara.

Namun sesuatu yang tidak mereka duga terjadi: dunia berubah menjadi saksi langsung.
Jutaan orang di seluruh dunia menonton pembantaian itu tanpa perantara, dan akhirnya menolak untuk bungkam.
Gerakan Free Palestine kini bukan lagi slogan, melainkan bahasa moral baru umat manusia.

Di jalan-jalan London, Madrid, Jakarta, Istanbul, dan New York, suara anak muda bergema:

“If you are neutral in situations of injustice, you have chosen the side of the oppressor.”
Dan dunia yang dulu hanya tahu Gaza dari berita kini mengenal wajah-wajahnya — anak-anak dengan nama, bukan sekadar angka.

Inilah perang naratif, dan Gaza sedang memenangkannya.


---

Gaza: Di Mana Sunatullah Bekerja dalam Gelap

Namun di balik semua analisis politik dan kekecewaan moral itu, ada hal yang lebih dalam, yang tak bisa dijelaskan oleh teori hubungan internasional.
Mengapa Gaza tidak hancur?

Bukankah 67.000 jiwa telah gugur? Bukankah listrik padam, air habis, tanah hancur, dan langit gelap?
Namun entah mengapa, Gaza masih hidup. Anak-anak masih menghafal Al-Qur’an di tenda, para ibu masih membagikan roti, dan para pejuang masih mengangkat kepala meski darah belum kering.

Kuncinya adalah sunatullah tentang kesabaran dan kebangkitan.

Allah berfirman:

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga padahal belum datang kepadamu (ujian) seperti yang dialami orang-orang sebelum kamu?”
(QS. Al-Baqarah: 214)

Di balik setiap genosida, selalu ada seleksi Ilahi: siapa yang beriman karena dunia, dan siapa yang beriman karena Allah.
Mereka yang berdiam diri, kehilangan bagian dari sejarahnya.
Mereka yang berdiri, meski sendiri, menjadi saksi sejarah itu.

Gaza adalah madrasah ruhani tempat Allah menguji kesetiaan umat Islam di abad ke-21.
Setiap rudal yang jatuh menjadi ujian bagi dunia:
apakah kita masih manusia, atau hanya algoritma yang lewat di layar?


---

Para Penguasa dan Cermin Sejarah

Kita sering bertanya: mengapa penguasa tidak tegas?
Jawabannya mungkin bukan hanya karena politik, tapi karena jiwa yang telah kehilangan orientasi spiritualnya.

Dalam sejarah Islam, para khalifah dahulu takut pada doa orang tertindas. Umar bin Khattab menangis di malam hari karena takut seekor keledai pun tergelincir di jalan.
Tapi kini, para penguasa modern tidak gentar meski ribuan anak mati setiap hari — karena hati mereka sudah dikelilingi oleh penjaga, bukan oleh rasa malu.

Inilah yang dimaksud oleh Sayyid Qutb:

“Ketika umat Islam berhenti menegakkan keadilan karena Allah, Allah akan menegakkan keadilan tanpa mereka — dengan menggantikan mereka.”

Dan mungkin, Gaza adalah tanda bahwa Allah sedang menulis ulang sejarah umat ini — bukan melalui istana, tetapi melalui reruntuhan.


---

Dunia yang Sedang Diadili

Kini dunia berada di persimpangan besar.
Jika genosida Gaza dibiarkan tanpa akuntabilitas, dunia sedang menandatangani surat kematian moralnya sendiri.
Teknologi pembunuhan yang diuji di Gaza akan digunakan di tempat lain: di Asia, di Afrika, di negeri-negeri miskin yang dianggap “tidak relevan.”

Itulah yang diingatkan oleh Toufic Haddad:

“Preseden yang ditimbulkan oleh genosida Gaza merupakan awal dari masa depan yang mengerikan jika tidak diperhitungkan.”

Gaza adalah laboratorium kekerasan global. Jika tidak ada akuntabilitas, maka genosida akan menjadi kebijakan luar negeri yang sah — hanya perlu alasan keamanan, sertifikat sekutu, dan lisensi ekspor senjata.

Dan dari situ, manusia akan kehilangan makna “tidak pernah lagi.”
Yang tersisa hanya “akan terjadi lagi.”


---

Dari Kesunyian Menuju Keadilan

Tetapi sejarah tidak berhenti di tangan para diktator. Ia selalu punya jalan sunyi di mana kebenaran tumbuh dari bawah.

Lihatlah anak-anak yang kini menjadi yatim. Mereka tidak akan melupakan wajah pelaku genosida ini.
Lihatlah mahasiswa di Barat yang menolak membayar uang kuliah kepada universitas yang bekerja sama dengan industri senjata.
Lihatlah para jurnalis muda yang berani menulis kebenaran, meski kehilangan kariernya.

Mereka inilah pewaris sejarah baru.
Bukan penguasa yang takut kehilangan kursi, tetapi manusia yang takut kehilangan nurani.


---

Epilog: Allah Tidak Pernah Netral

Gencatan senjata boleh datang dan pergi. Konferensi bisa disusun, resolusi bisa disepakati, tapi takdir sejarah selalu berpihak pada mereka yang berjuang menegakkan kebenaran.

Ketika Firaun menenggelamkan Bani Israil, Allah tidak menurunkan pasukan malaikat untuk menyelamatkan mereka dengan segera. Ia menunda, hingga air laut menjadi saksi kezaliman itu sendiri.
Begitu pula kini: dunia sedang dibiarkan melihat cermin dirinya sendiri — apakah ia masih punya rasa malu.

Dan bagi para penguasa yang diam, sejarah hanya menunggu waktu.
Bukan rakyat yang akan menjatuhkan mereka, tetapi keheningan mereka sendiri.

“Janganlah kamu mengira bahwa Allah lengah terhadap apa yang diperbuat oleh orang-orang zalim. Sesungguhnya Dia memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata mereka terbelalak.”
(QS. Ibrahim: 42)

Gaza hari ini adalah ujian terakhir bagi nurani dunia — dan bagi umat Islam, ia adalah panggilan yang tak bisa lagi diabaikan.

Maka, ketika kita bertanya,
“Mengapa penguasa masih tidak tegas kepada Israel?”
Jawabannya mungkin bukan karena mereka tidak tahu kebenaran,
tetapi karena mereka takut — kepada dunia — lebih daripada mereka takut kepada Allah.

Dan kelak, sejarah akan mencatat bukan hanya siapa yang membunuh,
tetapi siapa yang diam.

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (361) Al-Qur’an (6) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) cerpen Nabi Musa (2) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fiqh (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) kecerdasan (2) Kecerdasan (263) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) kisah para nabi dan rasul (1) Kisah para nabi dan rasul (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (577) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (29) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) nusantara (3) Nusantara (249) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (568) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (493) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (260) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah penguasa (6) Sirah Penguasa (243) sirah Sahabat (2) Sirah Sahabat (160) Sirah Tabiin (43) Sirah ulama (21) Sirah Ulama (157) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)