Mental Ahli Dzikir, Mental Para Pebisnis
---
Prolog: Antara Dzikir dan Pasar
Bayangkan seorang pebisnis muda yang berdiri di depan kios barunya. Tangan kanannya menggenggam kunci, sementara di bibirnya lirih keluar kalimat: Bismillāhir-Raḥmānir-Raḥīm. Di saat yang sama, di sebuah masjid tua, seorang hamba Allah yang renta menundukkan kepala, mengulang pelan: Subḥānallāh, Alḥamdulillāh, Allāhu Akbar. Dua ruang berbeda, satu benang merah: latihan jiwa melalui dzikir.
Lalu muncul pertanyaan: Apakah mungkin mental seorang ahli dzikir dan mental seorang pebisnis sejati bertemu dalam satu garis lurus? Ataukah keduanya berjalan di jalur yang berbeda—yang satu menatap langit, yang satu menghitung angka?
Mari kita telusuri, perlahan namun mendalam, bagaimana empat kalimat dzikir utama yang dipuji ulama—Bismillāh, Alḥamdulillāh, Subḥānallāh, Allāhu Akbar—membentuk mental seorang mukmin. Lalu kita sandingkan dengan mentalitas para pebisnis menurut pakar modern. Dari situ, kita akan melihat bahwa keduanya ternyata bukan hanya selaras, melainkan bisa saling melengkapi.
---
Bismillāh: Mental Tawakkal, Mental Integritas
Para ulama tafsir dan tasawuf sepakat bahwa Bismillāh bukan sekadar pembuka kalimat. Imam al-Ṭabari menafsirkan: “Seakan seorang hamba berkata, aku memulai pekerjaanku ini dengan nama Allah, memohon pertolongan-Nya dan keberkahan-Nya.” Imam Ghazali bahkan menyebutnya sebagai dzikir hati dan lidah—hati menghadirkan Allah, lidah melafazkan nama-Nya, sehingga sebuah pekerjaan berubah menjadi ibadah.
Makna praktisnya jelas: Bismillāh melatih mental tawakkal, kesadaran bahwa daya dan kekuatan manusia terbatas, dan hanya dengan izin Allah amal akan berhasil. Ia menanamkan keyakinan sekaligus kerendahan hati.
Di dunia bisnis, mental ini sangat dekat dengan apa yang disebut pakar sebagai integritas. Seorang pebisnis yang berintegritas selalu memulai langkah dengan niat bersih, tidak tergoda untuk menipu, sebab ia sadar bisnisnya berdiri “dengan nama Allah”. Integritas inilah yang membuat kepercayaan lahir—modal yang jauh lebih mahal daripada sekadar modal finansial.
Maka Bismillāh bukan sekadar doa. Ia adalah pondasi mental yang dibutuhkan oleh setiap pebisnis: keberanian untuk melangkah dengan keyakinan, sekaligus kerendahan hati untuk mengakui keterbatasan diri.
---
Alḥamdulillāh: Mental Syukur, Mental Resiliensi
Kata Alḥamdulillāh adalah pernyataan syukur dan pengakuan bahwa semua pujian hanya milik Allah. Imam Ibn Katsir menegaskan: ia adalah pujian atas kesempurnaan sifat Allah dan kebaikan nikmat-Nya. Imam al-Qurthubi menambahkan: Alḥamdulillāh berlaku dalam segala keadaan—lapang maupun sempit, senang maupun susah.
Inilah latihan jiwa yang menghasilkan mental qana‘ah dan optimisme. Orang yang terbiasa dengan Alḥamdulillāh tidak mudah terjebak dalam keluhan. Ia melihat nikmat dalam setiap kondisi. Bahkan dalam kegagalan, ada pelajaran yang patut disyukuri.
Para pakar bisnis menyebut mental ini dengan istilah resiliensi—kemampuan untuk bangkit kembali setelah jatuh. Seorang entrepreneur sejati tidak pernah gagal sekali lalu berhenti. Ia belajar, ia bangun, dan ia bersyukur. Jim Collins dalam bukunya Good to Great menulis bahwa perusahaan besar justru lahir dari orang-orang yang bisa menghargai proses, bukan hanya hasil. Bukankah ini sejalan dengan ruh Alḥamdulillāh?
Maka seorang ahli dzikir dan seorang pebisnis sejati sama-sama belajar untuk berkata: Alḥamdulillāh—segala puji bagi Allah—sekalipun profit tidak sesuai harapan, sebab ia yakin selalu ada hikmah yang menguatkan.
---
Subḥānallāh: Mental Kesadaran, Mental Objektif
Dzikir Subḥānallāh berarti “Maha Suci Allah dari segala kekurangan.” Imam al-Qurthubi menyebutnya sebagai tanzīh—pensucian Allah dari sifat-sifat makhluk. Imam Nawawi menyebutnya dzikir agung yang mengikis kesombongan. Bagi para sufi, Subḥānallāh adalah kesadaran batin bahwa manusia penuh kekurangan dan Allah berada di puncak kesempurnaan.
Dari sini lahir mental kejernihan. Subḥānallāh mengajarkan kita untuk melihat realitas dengan jernih, tanpa ego yang menutupi pandangan. Ia menumbuhkan kerendahan hati—sekalipun usaha sukses, manusia sadar bahwa semua itu kecil di hadapan Allah.
Dalam ilmu bisnis modern, mental ini dekat dengan objektivitas dan disiplin. Pebisnis yang sukses harus bisa melihat pasar apa adanya, bukan seperti yang ia khayalkan. Ia harus rendah hati menerima data, masukan, dan kritik. Subjektivitas dan kesombongan seringkali menjadi jebakan yang menenggelamkan banyak pengusaha.
Maka Subḥānallāh menjadi rem yang mengingatkan: jangan biarkan ego membutakan. Biarlah pikiran jernih dan hati bersih mengarahkan keputusan. Dengan itu, bisnis tidak hanya berjalan dengan disiplin, tapi juga selaras dengan kesadaran spiritual.
---
Allāhu Akbar: Mental Keberanian, Mental Visioner
Kalimat Allāhu Akbar adalah pengakuan bahwa Allah lebih besar dari segala sesuatu. Imam Fakhruddin al-Rāzi menulis: “Setiap kali engkau membayangkan sesuatu yang besar, Allah lebih besar dari itu.” Kalimat ini menjadi pembuka shalat, seakan mengingatkan bahwa dunia kecil dibanding kebesaran Allah.
Mental yang lahir dari dzikir ini adalah keberanian. Seorang hamba yang yakin Allah lebih besar dari semua masalah, tidak akan mudah gentar menghadapi tantangan. Ia juga belajar menata prioritas: Allah lebih besar daripada harta, jabatan, atau pesaing.
Dalam dunia bisnis, pakar menyebut mental ini sebagai visi besar dan keberanian mengambil risiko. Seorang entrepreneur tidak akan tumbuh jika hanya bermain aman. Ia harus berani melangkah, bahkan ketika risiko mengintai. Namun keberanian itu tidak lahir dari nekat, melainkan dari visi besar yang menyalakan semangat.
Takbir—Allāhu Akbar—menjadi sumber energi yang sama: Allah lebih besar dari rasa takutmu, maka melangkahlah dengan yakin.
---
Menyandingkan Dzikir dan Bisnis
Jika keempat kalimat dzikir ini kita sejajarkan dengan mentalitas bisnis modern, terlihat keselarasan yang indah:
Bismillāh ↔ Integritas dan keyakinan.
Alḥamdulillāh ↔ Resiliensi dan optimisme.
Subḥānallāh ↔ Objektivitas dan disiplin.
Allāhu Akbar ↔ Visi besar dan keberanian.
Artinya, dzikir bukanlah pelarian dari dunia bisnis. Justru ia fondasi spiritual yang menjaga agar bisnis tidak kehilangan arah. Jika pakar bisnis berbicara tentang strategi, sistem, dan pasar, para ulama berbicara tentang hati, iman, dan kesadaran. Keduanya tidak bertentangan, melainkan saling mengisi.
Seorang pebisnis yang hanya berbekal strategi tanpa dzikir bisa kehilangan arah moral. Sebaliknya, seorang ahli dzikir yang abai pada realitas bisa terjebak pada pasifitas. Tetapi ketika keduanya digabung, lahirlah sosok yang kuat di pasar, kokoh di hati, dan lurus di jalan Allah.
---
Epilog: Pebisnis yang Berdzikir, Ahli Dzikir yang Berbisnis
Mari kita kembali pada gambaran awal: seorang pebisnis yang membuka kiosnya dengan Bismillāh. Apa yang membedakan dia dari sekadar pedagang biasa? Jawabannya adalah mental. Ia tidak sekadar menjual barang, tapi sedang menanam integritas. Ketika gagal, ia berbisik Alḥamdulillāh. Saat sukses, ia menunduk dengan Subḥānallāh. Ketika harus mengambil keputusan besar, ia meneguhkan hati dengan Allāhu Akbar.
Begitu pula seorang ahli dzikir yang menekuni ibadahnya di masjid. Jika dzikirnya benar-benar meresap, ia tidak akan menjadi pasif. Ia akan membawa mental tawakkal, syukur, kejernihan, dan keberanian itu ke dalam kehidupan nyata—termasuk dalam bisnis, kerja, dan perjuangan.
Maka, “mental ahli dzikir” dan “mental para pebisnis” sesungguhnya tidak berjalan di jalur yang berbeda. Mereka bertemu di satu titik: kesadaran bahwa hidup adalah amanah, bahwa kerja adalah ibadah, bahwa risiko adalah ujian, dan bahwa keberhasilan sejati bukan sekadar profit, tapi keberkahan.
Kesimpulan: Seorang pebisnis yang berdzikir akan berani tapi rendah hati, visioner tapi realistis, kaya tapi tetap bersyukur, sukses tapi tetap tawadhu’. Sebaliknya, seorang ahli dzikir yang paham makna dunia akan menjadi pebisnis yang jujur, tangguh, dan berani. Inilah jalan tengah yang diajarkan Islam: dunia bukan ditinggalkan, melainkan ditundukkan dengan dzikir.
---
Akhir kata: Mungkin inilah rahasia mengapa Rasulullah ﷺ, sahabat-sahabat beliau, dan para ulama besar mampu menjadi pedagang, pemimpin, dan ahli ibadah sekaligus. Karena bagi mereka, dzikir dan bisnis bukanlah dua dunia yang berlawanan. Mereka adalah dua sayap yang membawa manusia terbang lebih tinggi, menuju keberhasilan yang hakiki—di dunia dan di akhirat.
0 komentar: