Bisnis Sang Pencari Kayu Bakar: Dimulai dari Menjual Perabotan Rumah yang Menganggur
“Bisnis itu butuh modal besar.”
“Kalau tidak punya barang berharga, dari mana memulainya?”
Kalimat-kalimat semacam itu kerap meluncur dari bibir orang yang merasa terkunci dalam lingkaran kekurangan. Seolah pintu usaha hanya terbuka bagi mereka yang sudah punya tabungan menumpuk, aset besar, atau akses permodalan.
Namun sebuah kisah yang diajarkan Rasulullah ﷺ justru membalik anggapan itu. Kisah ini sederhana, tetapi mengandung manajemen modal yang membumi sekaligus abadi. Ia mengajarkan bahwa modal pertama tidak selalu datang dari luar, melainkan bisa dimulai dari apa yang ada di rumah sendiri.
Mari kita ikuti perjalanan seorang pemuda Ansar yang belajar langsung dari Rasulullah ﷺ tentang bagaimana memulai usaha—bukan dengan pinjaman, bukan dengan belas kasihan, tetapi dengan keberanian untuk menggerakkan apa yang ada.
---
Pemuda Ansar yang Datang Meminta
Suatu siang, seorang pemuda dari kalangan Ansar datang kepada Rasulullah ﷺ. Wajahnya menggambarkan kesulitan. Nafasnya berat, sorot matanya penuh harap. Ia meminta sesuatu—entah uang, makanan, atau bantuan lain—untuk mencukupi kebutuhannya.
Rasulullah ﷺ menatapnya lembut. Pertanyaan yang keluar bukan tentang apa yang ia inginkan, melainkan apa yang ia miliki.
“Apakah engkau punya sesuatu di rumahmu?”
Pemuda itu terdiam sejenak, merenung. Lalu ia menjawab pelan,
“Ya. Ada selembar kain alas—setengahnya kami gunakan, setengahnya jadi alas duduk. Dan sebuah wadah untuk minum.”
Hanya itu. Dua barang yang sederhana. Bahkan mungkin, dalam pandangan orang lain, tak berharga. Tetapi di mata Rasulullah ﷺ, di situlah letak pintu modal.
“Bawa keduanya ke mari,” sabda beliau.
---
Dari Perabot Rumah Menjadi Modal
Pemuda itu pulang, lalu kembali dengan membawa kain dan wadah minum yang lusuh. Dua benda biasa yang tadinya hanya tersimpan di rumah, kini digenggam penuh harap.
Rasulullah ﷺ mengangkat barang itu, lalu melelangnya di hadapan para sahabat.
“Siapa yang mau membeli kedua barang ini?”
Seorang sahabat menyahut, “Aku, dengan harga satu dirham.”
Namun Rasulullah ﷺ tidak berhenti. Beliau menawar:
“Siapa yang mau menambah, menjadi dua atau tiga dirham?”
Sahabat lain pun menyahut, “Aku, dengan dua dirham.”
Barang itu pun terjual. Rasulullah ﷺ menyerahkan dua dirham itu kepada si pemuda.
“Belilah makanan dengan satu dirham untuk keluargamu. Dan belilah kapak dengan satu dirham lainnya. Lalu bawalah kapak itu kemari.”
Begitulah, kain dan wadah minum yang tadinya tak bernilai, berubah menjadi makanan untuk keluarga dan sebuah alat produksi.
---
Modal Ada di Rumah
Pelajaran pertama dari kisah ini begitu jelas: modal usaha sering kali ada di sekitar kita, bahkan di dalam rumah kita sendiri.
Perabot yang tak terpakai, perhiasan kecil yang tersimpan, atau barang yang sudah jarang dipakai—semuanya bisa menjadi pintu masuk untuk usaha. Masalahnya bukan pada ketiadaan modal, tetapi pada kebiasaan kita yang memandang remeh apa yang sudah ada.
Peter Drucker, bapak manajemen modern, pernah menulis: “The best way to predict the future is to create it.” Masa depan tidak menunggu datangnya modal besar, tetapi diciptakan dari langkah-langkah kecil yang dilakukan sekarang.
Ulama kontemporer pun sejalan dengan ini. Syekh Ali Jum’ah, misalnya, menegaskan bahwa salah satu bentuk keberkahan harta adalah ketika seseorang mampu memanfaatkannya, sekecil apa pun, untuk kebaikan dan kemandirian.
---
Konsumsi dan Investasi: Dua Sayap
Rasulullah ﷺ tidak menyerahkan seluruh hasil lelang untuk makanan. Beliau membaginya: satu dirham untuk konsumsi, satu dirham untuk investasi.
Ada keseimbangan di sini. Uang yang habis untuk makanan memang menyelamatkan keluarga dari lapar, tetapi tidak berputar. Sedangkan uang yang ditukar dengan kapak, berubah menjadi alat produksi yang melahirkan nilai tambah.
Robert Kiyosaki, dalam Rich Dad Poor Dad, menekankan hal serupa: konsumsi akan habis sekali pakai, sementara aset—meski sederhana seperti kapak—akan menghasilkan uang baru.
Inilah prinsip keuangan modern yang diajarkan Rasulullah ﷺ sejak 14 abad lalu: jangan habiskan seluruh pendapatan untuk konsumsi; sisihkan sebagian untuk aset produktif.
---
Alat Produksi Harus Menghasilkan
Pemuda itu kembali dengan kapak yang baru dibelinya. Rasulullah ﷺ mengambil sebatang kayu, lalu menunjukkan cara menggunakannya. “Pergilah, bekerjalah mencari kayu bakar, lalu juallah. Aku tidak ingin melihatmu selama lima belas hari.”
Kapak itu bukan pajangan, bukan simpanan. Ia harus menghasilkan. Maka pemuda itu pun berangkat. Hari demi hari ia gunakan kapaknya untuk menebang kayu, mengikat, mengangkut, dan menjualnya di pasar.
Lima belas hari kemudian, ia kembali dengan wajah berseri. Di tangannya ada sepuluh dirham. Rasulullah ﷺ tersenyum. “Belanjakan sebagian untuk makanan, sebagian lagi untuk pakaian.”
Kemudian beliau menutup dengan kalimat yang sarat makna:
“Bekerja seperti ini lebih baik daripada engkau meminta-minta. Sesungguhnya meminta hanya boleh bagi orang fakir yang sangat, atau karena hutang yang menjerat, atau denda yang amat berat.”
---
Proses dan Konsistensi
Sepuluh dirham itu tidak datang dalam semalam. Pemuda itu harus bekerja lima belas hari penuh. Kayu tidak berubah menjadi dirham tanpa tenaga yang menebang, mengikat, dan menjual.
Pelajaran penting: hasil besar butuh proses dan konsistensi.
Jim Collins menyebutnya flywheel effect: momentum besar lahir dari dorongan kecil yang konsisten. Rasulullah ﷺ mengajarkan hal itu dalam bahasa yang sederhana: ayunkan kapakmu, ulangi setiap hari, dan rezeki akan terkumpul sedikit demi sedikit.
---
Bisnis sebagai Ujian Jiwa
Namun inti kisah ini bukan hanya tentang bagaimana mendapatkan uang, melainkan tentang kehormatan jiwa. Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa bekerja—meski sekadar mencari kayu bakar—lebih mulia daripada meminta-minta.
Beliau tidak sekadar mengajarkan teknik ekonomi, tetapi menanamkan harga diri. Bahwa setiap manusia diberi kemampuan untuk menghasilkan, dan kemuliaan terletak pada usaha, bukan pada belas kasihan.
Imam Al-Ghazali pernah berkata: “Janganlah engkau mengira rezeki itu datang dari makhluk, sebab hakikatnya ia datang dari Allah. Maka bekerjalah, agar engkau tidak hina di hadapan manusia.”
---
Membagi Hasil dengan Bijak
Sepuluh dirham yang didapat pemuda itu tidak untuk dihamburkan. Rasulullah ﷺ membimbingnya agar membagi: sebagian untuk kebutuhan pokok, sebagian untuk pakaian, dan sisanya tentu bisa terus diputar dalam usaha.
Dalam ilmu keuangan modern, ini disebut money management: bagaimana mengelola pemasukan agar tetap tumbuh. Pakar keuangan Syariah, Muhammad Syafii Antonio, menekankan pentingnya prinsip alokasi yang seimbang antara kebutuhan harian, investasi, dan sedekah.
Dengan kata lain, uang dari aset menganggur tidak hanya menghidupi, tetapi juga bisa menjadi jalan berbagi.
---
Refleksi untuk Kita
Mari kita merenung sejenak.
Berapa banyak barang di rumah yang tidak terpakai?
Berapa banyak keterampilan kecil yang bisa diasah?
Berapa banyak waktu yang bisa dipakai untuk bekerja, alih-alih mengeluh?
Kisah pemuda Ansar ini memberi pola sederhana sekaligus abadi:
1. Gunakan apa yang ada di rumah. Jangan meremehkan barang kecil.
2. Seimbangkan konsumsi dan investasi. Jangan habiskan semua untuk makan hari ini.
3. Pastikan alat produksi menghasilkan. Kapak bukan pajangan, tapi alat.
4. Berproses dengan konsistensi. Sepuluh dirham lahir dari lima belas hari kerja.
5. Jaga kehormatan dengan bekerja. Lebih mulia daripada meminta-minta.
---
Penutup: Dari Kapak ke Kehormatan
Bekerja dengan kapak mungkin tampak kecil. Tetapi dari situlah lahir keteguhan hati, keteraturan keuangan, dan kemandirian. Dari kapak itu, pintu rezeki terbuka, dan kehormatan jiwa terjaga.
Siapa sangka, kain lusuh dan wadah minum yang dianggap sepele, ketika dikelola dengan bijak, bisa berubah menjadi modal usaha yang menyelamatkan sebuah keluarga?
Maka pertanyaan untuk kita: sudahkah kita melihat “kapak” kita masing-masing? Sudahkah kita berani mengayunkannya?
Karena sesungguhnya, bisnis tidak selalu dimulai dari modal besar. Kadang, ia hanya butuh satu kapak, dan keberanian untuk mengayunkannya.
0 komentar: