Carilah Pasar: Jejak Abdurrahman bin Auf dan Umar bin Khattab
Pasar: Denyut Tua Kehidupan
Pasar adalah ruang paling tua dalam peradaban manusia. Sejak manusia mengenal pertukaran, pasar menjadi tempat bertemunya kebutuhan dan keinginan, jerih payah dan harapan. Di sana, orang bukan hanya menjual barang, tetapi juga bertukar ide, membangun kepercayaan, bahkan menegakkan martabat.
Seorang pakar perilaku konsumen, Philip Kotler, menyebut pasar sebagai laboratorium kebutuhan manusia. Sementara dalam pandangan para ulama, pasar adalah madrasah kehidupan, tempat orang diuji dalam kejujuran, kesabaran, dan amanah. Ibn Khaldun menegaskan dalam al-Muqaddimah, bahwa perputaran ekonomi di pasar adalah pilar peradaban. Tanpa pasar yang sehat, sebuah masyarakat akan rapuh.
Namun Islam tidak melihat pasar semata sebagai urusan perut atau laba. Pasar adalah ruang moral. Umar bin Khattab, khalifah kedua, pernah berkata di tengah keramaian:
> “Janganlah ada yang berdagang di pasar kami ini kecuali orang yang paham hukum jual beli. Jika tidak, ia bisa terjerumus dalam riba—baik sadar maupun tidak.”
Kalimat itu adalah pagar. Umar ingin menegaskan: ilmu sebelum ke pasar. Barang siapa masuk pasar tanpa ilmu, ia bisa tergelincir. Pasar bukan ruang netral, tetapi tempat iman diuji.
---
Abdurrahman bin Auf: Permintaan Sederhana
Mari kita berjalan sejenak ke Madinah, tahun hijrah pertama. Seorang Muhajir bernama Abdurrahman bin Auf datang dengan langkah ringan namun hati penuh luka. Ia tinggalkan Mekah, tanah kelahirannya, beserta seluruh harta yang ia miliki. Kini ia hanya membawa iman.
Rasulullah ï·º mempersaudarakannya dengan Sa’ad bin Rabi’, seorang Anshar kaya raya. Sa’ad dengan tulus berkata:
> “Aku punya dua kebun, dua istri, dan harta yang melimpah. Ambillah separuh darinya, dan pilihlah salah satu istriku untuk engkau nikahi setelah aku ceraikan.”
Betapa besar pengorbanan Sa’ad. Tetapi jawaban Abdurrahman menorehkan sejarah:
> “Semoga Allah memberkahi harta dan keluargamu. Tunjukkanlah kepadaku di mana pasar.”
Kalimat emas ini menjadi warisan peradaban. Abdurrahman tidak meminta harta, tidak menggantungkan hidup pada belas kasihan. Ia memilih jalan kemandirian.
Dan benar, ia pun pergi ke pasar Bani Qainuqa’, memulai dari kecil: menjual keju, minyak samin, dan kain. Tidak lama kemudian, ia mampu menikah dengan mahar emas seberat biji kurma. Inilah saksi bahwa langkah kecil di pasar bisa melahirkan kejayaan besar.
---
Umar bin Khattab: Jangan Menunggu Emas dari Langit
Kisah lain muncul dari sosok Umar. Ia bukan hanya pengawas pasar, tetapi juga guru keras bagi generasi muda.
Suatu kali ia memasuki masjid, mendapati sekelompok pemuda berdiam diri sepanjang hari. Mereka berkata, “Kami bertawakal kepada Allah.” Umar menatap tajam lalu berkata:
> “Keluarlah dari masjid ini! Jangan kalian berdusta atas nama tawakal. Allah tidak akan menghujankan emas dari langit.”
Bagi Umar, doa tanpa kerja hanyalah dalih kemalasan. Tawakal harus disertai ikhtiar. Ia lalu mengingatkan firman Allah dalam QS. Yusuf (12:55), ketika Nabi Yusuf berkata:
> “Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.”
Ayat itu, bagi Umar, adalah legitimasi: bekerja, mengelola, mengupayakan rezeki adalah bagian dari ibadah.
---
Mengapa Harus ke Pasar?
Kisah Abdurrahman dan Umar memberi jawaban: karena pasar adalah simbol nyata kehidupan.
1. Memahami Konsumen.
Pasar melatih kita membaca kebutuhan manusia. Kotler menulis: “Bisnis adalah menciptakan nilai dan memuaskan kebutuhan.” Abdurrahman mempraktikkannya: ia menjual apa yang dibutuhkan orang Madinah, bukan apa yang ia sukai.
2. Melihat Kesenjangan.
Pasar memperlihatkan ruang kosong. Joseph Schumpeter menyebutnya entrepreneurial opportunity. Ada celah, ada peluang. Umar mengingatkan: barang siapa pandai berdagang, jadilah pedagang yang handal.
3. Membangun Mental Tahan Banting.
Pasar keras: ada tawar-menawar, ada penolakan. Tetapi di situlah jiwa ditempa. Umar menolak generasi malas, sebab pasar mengajarkan arti keringat, kegagalan, dan kebangkitan.
---
Pasar sebagai Sekolah Jiwa
Peter Drucker, bapak manajemen modern, berkata: “The purpose of business is to create a customer.” Artinya, inti bisnis bukan pada barang, melainkan pada manusia. Pasar adalah sekolah terbaik, karena di sana kita belajar langsung dari perilaku manusia:
Mengamati daya beli masyarakat.
Menyesuaikan harga.
Memberi pelayanan yang membuat orang kembali.
Inilah yang dilakukan Abdurrahman bin Auf. Ia tidak menunggu modal besar, tidak menunggu bangunan megah, tetapi langsung turun ke pasar dengan barang sederhana. Ia belajar dari interaksi nyata, bukan teori kosong.
---
Pesan Umar: Jangan Jadi Beban
Umar mengutip sabda Nabi ï·º:
> “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.”
Bagi Umar, ini bukan sekadar soal sedekah. Ini prinsip hidup: jadilah produktif, memberi, bukan meminta. Jika kita malas bekerja, kita akan menjadi beban. Jika kita berusaha, kita akan menjadi pemberi.
Psikologi modern mendukung ini. Albert Bandura menyebut konsep self-efficacy: rasa percaya diri lahir ketika seseorang mampu mengendalikan hidupnya. Pasar, dengan segala kerasnya, adalah ruang membangun kepercayaan diri.
---
Dialog Reflektif: Jika Umar dan Abdurrahman Hidup Hari Ini
Bayangkan jika Umar bin Khattab berjalan di pasar modern. Mungkin ia akan berkata:
“Periksa timbangan digitalmu. Jangan menipu dengan angka.”
“Jangan menimbun barang impor demi permainan harga.”
“Jangan menutupi cacat barang dengan cahaya toko yang terang.”
Dan bila Abdurrahman bin Auf hidup di era digital, mungkin kalimatnya adalah:
“Tunjukkan kepadaku di mana marketplace.”
Ia akan berjualan online, membaca tren konsumen, tetapi tetap menjaga kejujuran dan amanah.
---
Refleksi untuk Kita
Mari kita berhenti sejenak dan bertanya pada diri sendiri:
Sudahkah kita melihat pasar sebagai ruang moral, bukan sekadar laba?
Sudahkah kita meniru Abdurrahman yang berani memulai dari nol, tanpa menggantungkan diri?
Sudahkah kita mendengar teguran Umar, agar tidak bersembunyi di balik doa tanpa usaha?
Pasar hari ini bisa berarti banyak: pasar tradisional, mall, marketplace digital, media sosial, atau komunitas. Tetapi esensinya sama: tempat manusia saling membutuhkan, dan tempat kita bisa memberi nilai.
---
Penutup: Jalan Menuju Pasar
“Mulai berbisnis, pergilah ke pasar.”
Kalimat ini bukan sekadar ajakan berdagang, tetapi panggilan jiwa. Abdurrahman bin Auf tidak meminta harta, tetapi meminta pasar. Umar bin Khattab tidak memuji doa kosong, tetapi mengirim pemuda ke pasar. Rasulullah ï·º sendiri bersabda:
> “Amal yang paling baik adalah bekerja dengan tangannya sendiri.”
Islam tidak mengajarkan kemiskinan sebagai kemuliaan, tetapi kemandirian sebagai kehormatan. Pasar adalah sekolah, dan setiap Muslim dipanggil untuk belajar di sana.
Mungkin pasar terlihat keras, penuh gesekan, penuh risiko. Tetapi dari pasar pula lahir keberanian, martabat, dan berkah rezeki. Karena emas tidak turun dari langit. Ia lahir dari tangan yang bekerja, dari keringat yang jujur, dan dari doa yang bergerak bersama usaha.
0 komentar: