Kepungan Persoalan Sang Pahlawan
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
---
Pahlawan tidak lahir dari limpahan sumber daya. Ia tumbuh dari krisis.
Dalam kekacauan, ia menyusun keteraturan. Dalam keterbatasan, ia ciptakan efektivitas. Ketika orang lain menyerah, ia tetap berpikir. Ketika banyak lari dari beban, ia justru mendekapnya.
Allah berfirman:
> "Betapa banyak kelompok kecil yang dapat mengalahkan kelompok besar dengan izin Allah. Dan Allah bersama orang-orang yang sabar."
— QS. Al-Baqarah: 249
Para Sahabat generasi awal di Mekkah, yang disebut as-sabiqun al-awwalun, hanya berjumlah sekitar 60 orang. Tapi mereka menghadapi intimidasi para petinggi Quraisy. Para Nabi dan Rasul lainnya pun hanya ditemani segelintir orang, namun keyakinan tak tergoyahkan.
Dan mereka menang.
---
Andai Kita Shalahuddin...
Bayangkan engkau terlahir sebagai Shalahuddin. Bukan di istana, bukan dalam keagungan. Tapi dalam pengusiran.
Pada malam yang gelap, sang ayah, Najmuddin Ayyub, dan istrinya, diusir dari benteng Tikrit. Mereka keluar membawa luka, kekhawatiran, dan janin dalam kandungan. Di tengah pelarian, di luar benteng, lahirlah bayi itu. Tahun 532 H / 1138 M. Dialah Yusuf bin Ayyub, kelak dikenal sebagai Shalahuddin.
Sebagian riwayat menyebut ia lahir di dalam benteng, tapi malam itu juga terusir. Maka sejak bayi, ia tak memiliki atap perlindungan kecuali langit.
Lalu takdir mengantarnya mengangkat pedang melawan invasi Eropa—pasukan Salib yang rapi, besar, dan bersenjata mutakhir. Didukung penuh oleh sistem militer, rohaniawan, dan logistik gereja.
Sedangkan umat Islam?
Lemah. Terpecah. Bahkan sebagian mengkhianatinya.
---
Di Balik Dinding-Dinding Kota Islam
Sebelum Damaskus berada di tangannya, para wali kota dan pejabat administratif di sana justru membuka diplomasi dengan Kerajaan Salib Yerusalem—demi menjaga kekuasaan mereka sendiri.
Shalahuddin tak serta merta menghunus pedang. Ia menempuh diplomasi. Ia bersabar. Namun saat perlu, ia tekan dengan kekuatan. Sebab kota-kota itu harus bersatu. Bukan untuknya. Tapi demi Al-Quds.
Di wilayah utara—Diyar Bakr, Jazirah, dan daerah Zanki lainnya—beberapa Emir memilih netral, bahkan membuka jalan bagi Salibis, asal wilayahnya aman. Pecah-belah. Opportunisme. Politik kerdil.
Lebih pahit lagi: pemberontakan dari dalam wilayahnya sendiri. Gubernur yang dulunya bersekutu dengannya kini berbalik. Bahkan bersekutu dengan Salib untuk menjatuhkan sang pemimpin.
Tak ada luka yang lebih pedih dari pengkhianatan saudara sendiri.
---
Tikaman dari Kegelapan
Di Aleppo, tahun 1175 M, malam turun membawa bahaya. Seorang pembunuh dari kelompok Hashashin menyusup. Menyamar sebagai prajurit Muslim. Ia berhasil menembus barisan dan hampir menghabisi nyawa sang pahlawan. Tapi penjaga pribadi menggagalkannya.
Belum lama berselang, benteng Masyaf dikepung. Itu markas Hashashin. Mereka membalas. Sekelompok pembunuh kembali menyusup. Salah satunya masuk ke tenda pribadi Shalahuddin. Ia selamat. Tapi luka batin tak mudah hilang.
Di medan perang, musuh terlihat. Di medan hati, musuh menyamar.
---
Menggenggam Harapan di Tengah Kelesuan Umat
Shalahuddin meminta bantuan ke Baghdad. Pada saat itu, Kekhalifahan Abbasiyah hanyalah simbol. Kekuasaan riil hampir sirna. Militernya lemah, logistiknya terbatas. Mereka berada di bawah bayang-bayang konflik internal, tekanan sektarian, dan perebutan kuasa.
Ia melanjutkan langkah. Menuju Bani Seljuk. Namun Kesultanan agung itu pun sedang dalam masa redup. Wilayah-wilayahnya terfragmentasi. Sultan hanya berkuasa secara nominal di beberapa bagian Anatolia. Khurasan telah berjarak dari jangkauan kekuasaan pusat.
Lalu ia memandang Maghribi. Tapi yang datang bukan bantuan, melainkan pengkhianatan.
---
Guru Telah Pergi, Kini Ia Sendiri
Nuruddin Zanki. Guru, pembina, sekaligus cahaya jalan jihadnya. Telah wafat. Shalahuddin berdiri sendiri di panggung sejarah. Amanah besar, tapi tanpa sandaran. Dunia Muslim sedang bingung. Umat tercerai. Pemimpin saling curiga. Umat kelelahan. Tapi ia tidak berhenti.
Jika hari ini engkau berada di posisinya, akankah engkau memikulnya atau melimpahkannya?
---
Kepahlawanan: Menyederhanakan Kekacauan
Pahlawan itu bukan yang kuat secara fisik, tapi yang mampu menyusun makna di tengah kekacauan. Ia menyederhanakan rumitnya persoalan. Ia tidak emosional, tapi rasional. Ia tidak terburu-buru, tapi penuh pertimbangan.
Ketika akhirnya umat Islam bersatu, ketika pasukan Salib mulai mundur, ketika Al-Quds berhasil dibebaskan… ia bisa saja membalas dendam. Bisa saja membangkang pada khalifah yang diam.
Tapi apa yang ia lakukan?
Ia memperbaharui janji setianya kepada Khalifah Abbasiyah.
Karena pahlawan sejati, tahu: di balik kejayaan ada kerendahan hati. Di balik kemenangan ada kepasrahan pada Allah.
---
Belajar Kepemimpinan dari Sang Pahlawan
Shalahuddin bukan hanya ahli strategi. Ia bukan hanya gagah di medan perang. Ia adalah pemimpin spiritual. Ia memahami umat. Ia menyatukan hati sebelum menyatukan panji. Ia sabar sebelum bertindak. Ia pikirkan dampak sebelum mengayunkan pedang.
Kita belajar darinya: bahwa dalam ketidakpastian, kita masih bisa melangkah. Dalam kemiskinan sumber daya, kita masih bisa berkarya.
Dalam kesendirian, kita masih bisa menjadi cahaya.
---
Persaksian Para Sejarawan
Colin Imber dan Carole Hillenbrand, dua sejarawan Barat, mencatat bahwa fragmentasi politik adalah kelemahan utama dunia Muslim kala itu. Kesultanan Seljuk, Dinasti Zanki, dan kekuatan-kekuatan lokal saling tarik ulur. Sebelum Saladin datang, tidak ada persatuan.
Bahauddin ibn Shaddad, penulis resmi biografi Shalahuddin, menulis bahwa meski ia mengagumi sang pahlawan, ia tak menutupi kenyataan. Ada elit Fatimiyah yang mengkhianatinya. Ada faksi politik di Mesir yang ingin menyingkirkannya. Ia diangkat sebagai vizier di usia muda, dan sejak itu ia menjadi target diplomasi licik dan kudeta diam-diam.
Dr. Majid Irsan al-Kailani menyatakan dalam karyanya: “Shalahuddin tidak hadir tiba-tiba. Ia adalah hasil dari reformasi panjang. Lima puluh tahun. Ia menghadapi bukan hanya perang, tapi degradasi iman dan moral umat. Dan ia membangunnya kembali.”
---
Akhirnya…
Kemenangan tidak dimulai dari pedang. Tapi dari jiwa. Dari pikiran yang jernih. Dari iman yang kuat. Dari kepemimpinan yang tidak gentar memikul beban umat.
Shalahuddin tidak sempurna. Tapi dalam keterbatasan, ia tetap berjuang. Dan dalam kepungan persoalan, ia tidak tenggelam—ia justru muncul sebagai cahaya.
Dan hari ini, kita pun bisa memilih: menjadi bagian dari kekacauan, atau penata dari keteraturan.
0 komentar: