Revolusi Mempelajari Sejarah
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
---
Mengapa kita belajar sejarah? Apakah hanya untuk mengenang masa lalu? Atau sekadar mengisi catatan kaki dalam buku pelajaran? Sejarah yang benar tidak membelenggu kita pada apa yang telah terjadi, melainkan membebaskan kita untuk memahami arah ke mana umat ini harus melangkah.
Namun sayangnya, sejarah yang banyak ditulis manusia kerap rapuh fondasinya. Ia dibangun dari potongan informasi yang terpecah, disusun oleh perspektif yang bias, dan seringkali dipengaruhi oleh ambisi, kekuasaan, dan kepentingan.
> “Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al-Kitab, supaya kamu menyangka bahwa yang mereka baca itu sebagian dari Al-Kitab, padahal itu bukan dari Al-Kitab...”
(QS. Ali 'Imran: 78)
Jika wahyu saja bisa dipalsukan oleh segelintir ahli kitab, bagaimana dengan catatan sejarah biasa yang tidak memiliki perlindungan wahyu? Bila kitab suci pun diputarbalikkan, bagaimana kita bisa yakin pada sejarah yang hanya bersandar pada kesaksian tercerai, tradisi lisan yang bias, dan dokumen yang bisa dipalsukan?
Sejarah tidak netral. Ia bisa diselewengkan untuk membenarkan kezaliman, menutupi kebenaran, bahkan mencemarkan para nabi, rasul, dan orang-orang saleh.
> “...Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami tetap mengikuti jejak mereka.”
(QS. Az-Zukhruf: 23)
Sebelum Al-Qur’an diturunkan, sejarah manusia gelap. Pewarisan kisah dilakukan lisan tanpa verifikasi. Tak ada standar otoritatif yang mampu memilah antara fakta dan dusta. Maka sejarah pun berubah menjadi alat propaganda.
> “Dan sungguh, Yusuf telah datang kepada kalian sebelumnya dengan bukti-bukti yang nyata, tetapi kalian senantiasa berada dalam keraguan terhadap apa yang dibawanya...”
(QS. Ghafir: 34)
Al-Qur’an hadir sebagai revolusi sejarah. Bukan hanya sebagai kitab suci, tetapi juga sebagai ensiklopedia sejarah profetik.
Al-Qur’an tidak mencatat sejarah untuk nostalgia, tetapi sebagai cermin bagi masa kini dan peta untuk masa depan. Ia merekam dialog peristiwa, mengungkap letupan hati, menyalin bisikan jiwa, dan menyusun narasi dengan kepresisian ilahiah.
> “Yusuf berkata: 'Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku…’”
(QS. Yusuf: 33)
Adakah sejarawan yang mampu menulis sejarah hingga ke dalam niat, kegelisahan batin, dan doa terdalam pelaku sejarah? Al-Qur’an melampaui itu semua.
Ia tidak hanya menyampaikan apa yang terjadi, tetapi juga mengapa itu terjadi, kepada siapa itu terjadi, dan bagaimana akhir dari kisah itu — di dunia hingga akhirat.
> “Kepada mereka (keluarga Fir‘aun) ditampakkan neraka pada pagi dan petang...”
(QS. Ghafir: 46)
Al-Qur’an mengubah cara kita melihat sejarah. Ia tidak menyajikan kronologi dingin, tetapi pola sunnatullah. Muhammad Abduh berkata:
> “Tujuan Al-Qur’an bukan menyampaikan detail kronologis sejarah, tapi untuk menunjukkan pola sunnatullah atas bangsa-bangsa...”
Kisah-kisah dalam Al-Qur’an dipilih, disaring, dan disampaikan tidak berdasarkan kelengkapan data, tetapi berdasarkan kekuatan ibrah (pelajaran). Ketika dibutuhkan detail, Allah memberikannya. Ketika intisari lebih penting, maka ringkasan lebih kuat pengaruhnya.
Inilah keunikan Al-Qur’an: ia menempatkan sejarah bukan sebagai arsip, tapi sebagai panduan. Ia tidak sekadar memotret masa lalu, tapi menyinari masa depan.
Bahkan kisah bisa terkubur jika tidak membawa cahaya. Dan sejarah akan dilupakan jika tak menyentuh nurani manusia.
Al-Qur’an memilih kisah bukan karena keunikan peristiwanya, tetapi karena daya hidupnya dalam membentuk peradaban. Maka, kisah-kisah Al-Qur’an hidup dan menghidupkan. Ia mengajak pembaca untuk berpikir, merenung, dan berubah.
> “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal...”
(QS. Yusuf: 111)
Sejarah dalam Al-Qur’an juga spiritual, bukan sekadar intelektual. Ia menyentuh langit dan bumi, lahir dan batin, awal dan akhir.
Dalam Al-Qur’an, sejarah bukan sekadar domain manusia, tetapi juga Allah. Karena Allah-lah yang menciptakan waktu, menyaksikan segala yang terjadi, dan mencatatnya dengan sempurna.
Maka, siapakah yang lebih layak menulis sejarah dibanding Sang Pencipta sejarah itu sendiri?
> “Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kamu ayat-ayat yang memberi penjelasan; dan contoh-contoh dari orang-orang sebelum kamu...”
(QS. An-Nur: 34)
Al-Qur’an mengajarkan etika dalam menulis dan membaca sejarah:
Kejujuran dalam menyusun narasi
Kepekaan terhadap nilai dan akhlak
Kepedulian terhadap dampak kisah bagi masyarakat
Keterhubungan sejarah dengan tauhid, iman, dan akhirat
Dalam Al-Qur’an, tidak ada kisah netral. Semua kisah memihak kepada nilai. Dan setiap kisah memanggil kita untuk memilih: berdiri di sisi kebenaran atau tersesat dalam keraguan.
Al-Qur’an tidak ingin kita sekadar menjadi pembaca sejarah, tapi pembawa sejarah. Ia ingin umat Islam menjadi penulis kisah peradaban baru, yang bersandar pada wahyu dan akhlak.
Maka, revolusi belajar sejarah dimulai ketika kita menjadikan Al-Qur’an sebagai standar. Sejarah tak lagi hanya milik akademisi, tapi juga milik umat. Bukan sekadar buku referensi, tapi lentera kehidupan.
Sejarah akan mati jika hanya menjadi teks. Tapi ia akan hidup kembali jika dijadikan hikmah.
Dan Al-Qur’an adalah sumber sejarah yang hidup.
---
Penutup:
Mari ubah cara kita mempelajari sejarah. Jadikan Al-Qur’an sebagai cermin, bukan hanya catatan. Bacalah kisah para nabi, umat terdahulu, dan pelaku sejarah dalam Al-Qur’an — dengan hati yang ingin mengambil pelajaran, bukan sekadar informasi.
Karena sejarah dalam Al-Qur’an bukan sekadar apa yang terjadi, melainkan mengapa kita ada.
0 komentar: