Cara Terakhir Israel Menghancurkan Gaza: Menanam Budak-Budak Kolonial
Ketika bom berhenti, bukan berarti perang berakhir. Justru di saat gencatan senjata diumumkan, Israel menyiapkan bentuk baru dari penghancuran Gaza: bukan lagi dengan misil, tapi dengan manusia yang dijadikan alat—budak kolonial yang menabur kehancuran dari dalam.
---
1. Dari Bom ke Budak: Evolusi Kekerasan Kolonial
Israel tahu bahwa penghancuran fisik Gaza bukanlah akhir. Batu bisa dibangun kembali, reruntuhan bisa dibersihkan. Tapi masyarakat yang rusak—jiwa yang kehilangan makna hidup bersama—itulah kehancuran yang paling permanen.
Maka setelah gagal menaklukkan Hamas melalui kekuatan militer, Israel beralih pada “pemerintahan melalui perantara”: membentuk geng kriminal bersenjata, memberi mereka uang, kendaraan, senjata, dan perlindungan, lalu melepaskan mereka di tengah rakyat yang lapar.
Tujuannya: menjadikan rakyat Gaza saling membunuh atas nama kelangsungan hidup.
Empat geng besar—Abu Shabab di Rafah, Husam al-Astal di Khan Younis, Ashraf al-Mansi di Beit Lahia, dan Rami Heles di Gaza timur—menjadi simbol dari kolonialisme gaya baru: pendudukan tanpa tentara.
Israel tidak lagi perlu hadir secara langsung; cukup menanamkan budak-budak yang bekerja untuknya dengan wajah Palestina.
---
2. Rekayasa Kekacauan: Kolonialisme Tanpa Tanda Tangan
Langkah ini bukan improvisasi, tapi kelanjutan dari pola lama. Tahun 1982, Israel membentuk South Lebanon Army—pasukan bayaran lokal untuk melakukan pekerjaan kotor di kamp pengungsi Sabra dan Shatila. 3.500 warga Palestina dibantai tanpa satu pun tentara Israel tertuduh.
Kini cetak biru yang sama diterapkan di Gaza.
Israel menciptakan milisi proksi yang dapat memprovokasi perang saudara, menjarah konvoi bantuan, dan menimbulkan kekacauan yang bisa dijadikan dalih bagi Israel untuk berkata:
“Lihat, mereka tidak mampu memerintah diri sendiri.”
Dalam logika kolonial, kekacauan bukanlah kegagalan, tapi strategi.
Semakin Gaza terlihat kacau, semakin kuat alasan Israel untuk bertahan di 58% wilayah yang kini mereka kuasai—dengan dalih “menjaga stabilitas.”
---
3. Budak Kolonial: Wajah Lokal dari Proyek Zionis
Yasser Abu Shabab hanyalah satu contoh paling mencolok dari budak kolonial ini.
Dulunya pengedar narkoba, buronan hukum, dan kolaborator dengan jaringan ISIS di Sinai, kini ia dijadikan “pemimpin masyarakat” versi Israel.
Kepada dia dijanjikan uang, senjata, rumah, dan “kehormatan semu” sebagai pelindung rakyat Gaza—padahal sejatinya ia melindungi rencana penjajahan.
Para budak kolonial ini diberi kebebasan menjarah truk bantuan di bawah lindungan tank Israel. Mereka membunuh polisi Gaza yang mencoba menegakkan hukum. Dan setiap kali Hamas mencoba menumpas mereka, drone Israel menembaki Hamas dengan alasan “menargetkan teroris.”
Itulah bentuk baru kolonialisme: menjadikan pengkhianatan sebagai profesi.
---
4. Gagalnya Skema Kolonial: Budak yang Tak Diterima Bangsanya
Namun seperti di Lebanon dulu, eksperimen ini mulai gagal.
Geng-geng buatan Israel ini tidak pernah diterima rakyat Gaza—tidak oleh keluarganya sendiri, bahkan oleh klannya. Mereka diasingkan, dikutuk, dan diburu oleh masyarakat yang sadar bahwa tangan mereka berlumur darah sesama.
Alih-alih menghancurkan Hamas, taktik ini justru memperkuatnya.
Warga Gaza yang muak dengan kekacauan mulai kembali ke barisan perlawanan. Hamas kini membentuk “Unit Panah”, pasukan yang bertugas memburu geng kriminal dan kolaborator.
Kematian para pengkhianat itu menjadi simbol kebangkitan baru Gaza: bahwa kehormatan tidak bisa dibeli, dan penjajahan tidak bisa dipoles dengan dalih keamanan.
---
5. Desa Potemkin: Menjual Ilusi Rekonstruksi
Namun, Israel tidak berhenti di situ.
Kini mereka mulai membangun “desa-desa percontohan”—sebuah proyek kosmetik yang disebut “rekonstruksi Gaza.”
Padahal, wilayah yang akan dibangun hanyalah 58% zona yang kini kosong dari penduduk—kecuali para geng dan keluarga mereka yang menjadi “model warga Gaza baru.”
Seperti desa Potemkin di era Tsar Rusia, ini hanyalah panggung palsu: fasad beton untuk menipu dunia bahwa Gaza sedang dibangun, padahal dua juta warganya dibiarkan mati kelaparan di luar pagar.
Israel ingin dunia melihat Abu Shabab dan gengnya sebagai simbol “pemulihan”, agar dunia lupa bahwa yang mereka bangun bukan kehidupan, melainkan kuburan yang diberi cat baru.
---
6. Kolonialisme 2.0: Pemerintahan Melalui Kekacauan
Dalam pandangan Israel, budak kolonial ini berfungsi seperti virus: menyebarkan keruntuhan dari dalam, menghancurkan kepercayaan, memecah solidaritas, dan menanamkan rasa takut terhadap sesama.
Inilah kolonialisme 2.0—pemerintahan tanpa pemerintahan, penjajahan tanpa bendera.
Mereka bukan penjajah yang datang dengan tank, tapi dengan uang, senjata, dan janji palsu.
Mereka tidak berperang untuk tanah, tapi untuk legitimasi narasi bahwa “Palestina gagal karena dirinya sendiri.”
---
7. Kesimpulan: Antara Pengkhianat dan Pewaris
Namun sejarah memiliki logika sendiri.
Setiap kali penjajahan menanamkan pengkhianat, tanah itu menumbuhkan pewaris.
Setiap kali Gaza dilumpuhkan, dari reruntuhannya lahir generasi yang lebih keras kepala, lebih jujur, dan lebih siap mati daripada menyerah.
Budak-budak kolonial akan hilang bersama tuannya.
Tapi Gaza, seperti Al-Quds dan Beirut, akan tetap menulis kisahnya sendiri—bukan dengan tinta propaganda, melainkan dengan darah orang-orang yang menolak tunduk.
0 komentar: