Kebodohan Israel dalam Diplomasi dan Perang: Era Modern dan Bani Israil
“Mereka mengira sedang membangun kekuatan, padahal mereka sedang menggali lubang kejatuhan.”
— Refleksi atas sejarah Bani Israil dan Zionisme modern
Prolog: Negeri yang Menolak Belajar dari Sejarah
Setiap kekuatan besar memiliki masa ketika mereka tidak lagi mampu mendengar suara kebenaran. Bukan karena telinga mereka tuli, tapi karena kesombongan menutup ruang tafakkur. Israel hari ini berada pada titik itu—berjalan di atas bara sejarah yang sama, dengan langkah-langkah yang sudah ditunjukkan oleh Bani Israil ribuan tahun lalu: keras kepala, menolak nasihat, dan menantang hukum keadilan Allah.
Dalam tafsir Al-Qurthubi atas Surah Al-Baqarah ayat 61, para mufasir menulis:
“Kebinasaan mereka bukan karena kurang pengetahuan, tapi karena kesombongan setelah tahu kebenaran.”
Maka sejarah pun berulang—kali ini di Gaza, di mana negeri yang menganggap dirinya “bangsa pilihan” kembali terperosok dalam jebakan ilahiah: kebodohan yang disangka strategi.
---
1. Melanggar Perjanjian: Tradisi Lama yang Berulang
Tidak ada dosa diplomasi yang lebih fatal selain mengingkari janji di depan dunia.
Perjanjian Oslo (1993), Wye River (1998), Annapolis (2007)—semuanya menjadi saksi bahwa Israel memandang perjanjian bukan sebagai jalan damai, tapi alat manipulasi waktu.
Laporan The Guardian (2024) mengungkap bahwa Israel menolak lebih dari 60 resolusi PBB yang menyerukan penghentian pembangunan pemukiman ilegal.
Profesor Rashid Khalidi dari Columbia University menyebut:
“Israel tidak pernah melihat perjanjian sebagai kontrak moral. Bagi mereka, itu hanya jeda taktis antara dua penaklukan.”
Seperti Bani Israil di masa Musa yang berjanji untuk taat, namun segera menyembah anak lembu, demikian pula Zionis modern—mengangkat pena di meja perundingan, lalu mengangkat senjata di hari berikutnya.
---
2. Genosida: Kekerasan yang Mengundang Kejatuhan Moral
Ketika kezaliman berubah menjadi kebijakan negara, maka keruntuhan moral tak bisa ditunda.
PBB (Juni 2025) melaporkan lebih dari 42.000 warga sipil Gaza terbunuh, 70% di antaranya perempuan dan anak-anak.
Mahkamah Internasional (ICJ) menuduh Israel melakukan genosida, sementara Amnesty International menulis bahwa Israel “secara sistematis menghancurkan kehidupan sipil sebagai instrumen politik.”
Israel mengira bahwa menumpahkan darah akan menghapus perlawanan.
Namun seperti dikatakan Sayyid Qutb dalam Fi Zhilal al-Qur’an:
“Darah syuhada bukan tanda kekalahan, tapi tanda bahwa bumi telah menolak kezaliman.”
Inilah kebodohan yang paling tragis: mereka membunuh anak-anak, tapi justru menanam benih ideologi perlawanan yang tak bisa dibom.
---
3. Menyerang Iran: Menantang Kekuatan di Luar Nalar
April 2024, Reuters dan Al Jazeera melaporkan: Israel meluncurkan serangan drone ke pangkalan militer di Isfahan, Iran. Dunia menahan napas.
Iran membalas dengan hujan rudal balistik ke Tel Aviv.
Hanya keberuntungan diplomasi Amerika yang mencegah perang besar.
Namun, di balik itu, muncul paradoks:
Israel ingin menampilkan kekuatan, tetapi justru memperlihatkan ketergantungan total pada AS dan Eropa.
Analisis Foreign Affairs menyebut tindakan itu sebagai “strategi kebodohan hegemonik”—berani menyerang tanpa kesiapan menghadapi konsekuensi global.
Seperti Bani Israil yang menantang kaum Amalek tanpa izin Allah (QS. Al-Ma’idah: 21–24), lalu kalah telak, Israel modern pun mengulangi pola lama: sombong sebelum berperang, lalu bersembunyi di balik sekutu ketika kalah.
---
4. Menyerang Qatar: Menggigit Tangan yang Memberi Napas
Qatar adalah mediator utama di Gaza—menyalurkan bantuan kemanusiaan, memfasilitasi pertukaran tawanan, dan mengalirkan gaji pegawai sipil Palestina.
Namun laporan The New York Times (Februari 2025) menyebut, Israel secara terbuka menuduh Qatar “mendanai terorisme” karena menyalurkan dana lewat UNRWA.
Padahal, dana itu yang selama ini menahan Gaza dari kelaparan total.
Dengan menuduh Qatar, Israel menutup satu-satunya pintu negosiasi yang masih terbuka.
Dr. Marwan Bishara (Al Jazeera Analyst) menyebut:
“Israel menembak kaki sendiri. Qatar adalah jembatan terakhir antara dunia Arab dan Barat. Menghancurkannya adalah bunuh diri diplomatik.”
Bani Israil pernah melakukan hal serupa—menolak manna dan salwa yang Allah beri, dan meminta makanan yang lebih rendah nilainya (Al-Baqarah: 61).
Kini Israel modern menolak bantuan diplomatik dan memilih bara permusuhan.
---
5. Menyerang Negara Perbatasan: Menciptakan Musuh dari Segala Arah
Lebanon, Suriah, dan Yordania—tiga negara yang seharusnya menjadi buffer stabilitas, kini berubah menjadi medan panas akibat ulah Israel.
Serangan udara Israel ke Lebanon selatan (2025) menewaskan pekerja sipil dan menghancurkan proyek rekonstruksi, dilaporkan oleh Reuters dan France24.
Hizbullah membalas dengan roket ke Galilea; ratusan keluarga Yahudi di utara Israel mengungsi.
The Economist menulis:
“Israel kini dikelilingi oleh tembok ketakutan yang ia bangun sendiri.”
Seperti Bani Israil di padang Tih yang takut melawan musuh karena dosa mereka sendiri, Israel kini hidup dalam paranoia—melihat setiap tetangga sebagai ancaman, bukan peluang damai.
---
6. Keputusan Aneksasi Tepi Barat: Menyulut Api yang Tak Akan Padam
Pada 2024, parlemen Israel mengesahkan rancangan hukum yang memperluas yurisdiksi sipil atas Tepi Barat, langkah yang disebut The Washington Post sebagai “pengakuan de facto atas aneksasi.”
Keputusan ini menandai akhir “solusi dua negara.”
Bahkan Uni Eropa menilai kebijakan itu “menutup peluang perdamaian untuk satu generasi ke depan.”
Namun Netanyahu menyebutnya “pemenuhan janji ilahi.”
Ironinya, klaim itu justru menyeret Israel ke jurang internasional—kehilangan dukungan moral dan diplomatik, bahkan dari sekutu Barat.
Seperti Bani Israil yang mengklaim tanah suci tapi menolak hukum Allah di dalamnya, Israel modern ingin menguasai wilayah tanpa keadilan di dalamnya.
---
7. Mengandalkan Propaganda daripada Kebenaran
Israel memenangi perang informasi di abad ke-20, tapi kalah telak di abad ke-21.
Laporan BBC dan The Intercept (2025) menunjukkan bahwa kampanye media Israel di X dan TikTok gagal karena diserbu oleh narasi independen dari warga Gaza.
Rakyat dunia menyaksikan genosida secara real-time.
Foto anak-anak di reruntuhan lebih kuat dari ribuan juru bicara pemerintah.
Seorang analis media dari Harvard Kennedy School, Prof. Nicco Mele, menulis:
“Israel sedang menghadapi kekuatan baru: empati digital. Anda tidak bisa memanipulasi nurani publik selamanya.”
Inilah kebodohan baru: ketika kebenaran bisa direkam oleh ponsel, kebohongan negara menjadi bahan tertawaan sejarah.
---
8. Mengabaikan Diaspora Yahudi yang Menolak Genosida
Gelombang protes dari komunitas Yahudi sendiri mengguncang fondasi Zionisme.
Gerakan Jewish Voice for Peace di AS, Not in Our Name di Inggris, dan ratusan rabbi progresif menolak genosida di Gaza.
Survei Haaretz (Juli 2025) menunjukkan 37% Yahudi muda di diaspora tidak lagi mendukung Israel secara moral.
Namun, alih-alih mendengar, pemerintah Israel menuduh mereka “pengkhianat.”
Inilah kebodohan spiritual yang sama seperti nenek moyang mereka—menolak nabi-nabi yang datang dari bangsa sendiri karena tidak sesuai dengan ambisi duniawi.
---
9. Mengandalkan Amerika Serikat Secara Buta
Ketergantungan total kepada Washington kini menjadi kutukan.
Kongres AS mulai terbelah; gerakan mahasiswa di universitas-universitas besar menolak pendanaan perang Israel.
The Washington Post (2025) melaporkan bahwa sebagian senator mulai menolak tambahan bantuan militer senilai $14 miliar.
Sejarah membuktikan: bangsa yang menggantungkan diri pada kekuatan luar akan runtuh ketika sekutunya berubah arah.
Seperti kaum Bani Israil yang meminta raja lain memimpin mereka karena kehilangan iman kepada Allah (Al-Baqarah: 246), Israel kini kehilangan kemandirian spiritual dan moral.
---
10. Mengabaikan Hukum Alam: Bahwa Kezaliman Tidak Pernah Menang Lama
Setiap kezaliman memiliki tanggal kadaluarsa.
Seperti Fir’aun yang tenggelam bukan karena Musa kuat, tapi karena air tunduk pada perintah Allah.
Demikian pula Israel—kemenangan militernya menyembunyikan kekalahan moral yang semakin nyata.
The Economist Intelligence Unit (2025) melaporkan penurunan besar dalam “kepercayaan global terhadap Israel” dan lonjakan isolasi diplomatik.
Bahkan perusahaan besar seperti Nestlé dan Unilever menarik investasinya dari Israel akibat tekanan publik.
Allah berfirman:
“Dan janganlah engkau mengira bahwa Allah lalai terhadap apa yang diperbuat oleh orang-orang zalim.” (Ibrahim: 42)
---
Refleksi Akhir: Sejarah yang Menyempurnakan Hukum Allah
Dalam tafsir Ibn Katsir atas Surah Al-Ankabut:40, disebutkan:
“Allah tidak mengazab kaum yang zalim sekaligus, melainkan memberi mereka kesempatan agar keburukan mereka sempurna, sehingga azab turun dengan keadilan penuh.”
Mungkin inilah fase yang kini kita saksikan.
Kebodohan demi kebodohan Israel bukan kebetulan, tetapi bagian dari sunnatullah agar dunia melihat—bahwa bangsa yang menolak rahmat Allah akan hancur oleh logika kekuatannya sendiri.
Gaza mungkin tampak kalah di mata dunia, tetapi seperti doa-doa di langit malamnya, ia sedang menjadi saksi bahwa keadilan Allah tidak tidur.
“Dan mereka merencanakan tipu daya, maka Kami pun merencanakan tipu daya, sedang mereka tidak menyadarinya.”
(An-Naml: 50)
---
Epilog: Kebenaran yang Tidak Bisa Dihancurkan
Mungkin ini saatnya dunia berhenti memandang Gaza sebagai perang, dan mulai melihatnya sebagai cermin.
Setiap roket yang jatuh, setiap rumah yang runtuh, dan setiap doa ibu yang kehilangan anak—semuanya sedang menulis babak baru sejarah.
Israel bisa menang di medan tempur, tetapi ia sedang kalah dalam peperangan yang lebih besar: perang melawan hati nurani manusia.
Dan di sanalah, seperti dalam setiap kisah nabi dan tiran sebelumnya,
keputusan Allah yang adil sedang bergerak — pelan, tapi pasti.
0 komentar: