Sistem Pendidikan Sekolah di Gaza Menurut Barat
1. Di Kelas yang Remang Itu: Awal Sebuah Ideologi
Di sebuah sekolah yang separuh dindingnya runtuh, seorang guru masih menulis di papan tulis yang berdebu: “Tanah ini milik kita, dan Allah menyukai orang yang sabar.”
Anak-anak menyalin kalimat itu dengan pensil tumpul, sebagian dengan tangan gemetar, sebagian lagi dengan mata yang kosong karena kehilangan ayah di malam sebelumnya.
Dari luar, kelas itu tampak sederhana—seperti ruang belajar darurat di tengah reruntuhan. Tapi bagi pengamat Barat, ruang seperti inilah yang mereka sebut laboratorium ideologi perlawanan: tempat di mana sejarah, identitas, dan dendam membentuk generasi baru yang tak kenal menyerah.
Pendidikan di Gaza bukan sekadar pengajaran membaca dan berhitung. Ia adalah sistem makna yang hidup—berfungsi sebagai benteng moral, ruang terapi, sekaligus pabrik identitas. Seperti kata seorang peneliti dari lembaga IMPACT-SE, “buku-buku teks di Gaza lebih mirip manifestasi politik daripada sekadar alat belajar.”
Namun, bagi para guru dan keluarga yang kehilangan segalanya, pendidikan adalah satu-satunya bentuk harapan yang masih bisa diwariskan. Di tengah reruntuhan, kata “syahid” bukan sekadar simbol heroik, tapi cara untuk bertahan hidup secara spiritual.
---
2. Suara dari Barat: Pendidikan Sebagai Mesin Konflik
Banyak laporan dari Barat—terutama dari lembaga seperti IMPACT-SE, The Times of Israel, dan Washington Institute for Near East Policy—menggambarkan pendidikan di Gaza sebagai sistem yang memelihara “budaya kematian”.
Matthew Levitt, dalam bukunya Hamas: Politics, Charity, and Terrorism in the Service of Jihad, menyebut pendidikan sebagai “investasi strategis bagi kelangsungan perlawanan.”
Menurutnya, Hamas tidak hanya membangun jaringan militer, tetapi juga lembaga pendidikan, klinik sosial, dan yayasan amal yang terhubung satu sama lain—semuanya menjadi ekosistem yang menumbuhkan loyalitas ideologis.
IMPACT-SE menambahkan, sejak 2016, buku teks di Gaza dan Tepi Barat menonjolkan tiga tema besar:
1. Kehilangan tanah dan identitas nasional.
2. Kemuliaan mati syahid dan pengorbanan.
3. Narasi historis tunggal tanpa ruang bagi “yang lain.”
Bagi pengamat Barat, ini adalah bentuk “radikalisasi sistemik”—sebuah pendidikan yang bukan menumbuhkan nalar kritis, tetapi mengabadikan konflik.
Namun, seperti semua konflik ideologi, kebenarannya tak sesederhana itu.
---
3. Bahasa, Lagu, dan Permainan: Normalisasi Kekerasan atau Ketahanan Identitas?
Anak-anak Gaza tumbuh dengan lagu-lagu perjuangan, puisi tentang tanah yang dirampas, dan permainan perang di antara puing-puing rumah.
Dalam pandangan peneliti Eropa, hal ini dianggap sebagai “normalisasi kekerasan”. Tapi bagi para orang tua di Gaza, lagu itu bukan propaganda; itu adalah doa yang disamarkan dalam melodi.
Seorang sosiolog Palestina di Universitas Birzeit menulis: “Kami tidak mengajarkan kebencian. Kami mengajarkan nama-nama tempat yang hilang.”
Ketika seorang anak menyebut Jaffa, Haifa, Al-Lydd, itu bukan ajakan perang, melainkan usaha untuk tidak lupa pada akar sejarah yang telah dihapus peta.
IMPACT-SE menemukan bahwa buku geografi Palestina tidak menampilkan Israel sebagai entitas negara. Dalam sudut pandang pedagogis, itu dilihat sebagai “pengingkaran terhadap realitas geopolitik”. Tapi dalam logika masyarakat yang dijajah, itu adalah penegasan eksistensi: menolak memberi pengakuan kepada kekuatan yang menindasnya.
Seperti dikatakan Paulo Freire, tokoh pendidikan pembebasan dari Brasil:
“Ketika pendidikan tidak memerdekakan, ia akan menjadi alat penindasan. Tapi ketika kaum tertindas menguasai bahasa pendidikan, ia berubah menjadi senjata kebebasan.”
Mungkin inilah yang terjadi di Gaza—sebuah pendidikan yang meminjam bahasa penjajahan, tapi membalikkan maknanya menjadi perlawanan.
---
4. Sekolah yang Runtuh, Ide yang Tak Mati
Dalam setiap perang Israel-Gaza, ratusan sekolah hancur.
Namun laporan UNICEF dan UNRWA menunjukkan hal yang aneh: walau bangunannya musnah, kelas-kelas informal terus tumbuh di masjid, tenda pengungsian, bahkan terowongan bawah tanah.
Anak-anak tetap belajar membaca Al-Qur’an, menulis nama-nama syuhada, dan menggambar rumah yang hilang.
Inilah paradoks yang sering gagal dipahami dunia luar: penghancuran fisik justru mengabadikan semangat ideologis.
Ketika semua simbol material dihapus, yang tersisa hanyalah makna, dan makna adalah sesuatu yang tak bisa dibom.
Bahkan laporan PBB tahun 2024 menyebut bahwa 70 persen anak di Gaza mengalami trauma perang, namun banyak dari mereka menunjukkan “ketahanan luar biasa yang bersumber dari keyakinan religius dan komunitas sosial.”
Dalam bahasa psikologi sosial, ini disebut collective resilience.
Dalam bahasa spiritual, ini disebut iman.
---
5. Dua Pembacaan Dunia: Indoktrinasi atau Keteguhan Identitas?
Barat melihat kurikulum Gaza dengan kacamata keamanan.
Mereka khawatir generasi baru akan tumbuh menjadi pasukan militan.
Namun bagi banyak keluarga Palestina, pendidikan perlawanan bukan tentang membunuh, melainkan tentang bertahan—bertahan dari lupa, dari kehinaan, dari kehilangan makna.
The Guardian menulis pada 2024: “Ketika negara tak bisa menjamin keamanan, sekolah menjadi tempat terakhir bagi anak-anak untuk memahami kenapa dunia melukai mereka.”
Di sisi lain, Financial Times menyoroti bahwa hilangnya sistem pendidikan formal membuat ruang informal (seperti madrasah dan halaqah) menjadi medium dominan bagi transmisi nilai-nilai perjuangan.
Di sinilah dua narasi saling bertabrakan:
Barat berbicara tentang “de-radicalization”.
Palestina berbicara tentang “de-colonization”.
Dan keduanya, pada hakikatnya, memperdebatkan hal yang sama: siapa yang berhak menentukan arti kebebasan.
---
6. Ulama dan Pakar: Antara Etika Syahid dan Pendidikan Jiwa
Dalam dunia Islam, konsep jihad dan syahid bukan sekadar ajaran perang, melainkan spiritualitas pengorbanan.
Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menulis:
“Barangsiapa berperang untuk membela yang tertindas, itu bagian dari cinta kepada Allah; tapi barangsiapa mencintai darah, ia telah keluar dari rahmat-Nya.”
Artinya, jihad yang benar bukanlah penanaman kebencian, tetapi kesetiaan pada keadilan.
Sayyid Qutb dalam Ma’alim fi al-Thariq mengingatkan:
“Sebuah bangsa akan tetap lemah jika pendidikan hanya melahirkan budak. Maka didiklah generasi yang takut hanya kepada Allah, bukan kepada tiran.”
Dari sini terlihat bahwa pendidikan perlawanan dalam tradisi Islam tidak identik dengan kekerasan, melainkan dengan pembebasan spiritual dari ketakutan dan kehinaan.
Namun, ketika ajaran ini berhadapan dengan konteks militeristik dan pendudukan, maknanya bisa bergeser: dari spiritual menjadi politik.
Sementara Fazlur Rahman mengingatkan bahwa setiap sistem pendidikan Islam yang tertutup dari dialog akan melahirkan stagnasi moral.
Maka, bahkan pendidikan jihad pun memerlukan ruang kritik—agar tetap manusiawi dan tidak kehilangan tujuan etiknya.
---
7. Dunia Intelijen: Sekolah Sebagai Ruang Rekrutmen dan Pertahanan Sosial
Bagi lembaga keamanan seperti CTC Sentinel dan Washington Institute, sekolah-sekolah Hamas bukan hanya ruang ajar, tetapi juga sarana perekrutan dan legitimasi sosial.
Mereka melihat korelasi antara aktivitas da’wah, pemberian beasiswa bagi keluarga syuhada, dan kemunculan kader militan baru.
Namun, analisis RAND Corporation dan Brookings Institution menambahkan perspektif berbeda:
“Upaya menekan lembaga pendidikan berbasis agama di wilayah konflik justru sering memperkuat daya tariknya.”
Ketika semua kanal politik ditutup, pendidikan menjadi saluran terakhir ekspresi kolektif.
Dan ketika identitas terancam, maka setiap bentuk pengetahuan berubah menjadi bentuk perlawanan.
---
8. Soft Power yang Sulit Dimusnahkan
Dalam analisis geopolitik, kekuatan militer mudah dihancurkan, tapi soft power berbasis ideologi jauh lebih sulit dihapus.
Levitt menyebutnya “the infrastructure of faith and narrative.”
Di Gaza, sekolah bukan hanya tempat belajar, tetapi juga arena spiritual.
Ketika seorang anak mendengar cerita tentang Ibrahim yang tidak takut pada api, ia belajar tentang keberanian.
Ketika ia mendengar tentang Bilal yang sabar disiksa, ia belajar tentang kesetiaan.
Dan ketika ia melihat reruntuhan rumahnya sendiri, ia menafsirkan semua kisah itu menjadi pengalaman pribadi.
Maka, setiap bom yang dijatuhkan ke sekolah bukan hanya menghancurkan tembok, tapi juga memperdalam keyakinan bahwa dunia memang melawan mereka.
Di sinilah paradoks abadi konflik Gaza: perang yang dimaksudkan untuk menghancurkan ide justru menyuburkannya.
---
9. Mencari Jalan Tengah: Pendidikan yang Membebaskan, Bukan Menjerat
Bagaimana seharusnya pendidikan di Gaza dilihat?
Sebagai ancaman? Atau sebagai kesempatan untuk penyembuhan?
Beberapa inisiatif lokal mencoba menulis ulang paradigma itu.
Guru-guru muda di Khan Younis menggabungkan pelajaran sains dengan tafsir spiritual tentang penciptaan, agar anak-anak belajar berpikir kritis tanpa kehilangan iman.
Di kamp pengungsian Rafah, sekelompok relawan mendirikan “Sekolah Harapan” — ruang belajar di tenda, dengan moto sederhana: “Belajar adalah bertahan hidup.”
PBB, UNESCO, dan berbagai NGO telah menyusun rancangan “Education for Peace and Memory”, sebuah kurikulum yang menggabungkan narasi sejarah dengan etika kemanusiaan. Namun, keberhasilan inisiatif ini tergantung pada dua hal yang paling rapuh di Gaza: keamanan dan kepercayaan.
Sebagaimana dikatakan Paulo Freire:
“Pendidikan sejati lahir dari dialog, bukan dari paksaan.”
Maka, jika reformasi kurikulum datang dari luar tanpa mengakui luka sejarah Gaza, ia akan ditolak mentah-mentah.
Tapi jika perubahan lahir dari dalam—dari guru yang juga korban perang—ia mungkin akan diterima sebagai bentuk penyembuhan.
---
10. Penutup: Antara Dendam dan Doa
Pendidikan di Gaza adalah kisah tentang manusia yang menolak dilupakan.
Ia mengandung dua wajah: satu yang penuh keberanian, dan satu lagi yang menyimpan luka yang belum sembuh.
Bagi Barat, ia tampak seperti mesin kebencian.
Bagi Gaza, ia adalah upaya mempertahankan martabat di tengah dunia yang menolak mendengarkan.
Seorang ulama di kamp pengungsian pernah berkata:
“Kami mengajar anak-anak bukan untuk membenci, tapi agar mereka tahu mengapa dunia membenci mereka—dan tidak menyerah karena itu.”
Barangkali di situlah letak paradoks sekaligus keindahan paling pahit dari pendidikan di Gaza:
ia lahir dari kehancuran, tapi terus menumbuhkan harapan.
Ia menanamkan keberanian, tapi juga risiko dendam.
Ia ingin membebaskan, tapi sering terjerat dalam lingkaran kekerasan yang sama.
Namun sebagaimana Al-Qur’an mengingatkan:
“Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.” (QS. Yusuf: 87)
Mungkin masih ada ruang untuk sebuah pendidikan yang tak hanya mengajarkan perlawanan, tetapi juga mengajarkan cara mencintai dalam reruntuhan.
Karena hanya dari cinta yang sadar akan luka, lahir perdamaian yang benar-benar manusiawi.
0 komentar: