Kelompok New Historians: Melawan Israel dengan Bukti Sejarah
Di sebuah kantor sunyi di Tel Aviv, Benny Morris menatap tumpukan dokumen yang baru dibuka dari arsip militer Israel. Di seberang dunia, Ilan Pappé menulis di komputer lamanya, mengutip catatan diplomatik yang jarang diakses, sementara Tom Segev dan Avi Shlaim mengkaji laporan intelijen dari masa-masa awal pendirian Israel. Mereka adalah sekelompok sejarawan yang dikenal sebagai “New Historians”, muncul pada akhir abad ke-20 dengan satu tujuan yang berani: menulis ulang sejarah Israel-Palestina berdasarkan bukti primer, tanpa mempedulikan narasi nasionalis dominan yang telah tertanam di masyarakat selama puluhan tahun.
Sejarah, bagi mereka, bukan sekadar kumpulan cerita heroik atau mitos nasional. Ia adalah arsip yang menunggu untuk dibaca dengan jujur, sering kali menyingkap kebenaran yang pahit.
---
Latar Belakang dan Tujuan
New Historians mulai dikenal luas pada akhir 1980-an, terutama setelah karya Benny Morris, The Birth of the Palestinian Refugee Problem (1988), diterbitkan. Di buku itu, Morris menegaskan bahwa pengusiran warga Palestina pada 1948 tidak selalu terjadi secara spontan akibat perang. Sebaliknya, beberapa tindakan pengusiran merupakan kebijakan yang disengaja oleh pemimpin Zionis. Hal ini menimbulkan kontroversi hebat, baik di kalangan publik Israel maupun internasional.
“Tujuan kami bukan menjelek-jelekkan Israel,” kata Ilan Pappé dalam sebuah wawancara dengan Al Jazeera. “Kami ingin mengerti sejarah yang sebenarnya terjadi, agar konflik ini bisa ditangani dengan lebih adil dan manusiawi.”
Bagi New Historians, sejarah adalah alat pemahaman, bukan propaganda. Mereka berupaya memisahkan fakta dari mitos, dokumen dari interpretasi ideologis, dan kebijakan dari narasi heroik. Dalam konteks ini, mereka menantang pertanyaan paling sensitif: Bagaimana negara yang didirikan untuk menjadi suaka bagi bangsa Yahudi, sekaligus menimbulkan penderitaan bagi bangsa lain, dibentuk secara historis?
---
Anggota Utama dan Kontribusinya
Benny Morris: Tonggak penting historiografi Israel-Palestina. Ia menulis tentang pengusiran warga Palestina, membuka dokumen yang menunjukkan bahwa kebijakan tersebut tidak hanya akibat perang, tetapi sebagian merupakan strategi politik. Pandangannya kemudian berubah dalam beberapa tahun terakhir, namun karyanya tetap menjadi fondasi penting.
Ilan Pappé: Sang “pengecam keras”. Dalam The Ethnic Cleansing of Palestine, Pappé menegaskan bahwa pembantaian di Deir Yassin dan pengusiran massal Palestina merupakan bagian dari rencana sistematis untuk mendirikan negara Israel. Pandangannya tidak populer di Israel, sehingga ia pindah ke Inggris untuk melanjutkan penelitian akademisnya.
Avi Shlaim: Fokus pada diplomasi dan politik internasional. Dalam The Iron Wall, ia menyoroti kebijakan militer Israel yang mengutamakan kekuatan untuk “mencapai perdamaian”, namun justru memperpanjang konflik. Ia menyerukan dialog inklusif dengan Palestina sebagai alternatif.
Tom Segev: Mengkaji sejarah sosial dan politik Israel sebelum 1948. Dalam One Palestine, Complete, ia memotret kehidupan warga Palestina dan Yahudi secara paralel, memberi konteks lebih luas terhadap dinamika sosial, ekonomi, dan politik yang membentuk pendirian Israel.
---
Metodologi: Bukti Primer sebagai Senjata Historis
Kekuatan New Historians terletak pada penggunaan dokumen primer. Mereka memanfaatkan arsip militer, catatan diplomatik, laporan intelijen, hingga dokumen internal pemerintah Israel yang sebelumnya tertutup untuk umum. Melalui arsip ini, mereka dapat menyusun narasi yang lebih bernuansa:
Peristiwa seperti pengusiran massal warga Palestina pada 1948 bukan sekadar akibat perang, melainkan juga kebijakan yang direncanakan.
Konflik awal dengan negara Arab tetangga sering diwarnai strategi diplomatik yang kompleks, yang sering diabaikan dalam narasi resmi.
Dinamika internal komunitas Yahudi, baik Zionis Religius maupun Sekuler, memengaruhi kebijakan yang diambil.
---
Kontroversi dalam Israel: Antara Sekuler, Religius, dan Haredim
Tidak semua pihak menerima keberanian intelektual ini.
Zionis Sekuler: Fokus pada pembangunan negara modern dan keamanan nasional. Mereka sering menganggap kritik New Historians melemahkan legitimasi Israel. Sejarah, bagi mereka, adalah cerita tentang keberhasilan bertahan hidup, bukan catatan kontroversial tentang pengusiran dan kekerasan.
Zionis Religius: Memandang sejarah sebagai kehendak ilahi. Narasi resmi Israel terkait pembentukan negara dianggap sakral, dan kritik terhadapnya dianggap menentang kehendak Tuhan. Ilan Pappé bahkan sempat mendapat serangan personal karena menantang narasi ini.
Kelompok Haredim: Fokus mereka pada kehidupan religius dan hukum Yahudi, cenderung menolak penelitian yang menonjolkan sisi kontroversial Zionisme. Mereka melihat sejarah konflik modern sebagai urusan duniawi yang tak sepenting tradisi keagamaan.
Sejarawan New Historians sering dianggap “pengkhianat” di mata kelompok-kelompok ini. Namun, mereka tetap teguh: sejarah bukan alat propaganda, melainkan cermin yang menuntut keberanian untuk melihat fakta, betapapun pahitnya.
---
Dampak dan Warisan Internasional
Kontribusi New Historians melampaui Israel. Media internasional menyoroti keberanian mereka:
The Guardian: Ilan Pappé disebut “mengubah sejarah Palestina” dengan menantang narasi dominan.
Al Jazeera: Benny Morris “memaksa Israel melihat cermin sejarah”.
BBC: Kelompok ini digambarkan sebagai “suara berani yang memecah kepentingan politik dan ideologi di tanah Israel”.
Para pakar global menekankan relevansi mereka:
Rashid Khalidi (Columbia University) menyebut New Historians sebagai “pembuka mata dunia terhadap fakta yang disembunyikan”.
Noam Chomsky mengapresiasi pendekatan berbasis bukti yang menantang narasi nasionalistik.
Sejarawan lokal Palestina menganggap karya mereka sebagai pengakuan penting terhadap penderitaan rakyat Palestina yang selama ini disembunyikan dalam narasi dominan.
---
Narasi Kemanusiaan: Perspektif Palestina
Di kamp pengungsi Gaza, warga Palestina yang kehilangan rumah akibat perang menatap reruntuhan yang dulu penuh kehidupan. Anak-anak menari debka di antara puing, sementara ibu-ibu menangis dan bersorak untuk mereka yang selamat. Bagi mereka, sejarah bukan sekadar dokumen di rak arsip, melainkan hidup dan berdarah.
Karya New Historians memberi mereka pengakuan: penderitaan mereka tercatat, kebijakan yang menindas mereka diakui secara historis. Narasi ini memberi ruang bagi empati global, dan membuka kemungkinan dialog yang lebih manusiawi.
---
Refleksi: Sejarah sebagai Dialog Liris
Membaca New Historians adalah seperti mendengarkan monolog yang berbalut dialog. Fakta bertemu interpretasi, dokumen berhadapan dengan narasi nasional, dan sejarah berinteraksi dengan politik kontemporer.
Di Jakarta, jauh dari Tel Aviv atau Gaza, kita mungkin hanya membaca buku dan artikel. Namun, memahami sejarah yang jujur tentang Israel-Palestina membantu kita menumbuhkan empati, perspektif global, dan pemahaman tentang bagaimana kebijakan politik membentuk kehidupan jutaan manusia.
---
Kesimpulan: Keberanian Intelektual sebagai Warisan
New Historians menegaskan bahwa sejarah adalah alat untuk memahami masa lalu dan membentuk masa depan, bukan propaganda atau alat legitimasi semata. Mereka menunjukkan bahwa keberanian intelektual, integritas, dan pendekatan berbasis bukti adalah kunci untuk memahami konflik yang kompleks seperti Israel-Palestina.
Karya mereka tidak hanya menulis ulang sejarah; mereka menantang kita untuk melihat dunia dengan lebih jujur, lebih empatik, dan lebih manusiawi. Bahkan di tengah tekanan sosial, politik, dan ideologis, New Historians tetap teguh, meninggalkan warisan penting bagi generasi yang ingin memahami konflik ini secara mendalam dan kritis.
0 komentar: