Upaya Barat Mengintervensi Kurikulum Sekolah di Gaza untuk Melemahkan Perjuangan
Ketika bantuan internasional mengalir ke sistem pendidikan di wilayah yang dilanda konflik, terdapat dinamika yang kompleks: bukan hanya soal buku dan ruang kelas, tetapi juga tentang siapa yang menulis narasi, siapa yang mengajarkan nilai, dan siapa yang akhirnya menentukan masa depan generasi muda. Di Gaza—terjepit antara blokade, kehancuran, dan perjuangan—pendidikan menjadi arena persaingan ideologis penting. Barat melalui donor, lembaga multilateral dan NGO mencoba “memasuki” ruang itu dengan satu misi: reformasi kurikulum agar “menjadi moderat, damai, dan toleran.” Namun, realitas menunjukkan bahwa upaya itu menghadapi resistensi struktur lokal, konflik identitas, dan persoalan legitimasi.
---
1. Konteks Intervensi Barat: Donor, Reformasi, dan Harapan
Sejak pertengahan 2010-an, lembaga-donor Barat (termasuk Uni Eropa) mengikat bantuan ke sistem pendidikan Palestina dengan persyaratan reformasi: kurikulum harus selaras dengan standar UNESCO tentang pendidikan untuk perdamaian dan toleransi. Namun seperti dilaporkan oleh IMPACT‑se (Institute for Monitoring Peace and Cultural Tolerance in School Education), implementasi reformasi itu belum mencapai hasil yang bermakna. Laporan IMPACT-se menyebut bahwa meski ada restrukturisasi kurikulum sejak 2016, materi pendidikan di Gaza dan Tepi Barat “masih memuat banyak konten yang mempromosikan kekerasan, penolakan terhadap Israel, martir sebagai teladan, dan jihad sebagai pilihan pendidikan.”
Dari perspektif Barat, ini bukan hanya persoalan konten: ini persoalan legitimasi sebuah sistem pendidikan yang dapat membentuk generasi masa depan. Oleh sebab itu, bantuan pendidikan menjadi alat diplomasi, sekaligus instrumen perubahan sosial.
---
2. Ringkasan Laporan IMPACT-se
Laporan tersebut terbagi dalam beberapa bab yang masing-masing menyoroti aspek-aspek penting. Berikut ringkasan per bab yang telah Anda sediakan:
Bab 1: Pendahuluan
Sistem pendidikan di wilayah Palestina dilegitimasi ulang sejak 2016 oleh Palestinian Authority (PA). Harapan internasional bahwa kurikulum baru akan lebih moderat dibandingkan yang lama—namun IMPACT-se menemukan kurikulum “baru” justru lebih jauh dari standar UNESCO.
Bab 2: Analisis Kurikulum dan Text-book (2016–sekarang)
Analisis atas lebih dari 1.000 buku teks dari PA; temuan utama: pengayaan sistematis tema seperti jihad, syahid, nasionalisme ekstrem; contoh: buku matematika memakai data “jumlah syuhada” untuk soal; peta yang menghilangkan Israel; penghapusan bagian yang menyebut sejarah Yahudi atau keberadaan Israel.
Bab 3: Reaksi Sekolah terhadap Peristiwa 7 Oktober 2023
Studi kasus 11 sekolah menunjukkan posting media sosial sekolah yang memuji aksi militer Hamas, sekolah‐sekolah di Tepi Barat dan Gaza ikut menampilkan sikap “kemenangan” terhadap serangan.
Bab 4: Hubungan dengan Lembaga Internasional (UNRWA)
Beberapa sekolah United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East (UNRWA) di Gaza dipimpin oleh orang-orang yang secara terbuka terkait dengan Hamas atau PIJ; materi pembelajaran memuat glorifikasi kekerasan dan martir.
Bab 5: Implikasi dan Dampak Pendidikan untuk Perlawanan
Pendidikan dilihat sebagai “mesin reproduksi” perlawanan: sekolah mencetak identitas generasi yang siap berkonflik, bukan berdialog. Efek jangka panjang: generasi sulit dicetak untuk perdamaian jika sejak kecil dibentuk dalam narasi penjajahan dan syahid.
Bab 6: Rekomendasi dan Tantangan Reformasi
Donor Barat mengikat bantuan ke komitmen reformasi pendidikan; namun realitas di lapangan menghadapi kendala besar: infrastuktur rusak, pembelajaran daring tak efektif, trauma anak besar. Rekomendasi: pengawasan independen bahan ajar; pelatihan guru; pendidikan inklusif; dukungan psikososial.
---
3. Upaya Intervensi Barat: Realitas, Kendala, dan Dampak
Realitas intervensi:
Uni Eropa menyetujui ratusan juta euro untuk bantuan pendidikan Palestina, dengan syarat reformasi kurikulum. Misalnya, laporan menyebut 380 juta euro dialokasikan untuk pendidikan Gaza (IMPACT-se) namun menunjukkan bahwa konten masih bermasalah.
Program pelatihan guru, pengiriman buku baru, dan upaya mengganti materi pembelajaran dilakukan oleh NGO dan lembaga donor.
Kendala utama:
Infrastruktur sekolah banyak rusak akibat perang dan blokade. Laporan menyebut bahwa 97% sekolah di Gaza rusak atau tidak layak.
Legitimasi lokal: banyak masyarakat Palestina menganggap intervensi Barat sebagai intrusi budaya atau pemaksaan nilai luar, sehingga resistensi muncul.
Lingkungan konflik: ketika anak-anak hidup di bawah ancaman harian, nilai “martyr”, “perlawanan”, dan “pengorbanan” menjadi narasi penerimaan sosial—menjadikan reformasi sulit karena mekanisme sosialnya kuat.
Dampak yang dilaporkan:
Laporan IMPACT-se menyebut bahwa alih-alih menghapus konten kekerasan, kurikulum justru tetap memuat glorifikasi jihad dan martir.
Di sisi Barat, muncul kekhawatiran bahwa sekolah-sekolah itu menjadi “breeding ground for extremism”.
Pada saat yang sama, artikel Guardian menyebut bahwa rusaknya sistem pendidikan di Gaza akan menghancurkan masa depan generasi, mengingat anak-anak kehilangan akses bersekolah hingga bertahun-tahun.
---
4. Pakar dan Ulama: Pandangan Moral dan Etis
Pakar pendidikan:
Paulo Freire (Brasil): dalam Pedagogy of the Oppressed, ia mengatakan bahwa pendidikan bisa menjadi alat pembebasan jika anak belajar untuk menjadi subjek bukan objek. Jika sekolah hanya mengajarkan narasi tunggal tanpa ruang dialog, ia menjadi “pendidikan terbelakang.”
John Haldeman (teoretikus pendidikan konflik): menekankan bahwa pendidikan di zona konflik harus menggabungkan pengajaran trauma, rekonsiliasi, dan pemahaman antar-kelompok.
Ulama dan pemikir Islam:
Al-Ghazali (Ihya Ulumuddin): menegaskan bahwa pengorbanan (syahid) dalam Islam adalah untuk keadilan dan pembebasan, bukan sebagai glorifikasi agresi atau kebencian terhadap sesama manusia.
Sayyid Qutb (Ma’alim fi al-Thariq): mengkritik sistem pendidikan yang membuat manusia “tunduk” bukan “mandiri”—baginya, pendidikan yang benar membangkitkan kesadaran terhadap tirani, menuntut keadilan, bukan sekadar membalas.
Fazlur Rahman: mengingatkan bahwa sistem pendidikan Islam yang tertutup dari dialog dan kritik justru akan melahirkan stagnasi moral dan distorsi ajaran.
Dengan demikian, dalam perspektif moral-islam, pendidikan yang membentuk generasi “siap mati” tanpa ruang bagi hidup dan dialog adalah penyimpangan dari nilai etis utama: keadilan, kemanusiaan, dan persaudaraan.
---
5. Kritikan dan Kontra-Argumen: Dari Kacamata Palestina
Sementara Barat mengangkat reformasi nilai sebagai tujuan utama, banyak suara Palestina menyoroti dua hal:
Konteks penjajahan dan blokade: Pendidikan yang membicarakan “tanah yang dirampas”, “pengungsi”, dan “kembali ke Haifa/Jaffa” bukan sekadar ideologi—ia adalah memori kolektif atas barang yang hilang. Dalam artikel The Guardian, disebut bahwa banyak siswa memilih nilai-nilai identitas sebagai cara untuk bertahan di tengah kehancuran.
Hak untuk mendidik dalam bahasa sendiri: Beberapa keluarga Palestina melihat intervensi donor Barat sebagai “standar ganda”—ketika Israel sendiri tidak diintervensi secara kurikuler, mereka dituntut mengubah narasi. Kritik ini menimbulkan resistensi budaya terhadap perubahan kurikulum.
Oleh sebab itu, bila intervensi Barat ingin berhasil, ia harus mempertimbangkan pengakuan atas trauma historis, legitimasi identitas, serta turut melibatkan komunitas lokal dalam pembuatan kurikulum.
---
6. Refleksi: Apakah Intervensi Barat Justru Melemahkan Perjuangan?
Pada level praktis, intervensi Barat bermaksud “melemahkan narasi radikal” melalui pendidikan, tetapi pada level simbolik dan praktis, ia juga bisa dianggap sebagai bentuk tekanan budaya atau diplomasi yang mendalangi perubahan nilai. Bila narasi perlawanan adalah bagian dari identitas masyarakat yang hidup dalam blokade dan konflik, maka intervensi yang tidak sensitif terhadap konteks bisa menimbulkan resistensi dan kemudian memperkuat narasi anti-Barat.
Seperti terlihat dalam laporan IMPACT-se: meskipun donor mencairkan ratusan juta euro, kurikulum tetap memuat unsur yang sama. Dua hipotesis muncul:
Reformasi nominal saja (penggantian buku, bukan isi) sehingga narasi lama tetap hidup di bawah permukaan.
Perlawanan identitas semakin menguat sebagai respons terhadap tekanan eksternal: ketika sekolah dihancurkan, ide dan identitas menjadi satu-satunya “tanah” yang tersisa.
Dengan demikian, pendidikan yang dimaksud untuk menghasilkan “warga global dan toleran” malah bisa memperkuat warga yang merasa tersudut dan menganggap dirinya berada dalam perang identitas.
---
7. Jalan ke Depan: Strategi Pendidikan Alternatif
Agar intervensi Barat dan reformasi pendidikan di Gaza benar-benar membebaskan, bukan membungkam, maka beberapa strategi dapat dipertimbangkan:
Kolaborasi lokal-internasional: Libatkan guru, orang tua, tokoh agama lokal dalam merancang buku teks baru; jangan hanya materi impor.
Narasi dual: konflik + rekonsiliasi: Kurikulum harus mengakui trauma dan sejarah kehilangan, namun juga mengajarkan kapasitas dialog, hak asasi manusia, rekonsiliasi antar-kelompok.
Pelatihan guru “pedagogi trauma”: Guru bukan sekadar pengajar akademik, tetapi fasilitator psikososial bagi anak-anak yang hidup dalam konflik.
Evaluasi mandiri & transparansi: Donor harus mensyaratkan evaluasi independen, dan sekolah-sekolah harus terbuka mempublikasikan materi ajar.
Pendidikan perdamaian dan kewargaan global: Masukkan modul yang mengajarkan pemahaman antar-agama, hak asasi manusia, dan tanggung jawab global — bukan hanya narasi lokal saja.
---
8. Penutup reflektif
Pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, tetapi penanaman makna. Bila makna itu dibentuk oleh pengalaman penjajahan, pemerkasaan, dan trauma, maka pendidikan menjadi medan pertarungan ideologis. Intervensi Barat dalam pendidikan Gaza adalah bab penting dalam sejarah baru: bagaimana donor luar ingin mengubah bukan hanya infrastruktur sekolah, tetapi juga hati dan pikiran generasi masa depan. Namun jika reformasi hanya bersifat permukaan atau dipandang sebagai bentuk pemaksaan budaya, maka ia bisa memantul sebagai penguatan perjuangan—bukan pelunakan.
Seperti sebuah metafora yang pernah muncul dalam pembicaraan pendidikan konflik:
“Batu bata sekolah mungkin roboh oleh bom, tapi narasi yang tertulis di hati anak itu akan tumbuh sebagai akar pohon baru.”
Maka, apabila pendidikan yang ingin dilemahkan oleh Barat bukan diganti oleh narasi yang membebaskan, tanpa pengakuan atas rasa luka dan identitas yang tersingkir—maka intervensi itu hanya akan menjadi bayangan di balik konflik yang terus berlanjut.
0 komentar: