Jejak Islam di Ladang Pertanian Eropa: Membaca Kembali Warisan Pertanian Al-Andalus Melalui Karya Expiración García Sánchez
“Setiap tetes air yang mengalir di selokan tua Andalusia adalah huruf dalam kitab panjang peradaban Islam.”
Demikian kesan yang sering muncul ketika kita menatap lembah-lembah kuno di Granada atau dataran hujan di Almería. Tanah itu tidak sekadar ladang; ia adalah manuskrip hidup dari kejayaan agrikultur Islam yang pernah menyuburkan Eropa.
Dan di antara para ilmuwan yang menyingkap kembali lembar-lembar manuskrip itu, satu nama berulang disebut: Expiración García Sánchez.
---
Jejak Sang Peneliti dan Cakrawala Penelitiannya
Expiración García Sánchez, seorang agronom dan etnobotanis asal Spanyol, adalah jembatan antara ilmu modern dan warisan agronomi Islam. Ia meneliti ekonomi tanaman, sistem irigasi, dan kebudayaan agrikultur yang pernah hidup di Al-Andalus (abad ke-10 hingga ke-15).
Dalam berbagai risetnya — terutama artikel Economic Botany and Ethnobotany in Al-Andalus (10th–15th centuries) yang ia tulis bersama J. Esteban Hernández Bermejo — García Sánchez menunjukkan bahwa masyarakat Islam di Spanyol bukan sekadar penakluk tanah, melainkan penata alam.
Mereka membawa tanaman dari Timur dan Afrika, menyesuaikannya dengan tanah Iberia, dan menulis teori agronomi paling maju pada zamannya.
Bagi García Sánchez, Al-Andalus bukan hanya sejarah, melainkan sistem ekologis yang masih berdenyut di balik sawah, kebun, dan acequias (saluran irigasi) yang bertahan hingga kini.
---
Metodologi: Membaca Alam, Naskah, dan Jejak Air
Penelitian García Sánchez tidak sederhana. Ia memadukan tiga ranah ilmu — filologi Arab-Spanyol, agronomi klasik, dan arkeobotani — untuk merekonstruksi sistem pertanian yang diwariskan Islam kepada Eropa.
1. Membaca Literatur Agronomis Hispanik-Arab
Ia menelaah karya-karya ilmuwan Andalusi seperti:
Ibn Bassal dari Toledo, yang menulis tentang pembiakan tanaman dan teknik penyemaian;
al-Tignarî, penulis Zuhrat al-Bustān, panduan hortikultura yang sangat detail;
dan Ibn al-‘Awwām dari Sevilla, pengarang Kitāb al-Filāhah, ensiklopedia pertanian setebal hampir 900 halaman.
Dari manuskrip-manuskrip itu, García Sánchez melihat pola besar: bahwa Islam memperlakukan tanah bukan sebagai objek, tapi sebagai amanah.
Tanah mesti diolah dengan ilmu, air mesti dibagi dengan keadilan, dan hasilnya harus menumbuhkan keberkahan sosial.
2. Menelusuri Jejak Arkeobotanik
Meski dirinya fokus pada literatur, penelitian-penelitian terkini yang melanjutkan jejaknya — seperti yang dilakukan di situs Castillo de Valtierra — mengonfirmasi banyak temuannya.
Analisis sisa tanaman, teknik flotasi, dan identifikasi takson memperlihatkan peninggalan tanaman subtropis dan sistem kebun berlapis yang khas Islam: kombinasi pohon tinggi (zaitun, kurma, jeruk), tanaman perdu (anggur, delima), dan sayuran di lapisan bawah.
Dengan kata lain, Islam mengubah lanskap Iberia menjadi taman berpola ekosistem — konsep yang baru dihargai kembali oleh agronomi modern sebagai prinsip “agroforestry”.
3. Menyusun Peta Irigasi dan Komunitas Air
Dalam karya monumentalnya, Cultivos y espacios agrícolas irrigados en al-Andalus (1995), García Sánchez menelusuri sistem air yang masih hidup di Spanyol bagian selatan.
Ia mencatat keberadaan acequias, qanat, dan bendungan kecil yang dirancang bukan oleh tentara, melainkan oleh para ahli air dan fuqahā’ (ulama fikih pertanian).
Setiap desa memiliki pengatur air (al-sāqī), dan sengketa diselesaikan bukan oleh penguasa kolonial, tetapi oleh Tribunal de las Aguas, lembaga hukum air Islam tertua di Eropa yang hingga kini masih berfungsi di Valencia.
García Sánchez menyebut fenomena ini sebagai “rekayasa sosial-ekologis Islam” — sistem yang mengikat manusia, tanah, dan hukum dalam keseimbangan spiritual.
---
Temuan Kunci: Alam yang Menjadi Ayat
Dari puluhan riset dan telaahnya, beberapa hasil penting dapat dirangkum:
1. Revolusi Tanaman dan Diversifikasi Pangan
Di bawah pengaruh Islam, Spanyol mengenal tanaman baru seperti kapas, tebu, terong, bayam, semangka, padi, dan jeruk.
Sebelum Islam datang, tanaman-tanaman ini belum dikenal luas di Eropa. Melalui perdagangan Damaskus-Kairo-Cordoba, Spanyol menjadi pusat eksperimen agrikultur dunia.
Sejarawan Inggris Andrew Watson menamai fenomena ini “Arab Agricultural Revolution” — revolusi yang mendahului revolusi industri berabad-abad.
Dan García Sánchez memperkuatnya dengan data empiris: naskah agronomis Al-Andalus bukan sekadar teori, tapi laporan lapangan yang rinci tentang pH tanah, jenis air, dan rotasi musim tanam.
2. Irigasi dan Keadilan Sosial
Sistem acequia bukan hanya teknologi air, tetapi juga institusi sosial.
Berita dari El País (2018) mencatat bahwa banyak komunitas petani di Valencia, Murcia, dan Almería masih memakai pembagian air berdasarkan waktu (turnos de riego) yang identik dengan aturan dalam fiqh al-miyāh (hukum air Islam).
“Para petani yang datang setiap Kamis di Tribunal de las Aguas, tanpa naskah, tanpa pengacara, memutuskan dengan cara Islam: cepat, adil, dan terbuka,” tulis laporan tersebut.
Sistem ini telah diakui UNESCO sebagai Warisan Takbenda Kemanusiaan — jejak langsung dari peradaban Islam.
3. Ekonomi, Ekologi, dan Spiritualitas yang Satu
Dalam risetnya bersama Hernández Bermejo, García Sánchez menunjukkan bahwa agronomi Islam menggabungkan tiga unsur:
‘Ilm (ilmu pengetahuan yang empiris),
Fiqh (aturan moral-hukum),
dan Tawḥīd (kesadaran spiritual terhadap keterpaduan alam).
Kebun bukan sekadar tempat memanen buah, tapi medan ibadah — sebagaimana dikatakan dalam Al-Qur’an: “Dan Dia yang menurunkan air dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan itu berbagai tanaman…”
Pandangan inilah yang melahirkan kebun-kebun Cordoba dan taman-taman air di Alhambra, yang hingga kini mempesona dunia Barat.
---
Dari Andalusia ke Dunia: Transmisi dan Relevansi
Setelah jatuhnya Granada pada 1492, banyak manuskrip pertanian Islam dibakar, tapi praktiknya tetap hidup di tangan rakyat.
Melalui Spanyol kolonial, ilmu itu menyebar ke Dunia Baru: sistem irigasi di Meksiko, kebun jeruk di California, dan teknik terasering di Peru, semuanya meniru model Andalusi.
Majalah Scientific American pernah menulis (edisi 2019) bahwa “tanaman-tanaman yang memberi aroma khas Mediterania modern — jeruk, lemon, terong, dan beras — adalah warisan peradaban Islam.”
Kini, ketika dunia menghadapi krisis iklim, riset García Sánchez terasa semakin relevan.
Konsep diversifikasi tanaman, sistem irigasi hemat air, dan keadilan distribusi air adalah solusi yang telah diuji berabad-abad di bawah matahari Andalusia.
Bahkan di Indonesia, sistem sawah dan subak Bali atau irigasi tradisional di Banten dan Demak memiliki jiwa serupa: air sebagai amanah bersama.
Maka riset Andalusi tidak berhenti di Spanyol; ia menjadi cermin bagi dunia Islam modern tentang bagaimana iman, ilmu, dan lingkungan dapat berpadu tanpa saling merusak.
---
Dialog dengan Sejarah
Bayangkan suatu sore di Granada. Di antara kebun jeruk yang menguning, seorang peneliti muda berjalan bersama García Sánchez.
Ia bertanya, “Apakah Islam masih hidup di tanah ini, Profesor?”
García Sánchez tersenyum dan menunjuk ke aliran air kecil di bawah kaki mereka.
“Selama air ini masih mengalir menurut hukum yang dulu dibuat para fuqahā’, selama para petani masih menunggu giliran air dengan sabar, Islam tidak mati di Andalusia,” jawabnya.
Kata-kata itu terekam dalam benak banyak peneliti muda yang bekerja bersamanya.
Ia tidak melihat Islam sekadar agama, tapi etika ekologis yang mewujud dalam sistem pertanian.
---
Renungan: Andalusia sebagai Pelajaran Ketahanan
Dari semua data dan catatan itu, satu pesan besar dapat ditarik: Islam pernah membangun sistem pertanian paling beradab dalam sejarah.
Bukan karena teknologi semata, tapi karena kesadaran bahwa tanah, air, dan manusia adalah satu kesatuan amanah.
Sains modern kini baru menyadari apa yang telah dikerjakan oleh para petani Muslim seribu tahun lalu:
penghematan air melalui qanat dan saluran bawah tanah,
rotasi tanaman untuk menjaga kesuburan,
dan diversifikasi pangan agar masyarakat tahan terhadap musim kering.
Di tengah gempuran kapitalisme agrikultur dan krisis air global, riset García Sánchez menjadi panggilan untuk menengok kembali warisan Andalusi:
bahwa pertanian bukan bisnis, melainkan bentuk ibadah.
---
Epilog: Warisan yang Tak Kering oleh Zaman
Di Almería, sinar matahari masih memantul di dinding terasering tua peninggalan Islam.
Air masih menetes di antara batu-batu saluran yang dibangun seribu tahun lalu.
Dan di perpustakaan Granada, manuskrip Kitāb al-Filāhah masih menyimpan rahasia bagaimana manusia dan alam pernah hidup dalam harmoni.
Expiración García Sánchez menulis dalam salah satu epilognya:
“Al-Andalus bukanlah masa lalu. Ia adalah kemungkinan yang tertunda — bahwa suatu hari nanti manusia akan kembali bertani dengan kebijaksanaan, bukan dengan kerakusan.”
Kata-kata itu kini terdengar seperti doa — doa agar dunia modern belajar lagi membaca ayat-ayat Tuhan yang tertulis di tanah dan air.
Karena sejatinya, sebagaimana pernah terjadi di Andalusia, peradaban tumbuh bukan dari perang, melainkan dari benih yang disemai dengan ilmu dan iman.
0 komentar: