Budak Antara Rahmat Islam dan Eksploitasi Eropa
“Dan apa saja yang kamu lakukan untuk membebaskan budak, maka itu jalan menuju ketinggian.” (QS. Al-Balad: 13)
---
I. Awal dari Dua Dunia
Bayangkan dua dunia berdampingan— satu menyulam kemuliaan manusia ke dalam akhlak, yang lain menggurita manusia dalam sistem kekuasaan. Dunia Islam dan dunia Eropa keduanya pernah mengenal perbudakan; namun kisah mereka terhadap budak berjalan pada dua alur yang sangat berbeda.
Di jazirah yang keras dan berdebu, manusia Islam diingatkan sejak wahyu pertama bahwa dari tanah ia berasal dan kepada tanah ia akan kembali; bahwa tak ada tuan mutlak selain Allah. Maka, ketika sistem lama tetap memegang budak sebagai properti, lahirlah satu revolusi sunyi: manusia mulai dilihat sebagai amanah, bukan barang.
Sementara di Eropa abad pertengahan hingga modern, sistem membagi manusia menjadi bangsawan dan hamba, kulit putih dan kulit hitam, Kristen dan “heathen” (non-Kristen). Maka di sanalah, manusia sering diperlakukan sebagai alat—terpisah dari martabat yang melekat.
Perbedaan ini bukan sekadar topik akademik; ia menjadi cermin moral kita: bagaimana manusia memperlakukan saudaranya yang lemah? Apakah sebagai manusia penuh hak atau sebagai objek yang bisa diperintah?
---
II. Islam: Dari Kepemilikan Menuju Pembebasan
Ketika Islam memasuki Makkah, perbudakan sudah menjadi salah satu pilar sistem sosial-ekonomi. Budak dijadikan alat kerja, simbol status, bahkan pelampiasan dominasi. Tetapi Nabi ï·º memilih jalan yang berbeda: bukan revolusi kekerasan, melainkan transformasi akhlak dan spiritual.
1. Budak Sebagai Manusia Merdeka di Mata Syariat
Rasulullah ï·º bersabda:
“Mereka adalah saudaramu yang Allah jadikan di bawah kekuasaanmu. Berilah mereka makan seperti yang kamu makan, pakaian seperti yang kamu pakai, dan jangan bebani mereka di luar kemampuan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menyentuh fundament: budak bukanlah harta benda tanpa suara. Ia adalah saudara—yang artinya manusia yang memiliki hak. Bagi tuan Muslim di zaman itu, memelihara budak bukan hanya tanggung jawab tenaga kerja, tetapi tanggung jawab moral. Bahkan para sahabat berlomba memerdekakan budak sebagai bentuk taubat dan kembali kepada ajaran bahwa manusia diciptakan bebas.
2. Membebaskan Budak Sebagai Amal Puncak
Al-Qur’an menempatkan pembebasan budak sebagai bentuk amal yang sangat terhormat. Mekanisme-mekanisme seperti kafarah (penebus dosa), mukatabah (perjanjian tebusan budak), dan tadbir (pernyataan akan kebebasan budak setelah tuannya wafat) menunjukkan bahwa Islam menyusun kerangka sistematis untuk mengakhiri budak melalui kesadaran, bukan dengan kekerasan.
Dengan tegas, ajaran Islam mengubah status budak dari “kepemilikan” menjadi “amanah” dan kemudian ke “kemerdekaan”. Ini bukan sekadar teori; ini realitas sosial yang dihidupkan oleh banyak komunitas Islam klasik.
3. Para Budak yang Jadi Pemimpin
Contoh paling hidup:
Bilal bin Rabah — asalnya budak kulit hitam dari Habasyah, kemudian menjadi muazin pertama Rasulullah ï·º, simbol kesetaraan dalam Islam.
Zayd bin Haritsah — bekas budak yang diangkat Nabi ï·º sebagai anak angkat dan panglima perang.
Budak yang belajar dan kemudian mengajar: contohnya Nafi’ maula Ibnu Umar, yang tumbuh menjadi ulama hadits terkemuka.
Lebih jauh: institusi Mamluk (maksudnya secara literal “budak tentara”) di Mesir dan Suriah menjadi kekuatan politik yang besar—mereka bukan hanya bebas, tetapi memerintah. Artinya, Islam tidak hanya membebaskan tubuh, tetapi memulihkan martabat dan peran sosial.
---
III. Barat: Dari Salib ke Rantai
Sementara itu, di belahan dunia lain, kisah manusia tak bernasib sama. Eropa—yang mengaku maju dalam iman Kristen dan peradaban—justru menciptakan bentuk paling brutal dari perbudakan manusia.
1. Perbudakan sebagai Mesin Kapitalisme
Menurut sejarawan Eric Williams dalam Capitalism and Slavery, perbudakan Afrika adalah “tulang punggung ekonomi Eropa modern.” Inggris, Spanyol, Portugal, Belanda membangun kekayaannya melalui keringat dan darah orang yang diperbudak. Kapal-trans-Atlantik membawa manusia yang dirantai; banyak mati di perjalanan; ketika tiba pun mereka berada dalam kondisi yang jauh dari manusiawi. Â
Gereja Kristen pun terlalu lama bungkam—bahkan terkadang memberi pembenaran teologis bahwa orang kulit hitam adalah “anak kutukan Ham” dalam Kitab Kejadian. Â
2. Budak Kulit Hitam, Perempuan, dan Kolonialisme
Di bawah kedok “misi Kristenisasi” dan “kemajuan barat”, bangsa Eropa menjajah dan memperbudak. Perempuan diperbudak sebagai objek seks dan servis, laki-laki diperbudak sebagai tenaga kerja paksa. Dan ketika era pencerahan datang, kebebasan masih hanya untuk “manusia Eropa”—bukan kulit hitam, bukan kaum tak berpunya.
3. Krisis Moral di Balik Kemajuan
Di sinilah, peradaban terlihat dalam cermin yang membalik: Islam memulai dari akhlak—mengakui kemanusiaan dulu sebelum merancang sistem. Eropa modern sering menata sistem tanpa akhlak—hasilnya kemajuan tanpa nurani.
Sejarawan Will Durant mencatat bahwa sistem sosial Eropa pernah mengizinkan “tuan membakar budaknya hidup-hidup jika budak menuduhnya tanpa bukti”. Â Perbedaan moralnya terlihat jelas.
---
IV. Refleksi: Manusia, Martabat, dan Akhlak
Kisah perbudakan bukan sekadar bagian sejarah—ia adalah cermin besar tentang siapa kita sebagai manusia. Islam hadir untuk menumbuhkan ihsan—kesadaran bahwa kita semua adalah hamba Allah. Maka, siapa pun yang memperbudak manusia, sesungguhnya menjadi budak bagi nafsunya sendiri.
“Saudaramu adalah cerminmu. Jika kamu melihat sesuatu yang buruk padanya, perbaikilah.” (HR. Abu Daud)
Sedangkan sejarah Barat menunjukkan manusia dijadikan alat produksi—ukurannya bukan kemanusiaan, melainkan produktivitas. Malah hingga hari ini, bentuk perbudakan modern masih terus berlangsung: buruh migran tanpa hak, pekerja anak, pekerja paksa di rantai pasok global.
Menurut laporan International Labour Organization (ILO), sekitar 50 juta orang hidup dalam kondisi “perbudakan modern” pada hari-hari ini—yang artinya rantai itu tidak sepenuhnya terputus. Â
---
V. Dari Bilal ke Afrika: Jejak Pembebasan dan Ironi Sejarah
Kisah Bilal bin Rabah bukan hanya sejarah Islam; ia adalah pesan universal: pembebasan manusia dari segala penghambaan selain Allah. Ketika Rasulullah ï·º menaklukkan Makkah, beliau berkata kepada orang-orang Quraisy yang dulu menyiksa budak:
“Pergilah kalian, karena kalian semua telah merdeka.”
Namun, tiga belas abad kemudian, di benua Afrika dan Asia, ribuan orang masih dijual atau terperangkap dalam kondisi kerja paksa. Majalah Guardian melaporkan bahwa peningkatan korban “perbudakan modern” naik hingga 10 juta antara 2016 dan 2021. Â
Kemajuan tanpa iman, maka jadilah kemasan baru dari kezaliman lama. Sebaliknya, iman yang benar menuntun manusia untuk membebaskan, bukan menindas.
---
VI. Ilmu, Akhlak, dan Warisan Islam
Dengan jujur, orientalis seperti Thomas W. Arnold dan De Lacy O’Leary mencatat bahwa peradaban Islam adalah satu-satunya dari peradaban besar yang menuliskan martabat budak sebagai bagian dari sistem moral sosialnya. Â
Dalam dunia Islam, budak yang berilmu dapat menjadi imam, mengajar anak tuannya, menikah dengan perempuan merdeka. Di Eropa, hingga abad ke-19, undang-undang saja menolak kesaksian budak kulit hitam di pengadilan. Perbedaan ini bukan sekadar soal hukum; tetapi soal pandangan mendasar terhadap hakikat manusia.
Islam memandang manusia sebagai khalifah Tuhan; Barat memandang manusia sebagai alat produksi. Maka akhlak bukan sekadar pelengkap atau hiasan—ia adalah fondasi peradaban.
---
VII. Perbudakan Modern: Dari Koloni ke Konsumsi
Meski rantai besi sudah banyak dibubarkan, perbudakan modern tetap hidup—hanya berubah bentuk. Perusahaan multinasional memperbudak tenaga kerja murah dari Asia dan Afrika. Pasar global memaksa petani menjual hasil bumi dengan harga rendah. Media menanamkan gaya hidup konsumtif yang memperbudak pikiran.
Laporan ILO mencatat bahwa keuntungan ilegal dari kerja paksa dunia mencapai US$236 miliar per tahun, naik 37 % dari satu dekade sebelumnya. Â Sebuah dokumentasi Reuters melaporkan bahwa Inggris pada 2024 mencatat rekor korban perbudakan modern dengan 19.125 rujukan ke Mekanisme Rujukan Nasional mereka—tanpa menyebut angka sebenarnya yang mungkin jauh lebih besar. Â
Dalam kondisi itu, nilai akhlak Islam menjadi sangat relevan: manusia tidak boleh menjadi budak dunia. Rasulullah ï·º berdoa:
“Ya Allah, jadikanlah rezeki keluarga Muhammad sekadar yang mencukupi.” (HR. Bukhari)
Bahwa kemajuan boleh, tapi perbudakan dalam bentuk apa pun harus ditolak.
---
VIII. Penutup: Jalan Kembali kepada Kemanusiaan
Jika dunia modern ingin sungguh berbicara tentang hak asasi manusia, maka ia harus bersedia membuka lembaran gelap perbudakan Eropa—dari kolonialisme hingga kapitalisme. Dan jika dunia Muslim ingin memulihkan kemuliaannya, maka ia harus menghidupkan kembali teladan Rasulullah ï·º terhadap budak: lembut, adil, dan memanusiakan.
Karena sejatinya, peradaban tidak diukur dari tinggi gedung atau luas kekuasaan, tetapi dari bagaimana ia memperlakukan manusia paling lemah di dalamnya.
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Islam menuntun manusia dari rantai menuju rahmat.
Sedang Barat—dari salib menuju pasar.
Satu membebaskan jiwa, yang lain menawan tubuh.
Dan sejarah telah menjadi saksi: kebebasan sejati hanya lahir ketika manusia sujud kepada Tuhannya.
0 komentar: