Perlawanan Gaza Menggagalkan Tujuan Militer Israel — dan Dapatkah Mendorong Arab Lebih Berani terhadap Israel?
Prolog – Ketika Rencana Besar Bertemu Realitas
“Jika kemenangan diukur dengan jumlah tank dan bom, maka mengapa mereka belum menang?” tanya seorang pemuda Palestina kepada temannya di Gaza, di sela puing-puing dan suara sirene malam.
Temannya menjawab dengan lirih, “Karena ini bukan sekadar perang senjata — ini perang makna, akar, dan masa depan.”
Sementara dunia menyimak bagaimana kekuatan militer terbesar menunjukkan dominasinya, satu bagian dari konflik — di Gaza Strip — bertahan secara tak terduga. Meskipun mengalami kehancuran besar, faksi perlawanan berhasil menggagalkan sebagian besar tujuan militer Israel, bahkan membuat sebagian besar warga Israel percaya bahwa tujuan perang belum tercapai.
Apa yang terjadi di Gaza? Dan lebih jauh: bagaimana kegagalan militer ini bisa memberi ruang bagi negara-Arab untuk bertindak lebih berani terhadap Israel? Mari kita telusuri dalam empat pilar: tiga faktor internal perlawanan Gaza, dan satu elemen eksternal yang memperkuat mereka — kemudian hubungkan dengan strategi Arab.
---
Faktor Internal 1 — Ideologi dan Doktrin yang Teguh
Menurut pengamat seperti Ahmad Abdul Rahman, doktrin tempur faksi perlawanan di Gaza sangat jelas: musuh utama adalah entitas Zionis, dan jalan maju hanya melalui kekuatan senjata, bukan kompromi.
Doktrin ini memunculkan tiga elemen yang saling menguatkan:
Musuh tunggal yang ditetapkan secara dogmatik, menjadikan moral perlawanan sangat kuat.
Penolakan kompromi sebagai pilihan utama, yang menolak jalan diplomasi sebagai pengganti perlawanan.
Konsistensi dan kontinuitas doktrin – artinya, meskipun pemimpin tertinggi gugur, gagasan tetap hidup.
Hasilnya: pejuang-pejuang yang menghadapi tank, senapan militer supermodern, malah dengan alat sederhana tetap bertahan. Mereka tidak hanya bertahan — mereka menolak tunduk.
Dalam konflik modern yang biasanya menunjukkan kemenangan untuk pihak superior secara militer, model ini membalik skenario. Sebuah survei menunjukkan hanya 4 % rakyat Israel merasa perang Gaza telah mencapai tujuannya.
Refleksi: dalam peperangan, kekuatan fisik bisa dikalahkan oleh keteguhan moral dan doktrinal. Ketika satu pihak yakin bahwa hidup mereka bukan untuk menyerah tapi untuk berdiri — maka bentuk kekalahan menjadi berbeda.
---
Faktor Internal 2 — Ketahanan Struktural dan Adaptasi Organisasi
Faktor berikutnya adalah struktur organisasi yang tersembunyi namun sangat solid: faksi perlawanan di Gaza memiliki jaringan hierarkis yang telah dipersiapkan lama, sehingga ketika pemimpin tertinggi tertembak, generasi kader berikutnya langsung mengambil alih tanpa lumpuh.
Contoh nyata muncul ketika Israel kemudian menarik diri dari Koridor Netzarim di Gaza — yang oleh faksi perlawanan diklaim sebagai “kegagalan tujuan perang musuh”.
Artinya: struktur organisasi perlawanan mampu memanfaatkan momentum strategis dan menghadapi krisis tanpa runtuh.
Strategi adaptasi ini muncul dalam berbagai literatur militer. Sebuah buku oleh Niccolò Petrelli (Israel, Strategic Culture and the Conflict with Hamas) menyebut bagaimana budaya strategi Israel kesulitan menghadapi adaptasi cepat Hamas dan perlawanan Palestina.
Refleksi: dalam konflik yang diperhitungkan dari jumlah senjata, kecepatan adaptasi dan kesinambungan organisasi bisa menjadi keunggulan yang sering diabaikan.
---
Faktor Internal 3 — Basis Rakyat dan Persatuan Nasional
Faktor ketiga adalah basis dukungan yang tidak hanya pasif, tetapi aktif: penduduk Gaza, meskipun dikepung, mengalami kondisi ekstrem dan tetap bersatu dalam satu perjuangan.
Kendati upaya pengungsian dan pemiskinan telah lama menjadi bagian dari strategi musuh, namun solidaritas di dalam komunitas Gaza semakin kuat — sehingga banyak rencana Israel terkait “pembersihan” atau “pengungsian paksa” tergagalkan.
Di sisi diplomasi Arab, negara-negara seperti Mesir, Qatar, Saudi Arabia, Yordania menyatakan secara terbuka bahwa rakyat Palestina harus tetap tinggal di tanahnya.
Artinya: fondasi sosial perlawanan tetap berlangsung, bahkan ketika infrastruktur hancur.
Refleksi: sebuah perjuangan yang memiliki basis sosial yang dalam tidak akan mudah dikalahkan hanya dengan senjata; dia memiliki akar sejarah, budaya, dan keinginan untuk bertahan.
---
Elemen Eksternal — Dukungan Regional dan Tekanan Diplomatis
Walaupun faktor internal dominan, dukungan eksternal juga sangat penting. Negara-negara Arab dan wilayah mendengar konteks ini dan mulai merespon — baik secara diplomatis maupun lewat tekanan bersama.
Contoh: pada 10 September 2025, pemimpin UEA menyebut serangan Israel terhadap Qatar sebagai “kriminal” dan mengancam bahwa praktik Israel dapat mengganggu stabilitas regional.
Juga, pada 21 Februari 2025, bidang diplomasi Mesir memimpin pertemuan pemimpin Arab di Riyadh yang menghadirkan isu Israel-Palestina secara aktif, menunjukkan bahwa blok Arab mulai merasa perlu bertindak kolektif.
Dengan demikian, Israel tidak menghadapi perlawanan Gaza saja — tetapi juga sebuah lingkungan regional yang menilai bahwa dominasi Israel tidak sepenuhnya bisa diimunisasi.
Refleksi: kekuatan eksternal sering tidak tampak seperti senjata – ia adalah tekanan politik, legitimasi moral, dan perubahan persepsi — namun bisa menjadi pembuka jalan untuk perubahan strategi yang lebih luas.
---
Mengapa Tujuan Militer Israel Tersandung?
Berdasarkan empat faktor di atas, ada beberapa alasan mengapa Israel gagal mencapai tujuannya secara strategis:
Tujuan perang Israel (mem-bongkar kapasitas Hamas, memulihkan keamanan mutlak, mengganti rezim kekuasaan di Gaza) tidak tercapai. Persentase kecil warga Israel yang mengklaim tujuan tercapai menunjukkan bahwa persepsi internal Israel adalah kegagalan.
Strategi Israel terlalu mengandalkan alat konvensional yang tak tepat untuk medan gerilya dan urban seperti Gaza — tank, serangan udara besar, blokade — namun struktur perlawanan adaptif, tersembunyi, dan terintegrasi ke masyarakat.
Diplomasi dan moral global menggeser posisi Israel dari “penyerang tak terbantahkan” menjadi “penguasa yang diperhitungkan”. Hal ini mengurangi ruang manuver Israel dan meningkatkan biaya politiknya.
Regionalisasi konflik: ketika negara Arab mulai mengambil sikap lebih tegas (meskipun tidak langsung militer), Israel harus mempertimbangkan front yang lebih luas dan konsekuensi kebijakan militer jangka panjang.
---
Apakah Kegagalan Israel Memberi Arab Nyali Lebih Besar?
Jawabannya: Ya — dengan beberapa syarat.
A. Arab kini memiliki argumen moral dan strategis yang semakin kuat
Ketika perlawanan kecil (Gaza) mampu menahan kekuatan besar, maka narasi bahwa Israel tidak bisa menang sendirian menjadi nyata. Negara-Arab dapat menggunakan momentum ini untuk menegosiasikan syarat yang lebih kuat: penghentian aneksasi, pengakuan negara Palestina, atau dukungan internasional yang lebih tegas.
Contoh konkret: negara Arab yang turut mengecam Israel secara terbuka — seperti Saudi Arabia menuntut penghentian agresi di Gaza dan Lebanon.
B. Negara Arab menunjukkan langkah kolektif yang lebih nyata
Pada summit Bahrain Mei 2024, blok Arab menyetujui posisi bersama: penarikan Israel, penyelesaian dua negara, dan misi penjaga perdamaian PBB.
Ini menunjukkan bahwa negara Arab mulai keluar dari posisi pasif menjadi lebih proaktif.
C. Arab bisa memperkuat diplomasi mereka terhadap Israel
Kegagalan Israel membuka peluang diplomasi yang lebih seimbang: Arab tak hanya menerima tawaran Israel, tapi bisa menuntut perubahan konkret sebagai prasyarat normalisasi atau kerja sama.
Contoh: negara Arab menolak proposal untuk memindahkan populasi Palestina sebagai bagian dari rekonstruksi Gaza. Mereka meminta agar warga tetap di tanah mereka.
---
Tantangan yang Masih Besar
Namun, keberanian Arab bukan tanpa risiko dan batasan:
Banyak negara Arab telah melakukan normalisasi dengan Israel, yang menimbulkan tekanan internal jika mereka tiba-tiba mengambil sikap keras.
Konflik militer masih sangat asimetris – Arab bukan dalam posisi militer langsung melawan Israel tanpa konsekuensi besar.
Stabilitas internal masing-masing negara Arab (ekonomi, politik) membuat mereka berhati-hati dalam tindakan yang terlalu agresif ke Israel.
Israel tetap memiliki dukungan besar dari sekutu global seperti Amerika Serikat, yang menjadi faktor pembatas bagi tindakan militer langsung dari Arab.
---
Kesimpulan Reflektif
Kegagalan strategi militer Israel di Gaza bukan hanya kegagalan di medan perang — ia adalah kegagalan moral, strategi, dan politis. Di satu sisi, perlawanan Gaza membuktikan bahwa narasi besar dan kekuatan besar tak selalu menjamin hasil besar. Di sisi lain, kegagalan ini menciptakan peluang baru — peluang bagi negara-negara Arab untuk menegosiasikan posisi mereka bukan sebagai pihak yang dilayani oleh Israel, tetapi sebagai pihak yang memiliki tarik-ulur sendiri.
Refleksi akhir:
Ketika sebuah kekuatan raksasa gagal di satu medan yang tampak lebih lemah, maka yang tampak lemah menjadi simbol kekuatan.
Dan ketika simbol itu tumbuh, maka yang tadinya dominan harus memilih: menerima status quo yang berubah, atau menghadapi gelombang keberanian yang bangkit.
Seorang diplomat Arab pernah berkata selepas pertemuan di Riyadh: “Kami tidak lagi ingin menjadi penonton sejarah; kami ingin menulis bagian kami sendiri.”
Dan ketika negara-negara Arab mulai menulis bagian mereka sendiri, maka panggung Timur Tengah pun berubah bukan hanya karena senjata, tetapi karena keputusan politik, kepada siapa manusia memberikan legitimasi, dan siapa yang akhirnya dianggap sebagai pemenang moral.
0 komentar: