Tindakan, Propaganda Israel dan Akibatnya bagi Dirinya Sendiri
“Barang siapa menanam darah dan air mata kaum tertindas, maka kelak ia akan menuai kehancuran yang nyata.”
— Renungan atas konflik Palestina-Israel
Ketika Bangunan Megah Menjadi Tanda Kehancuran
Di hadapan mata dunia, Israel membangun menara tinggi. Tapi bukan batu bata yang menjulang ke langit, melainkan sistem militer, pemukiman, blokade, propaganda. Seperti Firaun zaman kuno yang berkata kepada Hāmān: “Bangunkanlah sebuah istana tinggi, agar aku sampai ke pintu-pintu langit.” (QS. 40:36) Israel modern pun tampak berkata: “Bangunkanlah menara keamanan dan superioritas, agar dunia menyerah pada posisiku.”
Namun kisah tempo dulu mengingatkan: menara kesombongan itu akhirnya runtuh — bukan oleh musuh yang kuat, tapi oleh kekuatan moral yang teguh. Begitulah narasi ini ingin membuka: bukan sekadar perincian politik, tetapi refleksi spiritual dan historis yang menuntun kita menatap lebih jauh dari puing-puing… ke akar kejadian.
---
Indah menurut Israel, Buruk menurut Dunia
Israel melakukan banyak tindakan yang dari sudut pandangnya adalah langkah sah, benar, dan bahkan mulia — namun dari kaca dunia global muncul penilaian berbeda, yang sering menyebutnya sebagai pelanggaran, kezaliman, atau tragedi.
1. Pengeboman “Presisi” terhadap sasaran militan
Versi Israel: “Operasi presisi menumpas terorisme, melindungi warga negara.”
Versi Dunia: Ribuan warga sipil tewas, rumah sakit hancur, anak-anak menjadi korban.
Analisis: Israel percaya teknologi superior akan menjamin moralitasnya. Dunia melihat bahwa keunggulan senjata tanpa kontrol moral mudah berubah menjadi pembantaian.
2. Blokade Gaza atas nama “keamanan nasional”
Versi Israel: “Kami melindungi diri dari ancaman terus-menerus dari Gaza.”
Versi Dunia: Dua juta warga hidup bagaikan di dalam penjara terbuka: listrik terbatas, air bersih langka, akses humaniter sulit.
Analisis: Sistem tahanan masif ini menimbulkan efek korban besar — bukan hanya materiil, tapi kemanusiaan yang rusak.
3. Pembangunan pemukiman di Tepi Barat
Versi Israel: “Hak historis bangsa Yahudi atas tanah leluhur.”
Versi Dunia: Pemukiman dianggap sebagai bentuk kolonialisasi modern yang melanggar hukum internasional.
Referensi: Ilan Pappé dalam The Idea of Israel menggambarkan bagaimana narasi Zionis mengkonstruksi pemukiman sebagai keharusan ideologis.
4. Normalisasi dengan negara-Arab
Versi Israel: “Langkah diplomatis menuju perdamaian.”
Versi Dunia: Diplomasi yang dilakukan tanpa perbaikan hak Palestina cenderung dianggap sebagai upaya membungkam keadilan.
Analisis: Normalisasi tanpa perubahan nyata di lapangan adalah kesepakatan transaksi politik—karena korban tetap diabaikan.
5. Penggunaan kecerdasan buatan dan pengawasan biometrik
Versi Israel: “Inovasi keamanan untuk mencegah teror dan melindungi warga.”
Versi Dunia: Digambarkan sebagai “apartheid digital”—wajah dan gerak warga Palestina terrekam seperti objek bukan manusia.
Analisis: Teknologi bisa menjadi alat pembebasan atau penindasan—tergantung siapa yang mengendalikannya.
6. Serangan terhadap lembaga kemanusiaan
Versi Israel: “Badan-badan kemanusiaan ditunggangi oleh Hamas.”
Versi Dunia: Serangan terhadap dokter, rumah sakit, PBB menjadi bukti pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia.
Referensi Berita: Vatikan menyebut kampanye Israel sebagai “pembantaian yang sedang berlangsung.”
7. Penghancuran sekolah dan universitas di Gaza
Versi Israel: “Tempat persembunyian militan.”
Versi Dunia: Upaya mematikan masa depan bangsa—membunuh ilmu dan pendidikan demi dominasi.
Refleksi: Pendidikan adalah akar harapan; menghancurkannya berarti memutus generasi.
8. Kampanye media global dan propaganda
Versi Israel: “Perjuangan naratif untuk melawan disinformasi.”
Versi Dunia: Manipulasi wacana, sensor suara korban, dan normalisasi penindasan melalui budaya pop.
Analisis: Narasi adalah medan perang yang tak kalah penting daripada bom—merekalah yang menguasai persepsi dunia.
9. Penggunaan agama sebagai legitimasi perang
Versi Israel: “Tanah ini janji Tuhan kepada bangsa Yahudi.”
Versi Dunia: Memanfaatkan teks suci untuk menjustifikasi penindasan kaum tak berdaya.
Refleksi: Ketika agama dipakai sebagai senjata, maka bukan iman yang tumbuh—melainkan kesesatan yang diperkaya.
10. Menyebut perlawanan rakyat sebagai “terorisme”
Versi Israel: “Hamas dan siapa pun yang menentang kami adalah teroris.”
Versi Dunia: Provokasi pembenaran kekerasan negara terhadap bangsa yang dijajah.
Analisis: Labelisasi ekstrem ini memutarbalikkan subjek dan objek, menjadikan korban sebagai pelaku—itulah manipulasinya.
---
Refleksi Penutup bagian I:
Israel berdiri di tempat yang sama dengan Fir‘aun zaman dulu:
“Bangunkanlah menara tinggi agar aku bisa melihat Tuhan Musa.”
Semula tampak kuat, namun titik lemahnya adalah ketika menara itu ternyata dibangun di atas kesombongan dan penolakan kebenaran.
---
Tertutup dari Jalan yang Benar
Kita masuki tahap kedua: bukan hanya tindakan spesifik, tetapi tanda-tanda struktural bahwa Israel jalan tertutup. Tanda-tanda ini merujuk pada moral dan spiritual yang bersinggungan dengan konflik.
1. Kekuasaan dijadikan pengganti kebenaran
Israel percaya kemenangan akan meneguhkan kebenaran. Namun sejarah menunjukkan: kekuatan tanpa kebenaran justru kutukan.
Referensi: Samer Jaber menulis bahwa Israel kini menghadapi “kegagalan strategis” karena tidak mengakui hak orang lain.
2. Keadilan hanya berlaku untuk diri sendiri
Hukum diskriminasi antara warga dan non-warga menunjukkan bahwa keadilan telah dipakai sebagai alat supremasi.
Referensi kitab: Zionist Israel and Apartheid South Africa oleh Amneh Badran mengeksplorasi persamaan sistem Israel dengan apartheid.
3. Kebenaran dibelokkan melalui propaganda
Ketika pendudukan disebut pembelaan, dan korban disebut ancaman—itu narasi yang memutar balik moral.
Referensi empiris: analisis delegitimasi Israel dalam pidato Knesset meningkat.
4. Agama dijadikan legitimasi kekuasaan
Mengklaim janji Tuhan tanpa menegakkan keadilan berarti memanfaatkan agama sebagai senjata.
Refleksi: Tahapan ini menunjukkan spiritualitas yang sudah rusak—agama dijual sebagai justifikasi bukan jalan damai.
5. Palestina digenosida, bukan solusi dua negara
Ketakutan kolektif membuat bangsa menjadi tertutup terhadap dialog dan kemanusiaan.
Ref: Survei Pew Research menunjukkan pandangan negatif terhadap Israel meningkat secara global.
6. Hati menolak melihat luka yang mereka sebabkan
Penyesalan tanpa perubahan adalah kosmetik dosa. Bila tindakan kasihan tak diikuti aksi keadilan—itu hati yang tertutup.
7. Menolak mengakui keberadaan pihak yang mereka lukai
Misalnya, penolakan menyebut “Palestina” dan menghapus identitas — inilah tanda moral yang rusak.
Ref.: Sidang ICJ mendengar tuduhan Israel menciptakan sistem apartheid.
8. Dunia mulai berbalik, tapi mereka tetap melangkah
Suara global telah berubah dari sekadar kecaman menjadi tindakan → Israel tetap melanjutkan operasi.
Ref.: Artikel Washington Post menyebut Israel “berpotensi menjadi paria global”.
9. Mereka mengira bisa menundukkan langit
Sistem pengawalan, blokade, pemukiman: semua mengekspresikan ilusi kontrol penuh atas sejarah dan manusia. Ketika alam dan peradaban menunjukkan batasnya—itulah kesombongan yang diganjar kehancuran.
10. Mereka tak lagi mampu memahami doa
Anak Gaza berdoa, dunia mendengarkan. Israel menertawakan doa itu sebagai khayalan. Hari ini perlawanan bukan hanya senjata — itu doa dan keberadaan yang tak bisa dihancurkan.
---
Refleksi Penutup bagian II:
Tanda-tanda di atas adalah pengukuran bukan dari peluru, melainkan dari nurani. Ketika sebuah bangsa tertutup dari jalan yang benar, maka bukan hanya kesalahan strategis yang muncul — tetapi kesalahan ontologis: identitasnya sebagai umat yang hidup bukan menindas.
---
Semua yang Dilakukan Hanya Menambah Kerugian
Tahap ketiga: melihat bagaimana tindakan tersebut bukan hanya salah moral atau strategis — tetapi mendatangkan kerugian besar bagi Israel sendiri, dalam empat dimensi: moral, politik-diplomatik, militer-strategis, dan eksistensial.
1. Menang secara militer, kalah secara moral
Mereka menghancurkan banyak — tetapi kehilangan legitimasi moral dunia.
Ref.: Eks intelijen Israel Amos Yadlin menyebut bahwa “legitimasi Israel berada di titik terendah”.
2. Menguasai tanah, kehilangan legitimasi
Pemukiman berekspansi → reputasi internasional menurun, hukuman politik meningkat.
3. Mengontrol narasi, tapi kalah di hati generasi
Algoritma mungkin mereka kuasai — tapi video anak-anak Gaza tersebar dan menggerakkan dunia.
4. Mengandalkan AS, kehilangan dunia
Ketergantungan militer-politik membuat Israel rentan jika dukungan Barat berubah.
Ref.: Jaber menulis bahwa dominasi Barat membuat Israel jadi “koloni strategis” yang tak berdaulat.
5. Menutup Gaza, tapi membuka luka sendiri
Blokade menyebabkan trauma jangka panjang yang justru memperkuat perlawanan—bukan meredamnya.
6. Membungkam kritik, tapi melahirkan penentangan
Isolasi intelektual dan budaya muncul: boikot budaya meningkat.
7. Menyalahgunakan sejarah, kehilangan masa depan
Menggunakan Holocaust sebagai pembenaran baru mengundang kritik generasi muda Yahudi dan non-Yahudi.
8. Menghancurkan Gaza, tapi menghancurkan dirinya sendiri
Bom-bom besar menimbulkan konsekuensi global: ancaman sanksi, reputasi runtuh.
9. Menganggap dunia buta, tapi kini dunia melek
Survei Pew menunjukkan keyakinan Israel dipandang negatif dalam banyak negara.
10. Mengira mereka dipilih, padahal tersesat
Ketika identitas “umat pilihan” berubah menjadi identitas “penindas”, maka bukan hanya eksistensi yang dipertanyakan—butuh taubat dan transformasi.
---
Refleksi Penutup bagian III:
Kerugian yang paling parah bukanlah tanah yang hilang, atau rumah yang runtuh. Kerugian yang paling dahsyat adalah jiwa yang hilang, suara yang tertutup, dan sejarah yang terputus. Israel hari ini mungkin memiliki uang, senjata, dan aliansi kuat. Tapi semua itu bisa hilang jika nilai-dasar dan legitimasi moral ikut hilang.
---
Epilog — Menara yang Runtuh dan Harapan yang Tumbuh
Seperti Fir‘aun yang akhirnya tenggelam di laut setelah menyeberang sambil bermegah, kesombongan besar pun bisa mahal harganya.
“Menara” Israel — dalam bentuk militer, teknologi, atau pemukiman — bukanlah alas untuk bertemu langit, melainkan jeruji yang menahan kemanusiaan di dalamnya.
Namun, di antara reruntuhan Gaza dan lembah Tepi Barat, tumbuh pohon zaitun baru. Di atas tanah yang diinjak, generasi baru menanam harapan — bukan hanya dengan senjata, tetapi dengan doa, kebebasan, dan penegakan keadilan.
Dan di sana terletak sinyal optimis bagi dunia Arab dan seluruh umat manusia: kesadaran bahwa kekuatan militer bukanlah penentu akhir dari kebenaran; keadilanlah yang akan bertahan.
“Kebenaran itu seperti air — ia selalu menemukan jalan ke permukaan, walau ditutup batu ribuan tahun.”
Semoga esai ini membuka ruang refleksi — bukan untuk menghitam-putihkan mana pihak, tetapi untuk memilah mana tindakan yang mengangkat martabat manusia dan mana yang menjatuhkannya. Karena sejatinya, hanya keadilan dan kemanusiaan yang akan menjaga sebuah bangsa tetap tegak, bukan menara beton atau kamar kontrol militer.
0 komentar: