The Story of Civilization: Kekaguman Dunia terhadap Islam dari Masa ke Masa
Dalam sejarah panjang manusia, hanya sedikit sejarawan yang menulis dengan hati seorang filsuf. Will Durant dan istrinya, Ariel Durant, termasuk yang langka. Karya mereka, The Story of Civilization — terdiri atas 11 jilid besar yang ditulis selama empat puluh tahun (1935–1975) — bukan sekadar kronik tentang raja, perang, dan revolusi. Ia adalah meditasi tentang jiwa manusia, tentang kelahiran dan kehancuran bangsa-bangsa, tentang pencarian moral di tengah arus sejarah yang kacau.
Di antara segala peradaban yang ditulis Durant — dari Mesir hingga Yunani, dari Roma hingga Prancis — satu yang ia pandang dengan nada kekaguman spiritual yang tulus: Islam dan dunia Arab. Di mata Durant, Islam bukan hanya sebuah agama, tetapi “penjaga cahaya peradaban ketika Barat tenggelam dalam malam kebodohan.”
Esai ini menelusuri bagaimana kekaguman itu tumbuh dalam karya-karya Durant: mulai dari kemunculan Islam di gurun pasir Arabia, puncaknya di Baghdad dan Cordoba, hingga keberlanjutan spiritnya di Turki Utsmani. Melalui tulisan-tulisannya, kita menyaksikan bagaimana Durant melihat Islam bukan semata kekuatan politik, tetapi peradaban moral yang menyelamatkan dunia dari kehancuran spiritual yang berkali-kali menimpa umat manusia.
---
1. Dari Timur Cahaya Muncul
Jilid pertama The Story of Civilization, Our Oriental Heritage (1935), dibuka dengan pandangan yang sangat revolusioner untuk ukuran sejarawan Barat pada zamannya. Durant menolak anggapan lama bahwa kebudayaan dunia berawal dari Yunani dan Roma. Ia menegaskan bahwa akar peradaban sejati terletak di Timur — di Mesir, Mesopotamia, India, dan Cina — wilayah-wilayah yang dalam pandangan Eropa kerap dianggap “eksotis dan mistik.”
“Segala peradaban,” tulis Durant, “adalah usaha manusia menyeimbangkan kebebasan dan ketertiban.” Ia melihat Timur lebih unggul dalam menjaga keseimbangan itu, karena menempatkan moral, keluarga, dan agama sebagai poros kehidupan. Di sini, Timur menjadi lambang dari spiritual order, sementara Barat, yang ia tulis di jilid-jilid berikutnya, adalah lambang dari rational conquest.
Ketika sampai pada kisah Arab pra-Islam, Durant menulis dengan nada simpatik. Ia melihat bangsa Arab bukan sebagai kaum barbar, melainkan “bangsa puisi dan kehormatan” yang hidup dalam kesederhanaan namun memiliki rasa keindahan dan kebebasan yang tinggi. Dari tanah yang gersang itu, menurut Durant, “lahirlah sebuah keajaiban moral yang mengubah sejarah dunia.” Keajaiban itu bernama Islam.
---
2. Muhammad ï·º: Revolusi Moral Terbesar dalam Sejarah
Bagi Durant, munculnya Nabi Muhammad ï·º bukan peristiwa mistik semata, melainkan revolusi moral dan sosial yang paling agung dalam sejarah manusia. Dalam The Age of Faith (1950), ia menulis bahwa Islam adalah “kebangkitan iman, akal, dan keadilan yang menyatukan bangsa-bangsa dalam satu cita-cita moral.”
Durant memuji Islam karena tiga hal: kesederhanaan teologinya, keadilan sosialnya, dan vitalitas spiritualnya. Di saat Romawi tenggelam dalam kemewahan dan dekadensi, di saat Eropa sibuk dengan perpecahan gereja dan feudalisme, Islam datang dengan ajaran yang memulihkan martabat manusia.
Ia menulis:
“Muhammad menemukan dunia yang lelah oleh dewa-dewa yang saling bertentangan, oleh raja-raja yang menindas, dan oleh para filsuf yang kehilangan arah. Ia menyatukan mereka di bawah satu kalimat yang paling sederhana sekaligus paling revolusioner: Tiada Tuhan selain Allah.”
Kalimat tauhid itu, kata Durant, bukan hanya doktrin teologis, tapi juga fondasi sosial. Dari sanalah lahir masyarakat yang egaliter — di mana budak, bangsawan, dan petani berdiri sejajar dalam shalat. Ia melihat Islam sebagai kekuatan penyamarataan yang unik, yang tidak menghancurkan tatanan sosial dengan kekerasan, tetapi menundukkannya dengan moral.
Durant menulis, “Kaum Muslimin menaklukkan dunia bukan karena pedang, tetapi karena kejujuran, keberanian, dan keindahan moral mereka.”
---
3. Islam dan Kemenangan Akal yang Bermoral
Dalam peradaban Islam, Durant menemukan sesuatu yang gagal ditemukan oleh Eropa selama berabad-abad: perdamaian antara iman dan akal.
Ia menyaksikan di Baghdad, Kairo, dan Cordoba bagaimana ulama dan ilmuwan berjalan beriringan. Tidak ada perang antara sains dan agama, karena keduanya tumbuh dari akar tauhid yang sama.
Durant menulis dengan kekaguman:
“Ketika Barat membakar buku, dunia Islam menyalakan lentera-lentera ilmu.”
Baghdad, di masa Harun ar-Rasyid dan Al-Ma’mun, menjadi lambang kejayaan itu. Di Bait al-Hikmah, ilmu Yunani diterjemahkan, diperluas, dan disucikan kembali oleh semangat Islam. Filsafat Aristoteles tidak ditelan mentah-mentah; ia disaring oleh iman, dibaptis dengan tauhid, dan dipadukan dengan wahyu.
Menurut Durant, inilah yang menjadikan Islam bukan sekadar menjaga warisan Yunani, melainkan penyelamat akal dari kesombongannya sendiri. Ia menulis tentang para filsuf Muslim seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd sebagai “penjaga jembatan akal” antara dunia klasik dan Eropa modern.
Baginya, peradaban Islam telah menemukan formula yang paling langka: faith that enlightens reason, and reason that humbles faith.
---
4. Keadilan Sosial dan Moralitas yang Hidup
Salah satu hal yang paling dikagumi Durant adalah struktur moral dan sosial Islam. Ia melihat bahwa dari zaman Rasulullah hingga Abbasiyah awal, Islam berhasil membangun sistem keadilan yang tidak hanya teoretis tetapi fungsional.
“Zakat,” tulis Durant, “adalah sistem moral paling efisien yang pernah diciptakan manusia.” Ia kagum pada cara Islam mengatur kekayaan tanpa menimbulkan kebencian kelas. Dalam pandangan Durant, peradaban Barat — sejak Yunani hingga Romawi — gagal menjaga keseimbangan itu; kemewahan dan perbudakan selalu beriringan.
Dalam Islam, kerja menjadi ibadah, dan kekayaan bukan simbol status, melainkan amanah. Durant mengutip kisah Umar bin Khattab sebagai contoh “pemerintahan paling bersih dan paling adil dalam sejarah awal manusia.”
Ia menulis dengan lirih:
“Sementara Eropa menyiksa budak dan menumpuk emas, Islam memerdekakan manusia dengan iman.”
Durant melihat keadilan dalam Islam bukan hanya cita-cita, tetapi sistem hidup yang konkret — diwujudkan dalam pasar yang jujur, wakaf sosial, dan pendidikan yang terbuka. Ia menyebut kota-kota Islam sebagai “organisme moral”, di mana ekonomi, hukum, dan ibadah berjalan dalam harmoni.
---
5. Seni dan Spiritualitas: Keindahan yang Bertasbih
Will Durant tidak hanya memuji Islam dari sisi sosial dan intelektual. Ia juga menulis tentang seni dan arsitektur Islam dengan nada penuh rasa takjub.
“Mereka membangun masjid bukan hanya untuk menyembah Tuhan, tetapi untuk membuat manusia merasa kecil di hadapan keagungan-Nya.”
Kalimat itu ia tulis ketika membahas Masjid Cordoba dan Alhambra di Granada. Durant melihat arsitektur Islam sebagai doa yang dibangun dengan batu — simfoni geometri, cahaya, dan ruang yang mencerminkan keteraturan kosmos. Ia terpesona bahwa dalam Islam, seni tidak melahirkan patung-patung manusia, melainkan kaligrafi dan pola, seolah seluruh alam raya sedang berdzikir.
Baginya, keindahan Islam bukan bersumber dari keinginan menonjolkan diri, tetapi dari kerendahan hati di hadapan Yang Maha Indah. Dalam hal ini, ia membandingkan secara halus dengan seni Eropa abad pertengahan yang banyak terjebak pada antropomorfisme. Islam, kata Durant, telah “menemukan bentuk estetika yang tidak menyaingi Tuhan, tetapi menegaskan kehadiran-Nya.”
---
6. Cordoba: Simfoni Cahaya dari Andalusia
Durant menulis tentang Andalusia Islam dengan nada yang hampir romantik. Di Cordoba, ia melihat puncak peradaban dunia — kota yang memiliki perpustakaan, observatorium, rumah sakit, taman, dan jalan berlampu ketika Paris dan London masih gelap dan becek.
“Para penguasa dan sarjana dari seluruh Eropa datang ke Cordoba,” tulisnya, “dan mereka tergetar melihat keindahan yang belum pernah mereka saksikan.”
Durant menggambarkan Cordoba sebagai “ibu kota akal dan musik, pusat cahaya yang mengalahkan Roma dan Athena.” Baginya, Andalusia adalah bukti bahwa iman dan kemajuan tidak bertentangan; sebaliknya, imanlah yang menjadi energi di balik kemajuan itu.
Ia menulis, “Islam membuktikan bahwa peradaban tidak lahir dari kelimpahan materi, tetapi dari keteraturan jiwa.”
---
7. Turki Utsmani: Benteng Moral Terakhir
Durant melanjutkan kekagumannya pada jilid-jilid berikutnya, terutama ketika membahas Turki Utsmani. Dalam The Renaissance dan The Reformation, ia mencatat bahwa sementara Eropa sedang memecah gereja dan memerangi sesama, dunia Islam — di bawah bendera Utsmani — masih mampu mempertahankan tatanan sosial dan spiritual.
Ia menulis,
“Ketika Eropa bangkit dari kebodohan, Islam — melalui Turki — masih menjadi benteng moral yang menahan arus barbarisme baru.”
Durant menilai bahwa meski kekaisaran itu kemudian menua dan kehilangan tenaga politik, ia tetap mengandung semangat moral yang dalam. Di Istanbul, seni, hukum, dan ibadah masih menyatu. Kekuasaan bukan sekadar soal wilayah, tetapi tentang tanggung jawab di hadapan Tuhan.
Ia bahkan menyebut penurunan Utsmani bukan sebagai kegagalan Islam, tetapi sebagai konsekuensi dari kehilangan kesadaran spiritual akibat imitasi Barat. Dalam pandangan Durant, kejatuhan Utsmani adalah cermin dari peringatan abadi: bahwa peradaban hancur bukan karena serangan luar, tetapi karena hilangnya moral di dalam.
---
8. Barat yang Menyala, tetapi tanpa Jiwa
Ketika Durant menulis jilid-jilid tentang Renaisans, Reformasi, dan Pencerahan — The Renaissance (1953), The Reformation (1957), The Age of Voltaire (1965) — nada tulisannya berubah. Ia kagum pada kemajuan seni dan sains Eropa, tetapi juga cemas.
Baginya, kemajuan itu membawa manusia keluar dari Gereja, namun juga menjauhkan mereka dari makna. “Ketika iman padam,” tulis Durant, “manusia mencari Tuhan dalam dirinya — dan sering tak menemukannya.”
Ia membandingkan Eropa yang mulai sekuler dengan Islam abad pertengahan. Dalam Islam, akal tunduk pada akhlak; dalam Eropa modern, akal menjadi tuhan baru. Durant menyebutnya sebagai “kebebasan tanpa arah moral.”
Baginya, tragedi modern bukan pada ketidaktahuan, melainkan pada keterputusan antara ilmu dan hikmah. Ia melihat bahwa setelah Pencerahan, Eropa memperoleh kemajuan teknis yang luar biasa, tetapi kehilangan keseimbangan rohani yang pernah dimiliki dunia Islam.
---
9. Islam Sebagai Cermin Kehidupan
Dalam The Age of Napoleon — jilid terakhir dari karya besarnya — Durant menutup seluruh refleksinya dengan kalimat yang amat terkenal:
“Peradaban bertahan bukan karena kekuatan, tetapi karena akhlak dan kesadaran.”
Kalimat ini seolah gema dari pandangan Islam tentang kehancuran bangsa-bangsa. Dalam Al-Qur’an disebut: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada dalam diri mereka.” (QS. Ar-Ra’d: 11).
Bagi Durant, Islam telah membuktikan ayat ini dalam sejarahnya sendiri. Ia bangkit karena iman dan moral, lalu mulai melemah ketika kehilangan keduanya. Tetapi dalam kejatuhannya pun, Islam tetap mewariskan sesuatu yang tak dapat dihapus oleh waktu: kesadaran bahwa manusia hanya kuat bila berakhlak.
Durant melihat Islam bukan hanya bab dalam sejarah, tetapi sebagai pelajaran abadi tentang bagaimana moralitas mampu membangun dunia. Ia menulis bahwa “tak ada bangsa yang mampu memelihara keseimbangan antara spiritualitas dan realitas seperti umat Islam di masa keemasannya.”
---
10. Pelajaran untuk Dunia Modern
Dari perjalanan panjang sejarah itu, Durant menemukan pola yang berulang: setiap peradaban yang kehilangan arah moralnya pasti hancur — entah Yunani, Roma, atau Prancis. Namun ada satu peradaban yang pernah berhasil mengikat akal dengan wahyu, kekuasaan dengan tanggung jawab, dan kemajuan dengan ibadah: Islam.
Durant menulis dalam nada peringatan:
“Barat mungkin menguasai bumi dengan sainsnya, tetapi Timur pernah menenangkan jiwa manusia dengan imannya.”
Bagi Durant, jika dunia modern ingin bertahan, ia harus kembali belajar dari Timur — bukan untuk meniru bentuknya, tetapi untuk menemukan kembali keseimbangan batinnya. Ia melihat dalam Islam suatu visi moral universal: bahwa kekayaan tanpa zakat adalah penindasan, ilmu tanpa iman adalah kesombongan, dan kebebasan tanpa disiplin adalah kehancuran.
---
11. Sebuah Renungan: Peradaban sebagai Ibadah
Apa yang membuat Durant menulis dengan nada begitu lembut ketika membicarakan Islam? Mungkin karena ia menyadari bahwa di balik peradaban yang megah, yang paling langka justru bukan kekuasaan, melainkan ketulusan moral.
Durant menulis:
“Peradaban bertahan bukan di istana atau pasar, tetapi di rumah tangga yang sederhana — tempat iman, cinta, dan pendidikan dijaga.”
Kalimat ini mengingatkan pada hakikat Islam itu sendiri: bahwa peradaban sejati bukan hasil ambisi, tetapi buah dari pengabdian. Ketika manusia menyembah Tuhan dengan hati yang jujur, seluruh hidupnya — termasuk ilmu, seni, dan ekonomi — menjadi ibadah.
Durant mungkin bukan Muslim, tetapi dalam banyak hal, ia telah menulis dengan semangat yang sangat Islami: semangat mencari makna di balik sejarah, semangat memuliakan akhlak di atas kekuasaan, semangat menegakkan ilmu yang tidak melupakan Allah.
---
12. Penutup: Islam dan Hati yang Tak Pernah Padam
Akhirnya, Durant sampai pada kesimpulan yang menggema di seluruh jilid karyanya: bahwa setiap peradaban adalah ujian moral. Ia lahir dari iman, tumbuh karena disiplin, dan hancur oleh keserakahan. Dalam siklus itu, Islam tampil sebagai saksi bahwa dunia dapat makmur tanpa meninggalkan Tuhan.
Durant menulis dalam refleksi terakhirnya:
“Mungkin, ketika sejarah selesai menulis tentang Eropa dan Amerika, dunia akan kembali menoleh ke Timur — tempat di mana manusia dulu menemukan keseimbangan antara bumi dan langit.”
Kalimat itu seperti nubuat yang tak lekang waktu. Dalam dunia modern yang dilanda krisis moral dan spiritual, pandangan Durant tentang Islam terasa semakin relevan. Ia mengingatkan bahwa teknologi bisa menciptakan kekuatan, tetapi hanya iman yang bisa menciptakan makna.
Will Durant, sang sejarawan humanis, menutup perjalanannya bukan dengan kemenangan akal, tetapi dengan kerendahan hati seorang pencari kebenaran. Ia mengakui bahwa seluruh kisah peradaban hanyalah upaya manusia untuk mendekati cahaya yang sama — dan dalam cahaya itu, Islam berdiri sebagai salah satu puncak tertinggi pencapaian ruh manusia.
“Ketika dunia kehilangan arah,” tulisnya, “ingatlah bahwa peradaban pernah bersujud — dan dari sujud itulah ia bangkit.”
0 komentar: