Menghianati Perjanjian untuk Merampok Nusantara: Akhirnya VOC dan Kerajaannya Bangkrut
“Barang siapa hidup dengan menipu, akan mati ditipu.”
(Pepatah lama yang kembali hidup di setiap kejatuhan imperium)
Prolog: Dua Wajah yang Datang ke Timur
Ketika armada Belanda pertama berlabuh di perairan Nusantara pada tahun 1596, mereka datang dengan dua wajah: pedagang dan pengkhianat. Di satu tangan mereka membawa peta dan perjanjian dagang; di tangan lain, senjata dan tipu daya. Mereka menyebut diri “utusan perdagangan Eropa”, padahal yang mereka bawa adalah benih penjajahan korporat yang akan menjerat Nusantara selama tiga abad.
Mereka menandatangani kontrak dengan kesultanan Islam di pesisir: Banten, Demak, Aceh, Ternate, Tidore, dan Mataram — semuanya atas nama “kerja sama dan keuntungan bersama.” Namun sejarah mencatat: setiap perjanjian yang ditandatangani Belanda berakhir dengan pelanggaran, penaklukan, dan darah.
Dan sejak saat itu, pola pengkhianatan itu menjadi semacam DNA geopolitik mereka.
---
1. Pengkhianatan di Balik Perjanjian: Dari Diplomasi ke Penjajahan
Belanda tahu, kekuatan militer mereka terbatas di hadapan armada besar kesultanan Islam di Nusantara. Maka mereka bersembunyi di balik perjanjian.
Perjanjian dagang dengan Sultan Baabullah di Ternate — mereka langgar. Setelah memperoleh hak monopoli cengkih, Belanda justru menghasut perang antara Ternate dan Tidore, dua kerajaan Islam saudara, agar mereka bisa masuk sebagai “penengah”. Dalam waktu singkat, “penengah” berubah menjadi penguasa.
Begitu juga di Banda Neira. Mereka menandatangani kontrak jual beli pala dengan harga tetap, lalu memaksa rakyat Banda menanam hanya untuk VOC. Ketika rakyat menolak, Belanda melakukan pembantaian tahun 1621 di bawah Jan Pieterszoon Coen — ribuan jiwa tewas, dan seluruh pulau direbut.
Di Banten, mereka berjanji melindungi perdagangan rempah dari bajak laut. Namun setelah memperoleh izin berdagang, mereka menyingkirkan saudagar-saudagar Muslim, memonopoli pelabuhan, dan akhirnya menggulingkan kekuasaan sultan dengan mengadu domba keluarga istana.
Begitulah cara Belanda memperluas kekuasaan: bukan dengan kemenangan perang, melainkan dengan pengkhianatan perjanjian. Setiap tinta yang mereka teteskan di atas kertas, selalu disertai rencana penjajahan di bawahnya.
---
2. Imam Bonjol, Diponegoro, dan Para Pengkhianatan yang Diabadikan
Setelah abad ke-17 menjadi masa monopoli dagang, abad ke-19 menjadi masa penghancuran harga diri bangsa.
Ketika Belanda tak lagi cukup kuat secara ekonomi, mereka mulai memeras bumi dan manusia. Tanam paksa, pajak tinggi, dan perampasan tanah menjadi alat eksploitasi baru. Tapi di tengah penindasan itu, lahirlah jiwa-jiwa besar: Pangeran Diponegoro di Jawa, Tuanku Imam Bonjol di Sumatra, Teuku Umar di Aceh, dan para bupati serta kiai yang menjadi benteng moral rakyat.
Namun seperti biasa, Belanda melawan bukan dengan kehormatan, tetapi dengan tipu daya.
Pengkhianatan kepada Pangeran Diponegoro
Perang Jawa (1825–1830) bukan sekadar perang antara bangsawan dan kolonial, melainkan antara iman dan keserakahan. Diponegoro berperang karena tanah leluhurnya, yang dijadikan jalan oleh Belanda tanpa izin, dianggap suci. Tapi ketika peperangan tak mampu mereka menangkan secara jujur, Belanda menawarkan “perundingan damai”.
Tanggal 28 Maret 1830, di Magelang, Pangeran Diponegoro datang ke perundingan dengan niat mulia. Ia percaya pada kata “damai”. Tapi Belanda — di bawah Jenderal De Kock — sudah menyiapkan jebakan. Diponegoro ditangkap tanpa senjata, dihadapkan ke pengadilan, dan dibuang ke Makassar. Di sana, sang pangeran wafat dalam kesunyian pengasingan.
Itulah wajah sejati kolonialisme Belanda: bukan sekadar perang, tapi penghianatan terhadap makna perjanjian itu sendiri.
Pengkhianatan kepada Imam Bonjol
Di Sumatra Barat, kisahnya hampir sama. Tuanku Imam Bonjol, ulama dan pejuang yang memimpin Perang Padri (1803–1837), berjuang bukan untuk kekuasaan, tapi untuk membersihkan akidah dan menegakkan keadilan.
Belanda datang berpura-pura menawarkan aliansi melawan kelompok adat. Tapi setelah berhasil masuk, mereka berbalik menembak para ulama Padri. Ketika Imam Bonjol setuju untuk berunding pada tahun 1837, ia datang dengan niat damai — namun Belanda sudah menyiapkan pengkhianatan. Ia ditangkap, diasingkan ke Manado, lalu ke Minahasa, hingga wafat di pengasingan.
Nama “perjanjian” bagi Belanda hanyalah selubung untuk penawanan.
Pengkhianatan terhadap Para Bupati dan Pejuang
Tak hanya para ulama dan pangeran. Para bupati di Jawa pun tak luput dari tipu daya kolonial. Mereka menandatangani kontrak kerja sama “pajak dan keamanan”, tapi setiap klausul disusun agar Belanda menguasai hasil bumi.
Dalam Cultuurstelsel (sistem tanam paksa) yang diperkenalkan Van den Bosch tahun 1830, rakyat dipaksa menanam kopi, tebu, dan nila untuk Belanda. Bahkan sistem itu disebut oleh sejarawan Clifford Geertz sebagai “kolonialisme moral yang paling halus namun paling mematikan”.
Sementara itu, rakyat menderita. Laporan Multatuli (Eduard Douwes Dekker) dalam bukunya “Max Havelaar” (1860) mengguncang Eropa. Ia menulis:
“Di Lebak, rakyat mati kelaparan demi membayar pajak kepada Belanda. Mereka menanam untuk negeri yang bahkan tak tahu nama mereka.”
Itulah puncak dari pengkhianatan moral: ketika sebuah bangsa menjadikan kerja sama sebagai alat perampasan.
---
3. VOC: Korporasi yang Mati oleh Dosa Sendiri
VOC — Vereenigde Oostindische Compagnie — lahir tahun 1602. Ia bukan negara, tapi memiliki hak kenegaraan: mencetak uang, menandatangani perjanjian, membangun benteng, dan bahkan berperang. Sejarawan ekonomi Niels Steensgaard menyebut VOC sebagai “negara bayangan pertama dalam sejarah modern”, di mana kapitalisme dan kolonialisme menyatu dalam satu tubuh.
Namun dari dalam tubuh itu pula lahir penyakitnya: korupsi, manipulasi laporan keuangan, dan kerakusan tanpa batas.
Menurut catatan arsip kolonial Belanda yang dianalisis oleh Karel Davids dalam The Rise and Decline of Dutch Technological Leadership, para gubernur jenderal di Batavia kerap menggunakan dana publik untuk kepentingan pribadi. Monopoli rempah menyebabkan biaya operasi membengkak, sementara para pejabat VOC di Asia menumpuk kekayaan pribadi dari suap dan kontrak gelap.
Tahun 1780-an, VOC terlilit utang 134 juta gulden — jumlah yang luar biasa besar saat itu. Pada 1799, perusahaan ini resmi dibubarkan. Sejarawan ekonomi Jan de Vries menyebut kebangkrutan VOC sebagai “kegagalan kapitalisme moral pertama di dunia.”
Sebab, VOC tidak bangkrut karena perang atau bencana, tetapi karena kerakusan diri sendiri.
Dalam istilah Arnold Toynbee, inilah “moral disintegration” — kehancuran yang lahir dari dalam, bukan dari luar.
---
4. Kas Belanda Ludes: Ironi Sebuah Imperium
Ketika VOC bubar, seluruh aset dan utangnya diambil alih oleh kerajaan Belanda. Tapi yang mereka warisi bukan kekayaan, melainkan beban. Kas negara kosong. Dalam laporan keuangan 1800, utang negara mencapai 125 juta gulden — hampir seluruhnya akibat kegagalan VOC.
Pemerintah Belanda mencoba menyelamatkan diri dengan memperluas penjarahan langsung ke Nusantara. Maka lahirlah sistem Cultuurstelsel (1830–1870). Hasilnya? Belanda sempat “kaya secara semu.”
Dalam 40 tahun, sistem ini mengirim lebih dari 800 juta gulden ke kas Belanda. Tapi kemakmuran itu menipu: ia dibangun di atas penderitaan jutaan rakyat Indonesia.
Namun hukum sejarah bekerja perlahan tapi pasti.
Di paruh kedua abad ke-19, harga komoditas dunia jatuh. Pendapatan kolonial menurun. Korupsi di kalangan pejabat kolonial meningkat. Pada awal abad ke-20, kas Belanda kembali defisit, dan pada 1940, negeri itu dijajah Jerman — suatu ironi geopolitik yang pahit: negara penjajah menjadi yang dijajah.
Ekonom Belanda Bernard Feringa dalam studinya “Financiële Crises in de Koloniale Tijd” menyebut bahwa krisis ekonomi kolonial 1880–1930 adalah “buah dari sistem eksploitasi yang kehilangan legitimasi moral.”
Artinya, Belanda dihancurkan bukan oleh kekuatan militer, tapi oleh dosa sejarah yang tak pernah ditebus.
---
5. Dari VOC ke Negara Kolonial: Reinkarnasi Dosa
Setelah VOC bubar, Belanda membentuk pemerintahan kolonial langsung tahun 1800. Tapi itu bukanlah perbaikan, melainkan kelanjutan dosa lama dalam bentuk baru.
Mereka mengganti nama, tapi tidak watak. Mereka menandatangani “kontrak politik” dengan raja-raja lokal, tapi pada akhirnya tetap merampas hak tanah dan menindas rakyat.
Sistem administrasi kolonial mereka bahkan diakui oleh ahli sejarah Cornelis Fasseur sebagai “birokrasi yang dibangun di atas kebohongan.”
Mereka menyebut diri “penjaga ketertiban”, tapi dalam praktiknya memeras sumber daya hingga ke akar. Mereka mengaku membawa “peradaban Eropa”, tapi peradaban itu justru mengubah manusia menjadi angka-angka dalam laporan keuntungan.
Dan ketika Jepang datang pada 1942, seluruh sistem kolonial yang mereka bangun selama tiga abad hancur dalam tiga bulan.
Itulah puncak dari kutukan geopolitik: pengkhianat selalu dikalahkan oleh pengkhianatan yang lebih besar.
---
6. Hukum Geopolitik: Kekuatan yang Hidup dari Kebohongan Akan Mati oleh Kebenaran
Sejarah dunia memiliki hukum yang tak tertulis, tapi selalu berlaku:
“Setiap perjanjian yang dihianati akan menjadi batu nisan bagi pengkhianatnya.”
Belanda mengkhianati kesultanan Nusantara, mereka pun dikhianati oleh sistem kapitalisme yang mereka ciptakan sendiri. VOC menipu raja-raja, lalu ditipu oleh para direktur dan pegawainya sendiri. Belanda menjarah bumi Indonesia, lalu dijarah oleh krisis ekonomi yang mereka buat.
Arnold Toynbee pernah menulis:
“Peradaban tidak mati dibunuh oleh musuh, melainkan bunuh diri karena kehilangan tujuan moral.”
Begitu pula Ibn Khaldun yang menegaskan dalam Muqaddimah:
“Kezaliman menghancurkan kemakmuran, sebab kekayaan tanpa keadilan hanyalah bentuk lain dari kehancuran.”
Keduanya berbicara dalam bahasa yang berbeda, tapi maknanya sama: kebohongan dan keserakahan adalah penyakit geopolitik yang membawa kematian peradaban.
Dan sejarah Belanda di Nusantara adalah salah satu contohnya yang paling telanjang.
---
Epilog: Di Bawah Bayang Kutukan Sejarah
Hari ini, Belanda sering berbicara tentang “hak asasi manusia” dan “keadilan global.” Tapi dalam tanah tropis yang dulu mereka rampas, masih tertinggal jejak darah, tulang, dan air mata.
Di Ambon, Banda, dan Banten, kisah pengkhianatan itu masih hidup dalam ingatan rakyat.
Di Bukittinggi dan Magelang, makam Imam Bonjol dan Diponegoro masih menjadi saksi bahwa perjanjian yang dilanggar manusia akan ditagih oleh sejarah.
Hukum sejarah tak mengenal belas kasihan.
Negeri yang menanam kebohongan, akan menuai kehancuran.
Dan seperti air pasang yang perlahan tapi pasti kembali ke pantai, setiap pengkhianatan akan kembali menghantam pengkhianatnya sendiri.
Belanda pernah mengira mereka bisa membeli waktu dengan tipu daya, tapi waktu justru menjual mereka kepada keadilan.
Sebab sejarah, pada akhirnya, selalu berpihak kepada kebenaran — meski kebenaran itu datang terlambat.
0 komentar: