Cahaya Islam di Abad Pertengahan Eropa yang Gelap
Ada masa ketika dunia dibelah oleh cahaya dan bayangan. Di satu sisi, Barat baru saja keluar dari kegelapan intelektual pasca‐keruntuhan Roma; di sisi lain, Timur—dunia Islam—menjadi mercusuar pengetahuan, memantulkan sinar ke segala penjuru. W. Montgomery Watt, orientalis terkemuka asal Skotlandia, menulis dengan jujur bahwa sejarah peradaban Eropa tak akan utuh tanpa mengakui pantulan cahaya itu. Dalam The Influence of Islam on Medieval Europe, ia tidak sekadar menulis sejarah pengaruh, melainkan kisah pertemuan dua jiwa peradaban yang saling membentuk.
“Islam,” tulis Watt, “tidak hanya menjadi tetangga Eropa, tetapi cermin tempat Eropa belajar mengenali dirinya sendiri.”
Kita bisa membayangkan abad ke-10: dari pelabuhan Alexandria, kapal-kapal Arab berlayar menuju Sisilia dan Marseille, membawa rempah, tekstil, naskah, dan kabar tentang dunia yang luas. Di Cordoba, lampu-lampu jalan menyala setiap malam—sementara di London, bahkan jalan-jalan utama masih diselimuti lumpur.
Islam, dalam pandangan Watt, bukan sekadar kekuatan militer, tetapi kekuatan kultural yang menyalakan kembali bara ilmu di jantung Barat.
---
Bayangan Andalusia dan Lahirnya Cahaya
Watt memulai penjelasannya dari “kehadiran Islam di Eropa.” Andalusia, katanya, adalah pintu gerbang tempat Timur memasuki Barat tanpa pedang, melainkan melalui pena. Di sana, kota-kota seperti Toledo, Sevilla, dan Cordoba menjadi laboratorium peradaban. Di perpustakaan Cordoba tersimpan lebih dari empat ratus ribu manuskrip. Para pelajar Kristen dari utara datang diam-diam untuk belajar aritmetika, astronomi, dan logika dari guru-guru Muslim.
Gustave Le Bon menyebut masa itu sebagai “jaman ketika Paris masih belajar membaca, sementara Cordoba menulis ensiklopedia.” Dalam bahasa lain, dunia Islam telah mencapai kedewasaan intelektual ketika Eropa masih belajar mengeja akal.
Di Sisilia dan Italia Selatan, pengaruh Islam menembus kehidupan sehari-hari. Dari arsitektur istana hingga sistem irigasi pertanian, dari musik hingga mode pakaian, pengaruh Arab menjadi bagian halus dari kebudayaan lokal. Proses ini, kata Watt, bukan penaklukan budaya, melainkan osmosis: pertukaran halus yang berjalan lewat rasa ingin tahu dan kebutuhan hidup.
---
Perdagangan dan Teknologi: Jalur Sunyi dari Timur
Watt memberi perhatian besar pada perdagangan sebagai saluran pengaruh. Ia menyebutnya “jalur sunyi peradaban.” Melalui Laut Tengah, Islam membawa teknologi navigasi, alat ukur bintang, teknik pembuatan kertas dari Samarkand, hingga sistem kredit dan perbankan. Bersama barang dagangan, terbawa pula gagasan tentang dunia yang rasional dan teratur.
Teknologi pertanian Islam mengubah wajah Eropa: irigasi qanat, budidaya kapas, tebu, jeruk, dan beras memperkaya ekonomi selatan Eropa. Orang Barat belajar bagaimana menanam, mengairi, dan menghitung hasil panen. Mereka belajar sistem perhitungan Arab—yang kelak disebut “angka Arab”—dan memperkenalkannya ke seluruh Eropa melalui Italia.
“Eropa belajar berpikir dengan angka dari Islam,” tulis Robert Briffault, “dan itu mengubah segalanya.”
Proses ini tidak spektakuler, tapi berkelanjutan; bukan lewat pedang, tapi lewat kebiasaan, kontrak dagang, dan rasa kagum terhadap ketertiban dunia Islam. Watt menulis, “Di antara segala kontak antara dua peradaban, perdaganganlah yang paling damai dan paling berpengaruh.”
---
Dari Aristoteles ke Aquinas: Jalan Filsafat dari Timur
Namun, di atas segalanya, pengaruh terbesar Islam pada Eropa terletak pada akal. Dunia Islam menjadi jembatan yang menyambung masa klasik Yunani dengan kebangkitan intelektual Eropa.
Watt menelusuri bagaimana karya-karya Aristoteles, Galen, dan Ptolemaeus yang hampir lenyap di Barat diterjemahkan ke bahasa Arab di Baghdad, lalu ke Latin di Toledo dan Salerno. Proses panjang ini melibatkan tokoh seperti Hunayn ibn Ishaq, Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd.
Al-Farabi menata logika Aristoteles hingga menjadi sistem filsafat yang dapat dipahami lintas agama. Ibnu Sina menyusun sintesis rasional antara wahyu dan akal—yang kelak menginspirasi skolastik Kristen. Dan Ibnu Rusyd, sang komentator besar dari Cordoba, menjadi jembatan langsung antara Islam dan Thomas Aquinas.
Aquinas membaca Aristoteles melalui tafsir Ibnu Rusyd. Tanpa Ibn Sina dan Ibnu Rusyd, filsafat Kristen mungkin tak akan menemukan bahasa rasionalnya. Alfred Guillaume menyebut peran itu “kebangkitan kedua Aristoteles,” sebab di tangan Muslim, pemikiran Yunani tidak hanya diselamatkan, tapi dilahirkan kembali.
Watt menulis dengan nada tenang: “Filsafat Eropa tidak muncul dari ketiadaan; ia tumbuh dari akar yang disiram oleh tangan Islam.”
George Sarton, sejarawan sains Belgia-Amerika, bahkan menegaskan:
“Renaissance bukanlah kebangkitan murni Eropa, melainkan warisan Islam yang mekar di tanah Barat.”
---
Perjumpaan, Konflik, dan Kesadaran Diri
Dalam bab tentang Reconquista dan Perang Salib, Watt menolak memandang konflik semata-mata sebagai benturan agama. Ia melihatnya sebagai “pertemuan keras” dua dunia yang sedang mencari bentuknya. Di balik perang, selalu ada percakapan yang tersembunyi: pertukaran ide, teknologi militer, obat-obatan, dan sistem administrasi.
Dari tentara Salib, Eropa belajar tentang rumah sakit, kebersihan, dan organisasi. Dari dunia Islam, mereka meminjam kata-kata seperti arsenal, admiral, algebra, dan alcohol — jejak bahasa yang tak bisa disembunyikan dari sejarah.
Namun, dalam saat yang sama, Eropa membangun kesadarannya sebagai “yang bukan Islam.” Islam menjadi cermin yang memperjelas bentuk diri mereka. Dalam bab terakhir, Islam and European Self-Awareness, Watt menulis bahwa citra negatif tentang Islam di Barat abad pertengahan sering kali bukan cerminan realitas, melainkan pantulan dari kecemasan internal Barat terhadap dirinya sendiri.
“Ketika Eropa memandang Islam,” tulisnya, “ia sebenarnya sedang melihat bayangan dari ketakutannya sendiri.”
Refleksi ini menjadikan buku Watt bukan sekadar karya sejarah, tetapi juga introspeksi budaya: bagaimana peradaban tumbuh bukan hanya dengan meniru, tetapi juga dengan berhadapan—dan belajar—dari “yang lain.”
---
Suara Para Saksi Barat
Beberapa orientalis dan ilmuwan Barat lain mendukung pandangan Watt.
Gustave Le Bon menulis dalam La Civilisation des Arabes (1884):
“Di setiap bidang—sains, seni, industri, dan filsafat—Eropa berutang pada dunia Islam.”
Ernest Renan, meskipun kerap kritis terhadap agama, mengakui bahwa “tanpa filsafat Arab, Eropa tidak akan menemukan metode berpikir ilmiah.”
George Sarton memuji ilmuwan Muslim sebagai “penghubung antara dunia Yunani dan dunia modern,” sementara Robert Briffault menegaskan dalam The Making of Humanity (1919):
“Tidak ada satu pun penemuan besar Eropa yang tidak berakar pada sains Arab.”
Semua pandangan ini, bagi Watt, bukan sekadar pengakuan, melainkan koreksi terhadap mitos lama: bahwa kemajuan Eropa lahir dari dirinya sendiri. Sejarah sebenarnya lebih dialogis—saling memberi, saling menguji, dan saling mengilhami.
---
Proses Islam Memengaruhi Barat
Watt menggambarkan proses pengaruh Islam terhadap Barat dalam tiga alur besar:
1. Kontak Langsung di Wilayah Eropa
Melalui kehadiran Islam di Spanyol, Sisilia, dan Balkan, masyarakat Eropa mengalami interaksi nyata dengan budaya Muslim. Sekolah-sekolah terjemahan di Toledo menjadi pintu masuk ilmu Arab ke universitas-universitas Eropa.
2. Perdagangan dan Teknologi
Melalui pelayaran di Laut Tengah, pedagang Muslim menjadi perantara barang dan ide. Dari Damaskus ke Venezia, dari Kairo ke Marseille, mengalir sistem ekonomi, kontrak dagang, serta konsep etika pasar yang rasional.
3. Penerjemahan dan Intelektualisme
Melalui naskah-naskah Arab, Eropa menemukan kembali sains dan filsafat Yunani, tetapi dalam bentuk yang telah disempurnakan oleh pemikiran Islam. Ibnu Sina menjadi jembatan bagi kedokteran; Al-Khwarizmi bagi matematika; Ibnu Haitham bagi optik dan metode eksperimental.
Dari sini lahir universitas, metode observasi, dan tradisi akademik Eropa. Watt menegaskan bahwa “peradaban Islam menanamkan benih rasionalitas yang kelak tumbuh menjadi ilmu pengetahuan modern.”
---
Cermin dan Bayangan: Islam sebagai Identitas Negatif Eropa
Namun ironinya, semakin besar pengaruh Islam, semakin Eropa merasa perlu membedakan dirinya. Islam menjadi “yang lain” yang sekaligus menakutkan dan menginspirasi. Dari sinilah muncul literatur polemik, dongeng ksatria, hingga citra orientalis yang sering keliru.
Watt menyebut fenomena ini sebagai distortion by distance—distorsi karena jarak. Dalam pandangannya, gambaran Islam sebagai barbar atau sensual hanyalah refleksi dari kebutuhan Eropa untuk menegaskan identitasnya sendiri.
“Tanpa Islam,” tulis Watt, “Eropa mungkin tak pernah belajar siapa dirinya.”
Pernyataan itu menggugah: musuh yang dianggap asing justru menjadi guru yang diam-diam membentukmu.
---
Mengapa Buku Ini Penting
Buku Watt, meski hanya sekitar 125 halaman, menjadi pengingat bahwa peradaban manusia adalah hasil dialog, bukan dominasi. Ia menolak dikotomi Timur-Barat, Islam-Kristen, lama-baru. Sebab dalam setiap periode sejarah, keduanya saling memberi.
Watt menulis dengan nada netral, tetapi di baliknya tersimpan kekaguman: bagaimana dunia Islam memelihara rasionalitas dan ilmu di saat Eropa terlelap. Ia menyebut peran Islam “krusial dalam kebangkitan Eropa modern.”
Bagi dunia Islam, buku ini adalah cermin yang menenangkan: bahwa pengaruh kita tidak hilang, hanya terlupakan.
Bagi dunia Barat, ia adalah pengingat moral: bahwa kemajuan tidak pernah lahir dalam isolasi.
---
Epilog: Percakapan Tak Selesai antara Timur dan Barat
Bayangkan malam di perpustakaan Toledo abad ke-12. Di bawah cahaya lampu minyak, seorang biarawan Latin menyalin teks Arab tentang logika Aristoteles. Di sebelahnya, seorang penerjemah Muslim membacakan kata demi kata. Mereka tak saling memusuhi, hanya tenggelam dalam bahasa pengetahuan.
Di situlah titik temu dua dunia: Islam memberi kata, Eropa menulis ulang makna. Sejarah, pada akhirnya, bukan tentang siapa yang menguasai, tapi siapa yang meneruskan cahaya.
W. Montgomery Watt menutup bukunya dengan kalimat yang pantas direnungkan:
“Tidak ada peradaban yang berdiri sendiri; semuanya dibangun di atas kerja sama yang tak terlihat antara manusia-manusia yang ingin memahami dunia.”
Maka ketika kita hari ini berbicara tentang Barat dan Islam, ingatlah bahwa keduanya bukan dua kutub yang terpisah, melainkan dua arus yang dulu pernah menyatu dalam satu sungai besar: sungai pengetahuan, yang sumbernya mengalir dari Timur dan bermuara di dunia.
0 komentar: