Yahudi Melanggar Perjanjian — Dari Era Nabi Yusuf hingga Gencatan Senjata Oktober 2025
Prolog: Perjanjian yang Tak Pernah Dijaga
Sejarah manusia tidak pernah lepas dari janji—baik kepada sesama, maupun kepada Tuhan. Namun bagi bangsa yang menamakan dirinya “umat pilihan”, perjanjian itu menjadi medan tarik-menarik antara kesetiaan dan ambisi. Dalam Alkitab maupun Al-Qur’an, Bani Israil dikenal bukan hanya karena keilmuannya, tetapi juga karena watak politiknya yang rumit: keras kepala, cerdas, terorganisir, namun selalu curiga kepada setiap otoritas yang tidak mereka kendalikan.
Di antara bangsa-bangsa, hanya mereka yang berulang kali diingatkan Tuhan tentang janji yang mereka khianati sendiri. Dan sejarah mencatat: dari zaman para nabi hingga negara Israel modern, pelanggaran perjanjian telah menjadi pola geopolitik yang berulang — dari intrik di istana Mesir kuno hingga meja perundingan gencatan senjata di Gaza.
---
Jejak Pertama: Dari Ya‘qub hingga Yusuf
Perjanjian pertama dalam kisah Bani Israil muncul di lingkup keluarga. Nabi Ya‘qub—yang menjadi asal nama “Israel”—mengajarkan keturunan dan kaumnya untuk menjaga ikatan dengan Tuhan dan sesama. Namun bahkan di rumahnya sendiri, perjanjian itu retak. Kisah saudara-saudara Yusuf yang mengkhianati saudaranya adalah simbol awal dari politik Yahudi yang menghalalkan tipu daya demi dominasi.
Pelanggaran itu bukan sekadar soal keluarga. Ia adalah cikal-bakal politik identitas—ketika keanggotaan suku dianggap lebih tinggi dari kebenaran. Yusuf, yang ditinggalkan di sumur, kelak menjadi penguasa Mesir; ironi itu menjadi pelajaran bahwa kebohongan dan pengkhianatan selalu berbalik arah. Tapi bangsa yang lahir dari garis itu, Bani Israil, tampaknya tidak belajar. Sejarah mereka bergerak dari satu pelanggaran ke pelanggaran berikutnya, seolah janji hanyalah strategi diplomasi, bukan moralitas.
---
Janji di Padang Sinai: Pelanggaran terhadap Musa
Era Musa menjadi panggung besar bagi “politik perjanjian” pertama dalam sejarah bangsa Yahudi. Di kaki Gunung Sinai, mereka berjanji akan setia kepada hukum Tuhan. Namun hanya beberapa hari setelah Musa naik ke gunung, mereka menciptakan patung anak lembu emas—sebuah bentuk pelanggaran teologis sekaligus simbol politik: mengganti otoritas wahyu dengan simbol buatan tangan sendiri.
Di sinilah lahir logika baru yang terus hidup hingga kini: bahwa hukum Tuhan hanya ditaati selama mendukung kepentingan nasional mereka. Ketika tidak, hukum itu dinegosiasikan, diubah, atau disalahartikan.
Dalam sejarah modern, logika ini menjelma dalam politik Israel terhadap perjanjian internasional. Mereka menandatangani gencatan senjata, tetapi tetap mengebom. Mereka bicara tentang “keamanan nasional”, namun melanggar resolusi PBB. Sebagaimana Bani Israil dulu mengaku beriman tetapi menyembah berhala, Israel modern mengaku demokratis namun menjalankan apartheid dan genosida.
---
Thalut dan Logika Kepatuhan Bersyarat
Ketika Thalut diangkat menjadi raja, sebagian besar Bani Israil menolak karena alasan pragmatis: ia bukan dari kalangan bangsawan, bukan keturunan yang “dianggap suci”. Ketika mereka diuji dengan perintah agar tidak meminum air sungai dalam perjalanan jihad, sebagian besar kembali melanggar. Hanya sedikit yang bertahan bersama Thalut hingga kemenangan.
Kisah ini menggambarkan mentalitas politik yang tidak berubah: ketaatan bersyarat pada pemimpin, setia hanya selama kepentingannya terpenuhi. Dalam konteks geopolitik modern, ini menjelaskan mengapa Israel tidak pernah konsisten pada perjanjian internasional. Mereka hanya menghormatinya selama perjanjian itu menguntungkan posisi strategis mereka di kawasan. Begitu ada celah, mereka melanggarnya tanpa ragu—dengan alasan keamanan, atau “serangan balasan”.
---
Dari Sulaiman hingga Isa: Politik Wahyu yang Hilang
Nabi Sulaiman mewarisi kekuasaan besar yang semestinya menjadi contoh pemerintahan yang adil. Namun setelah wafatnya, Bani Israil terpecah dan saling memerangi. Dalam sejarah Yahudi, masa ini disebut “kerajaan utara dan selatan”—sebuah fase di mana kekuasaan dan agama terpisah, dan nabi-nabi mulai diburu.
Mereka membunuh para utusan yang menegur penyimpangan elite, menolak wahyu yang mengancam posisi ekonomi mereka, dan mengubah hukum Tuhan menjadi tafsir politik. Dari sinilah lahir ide “messianisme politik”—gagasan bahwa keselamatan akan datang bukan melalui moralitas, tetapi melalui kekuasaan etnis. Di masa Isa al-Masih, gagasan itu mencapai puncaknya: bangsa yang mengaku menantikan Mesias justru menyalibkannya ketika dia datang tanpa membawa pedang.
---
Era Rasulullah ﷺ: Perjanjian yang Dikhianati di Madinah
Ketika Rasulullah ﷺ hijrah ke Madinah, beliau mendapati tiga suku Yahudi besar: Bani Qainuqa, Bani Nadhir, dan Bani Quraizhah. Ketiganya menandatangani Piagam Madinah—dokumen politik pertama di dunia Islam—yang menjamin kebebasan dan keamanan bersama. Namun tidak lama setelah itu, ketiganya melanggar.
Bani Qainuqa menyerang kaum Muslimah di pasar; Bani Nadhir bersekongkol dengan musuh; dan Bani Quraizhah berkhianat di saat paling genting, ketika Madinah dikepung dalam Perang Khandaq. Ketika kekuasaan tidak lagi di tangan mereka, perjanjian menjadi kertas tanpa makna. Sejak itu, Rasulullah ﷺ menegaskan: pengkhianatan terhadap perjanjian adalah bagian dari watak yang terus diwarisi.
Dan hari ini, dua ribu tahun setelahnya, sejarah itu terulang di Gaza.
---
Israel Modern: Pewaris Watak Lama
Negara Israel berdiri pada 1948 dengan janji internasional bahwa mereka akan menghormati batas wilayah dan hak-hak penduduk Palestina. Dalam waktu kurang dari dua tahun, janji itu hancur. Israel memperluas wilayahnya melalui perang 1948, 1967, dan 1973; menandatangani perjanjian Oslo 1993, lalu melanggarnya dengan permukiman ilegal; menyetujui gencatan senjata berkali-kali, lalu menghujani Gaza dengan bom setelah beberapa hari.
Watak politik mereka berakar dari logika lama: perjanjian hanya sah jika menguntungkan Israel. Jika tidak, itu dianggap “tidak berlaku” atau “dilanggarnya oleh pihak lain”.
Dalam konteks geopolitik modern, pelanggaran ini bukan hanya bentuk keangkuhan militer, tetapi strategi diplomasi. Dengan mengontrol narasi dan memonopoli wacana keamanan, Israel membalikkan fakta. Korban dijadikan pelaku; penjajah menjadi pihak yang “membela diri”. Dunia pun terjebak dalam retorika yang mereka ciptakan sendiri.
---
Oktober 2025: Ketika Gencatan Senjata Hanya Istirahat Bagi Pembunuh
Pada 13 Oktober 2025, dunia menyambut gencatan senjata di Gaza. AS, Mesir, Qatar, dan Turki menjadi penjamin. Ada harapan, meski rapuh, bahwa genosida 7 Oktober 2023 akan berhenti di situ. Namun, sejarah berbicara dengan cara yang sama seperti dua ribu tahun lalu.
Hanya lima hari setelah perjanjian ditandatangani, Israel kembali menyerang. Alasan klasik dikemukakan: Hamas melanggar terlebih dahulu, menyerang kendaraan IDF. Namun laporan lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Serangan udara Israel menewaskan 26 warga Gaza, termasuk wanita dan anak-anak. Rumah sakit, kamp pengungsi, bahkan rumah jurnalis menjadi sasaran.
Israel menyebut itu sebagai “operasi terbatas”. Dunia tahu, istilah itu hanyalah eufemisme bagi pembantaian berikutnya. Amerika Serikat, penjamin utama gencatan, segera memberi peringatan kepada Hamas—bukan kepada Israel. Mereka menuduh Hamas melanggar “gencatan yang akan segera dilanggar”. Sebuah kalimat yang bahkan belum selesai secara logika, namun sudah mengandung pembenaran untuk serangan mendatang.
Dan benar. Dalam dua hari berikutnya, 47 pelanggaran terjadi, menewaskan 38 orang dan melukai lebih dari seratus. Tapi diplomasi global tetap memilih diam. Dunia kembali menyaksikan: gencatan senjata hanyalah jeda bagi mesin perang Israel untuk mengisi ulang peluru.
---
Pola Lama dalam Baju Baru
Bila dilihat dari kacamata geopolitik, pelanggaran Israel terhadap gencatan senjata bukan sekadar tindakan militer, tetapi alat negosiasi terencana. Mereka menciptakan eskalasi, kemudian menawarkan “perdamaian” yang mereka langgar sendiri, untuk memaksa pihak lawan tunduk. Pola ini identik dengan strategi Bani Israil di masa lalu: menandatangani perjanjian, lalu mematahkannya untuk membuktikan superioritas.
Israel modern mempraktikkan ini di setiap medan: dari Tepi Barat hingga ruang diplomasi PBB. Mereka membangun permukiman ilegal setelah menandatangani perjanjian penghentian ekspansi. Mereka menutup perbatasan setelah menjanjikan bantuan kemanusiaan. Mereka menyerang rumah sakit setelah mengaku sedang “mengevaluasi situasi keamanan”.
Seperti halnya Bani Israil di zaman Musa yang berkata, “Kami dengar, tapi kami langgar,” Israel modern berkata, “Kami tanda tangani, tapi kami tafsirkan.”
---
Ketegangan Amerika dan Politik Dua Lidah
Gencatan senjata Oktober 2025 juga menyingkap satu hal yang selama ini tertutup kabut diplomasi: ketegangan internal dalam hubungan AS-Israel. Di bawah tekanan publik global, Washington terpaksa menekan Tel Aviv untuk menghentikan serangan. Namun di balik layar, mereka tetap mengirim senjata, dukungan intelijen, dan veto diplomatik di PBB.
Dengan kata lain, AS memainkan dua lidah: berbicara tentang perdamaian, tapi memberi bahan bakar bagi perang. Dan Israel memahami itu betul. Mereka tahu, selama bisa menekan sentimen politik domestik Amerika dengan isu “keamanan Yahudi” dan “trauma Holocaust”, mereka bisa melanggar perjanjian apa pun tanpa konsekuensi serius.
---
Dunia yang Letih dan Perlawanan yang Tidak Padam
Dunia kini letih dengan kata “gencatan senjata”. Ia diucapkan setiap tahun, tapi tidak pernah bermakna. Israel menggunakannya sebagai taktik, bukan niat. Namun yang menarik, di balik setiap pelanggaran perjanjian, selalu lahir generasi baru yang lebih teguh. Dari reruntuhan Gaza, anak-anak tumbuh dengan kesadaran bahwa keadilan tidak akan datang dari meja perundingan, tetapi dari keteguhan hati.
Mereka tidak lagi percaya pada perjanjian yang ditulis di kertas diplomasi. Mereka hanya percaya pada satu hal: bahwa penjajahan tidak bisa dirundingkan, hanya bisa diakhiri. Sejarah membuktikan, bangsa yang dikhianati berulang kali akhirnya membangun daya tahan spiritual yang tak bisa ditaklukkan oleh teknologi apa pun.
---
Epilog: Janji yang Diuji Waktu
Dari sumur Yusuf hingga reruntuhan Gaza, dari Padang Sinai hingga meja gencatan senjata di Doha, satu hal tidak berubah: bangsa yang mengaku berpegang pada janji Tuhan justru paling sering melanggarnya. Israel hari ini adalah cermin masa lalu yang hidup kembali—mengulang kisah Bani Israil yang menolak wahyu, mengganti moral dengan strategi, dan menjadikan perjanjian sebagai alat kekuasaan.
Namun sebagaimana Yusuf selamat dari sumur, Musa menyeberangi laut, dan Rasulullah ﷺ menang setelah dikepung di Madinah, sejarah juga menunjukkan bahwa pengkhianatan tidak pernah memenangkan waktu. Ia hanya menunda kekalahan.
Gencatan senjata mungkin telah dilanggar. Dunia mungkin bungkam. Tapi di reruntuhan Gaza, di mata anak-anak yang kehilangan segalanya, janji kebenaran itu tetap hidup—lebih kuat dari semua perjanjian yang pernah mereka khianati.
0 komentar: