Sejarah Indonesia Perangi Israel Melalui Olahraga
Ketika Prinsip Konstitusi Bertemu di Arena Olimpiade
“Olahraga adalah bahasa universal yang menyatukan manusia.”
Demikian slogan yang kerap diucapkan di panggung Olimpiade.
Namun, di Jakarta pada Oktober 2025, bahasa itu tergagap. Bukan karena medali atau skor,
tetapi karena keadilan—kata yang kerap dielu-elukan dunia, namun hanya dijalankan bila tak menyentuh Israel.
---
Panggung Baru: Jakarta dan Surat Teguran dari Lausanne
Pertengahan Oktober 2025. Indonesia tengah bersiap menjadi tuan rumah Kejuaraan Dunia Senam Artistik ke-53 di Indonesia Arena, Senayan. Namun, enam nama pesenam Israel yang terdaftar tak menerima visa. Pemerintah menolak kehadiran mereka, dengan pertimbangan keamanan nasional, ketertiban umum, dan sensitivitas politik akibat agresi Israel di Gaza.
Langkah itu sontak menuai reaksi keras dari Komite Olimpiade Internasional (IOC) di Lausanne, Swiss. Dalam rapat Dewan Eksekutifnya (22/10/2025), IOC mengambil empat keputusan:
1. Menutup dialog dengan Komite Olimpiade Indonesia (KOI) terkait tawaran tuan rumah Olimpiade 2036.
2. Merekomendasikan semua federasi internasional tidak menggelar event di Indonesia hingga ada jaminan tertulis bahwa semua atlet—tanpa kecuali kewarganegaraan—diperbolehkan masuk.
3. Menegaskan prinsip kualifikasi Olimpiade yang menuntut “akses bebas tanpa diskriminasi.”
4. Memanggil KOI dan Federasi Senam Internasional (FIG) ke Lausanne untuk membahas situasi ini.
Dari ibukota Swiss, surat teguran itu meluncur cepat ke Jakarta.
Namun Indonesia tak gentar.
---
Suara Konstitusi dari Senayan
Di hadapan wartawan, Menteri Pemuda dan Olahraga Erick Thohir berbicara tenang.
“Kami di Kemenpora berpegang pada prinsip untuk menjaga keamanan, ketertiban umum, dan kepentingan publik dalam setiap penyelenggaraan event internasional,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa keputusan pemerintah berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya amanat untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia dan menghormati keamanan nasional.
“Prinsip ini juga berdasarkan UUD 1945 yang menghormati keamanan dan ketertiban umum, serta kewajiban Pemerintah Negara Indonesia untuk melaksanakan ketertiban dunia,” kata Erick.
Kalimat itu terdengar sederhana, tapi dalamnya melampaui sekadar diplomasi olahraga.
Indonesia sedang mengingatkan dunia bahwa tidak semua “netralitas” berarti adil, dan tidak semua “aturan global” selaras dengan nurani bangsa.
---
Kursi Kosong di Arena Senam
19 Oktober 2025. Hari pertama kejuaraan.
Lampu sorot menyala di atas matras. Kamera televisi bergulir, penonton bertepuk tangan.
Namun ada satu barisan yang kosong—kursi yang seharusnya ditempati atlet Israel.
Kosong bukan karena lupa, tapi karena sikap.
Ketua Panitia, Ita Yuliati Irawan, menyampaikan dengan lega:
“Saya pastikan pesenam Israel tidak akan ambil bagian. FIG sudah berkomunikasi dan mendukung keputusan Indonesia.”
Baginya, keputusan ini bukan bentuk perlawanan terhadap olahraga, tapi penghormatan terhadap hati nurani publik Indonesia yang terus menatap Gaza dengan air mata dan doa.
Dari Gaza, dunia melihat tenda-tenda pengungsi yang sobek diterpa angin musim gugur.
Di Jakarta, Indonesia menjawab dengan tindakan simbolik: menutup pintu bagi penjajah, membuka arena bagi yang tertindas.
---
Sejarah Panjang: Indonesia Tidak Pernah Takut
Sikap ini bukan baru. Dalam sejarah olahraga, Indonesia berulang kali menolak berhadapan dengan Israel, bahkan ketika konsekuensinya berat.
1962, Presiden Soekarno menolak keikutsertaan Israel dan Taiwan dalam Asian Games Jakarta, menegaskan bahwa “Asian Games adalah untuk Asia yang merdeka dari kolonialisme.”
1974, di Tehran, Indonesia bersama sejumlah negara Muslim menarik diri dari kompetisi ketika tim Israel diizinkan bertanding.
2023, Indonesia batal menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 FIFA setelah menolak kedatangan tim Israel.
Dan kini, 2025, Indonesia kembali menolak visa untuk atlet Israel.
Bagi bangsa ini, olahraga tidak pernah steril dari moral.
Olimpiade bukan sekadar lomba otot, melainkan cermin nurani dunia.
Dan Indonesia memilih untuk tidak mencerminkan ketidakadilan.
---
Dunia yang Membelah Diri
Indonesia tidak sendiri.
Sejumlah negara lain juga menunjukkan sikap serupa, meski dalam bentuk berbeda.
Yordania menolak bermain melawan Israel di FIBA U-19 World Cup 2025 di Swiss, memutuskan mundur sebagai bentuk protes atas serangan di Gaza (Reuters, 30 Juni 2025).
Kuwait, sejak 2010-an, melarang warganya menghadapi atlet Israel di kompetisi internasional mana pun.
Aljazair dan Iran berulang kali menarik atletnya dari pertandingan melawan Israel dalam kejuaraan judo dan catur, meski harus menerima sanksi.
Libanon pada 2024 menolak visa bagi peserta Israel dalam festival film internasional, menegaskan konsistensi solidaritas politik.
Dunia tampak terbelah: sebagian memegang ideal “universalitas olahraga”, sebagian lagi memilih ideal “moralitas kemanusiaan.”
Dan di antara dua ideal itu, Indonesia memilih yang kedua.
---
IOC: Di Antara Aturan dan Keadilan
IOC berdalih: “Semua atlet harus memiliki akses yang sama untuk berkompetisi di ajang olahraga internasional. Itu prinsip dasar Olimpiade.”
Prinsip yang indah di atas kertas, tapi sering diam saat pelanggaran HAM terbesar dilakukan oleh negara yang kini mereka bela.
Di Gaza, ribuan anak terbunuh, rumah sakit dibom, dan stadion-stadion menjadi reruntuhan.
Namun IOC tak pernah mengeluarkan teguran yang setara terhadap Israel.
Maka, pertanyaan moral muncul:
Apakah “non-diskriminasi” yang dibela IOC juga berlaku bagi mereka yang tak lagi punya rumah?
Apakah “akses universal” hanya diperjuangkan bagi paspor tertentu?
Ketika dunia olahraga memaksakan netralitas di atas penderitaan, Indonesia memilih berpihak.
Dan berpihak, dalam konteks ini, bukan pelanggaran—melainkan keberanian untuk tetap manusiawi.
---
Dialog Imajinatif: Erick dan Seorang Atlet Muda
Bayangkan percakapan sederhana di ruang ganti Indonesia Arena.
“Pak Menteri,” tanya seorang atlet muda, “kenapa kita dituduh menentang semangat Olimpiade?”
Erick tersenyum tipis. “Nak, Olimpiade itu tentang kemanusiaan. Tapi ketika kemanusiaan disembunyikan di balik bendera, kita perlu mengingat siapa kita.”
“Tapi, Pak, dunia mungkin akan menghukum kita.”
“Tak apa. Bangsa ini pernah dihukum karena menolak kolonialisme. Hukuman semacam itu bukan aib—itu kehormatan.”
Percakapan itu mungkin tak pernah benar-benar terjadi,
tetapi semangatnya nyata di dada jutaan rakyat Indonesia yang menonton berita malam itu.
---
Dari Senayan ke Gaza — Bayangan yang Menyatu
Ketika IOC mengirim teguran, televisi menayangkan gambar anak Gaza berlari di antara puing.
Dunia melihat dua peristiwa yang seolah tak berkaitan, namun sebenarnya terhubung oleh satu kata: martabat.
Di satu sisi, Jakarta menolak visa demi prinsip.
Di sisi lain, Gaza kehilangan segalanya karena dunia membisu.
Maka, tindakan Indonesia menjadi gema kecil yang menyapa nurani global:
“Kalau dunia tidak mau menghentikan penindasan, maka biarlah kami berhenti berpura-pura netral.”
---
Refleksi: Ujian bagi Dunia, Bukan bagi Indonesia
Keputusan Indonesia menolak atlet Israel bukan hanya ujian bagi diplomasi kita, tetapi juga bagi dunia—apakah dunia masih mengenal makna keadilan yang utuh.
Bagi Indonesia, ujian ini telah dijawab sejak 1945: bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan penjajahan harus dihapuskan.
Maka ketika IOC menegur Indonesia karena menegakkan prinsip itu, sejarah seolah berputar kembali—seperti ketika kolonialisme dulu menuduh para pejuang kita “melanggar hukum internasional.”
Namun dari situlah Indonesia belajar: tidak semua aturan dibuat untuk kebenaran.
---
Epilog — Ketika Dunia Memilih Diam
Seorang wartawan asing bertanya di konferensi pers:
“Apakah Indonesia tidak khawatir kehilangan peluang menjadi tuan rumah Olimpiade?”
Erick Thohir menjawab singkat, “Kami tidak khawatir. Karena kami tahu apa yang kami bela.”
Jawaban itu menutup polemik, tapi membuka bab baru dalam sejarah moral bangsa.
Indonesia sekali lagi menunjukkan bahwa politik luar negeri yang bebas-aktif bukan jargon kosong, melainkan napas yang hidup—dari diplomasi hingga olahraga.
Dan ketika dunia terbelah antara pragmatisme dan nurani, Indonesia memilih berdiri di sisi nurani.
Tidak untuk menang, tetapi untuk tidak kalah di hadapan hati sendiri.
---
Penutup:
Jakarta mungkin kehilangan kesempatan menjadi tuan rumah Olimpiade.
Namun ia memenangkan sesuatu yang lebih besar dari medali—
yakni kehormatan untuk tetap berpihak pada kebenaran,
di dunia yang kian memutihkan kesalahan dengan kata “netralitas.”
Karena sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an:
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang zalim, yang menyebabkan kamu disentuh api neraka.”
(QS. Hūd: 113)
Dan Indonesia, dengan segala resiko, telah memilih untuk tidak cenderung.
0 komentar: