Kekaguman Ilmuwan Rusia terhadap Peradaban Islam
Di antara deretan orientalis besar yang menulis tentang dunia Islam pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, nama Vasily Vladimirovich Bartold (1869–1930) menempati tempat yang istimewa. Ia bukan hanya seorang ahli sejarah dan filologi dari Rusia, tetapi juga seorang peneliti yang mencoba menatap Islam bukan sebagai “objek kolonial” atau “musuh teologis”, melainkan sebagai peradaban besar yang membentuk dunia lama dan memberi pengaruh mendalam terhadap sejarah manusia.
Karyanya yang terkenal, The History of Islamic Civilization (atau dalam versi Arabnya Tārīkh al-Ḥaḍārah al-Islāmiyyah), bukanlah sekadar kronik politik kekhalifahan, melainkan renungan sejarah tentang jiwa peradaban Islam — bagaimana ia lahir dari gurun tandus Jazirah Arab, tumbuh melalui iman, pengetahuan, dan administrasi yang cemerlang, lalu mewariskan sinar kebudayaan yang masih terasa hingga kini.
Bartold menulis dengan nada ilmiah yang dingin khas akademisi Rusia, tetapi di antara baris-baris karyanya terselip kekaguman yang dalam terhadap keteraturan sosial, semangat ilmiah, dan moralitas Islam. Ia melihat Islam sebagai satu-satunya peradaban besar yang berhasil menyatukan tiga unsur yang jarang berdampingan dalam sejarah manusia: iman yang kokoh, akal yang dinamis, dan sistem pemerintahan yang rasional.
---
1. Islam Sebagai Kebangkitan dari Padang Pasir
Bartold memulai bukunya dengan melukiskan dunia Arab pra-Islam: masyarakat badui yang keras, terpecah, dan hidup di bawah hukum suku. Dalam keadaan yang oleh sejarawan Barat sering disebut “masa kegelapan padang pasir”, muncul risalah yang mengubah segalanya — Islam.
Bagi Bartold, kemunculan Islam bukanlah peristiwa religius semata, tetapi ledakan moral dan sosial yang mengguncang peradaban lama. Ia menulis bahwa Nabi Muhammad ﷺ “mengubah arah sejarah bukan dengan menundukkan bangsa-bangsa lewat kekerasan, tetapi dengan mengikat hati mereka pada satu cita moral yang sama: tauhid dan keadilan.”
Dalam pandangannya, Islam telah melakukan sesuatu yang gagal dicapai oleh Romawi dan Bizantium: menyatukan wilayah luas dengan semangat kesetaraan spiritual. Tidak ada kelas imam yang menindas, tidak ada ras yang diistimewakan, dan tidak ada sistem kasta. Prinsip bahwa “semua manusia setara di hadapan Tuhan” menjadi kekuatan moral yang menembus batas bangsa dan bahasa.
Dari padang pasir Makkah dan Madinah, gelombang Islam menjalar ke Syria, Persia, Mesir, hingga Spanyol. Namun, Bartold menolak pandangan simplistis bahwa “Islam menyebar dengan pedang”. Ia justru menulis: “Kekuatan Islam terletak bukan pada pedangnya, tetapi pada hukumnya — pada kemampuan peradaban ini menata masyarakat dengan prinsip moral yang sederhana namun efektif.”
---
2. Kekhalifahan dan Lahirnya Administrasi Dunia Baru
Dalam bagian berikutnya, Bartold menelusuri perkembangan kekhalifahan dari Abu Bakar hingga Abbasiyah. Ia melihat masa-masa awal ini bukan sekadar ekspansi politik, tetapi pembentukan tata dunia baru yang berlandaskan nilai-nilai keadilan sosial.
Ia mencatat kekagumannya terhadap sistem administrasi pemerintahan Islam, terutama pada masa Umar bin Khattab. “Tidak ada kekaisaran kuno,” tulis Bartold, “yang mengatur gaji, pajak, dan kesejahteraan rakyatnya sejelas dan seimbang seperti yang dilakukan Khalifah Umar.”
Dalam analisisnya, Bartold menunjukkan bahwa Islam bukan hanya agama ibadah, tetapi juga agama tata kelola (administrative religion) — yang mengubah masyarakat dari anarki kesukuan menjadi masyarakat hukum. Ia menyebut lembaga Diwan, sistem pencatatan pajak, dan pengelolaan tanah sebagai “inovasi sosial terbesar setelah hukum Romawi.”
Namun yang paling dikaguminya adalah etos kerja dan tanggung jawab moral para pemimpin awal Islam. Mereka memerintah dengan kesadaran bahwa kekuasaan bukan hak, melainkan amanah. Dalam catatan reflektifnya Bartold menulis, “Ketika para khalifah mencontoh Muhammad dalam kesederhanaan dan keadilan, dunia Islam makmur; ketika mereka meniru kaisar Romawi dalam kemewahan, keruntuhan mulai tiba.”
---
3. Baghdad: Kota Ilmu, Cahaya dari Timur
Tidak ada bagian dalam bukunya yang ditulis dengan nada lebih hangat daripada bab tentang Baghdad. Bagi Bartold, Baghdad adalah simbol tertinggi dari sintesis iman dan ilmu. Di sinilah Islam, Persia, dan Yunani bertemu; di sinilah logika bertaut dengan wahyu, dan ilmu menjadi ibadah.
Ia menulis panjang tentang Bayt al-Hikmah, rumah kebijaksanaan yang didirikan Khalifah al-Ma’mun, tempat ribuan naskah Yunani, Persia, dan India diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Dari sini lahir astronomi al-Battani, kedokteran Ibnu Sina, matematika al-Khawarizmi, dan filsafat al-Farabi.
“Jika Eropa mengenal Aristoteles,” tulis Bartold, “itu karena tangan-tangan Muslim Baghdad menyelamatkan warisan itu dari debu zaman.”
Baghdad bagi Bartold bukan hanya kota ilmu, tetapi cermin dari jiwa Islam itu sendiri: terbuka terhadap pengetahuan, tapi tetap berakar pada moral. Ia mengagumi bagaimana para ulama dan ilmuwan bisa hidup berdampingan — masjid di sebelah observatorium, madrasah di samping perpustakaan — tanpa harus memisahkan agama dari ilmu pengetahuan.
Bagi Bartold, inilah paradoks yang indah dari Islam: sebuah peradaban yang lahir dari wahyu, namun tidak pernah menutup pintu bagi akal.
---
4. Peran Persia dan Turki dalam Menyempurnakan Dunia Islam
Salah satu sumbangan besar Bartold terhadap studi Islam adalah penolakannya terhadap pandangan bahwa Islam hanyalah peradaban Arab. Dalam bukunya, ia menunjukkan bahwa kejayaan Islam adalah hasil kolaborasi besar antara tiga bangsa utama: Arab, Persia, dan Turki.
Bangsa Arab, katanya, membawa semangat iman dan bahasa wahyu; bangsa Persia membawa tradisi birokrasi dan kebudayaan tinggi; sedangkan bangsa Turki membawa kekuatan militer dan kemampuan mempertahankan tatanan politik luas.
Ia menulis dengan nada kagum terhadap bangsa Persia, yang setelah menerima Islam justru memperkaya dunia Islam dengan sastra, filsafat, dan sistem pemerintahan yang rasional. “Orang Persia,” tulisnya, “tidak menentang Islam, mereka menafsirkannya dengan kecerdasan.”
Tentang bangsa Turki, Bartold memberi penghormatan yang jarang muncul dalam tulisan orientalis Barat. Ia menyebut mereka sebagai “penjaga perbatasan peradaban Islam” — bangsa yang memikul tanggung jawab berat mempertahankan dunia Islam dari serangan luar selama berabad-abad.
Kekaisaran Seljuk, Utsmani, dan bahkan Mamluk, dalam pandangan Bartold, bukanlah kemunduran dari semangat Islam awal, melainkan adaptasi geopolitik yang menjaga dunia Islam tetap eksis di tengah perubahan zaman. Ia menulis, “Ketika Baghdad runtuh oleh Mongol, Turki-lah yang menjaga obor Islam tetap menyala di Barat.”
---
5. Invasi Mongol dan Ketahanan Spiritualitas Islam
Bartold, sebagai sejarawan Rusia, menaruh perhatian besar pada invasi Mongol dan pengaruhnya terhadap dunia Islam. Ia melihat peristiwa ini bukan hanya tragedi, tetapi juga ujian terbesar bagi daya hidup peradaban Islam.
Ketika Baghdad dihancurkan pada tahun 1258, Eropa mengira Islam telah berakhir. Tetapi yang terjadi sebaliknya: Islam justru bangkit kembali dari reruntuhan. Dalam analisis Bartold, kebangkitan ini hanya mungkin karena fondasi Islam bukan terletak pada kota atau istana, melainkan pada iman dan ilmu yang tersebar di hati dan madrasah.
Ia kagum pada fenomena konversi bangsa Mongol ke Islam, yang ia sebut sebagai “peristiwa spiritual paling menakjubkan dalam sejarah Eurasia.” Bangsa penakluk yang datang dengan pedang, akhirnya menundukkan diri pada Al-Qur’an.
“Tidak ada agama,” tulis Bartold, “yang mampu menaklukkan para penakluk sebagaimana Islam menaklukkan Mongol.”
Bagi Bartold, hal ini menunjukkan daya moral Islam yang luar biasa — kekuatan yang bukan terletak pada hukum atau paksaan, tetapi pada kedalaman spiritualnya.
---
6. Dunia Islam Setelah Abad ke-15: Dinamika dan Tantangan
Dalam bagian akhir bukunya, Bartold menelusuri masa-masa setelah abad ke-15 — munculnya kekaisaran Turki Utsmani, Safawi di Iran, dan Mughal di India. Ia menggambarkan bagaimana dunia Islam tetap menjadi salah satu poros utama peradaban dunia, meski mulai menghadapi tekanan dari kebangkitan Eropa.
Namun, ia menolak pandangan bahwa “dunia Islam merosot sepenuhnya.” Bagi Bartold, Islam tidak mati — ia bertransformasi.
Kekaisaran Utsmani misalnya, ia sebut sebagai “sintesis terakhir kekuatan Islam.” Bartold menulis dengan kagum tentang bagaimana para sultan Turki memadukan hukum syariat dengan sistem militer modern dan birokrasi profesional.
Ia mencatat: “Di saat Eropa masih berperang antar-kerajaan kecil, Istanbul telah menjadi pusat pemerintahan yang mampu mengatur tiga benua.”
Namun Bartold juga jujur mencatat kelemahan internal yang mulai muncul — stagnasi intelektual, kemewahan istana, dan penurunan semangat ilmiah. Ia melihat bahwa “kemunduran Islam bukan karena kehilangan wahyu, melainkan karena umatnya mulai berhenti belajar dari wahyu.”
---
7. Islam Sebagai Peradaban Universal
Kesimpulan besar Bartold adalah bahwa Islam adalah peradaban universal, bukan agama lokal bangsa Arab. Ia menulis:
“Islam telah menciptakan masyarakat dunia pertama — dari Andalusia hingga Samarkand, dari Afrika hingga Hindustan — yang diikat oleh bahasa ilmu dan hukum yang sama.”
Dalam pandangan Bartold, dunia Islam telah lebih dulu mencapai apa yang baru dicita-citakan oleh Eropa modern: persaudaraan umat manusia di bawah satu moralitas bersama.
Bahasa Arab menjadi bahasa ilmu dunia; universitas di Baghdad, Kairo, dan Cordoba menjadi pusat global; dan nilai-nilai keadilan Islam menjadi inspirasi bagi sistem hukum Timur dan Barat.
Baginya, inilah peradaban yang berhasil menyatukan dunia lama tanpa harus meniadakan perbedaan — pluralitas dalam kesatuan spiritual.
---
8. Kekaguman Bartold terhadap Moralitas Islam
Di antara seluruh pengamat Eropa Timur tentang Islam, Bartold termasuk yang paling jujur dalam mengakui keunggulan moral Islam. Ia menulis bahwa masyarakat Islam pada masa keemasannya menampilkan “tingkat kemanusiaan dan kesantunan sosial yang jarang dijumpai di Eropa Abad Pertengahan.”
Ia menilai sistem zakat, larangan riba, perlakuan terhadap budak, dan penghormatan terhadap ilmu sebagai pilar moral yang membuat dunia Islam stabil berabad-abad.
Tentang etika Rasulullah ﷺ, Bartold menulis dengan nada kekaguman tulus:
“Tidak ada tokoh dalam sejarah manusia yang lebih berhasil menyatukan kesucian spiritual dengan efektivitas sosial seperti Muhammad. Ia adalah nabi dan negarawan sekaligus.”
Bagi Bartold, Islam bukan hanya sistem teologis, tetapi etika hidup yang memuliakan manusia. Ia bahkan menilai, jika dibandingkan dengan Eropa abad pertengahan yang tenggelam dalam perbudakan dan intoleransi agama, dunia Islam justru tampil lebih rasional dan manusiawi.
“Ketika Eropa membakar ilmuwan di tiang gereja,” tulisnya, “Islam memberi mereka ruang di madrasah dan istana.”
---
9. Kritik dan Realisme Bartold
Namun Bartold tidak menulis dengan romantisme buta. Ia juga mencatat sisi gelap sejarah Islam: perang saudara, konflik mazhab, dan kemunduran ilmiah. Tetapi ia menolak menjadikan semua itu sebagai bukti kegagalan Islam.
“Setiap peradaban,” tulisnya, “mengandung siklus: lahir, jaya, lalu melemah. Yang membedakan Islam adalah bahwa setiap kali ia jatuh, ia bangkit kembali dari dalam.”
Baginya, Islam memiliki renewal force — kekuatan pembaruan internal yang membuatnya terus hidup di tengah perubahan zaman. Ia menyebutnya sebagai spiritual resilience: ketahanan iman yang mampu melahirkan kebangkitan demi kebangkitan, dari Abbasiyah hingga Utsmani.
---
10. Warisan Intelektual Bartold
Karya Bartold kemudian menjadi jembatan penting bagi studi peradaban Islam di Rusia dan Eropa Timur. Ia mempengaruhi generasi sejarawan setelahnya — dari orientalis Jerman hingga akademisi Asia Tengah — untuk melihat Islam tidak lagi sebagai “peradaban lain”, tetapi sebagai bagian integral dari sejarah dunia.
Di balik gaya analisisnya yang kering, tersembunyi rasa hormat yang dalam terhadap keseimbangan Islam antara agama, ilmu, dan pemerintahan. Ia sering menulis bahwa “di mana Islam teguh pada moralnya, di sanalah ia menjadi cahaya bagi dunia.”
Bagi Bartold, peradaban Islam adalah bukti bahwa manusia bisa membangun dunia besar tanpa kehilangan iman; bisa berakal tinggi tanpa kehilangan hati; dan bisa berkuasa luas tanpa menindas manusia lain.
---
11. Islam dan Dunia Modern
Menjelang akhir hayatnya, Bartold menyaksikan dunia modern mulai terpecah oleh ideologi, nasionalisme, dan materialisme. Dalam konteks itu, ia melihat Islam sebagai alternatif moral bagi peradaban yang kehilangan jiwa.
Ia menulis dengan nada reflektif:
“Peradaban yang membangun dirinya di atas ilmu tetapi melupakan moral akan berakhir dalam kehancuran. Islam pernah menunjukkan bahwa iman dan ilmu dapat hidup berdampingan.”
Pandangan ini membuat banyak sarjana modern menilai Bartold bukan hanya sejarawan, tetapi juga penyaksi keagungan spiritual Islam di tengah zaman rasionalisme.
---
Penutup: Islam dalam Mata Bartold, Cermin bagi Dunia
Karya Bartold, meski ditulis lebih dari seabad lalu, tetap relevan bagi zaman kini. Ia mengajarkan bahwa Islam bukan fenomena masa lalu, tetapi fondasi moral bagi masa depan dunia yang mencari keseimbangan antara iman dan akal.
Dari gurun Makkah hingga menara Istanbul, dari Baghdad ke Samarkand, dari Andalusia hingga Asia Tengah — Bartold melihat satu benang merah: peradaban Islam tumbuh bukan karena kekayaan atau senjata, tetapi karena akhlak.
Dalam kesimpulan moralnya yang terkenal, ia menulis:
“Selama Islam menjaga moralnya, ia akan tetap menjadi sumber cahaya bagi manusia. Sebab peradaban sejati bukanlah menaklukkan bumi, melainkan menundukkan nafsu.”
Begitulah, dari tangan seorang orientalis Rusia yang hidup di antara salju dan salib, lahir kesaksian lembut tentang kehangatan Islam yang menyalakan dunia. Bartold tidak sekadar menulis sejarah Islam — ia menulis sejarah kemuliaan manusia yang menemukan maknanya di bawah naungan wahyu.
0 komentar: