Netanyahu: Diselamatkan oleh Perang, Bukan Memimpin Perang
I. Bayangan di Balik Panggung
“Setiap penguasa punya jam pasirnya,” bisik sejarah dalam lorong waktu Yerusalem.
“Dan butiran itu kini jatuh satu per satu di tangan Benjamin Netanyahu.”
Ia duduk di kursi kekuasaan lebih lama dari siapa pun dalam sejarah Israel modern. Namun kini, di tengah jeritan Gaza dan kegaduhan internal negerinya, jam pasir itu tampak menumpahkan butir terakhirnya lebih cepat dari yang ia sangka.
Sejak Oktober 2023, ketika Gaza menjelma nisan bagi lebih dari 65.000 jiwa, Netanyahu menjadi tokoh paling dibenci dan paling dipertahankan sekaligus. Ia diserang di jalanan Tel Aviv, diadili di ruang pengadilan Yerusalem, dan dikejar oleh sejarah yang menulis ulang naskahnya sendiri.
Kini, pada tahun 2025, survei demi survei menampar wajah kekuasaan yang dulu begitu kokoh itu. Channel 12 Israel melaporkan bahwa lebih dari 70% warga Israel menolak Netanyahu mencalonkan diri kembali sebagai perdana menteri. Hanya sekitar 16% yang masih menganggapnya “pemimpin tak tergantikan di masa perang.”
“Rakyatku tak lagi melihatku sebagai penyelamat,” seolah terdengar bisikan getir Netanyahu dalam catatan kolumnis Haaretz, Amos Harel. “Mereka melihatku sebagai penghalang masa depan.”
Dan di situlah tragedi kekuasaan bermula — ketika seseorang masih ingin menulis bab baru, sementara sejarah sudah menutup bukunya.
---
II. Empat Hari dalam Seminggu di Pengadilan
Ironi besar kini mengitari sosok yang dulu dijuluki Mr. Security.
Ketika sirene perang meraung di langit Gaza, Netanyahu sendiri sibuk menangkis tuduhan di ruang sidang Yerusalem. Ia tidak lagi hanya berperang melawan musuh di luar, tetapi juga melawan hukum di dalam.
Setiap minggu, empat kali ia hadir di Pengadilan Distrik Yerusalem, menghadapi tiga kasus besar yang menyeretnya selama enam tahun terakhir:
1. Kasus 1000 – Hadiah dari Miliarder
Tuduhan menerima cerutu, sampanye, dan perhiasan senilai ratusan ribu dolar dari dua konglomerat — Arnon Milchan dan James Packer — sebagai balas jasa pribadi.
2. Kasus 2000 – Kesepakatan Media
Dugaan persekongkolan dengan Arnon Mozes, pemilik harian Yedioth Ahronoth, agar memberitakan Netanyahu secara positif dengan imbalan pembatasan oplah pesaingnya, Israel Hayom.
3. Kasus 4000 – Skandal Bezeq-Walla
Tuduhan paling berat: Netanyahu diduga memberi keuntungan regulasi kepada perusahaan telekomunikasi Bezeq milik Shaul Elovitch, dengan imbalan liputan positif di portal berita Walla! News.
Menurut The Times of Israel, sidang kini berjalan empat kali seminggu—tercepat sepanjang sejarah hukum Israel. “Netanyahu hidup di dua dunia,” tulis media itu, “satu di ruang sidang, satu di ruang perang.”
Dan ironinya: di kedua dunia itu, ia kehilangan kendali.
Ia bukan lagi panglima yang menentukan arah; ia sekadar pemain yang berusaha menunda kekalahan.
---
III. Israel yang Retak dari Dalam
Pemerintahan Netanyahu kini ibarat kapal tua yang bocor di tengah badai.
Menteri-menterinya saling menuding, agenda koalisi tercerai-berai.
Yoav Gallant, Menteri Pertahanan, ingin membuka ruang bagi otoritas Palestina di Gaza.
Namun Itamar Ben-Gvir dan Bezalel Smotrich, dua menteri ultranasionalis, menolak keras — bahkan menyerukan “pemindahan massal” warga Gaza ke Sinai.
Survei Maariv bulan ini menunjukkan bahwa jika pemilu digelar hari ini, koalisi Netanyahu hanya akan meraih 42 kursi dari 120, sementara oposisi yang dipimpin Benny Gantz melonjak ke 73 kursi.
Angka itu bukan sekadar statistik — ia adalah vonis politik.
Profesor Reuven Hazan dari Universitas Ibrani Yerusalem menjelaskan kepada Al Jazeera:
“Netanyahu kehilangan tiga pilar legitimasi: militer, moral, dan publik. Ia masih berkuasa hanya karena sistem politik Israel sulit menjatuhkan pemimpin di masa perang.”
Namun bahkan perang kini tidak lagi menjadi tamengnya.
Setiap bom yang jatuh ke Gaza, setiap anak yang terbunuh, menggerus fondasi moral yang selama ini ia klaim sebagai “pertahanan diri.”
Ia tidak memimpin perang — ia diselamatkan oleh perang.
Tanpa perang, pengadilannya akan menelanjangi semuanya.
---
IV. Dunia yang Mulai Menutup Pintu
Dunia pun mulai menatapnya dengan jenuh.
Pada Mei 2025, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) menyebut nama Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant dalam penyelidikan awal atas dugaan kejahatan perang.
Di Washington, angin juga berbalik arah. Meski Donald Trump kembali ke Gedung Putih, tekanan dari Kongres dan opini publik AS meningkat tajam.
“Amerika tidak bisa terus membela seorang pemimpin yang membom kamp pengungsi,” ujar Bernie Sanders di CNN.
Bahkan Joe Biden, sebelum lengser, sempat berkata lirih:
“Netanyahu membuat Israel kehilangan hati dunia.”
Dari Paris, Emmanuel Macron menyebut kepemimpinannya “tidak kompatibel dengan perdamaian.”
Dari Ankara, Recep Tayyip Erdoğan menjulukinya “penjahat perang yang menolak takdir.”
Dan bahkan dari Qatar dan Mesir — mediator gencatan senjata — datang jarak dingin. Mereka tak lagi menemuinya langsung, seakan tahu, kekuasaan yang diselamatkan oleh perang tak akan bertahan oleh waktu.
---
V. Ketika Takdir Menutup Panggung
Namun kejatuhan Netanyahu bukan sekadar peristiwa politik — ia adalah drama metafisik kekuasaan.
Pada 1990-an, ia muncul sebagai bintang muda Israel: cerdas, artikulatif, fasih berbahasa Inggris. Dunia menyambutnya sebagai wajah baru Zionisme “modern dan moderat.” Ia menjual narasi “Israel korban yang berhak membela diri.”
Dunia percaya.
Kini, di usia 76 tahun, dunia melihat wajah lain: penguasa yang berlindung di bunker, menekan jaksa, menunda sidang, dan memanipulasi perang untuk memperpanjang masa jabatan.
Ia bukan lagi “Mr. Security.”
Ia hanyalah Mr. Survival.
Kolumnis Haaretz menulis pahit:
“Netanyahu tidak lagi memimpin perang — peranglah yang menyelamatkannya dari keadilan.”
Dan sejarah, seperti biasa, sabar menunggu.
Sebagaimana Fir‘aun diselamatkan jasadnya agar menjadi pelajaran, mungkin Netanyahu pun akan “selamat secara politik” — tapi hanya untuk menjadi cermin bagi kebangkrutan moral Zionisme.
---
VI. Dialog Sejarah dan Nurani
“Apakah semua ini kebetulan?” tanya nurani.
“Tidak,” jawab sejarah. “Ini hukum sebab akibat yang tak pernah meleset.”
Al-Qur’an mengingatkan:
“Dan di antara manusia ada yang mengingkari janji setelah mengikatnya dengan kuat, dan mereka memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk disambung. Mereka itulah orang-orang yang dilaknat, dan bagi mereka tempat yang buruk.”
(QS. Ar-Ra‘d: 25)
Ayat itu terasa hidup di Yerusalem hari ini.
Netanyahu menjanjikan keamanan, tapi menabur ketakutan.
Ia menjanjikan kekuatan, tapi menanam kehancuran.
Ia menjanjikan masa depan, tapi meninggalkan kehampaan.
Profesor Avi Shlaim, sejarawan Oxford keturunan Yahudi-Irak, menulis:
“Netanyahu adalah puncak kontradiksi moral Israel. Ia ingin negaranya aman, tapi hidup dari ketakutan. Ia ingin dikenang, tapi sejarah akan menghapusnya sebagai tiran kecil di antara reruntuhan Gaza.”
---
VII. Gaza: Cermin Kekuasaan yang Retak
Dunia melihat Gaza, tapi yang sesungguhnya tercermin di sana adalah Israel sendiri.
Setiap rumah yang runtuh di Gaza adalah serpihan narasi kekuasaan Netanyahu yang ikut runtuh.
Ketika anak-anak Gaza masih mengangkat bendera Palestina di antara puing, itu bukan hanya tanda perlawanan, tapi pertanda kematian ideologi yang menindas mereka.
Netanyahu mungkin bisa membungkam suara Hamas, tapi tidak bisa membungkam gema moral yang lahir dari penderitaan.
Bahkan ketika Hamas kini bersedia menyerahkan pemerintahan Gaza — sebagaimana diungkap PM Qatar Mohammed bin Abdulrahman Al-Thani — mereka tetap menolak perlucutan senjata tanpa jaminan keadilan.
Karena mereka tahu, senjata bisa diserahkan, tapi martabat tidak.
Dan di situlah Netanyahu kalah — bukan di medan perang, tapi di medan makna.
---
VIII. Epilog: Lonceng Takdir
Malam di Yerusalem kian sunyi.
Di luar gedung pengadilan, seorang perempuan tua menyalakan lilin sambil berbisik:
“Zeman lo olam” — waktu bukan untuk selamanya.
Netanyahu mungkin masih punya tentara, panggung, dan sekutu, tapi sejarah telah menulis bab penutupnya.
Kekuasaan tanpa nurani hanya menunda kehancuran, bukan menghindarinya.
Seorang jurnalis muda Haaretz menulis kalimat akhir yang menggema di ruang sunyi itu:
“Mungkin Netanyahu akan dikenang bukan karena apa yang ia bangun, melainkan karena apa yang runtuh di bawah pemerintahannya: Gaza, demokrasi, dan hati bangsanya sendiri.”
Dan sejarah pun berbisik lirih:
“Beginilah nasib penguasa yang menandatangani perjanjian atas nama keamanan, lalu mengkhianatinya atas nama kekuasaan.”
0 komentar: