Ragam Jaringan Amal untuk Rakyat Gaza
“Kadang, di dunia yang penuh batas politik, tangan-tangan kasih melintasi tembok yang bahkan bom pun tak bisa runtuhkan.”
---
1. Ketika Amal Menjadi Jalan Hidup di Tengah Blokade
Sejak perang Gaza kembali berkobar pasca serangan 7 Oktober 2023, dunia menyaksikan dua wajah dari satu realitas: kehancuran dan solidaritas. Di tengah reruntuhan rumah dan langit yang dipenuhi drone, aliran bantuan terus mengalir — tidak hanya dari negara, tetapi dari ribuan lembaga amal, komunitas, dan individu di seluruh dunia.
Dari kampus kecil di Inggris hingga pesantren di Indonesia, dari lembaga internasional di Qatar hingga yayasan di Turki, semuanya berlomba menyalurkan bantuan untuk rakyat Gaza.
Namun di balik semangat itu, dunia juga berhadapan dengan dilema lama: batas antara amal, politik, dan perang yang kian kabur.
---
2. Sejarah Panjang Amal Palestina
Sejak Intifada pertama pada akhir 1980-an, jaringan amal Palestina tumbuh menjadi sistem sosial yang kompleks. Di masa awal, lembaga-lembaga seperti Islamic Charity Society Hebron atau Al-Salah Islamic Society Gaza berdiri untuk membantu keluarga syuhada, yatim piatu, dan korban penggusuran.
Ketika pemerintahan sipil di Gaza melemah, lembaga amal mengambil peran negara: membuka sekolah, rumah sakit, dapur umum, hingga sistem distribusi bahan pokok.
Bagi banyak rakyat Palestina, lembaga amal bukan sekadar penyedia bantuan — melainkan jantung sosial yang menjaga keberlangsungan hidup dan martabat.
Namun, seiring waktu, sistem ini juga menjadi bagian dari strategi bertahan sebuah bangsa yang terkurung.
Beberapa organisasi internasional mencurigai bahwa sebagian lembaga amal, terutama yang berafiliasi dengan kelompok politik, digunakan untuk menopang logistik perang.
Dari sinilah kontroversi bermula.
---
3. Dari London hingga Doha: Jaringan Amal yang Melintasi Benua
Menurut laporan dari berbagai kantor berita — Reuters, Al Jazeera, The Guardian, dan AP News — jaringan amal yang bekerja untuk rakyat Gaza dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok besar:
a. Lembaga Amal Internasional dan Kemanusiaan Resmi
Termasuk UNRWA (United Nations Relief and Works Agency), ICRC (Palang Merah Internasional), Save the Children, dan Médecins Sans Frontières.
Mereka beroperasi dengan mandat kemanusiaan dan audit internasional ketat, menyediakan layanan medis, pendidikan, dan sanitasi.
UNRWA, misalnya, mengelola lebih dari 280 sekolah di Gaza dan menampung lebih dari satu juta pengungsi.
Namun lembaga ini juga menjadi sasaran tuduhan dari Israel yang menuding beberapa pegawainya terlibat dalam kegiatan militan. UNRWA menolak tuduhan itu dan menegaskan komitmennya terhadap prinsip netralitas.
Kasus ini menunjukkan betapa kaburnya batas antara “amal” dan “politik” di wilayah perang.
b. Lembaga Amal Non-Pemerintah dan Komunitas Global
Termasuk organisasi seperti Qatar Charity, Turkiye Diyanet Foundation, Islamic Relief Worldwide (UK), dan Human Appeal.
Mereka memiliki jaringan luas di dunia Muslim dan Barat, menyalurkan bantuan logistik dan pendidikan dengan jalur diplomatik atau relawan lokal.
Qatar Charity, misalnya, mengelola proyek rumah sakit dan air bersih di Gaza senilai jutaan dolar AS.
Sementara Islamic Relief yang berbasis di Inggris telah menyalurkan dana darurat dan program penghidupan untuk lebih dari 400.000 warga Gaza sejak 2023.
Namun, sebagian lembaga seperti Interpal dan Holy Land Foundation (HLF) menjadi contoh bagaimana amal bisa terjebak dalam tuduhan politik.
HLF, yang berbasis di Amerika, ditutup pada 2008 setelah pengadilan federal menyatakan bahwa sebagian dananya digunakan untuk mendukung aktivitas Hamas.
Interpal, di sisi lain, dilarang oleh Amerika Serikat namun tetap legal di Inggris setelah investigasi otoritas amal menyatakan bukti tidak cukup.
Di sinilah dilema moral muncul:
apakah menyalurkan zakat kepada keluarga syuhada di Gaza adalah amal atau dukungan politik?
---
4. Jaringan Amal Teluk dan Dunia Muslim
Dunia Arab — khususnya Qatar, Kuwait, dan Turki — menjadi sumber vital bagi jaringan bantuan kemanusiaan Gaza.
Banyak lembaga berbasis keagamaan yang menyalurkan bantuan dari sumbangan masyarakat, termasuk Kuwait Red Crescent, Qatar Fund for Development, dan Turkiye’s AFAD.
Laporan Al Jazeera (2025) mencatat bahwa lebih dari 70% bantuan kemanusiaan Gaza pada paruh pertama tahun 2025 berasal dari lembaga dan negara Teluk.
Namun Israel menuduh sebagian jaringan ini menyalurkan dana ke kelompok militer Palestina.
Sebaliknya, pemerintah-pemerintah Teluk menegaskan bahwa semua bantuan mereka bersifat sipil dan di bawah pengawasan internasional.
Refleksi penting muncul di sini:
di dunia Islam, “amal” tidak pernah netral secara spiritual. Ia lahir dari keyakinan bahwa menolong saudara seiman adalah bagian dari jihad kemanusiaan.
Tetapi dalam sistem global yang dikontrol oleh narasi keamanan Barat, keyakinan itu sering dicurigai.
---
5. Jalur Bayangan: Amal di Era Digital dan Crypto
Di era baru, solidaritas untuk Gaza juga mengambil bentuk modern.
Mulai dari kampanye daring seperti #DonateForGaza, #WaterForPalestine, hingga platform seperti LaunchGood dan GoFundMe yang menggalang dana dari diaspora Muslim dan aktivis hak asasi.
Namun teknologi juga membawa tantangan.
Laporan Reuters (2024) dan AP (2025) mengungkap penggunaan cryptocurrency untuk mengalirkan dana ke Gaza melalui jaringan hawala digital — sistem transfer tanpa bank formal.
Amerika Serikat dan Uni Eropa kini meningkatkan pengawasan terhadap dompet kripto yang diduga terkait dengan kelompok bersenjata.
Dalam banyak kasus, publik hanya ingin menyalurkan bantuan kemanusiaan, tetapi dalam konteks perang yang penuh sensor dan embargo, ke mana uang itu akhirnya sampai — sering kali tak bisa dipastikan.
---
6. Ketika Amal Menjadi Benteng Martabat
Di luar semua tuduhan dan politik, ada fakta yang tak bisa disangkal:
tanpa jaringan amal — sekecil apa pun — Gaza sudah lama tenggelam dalam kelaparan dan penyakit.
Di kota Khan Younis, misalnya, dapur umum yang dijalankan oleh relawan Turki tetap beroperasi di bawah serangan.
Di Rafah, dokter dari Islamic Relief menolong bayi lahir di tenda.
Di kamp pengungsi Jabalia, relawan Qatar Charity menyalakan kembali sumur air.
Mereka bukan pasukan bersenjata. Mereka adalah pejuang kemanusiaan — membawa nasi, bukan senjata; membawa air, bukan amarah.
Mungkin inilah wajah sejati “jihad” yang jarang disorot media: keteguhan menyalakan kehidupan di tengah kematian.
---
7. Amal yang Membentuk Kesadaran Dunia
Bantuan untuk Gaza kini bukan hanya soal uang, tetapi soal narasi.
Setiap donasi adalah bentuk penolakan terhadap keputusasaan.
Ketika influencer, atlet, atau pelajar di Eropa menggalang dana untuk Gaza, mereka sebenarnya sedang menulis ulang peta empati global.
Hashtag seperti #GazaUnderAttack, #PrayForPalestine, dan #IStandWithGaza telah menjadi arus moral yang menembus batas bangsa.
Sementara di sisi lain, Israel dan kelompok advokasinya menuduh banyak kampanye ini menyebarkan “narasi kebencian” atau bahkan “antisemitisme terselubung”.
Kenyataannya: solidaritas terhadap Gaza tak selalu berarti permusuhan terhadap Israel.
Ia bisa berarti panggilan kemanusiaan — bahwa penderitaan siapa pun, di mana pun, tetap mengusik nurani bersama.
---
8. Refleksi: Amal, Politik, dan Nurani Dunia
Pertanyaan yang sulit selalu muncul:
bisakah amal tetap murni di tengah perang?
Bisakah cinta kasih menembus sistem sanksi dan sensor?
Dunia politik boleh mencurigai, tetapi sejarah mengajarkan bahwa peradaban sering bertahan bukan karena senjata, melainkan karena kemurahan hati.
Zakat, sedekah, dan gotong royong telah menjadi “urat nadi” ketahanan sosial umat manusia.
Gaza hari ini berdiri bukan semata karena batu dan baja, tetapi karena doa dan amal yang tak henti-henti mengalir.
Di antara puing dan blokade, ada satu arus yang tak bisa diblokir: cinta kasih manusia.
---
9. Penutup: Amal yang Menghidupkan
Dalam setiap bungkusan gandum, setiap air yang diteguk anak-anak Gaza, setiap doa yang dikirim dari ribuan kilometer jauhnya — ada pesan universal:
bahwa di dunia yang kian terbelah oleh ideologi, kemanusiaan tetap bisa menyatukan.
Ragam jaringan amal untuk rakyat Gaza, dengan segala kompleksitasnya, adalah cermin bagi dunia:
kita sedang diuji — bukan hanya apakah kita bisa memberi, tapi apakah kita masih mampu percaya bahwa memberi itu berarti hidup.
0 komentar: