Takdir Para Pengkhianat: Dari Firaun hingga Israel Modern dalam Hukum Sejarah dan Geopolitik
Prolog: Ketika Janji Menjadi Batu Nisan Peradaban
Setiap peradaban berdiri di atas janji. Janji antara penguasa dan rakyatnya, antara bangsa dan sekutunya, antara manusia dan Tuhannya. Ketika janji itu ditepati, sejarah menjadi terang; ketika ia dikhianati, sejarah berubah menjadi kuburan bagi keagungan yang tak lagi memiliki ruh.
Sejarah tidak pernah melupakan pengkhianatan. Ia menyimpannya seperti catatan neraka di atas batu zaman, lalu menunggu saat yang tepat untuk menjatuhkan putusan. Dari Firaun Mesir hingga Israel modern, dari Bizantium hingga Amerika Serikat, pola itu berulang dengan irama yang menakutkan: pengkhianatan terhadap perjanjian selalu menjadi awal kehancuran geopolitik.
Arnold Toynbee, sejarawan besar Inggris, pernah menulis dalam A Study of History:
“Peradaban tidak mati karena dibunuh musuh luar, melainkan karena bunuh diri dari dalam, ketika mereka mengkhianati nilai yang membuat mereka hidup.”
Dan mungkin, inilah hukum yang paling keras dalam sejarah manusia — bahwa kekuatan yang kehilangan kepercayaan, kehilangan masa depannya.
---
1. Firaun: Ketika Kekuasaan Menipu Janji Tuhan
Perjanjian pertama dalam sejarah besar manusia terjadi bukan antara dua bangsa, melainkan antara manusia dan Tuhan. Firaun Mesir kuno melanggar perjanjian itu. Ia menolak pesan kebenaran yang dibawa Nabi Musa, menipu rakyatnya dengan simbol-simbol ilahiah palsu, dan memperbudak manusia atas nama peradaban.
Dalam terminologi geopolitik klasik, Firaun telah menghancurkan kontrak moral antara penguasa dan rakyat. Ia menjadikan kekuasaan sebagai alat pemujaan diri. Maka Tuhan mengirimkan Musa bukan hanya sebagai nabi, tapi sebagai kekuatan tandingan sejarah — sebuah counter-hegemony yang membebaskan peradaban dari tirani.
Dan ketika laut terbelah, bukan hanya tubuh Firaun yang tenggelam, tetapi seluruh sistem kekuasaan yang dibangun di atas kebohongan ikut karam bersamanya.
Ibn Khaldun menulis dalam Muqaddimah: “Setiap kekuasaan yang dibangun atas kezhaliman dan penipuan terhadap rakyat akan lenyap, karena sunnatullah tidak memberi tempat bagi kekuasaan yang melanggar keadilan.”
Kejatuhan Mesir kuno menjadi pelajaran geopolitik pertama umat manusia: bahwa pengkhianatan terhadap perjanjian moral adalah kejatuhan yang tidak bisa ditunda.
---
2. Bizantium dan Persia: Kekaisaran yang Mengkhianati Diri Sendiri
Berabad-abad kemudian, dunia menyaksikan dua raksasa geopolitik — Bizantium dan Persia — bertempur untuk supremasi. Keduanya menandatangani berbagai perjanjian damai, tapi selalu melanggarnya demi ambisi. Ketika Rasulullah ï·º mengirim surat dakwah kepada Kaisar Heraklius dan Kisra Persia, mereka menolaknya dengan kesombongan.
Bizantium, setelah mengkhianati perjanjian-perjanjian diplomatiknya dengan umat Islam dan membunuh utusan Nabi ï·º, membuka pintu bagi perang Tabuk dan Yarmuk. Di Yarmuk (636 M), kekaisaran besar itu runtuh hanya dalam satu minggu.
Bukan karena umat Islam memiliki senjata lebih baik — tapi karena mereka memiliki kepercayaan yang lebih kuat.
Toynbee kembali menulis: “Kekuatan moral Islam menggantikan kekuatan politik Bizantium yang telah kehilangan ruh kepercayaannya.”
Dalam geopolitik modern, hal ini disebut legitimacy collapse — ketika kekuasaan kehilangan dasar moral untuk dipertahankan, dan rakyat tak lagi mau berkorban untuk sistem yang mereka anggap pengkhianat.
Sejak saat itu, peradaban Islam mengambil alih panggung sejarah dunia, bukan karena perang, tetapi karena konsistensi terhadap janji dan keadilan.
---
3. Mongol: Kekerasan Tanpa Kepercayaan
Bangsa Mongol menaklukkan dunia dengan kecepatan yang menakjubkan, tapi menghancurkan perjanjian mereka sendiri. Kota-kota yang menyerah tetap mereka bakar, rakyat yang sudah tunduk tetap mereka bunuh. Dunia tunduk pada ketakutan, bukan pada kepercayaan.
Dalam jangka pendek, taktik itu memberi efek psikologis besar. Namun dalam jangka panjang, ia menghancurkan kredibilitas Mongol sebagai kekuatan dunia. Tak ada kota yang mau berunding dengan bangsa yang tidak bisa dipercaya. Maka setiap kekuasaan yang mereka dirikan cepat runtuh, dan wilayah kekaisaran mereka pecah seperti kaca yang dilempar ke batu.
Sejarawan militer Liddell Hart menyebut ini sebagai “the paradox of power”: kekuatan yang tak mengenal batas akhirnya menghancurkan dirinya sendiri.
Mongol membuktikan satu hal penting dalam geopolitik: kekerasan tanpa kepercayaan hanyalah badai yang menghancurkan dirinya sendiri.
Setiap pengkhianatan terhadap perjanjian damai memperpendek umur kekuasaan, karena dunia menolak stabilitas yang dibangun tanpa rasa hormat pada janji.
---
4. Eropa Kolonial: Mengulang Pola Bani Israil
Ketika Eropa bangkit pada abad ke-15, mereka membawa semangat “perjanjian baru” — membawa misi peradaban, kemajuan, dan penyebaran agama. Namun di balik misi itu tersembunyi pengkhianatan besar: perjanjian dagang berubah menjadi penjajahan, kerja sama berubah menjadi perampokan.
Perjanjian-perjanjian dengan kerajaan-kerajaan Asia dan Afrika diubah sepihak, dan mereka menjustifikasi penjajahan dengan narasi “tanggung jawab moral orang kulit putih”. Namun, sebagaimana Firaun dan Bizantium, peradaban Barat juga mengkhianati nilai yang melahirkannya: keadilan dan kebebasan.
Arnold Toynbee mencatat:
“Ketika Barat mulai mengeksploitasi dunia dengan alasan peradaban, mereka telah menandatangani surat kematian moralnya sendiri.”
Maka abad ke-20 menjadi saksi kebangkitan dunia baru: India, Indonesia, Aljazair, Mesir, dan banyak bangsa lain memerdekakan diri. Kekaisaran Inggris, Prancis, dan Belanda runtuh bukan karena kalah perang, tapi karena kehilangan legitimasi.
Dalam istilah geopolitik modern, mereka menjadi korban moral isolation — terasing dari nurani dunia yang mulai sadar akan dusta kolonialisme.
---
5. Israel: Pewaris Tradisi Pengkhianatan
Di abad ke-21, pola sejarah itu hidup kembali dalam wujud modern: Israel.
Negara yang berdiri atas perjanjian internasional, namun berulang kali melanggarnya. Mereka menandatangani Oslo, Madrid, dan Camp David — tapi membangun pemukiman ilegal di tanah yang mereka janjikan akan hormati. Mereka menandatangani gencatan senjata — tapi membombardir Gaza keesokan harinya.
Dari perspektif geopolitik, Israel hidup dalam paradoks legitimasi: eksistensinya diakui karena janji perdamaian, tapi kekuasaannya dipertahankan dengan melanggar janji itu.
Henry Kissinger, arsitek realpolitik Amerika, pernah menulis: “Kekuatan tanpa legitimasi adalah kekuatan yang menunggu kehancuran.”
Itulah yang kini menimpa Israel. Mereka menang dalam perang, tapi kalah dalam sejarah. Mereka menaklukkan Gaza, tapi kehilangan simpati dunia. Mereka memiliki senjata, tapi kehilangan kepercayaan.
Dalam geopolitik moral, Israel adalah contoh klasik dari strategic self-destruction — negara yang menciptakan musuh lebih cepat daripada ia bisa menghancurkannya.
---
6. Amerika Serikat dan Krisis Kepercayaan Global
Sekutu utama Israel, Amerika Serikat, kini menghadapi krisis serupa. Setelah berulang kali menarik diri dari perjanjian internasional — dari Kesepakatan Paris, Perjanjian Nuklir Iran, hingga komitmen kemanusiaan di Gaza — Washington kehilangan kepercayaan global yang dulu menjadi kekuatannya.
Samuel Huntington dalam The Clash of Civilizations memperingatkan:
“Ketika sebuah peradaban kehilangan kepercayaan moral, kekuatannya menjadi instrumen ketakutan, bukan lagi kekaguman.”
Kini dunia multipolar mulai terbentuk. Negara-negara BRICS, blok Islam, dan kekuatan Global South bangkit bukan dengan senjata, tapi dengan kepercayaan baru pada keadilan. Dunia mulai berputar ke arah timur dan selatan — meninggalkan Barat yang terjebak dalam kebohongan yang mereka buat sendiri.
Geopolitik modern telah berubah: kekuatan bukan lagi siapa yang paling menakutkan, tapi siapa yang paling bisa dipercaya.
---
7. Hukum Sejarah: Dari Pengkhianatan Lahir Kekuatan Baru
Lihatlah pola abadi ini:
Ketika Firaun berkhianat, Musa muncul.
Ketika Bizantium berkhianat, Islam muncul.
Ketika kolonialisme berkhianat, bangsa-bangsa merdeka lahir.
Ketika Israel berkhianat, Gaza melahirkan generasi sumud — anak-anak yang tak lagi takut pada maut.
Yusuf al-Qardhawi pernah menulis: “Kebohongan bisa menaklukkan sesaat, tapi kejujuran menaklukkan zaman.”
Itulah hukum sejarah yang tak bisa dihindari: pengkhianatan mungkin membawa kemenangan sementara, tetapi selalu menumbuhkan kekuatan tandingan yang lebih murni. Sejarah bekerja seperti alam — menyeimbangkan ketidakadilan dengan kebangkitan dari bawah.
Ibn Khaldun menyebut fenomena ini ‘ashabiyyah baru’ — semangat kolektif yang lahir ketika kekuasaan lama mengkhianati keadilan. Ia muncul dari penderitaan, dan akhirnya menggantikan tirani lama.
Gaza hari ini adalah contoh paling nyata dari hukum itu.
---
8. Refleksi: Geopolitik Kepercayaan di Era Kehancuran Moral
Dunia kini berada di ambang zaman baru: zaman di mana kredibilitas menjadi senjata paling kuat.
Kekuatan militer bisa menaklukkan wilayah, tetapi tidak bisa menaklukkan hati manusia.
Teknologi bisa menakut-nakuti dunia, tapi tidak bisa membangun peradaban.
Hanya kepercayaan yang bisa melahirkan masa depan.
Karena itu, perjanjian — dalam makna moral, politik, maupun spiritual — bukan sekadar dokumen diplomatik, melainkan fondasi keberlangsungan peradaban. Ketika perjanjian dilanggar, kepercayaan lenyap. Ketika kepercayaan lenyap, sejarah pun menarik kembali mandatnya.
Toynbee menulis dengan getir: “Peradaban tidak pernah dibunuh oleh musuhnya, tetapi oleh dosa pengkhianatan yang ia lakukan terhadap jiwanya sendiri.”
Israel hari ini bukan sekadar aktor politik; ia adalah cermin dari sejarah panjang pengkhianatan yang berulang. Dan sebagaimana hukum sejarah bekerja, pengkhianatan itu akan melahirkan kekuatan baru — entah dalam bentuk perlawanan Palestina, atau kesadaran global bahwa dunia tidak bisa lagi ditata oleh kebohongan.
---
Epilog: Takdir Para Pengkhianat
Jika sejarah adalah pengadilan, maka para pengkhianat perjanjian adalah terdakwa abadi.
Mereka mungkin menang hari ini, tetapi mereka akan dikubur oleh sejarah esok hari.
Karena sejarah, sebagaimana Tuhan, tidak bisa ditipu.
Ia menunggu, dengan sabar, hingga setiap dusta menua, dan setiap pengkhianatan menjadi batu nisan bagi kekuasaan yang lupa pada janjinya.
Dalam dunia yang semakin kacau ini, satu-satunya poros yang tak pernah goyah adalah kebenaran yang dipegang teguh.
Dan dalam logika geopolitik ilahi, hanya mereka yang setia pada perjanjian — baik dengan rakyat, sekutu, maupun dengan Tuhan — yang akan bertahan melintasi zaman.
0 komentar: