Tauhid Sebagai Dasar dan Motor Membangun Peradaban
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
“Dan orang-orang yang beriman itu amat sangat cintanya kepada Allah.”
(QS. Al-Baqarah: 165)
Prolog: Akal yang Kering dan Hati yang Terlupa
Zaman ini telah membangun gedung-gedung tinggi, tapi kehilangan arah ke langit.
Kita memiliki universitas megah, pusat riset mutakhir, namun sedikit yang berilmu karena cinta.
Ilmu menjadi profesi, bukan ibadah. Teknologi menjadi senjata, bukan penolong kehidupan.
Manusia mencipta mesin cerdas, tetapi kerap tak tahu lagi mengapa ia hidup.
Di sinilah letak krisis besar peradaban modern — akal bekerja tanpa cinta kepada Yang Mengatur Akal.
Manusia modern menguasai hukum alam, tetapi melanggar hukum langit.
Ia tahu bagaimana membuat kehidupan, tapi lupa bagaimana memberi makna bagi hidup.
Padahal, dalam sejarah panjang manusia, cinta kepada Allah pernah menjadi tenaga utama peradaban.
Ia melahirkan ilmuwan, pemimpin, dan perancang sistem yang memadukan zikir dan pikir.
Cinta yang membangun, bukan menaklukkan; menata, bukan menguasai.
---
1. Cinta kepada Allah sebagai Sumber Ilmu
Dalam pandangan Islam, ilmu bukan sekadar hasil rasa ingin tahu, tetapi buah dari ma‘rifah — pengenalan terhadap Allah melalui ciptaan-Nya.
Ketika Adam diajari nama-nama oleh Allah (QS. Al-Baqarah: 31), itu bukan hanya pelajaran kosakata, melainkan awal perjanjian antara cinta dan ilmu:
manusia diberi akal untuk memahami tanda-tanda cinta Sang Pencipta di alam semesta.
Ibnu Sina menyebut ilmu sebagai jalan menuju kesempurnaan jiwa (al-sa‘adah).
Al-Farabi menulis dalam Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah, bahwa ilmu dan kebijaksanaan hanya hidup dalam masyarakat yang menjadikan cinta kepada Tuhan sebagai orientasi tertinggi.
Sementara Jabir Ibn Hayyan dan Al-Khawarizmi bekerja di laboratorium sambil berzikir, karena bagi mereka, meneliti hukum alam sama dengan membaca ayat-ayat Allah yang tersebar di jagat raya.
Ketika cinta kepada Allah menjadi fondasi, ilmu bukan lagi sekadar power, tapi amanah.
Ia menghidupkan, bukan membinasakan.
Ia mendekatkan, bukan memisahkan.
Sejarawan George Sarton — bapak sejarah sains — dalam Introduction to the History of Science menulis:
“Tidak ada masa dalam sejarah di mana ilmu begitu bersih dari keserakahan duniawi seperti masa keemasan Islam.”
Ilmu yang tumbuh dari cinta melahirkan keseimbangan;
sementara ilmu yang lahir dari ambisi melahirkan kehancuran.
---
2. Ketika Cinta Menjadi Motor Teknologi
Teknologi yang dibangun karena cinta kepada Allah selalu berorientasi pada pemeliharaan kehidupan (hifzh al-hayat).
Ia tidak mengeksploitasi alam, tetapi berusaha menjaga harmoni kosmos — sebab alam dianggap makhluk Allah yang juga berzikir.
Lihatlah bagaimana kaum Muslim Andalusia membangun kanal-kanal irigasi, rumah sakit, dan observatorium.
Ibn Bajja dan Ibn Zuhr menulis risalah medis bukan untuk kemegahan, tapi untuk menolong hamba Allah dari penderitaan.
Al-Jazari, pencipta mesin hidrolik, menulis dalam pendahuluan bukunya:
“Aku berharap setiap rancangan ini menjadi sedekah jariyah bagi umat manusia.”
Itulah teknologi yang berjiwa cinta: mencipta tanpa menuhankan ciptaan.
Bandingkan dengan Romawi dan Persia.
Teknologi mereka besar, tapi berpusat pada dominasi.
Romawi membangun jalan-jalan untuk pasukan, bukan untuk rakyat; Persia membangun istana untuk raja, bukan rumah bagi fakir.
Itulah mengapa keduanya hancur: sebab kekuatan tanpa cinta cepat lapuk di dalam.
Sejarawan Arnold Toynbee menulis dalam A Study of History:
“Peradaban hancur bukan karena diserang dari luar, tapi karena kehilangan makna dari dalam.”
---
3. Kepemimpinan dari Cinta
Cinta kepada Allah melahirkan kepemimpinan yang rendah hati, tapi tegas.
Rasulullah ï·º bersabda:
“Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.” (HR. Abu Dawud)
Dari sabda inilah muncul model kepemimpinan Islam yang paling sejati: pelayanan karena cinta.
Umar bin Khattab berjalan malam memeriksa rakyat, bukan karena politik populis, tapi karena hatinya takut kepada Allah.
Ia menangis ketika melihat rakyat kelaparan, karena ia tahu bahwa Allah tidak tidur ketika pemimpinnya lalai.
Sebaliknya, kepemimpinan yang lahir dari hawa nafsu melahirkan tirani.
Fir’aun, Kisra Persia, dan Kaisar Romawi adalah contoh klasik: mereka memerintah dengan ketakutan, bukan kasih.
Mereka membangun sistem kekuasaan yang memuja diri, bukan mengabdi kepada Yang Maha Kuasa.
Sejarawan Will Durant menulis dalam The Story of Civilization:
“Islam memperkenalkan tipe pemimpin baru — pemimpin yang memerintah dengan tanggung jawab spiritual, bukan hak keturunan.”
Dan inilah yang hilang di dunia modern:
Pemimpin banyak yang pandai berstrategi, tapi buta terhadap cinta yang menumbuhkan keadilan.
---
4. Cinta sebagai Dasar Manajemen dan Sistem
Dalam Al-Qur’an, Allah disebut sebagai Mudabbir al-Amr — Pengatur segala urusan.
Dari sinilah konsep manajemen Islam lahir: tadbir, yakni meniru cara Allah mengatur alam — penuh keseimbangan dan hikmah.
Kata mizan (keseimbangan) berulang dalam Al-Qur’an (QS. Ar-Rahman: 7–9).
Itulah prinsip manajemen Ilahi: tidak berlebihan, tidak kekurangan; setiap unsur mendapat fungsinya secara proporsional.
Jika cinta kepada Allah menjadi fondasi sistem, maka ekonomi tidak akan rakus, politik tidak akan zalim, dan pendidikan tidak akan menjadi pabrik ijazah tanpa akhlak.
Dalam The Wealth of Nations, Adam Smith memuji keteraturan pasar bebas, tapi dalam The Theory of Moral Sentiments ia mengingatkan bahwa sistem ekonomi hanya dapat berjalan jika manusia memiliki “moral sense”.
Namun, Barat kemudian mengambil separuh yang pertama dan melupakan separuh yang kedua — jadilah kapitalisme yang kering dari cinta.
Berbeda dengan sistem Islam klasik: baitul mal dibangun bukan hanya untuk menampung pajak, tapi menebarkan kesejahteraan.
Di bawah Khalifah Umar bin Abdul Aziz, tak lagi ditemukan orang miskin yang mau menerima zakat.
Itulah manajemen cinta — efisien karena ikhlas, efektif karena takut kepada Allah.
---
5. Cinta sebagai Sumber Hukum dan Keadilan
Cinta kepada Allah adalah dasar hukum yang hidup.
Tanpa cinta, hukum menjadi kekerasan yang sah; dengan cinta, hukum menjadi rahmat yang nyata.
Rasulullah ï·º diutus sebagai “rahmat bagi semesta alam” (QS. Al-Anbiya: 107).
Maka setiap hukum yang meniru syariat sejati harus menebarkan kasih, bukan sekadar hukuman.
Ketika Umar menunda potong tangan pencuri di masa paceklik, itu bukan pelanggaran syariat, tetapi puncak implementasi cinta Ilahi — sebab Allah sendiri Maha Pengasih.
Filsuf hukum Islam, Al-Ghazali, dalam Ihya’ Ulum al-Din menulis:
“Syariat itu kasih sayang seluruhnya; keadilan seluruhnya; kebijaksanaan seluruhnya.”
Sementara Barat modern memisahkan hukum dari cinta.
Mereka menciptakan sistem legalistik tanpa nurani.
Maka hukum berubah menjadi alat kekuasaan, bukan pelindung kemanusiaan.
Michel Foucault menggambarkan ini sebagai “disiplin dan pengawasan yang menindas di bawah baju keadilan”.
---
6. Cinta sebagai Landasan Kekuasaan dan Peradaban
Kekuasaan yang lahir dari cinta kepada Allah adalah kekuasaan yang menjaga, bukan menaklukkan.
Peradaban Islam klasik tumbuh karena moralitas, bukan kolonialisasi.
Dari Madinah, Damaskus, Baghdad hingga Granada — ekspansi bukan hanya militer, tapi penyebaran ilmu, hukum, dan keadilan.
Romawi menaklukkan dunia dengan pedang, Islam menaklukkan hati dengan cahaya.
Romawi membangun imperium yang megah tapi rapuh; Islam membangun peradaban yang sederhana tapi bertahan ratusan tahun.
Toynbee menyebut Islam sebagai “peradaban yang mampu memadukan kekuatan spiritual dan kekuatan sosial dengan harmoni unik.”
Dan inilah paradoks besar sejarah:
Kekuasaan yang lahir dari cinta Allah tidak mengejar kekuasaan, tetapi justru karena itu ia diberi kekuasaan.
Sebaliknya, kekuasaan yang lahir dari hawa nafsu akan menimbulkan pemberontakan dari dalam — seperti Romawi, Persia, bahkan kapitalisme modern hari ini yang mulai retak oleh kesenjangan sosial dan krisis moral.
---
7. Menumbuhkan Cinta yang Produktif
Cinta kepada Allah tidak cukup diajarkan, harus ditanamkan.
Ia bukan perasaan mistik pasif, tapi daya aktif yang menggerakkan ilmu, teknologi, dan sistem.
Bagaimana menumbuhkannya?
1. Menjadikan ilmu sebagai ibadah.
Belajar untuk mengenal ciptaan Allah, bukan untuk gengsi akademik.
2. Menyucikan niat dalam setiap kerja.
Meneliti, memimpin, berdagang, menulis — semua karena Allah.
3. Menanamkan dzikir dalam sistem.
Organisasi yang dimulai dengan basmalah akan berbeda dari yang dimulai dengan target laba.
4. Menegakkan akhlak sebagai inti profesionalitas.
Akhlak adalah sistem kontrol yang tidak bisa ditiru oleh teknologi.
5. Menjadikan syariat sebagai fondasi desain sistem.
Hukum, ekonomi, dan manajemen berjalan dalam pagar tauhid — bukan sekadar efisiensi, tapi keberkahan.
---
8. Epilog: Cinta yang Melahirkan Peradaban
Ketika Romawi dan Persia membangun dunia dengan pedang dan kebanggaan, Islam membangunnya dengan pena dan kasih.
Ketika modernitas menuhankan akal, Islam mengajarkan bahwa akal adalah titipan cinta.
Dan kini, dunia modern kembali haus akan makna — karena teknologi telah membuatnya mampu melakukan segalanya, kecuali menjawab “untuk apa”.
Maka, jika peradaban modern lahir dari keinginan menundukkan alam,
peradaban Islam lahir dari kerinduan berbakti kepada Pencipta alam.
Yang satu menimbulkan kekaguman; yang lain menimbulkan ketenangan.
Yang satu mengagungkan kuasa; yang lain menumbuhkan kasih.
Cinta kepada Allah adalah energi yang tak habis.
Ia melahirkan ilmu yang jujur, teknologi yang menolong, kepemimpinan yang adil, hukum yang lembut, dan kekuasaan yang membimbing.
Tanpa cinta itu, semua hanya akan menjadi bangunan megah di atas jiwa yang runtuh.
---
“Barang siapa mencintai Allah, ia akan melihat dunia bukan sebagai arena perebutan, tapi sebagai ladang pengabdian.”
— Muhammad Iqbal, Reconstruction of Religious Thought in Islam
0 komentar: