Parlemen Israel Menyetujui Penjajahan di Tepi Barat: Bagaimana dengan Oslo, Mahkamah Internasional dan Abraham Accord?
Di antara Gema Gencatan Senjata
“Perang sudah berakhir,” kata seorang anak kecil di Abu Falah kepada kakeknya, “bolehkah aku ikut memetik zaitun?”
Kakeknya terdiam. Di hadapannya, pohon-pohon zaitun yang diwariskan leluhur berdiri tanpa dahan. Beberapa telah dicabut akarnya. Sebagian lagi gosong, dibakar oleh para pemukim. Di tanah yang katanya “sudah damai”, mereka masih menghitung mayat, bukan panen.
Begitulah Tepi Barat menyambut gencatan senjata Gaza—dengan ironi. Saat dunia bersorak bahwa perang berhenti, di dataran antara Ramallah dan Nablus justru penjajahan meningkat. Tidak ada gencatan bagi yang hidup di bawah pagar baja, tembok setinggi tujuh meter, dan kebijakan apartheid yang kini disahkan oleh parlemen Israel sendiri.
---
Dua Dunia yang Tak Pernah Damai
Sepekan setelah pengumuman gencatan di Gaza, kehidupan di Tepi Barat tetap dililit oleh pos pemeriksaan. Di kota baru Rawabi, yang hanya sepuluh menit jarak ke Ramallah, penduduknya menghadapi empat gerbang besi, sebuah menara militer, dan sebuah pembatas — perjalanan sepuluh menit bisa memakan waktu berjam-jam.
Di seluruh Tepi Barat kini berdiri 916 barikade, pos, dan gerbang logam; 243 di antaranya dibangun setelah 7 Oktober 2023. Tentara Israel membuka dan menutupnya sesuka hati—kadang demi “keamanan”, kadang sekadar permainan kuasa.
Sejak 7 Oktober, lebih dari 7.100 serangan pemukim terjadi terhadap warga Palestina. Hampir seribu orang terbunuh, termasuk 212 anak-anak. 37.237 pohon zaitun dihancurkan—pohon yang bukan sekadar tumbuhan, tapi simbol keteguhan bangsa Palestina.
Bahkan udara malam tak memberi jeda. Tentara bisa datang kapan saja, menendang pintu, menyeret anak muda dari tempat tidur, lalu pergi tanpa penjelasan. Rumah yang semula tenang bisa berubah jadi penjara dalam lima menit.
---
Penjajahan yang Dilegalkan
Lalu datanglah berita dari Tel Aviv: Knesset menyetujui tahap pertama undang-undang pencaplokan Tepi Barat — 25 suara mendukung, 24 menolak. Tipis, tapi cukup untuk mengubah sejarah.
Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben‑Gvir, berkata lantang, “Waktunya memaksakan kedaulatan atas Tepi Barat telah tiba.” Kata “kedaulatan” di mulut penjajah selalu berarti kebebasan untuk menindas.
Dengan satu sidang parlemen, Perjanjian Oslo (1993) — yang menjanjikan otonomi bagi Palestina — digugurkan tanpa suara ledakan. Oslo membagi wilayah Tepi Barat menjadi Area A (18 %), Area B (22 %) dan Area C (60 %) di bawah kendali Israel. Namun kini Area C bukan sekadar wilayah militer — ia menjadi peta masa depan Israel Raya. Pemerintah mempercepat klaim atas area itu, menghancurkan desa-desa Badui, dan memindahkan warganya paksa. “Aneksasi diam-diam” telah berlangsung selama bertahun-tahun, kini menjadi hukum resmi negara.
Partai Likud menyebutnya “kedaulatan sejati”. Tapi di Ramallah, orang menyebutnya kematian diplomasi.
---
Perang yang Berubah Bentuk
Israel tidak lagi memerlukan tank untuk menaklukkan Palestina: ia hanya butuh bulldozer dan pena hukum. Dengan alasan “keamanan”, tentara menyita lebih dari 70.000 meter persegi tanah di provinsi Nablus pada Oktober 2025. Hanya dalam satu tahun, 53 perintah militer dikeluarkan untuk memperluas pemukiman Yahudi.
Menurut Komisi Kolonisasi Palestina, kini ada 710 pemukiman dan pos militer di Tepi Barat — rata-rata satu setiap delapan kilometer persegi. Peta Palestina tampak seperti kulit yang digerogoti lubang.
Dan setiap lubang membawa makna:
Lubang air yang dikuasai perusahaan Israel Mekorot — menyisakan warga Palestina dengan jatah air minim.
Lubang ekonomi, di mana tanah subur diubah menjadi zona militer.
Lubang spiritual, karena ribuan warga tak bisa lagi mencapai Masjid Al-Aqsa atau Gereja Makam Suci tanpa izin.
Di musim panas, ketika sumur-sumur kering, warga terpaksa membeli air mahal dari penjajah yang mencuri sumbernya. Air yang seharusnya menghidupi, kini menjadi alat penjajahan paling sunyi.
---
Janji Palsu Perdamaian
Di manakah letak Oslo, Mahkamah Internasional, dan Abraham Accord dalam situasi ini? Mereka berdiri seperti tugu yang retak: masih ada di atas kertas, tapi tak lagi punya jiwa.
Perjanjian Oslo, yang dahulu ditandatangani di halaman Gedung Putih, kini hanyalah simbol kegagalan dua generasi diplomat. Setiap peta yang dijanjikan “negara Palestina” kini tinggal arsip museum.
Mahkamah Internasional (ICJ) pada 19 Juli 2024 mengeluarkan opini hukum bahwa kehadiran Israel di wilayah pendudukan Palestina adalah ilegal — bahwa aneksasi, fragmentasi wilayah, penghalangan hak penentuan nasib sendiri rakyat Palestina, serta penguasaan sumber daya secara diskriminatif, semuanya melanggar hukum internasional.
Mahkamah menegaskan bahwa bahkan tidak boleh ada aneksasi oleh Israel berdasarkan klaim keamanan, dan bahwa seluruh keberadaan Israel sebagai kekuatan pendudukan di wilayah tersebut adalah tindakan salah yang terus-menerus.
Namun keputusan ini bersifat konsultatif (advisory) dan tidak memiliki mekanisme penegakan langsung — sehingga di lapangan, situasi tetap berjalan seperti sebelumnya.
Abraham Accords — perjanjian normalisasi antara Israel dan Uni Emirat Arab (UEA) serta beberapa negara lainnya — didasari salah satu syarat penting: Israel menangguhkan rencana aneksasi Tepi Barat.
UEA bahkan menyatakan bahwa setiap aneksasi Tepi Barat akan menjadi “garis merah” yang bisa merobohkan Accords tersebut.
Namun ketika Knesset menyetujui undang-undang kedaulatan, maka janji bahwa aneksasi tidak akan terjadi menjadi retorika: realitas di lapangan bergerak ke arah sebaliknya.
---
Dunia yang Menonton
Di ruang sidang PBB, diplomat membaca naskah kecaman. Di jalan-jalan Ramallah, para ibu membaca daftar nama anak-anak yang ditangkap. Sejak dua tahun terakhir, lebih dari 20.000 warga Palestina ditahan, termasuk 1.600 anak-anak. Dunia bisa menghitung dan mencatat angka tersebut.
Mahkamah bisa menyebut “ilegal”. PBB bisa menyerukan “penghentian pemukiman”. Tapi di tanah yang retak oleh buldoser, hukum internasional tak punya bentuk.
Perdamaian tidak pernah gagal karena kekurangan dokumen; ia gagal karena kehilangan keberanian moral. Dunia lebih takut kehilangan hubungan dagang daripada kehilangan kemanusiaan.
---
Di Antara Pohon Zaitun yang Ditebang
Di Abu Falah, anak kecil itu masih menatap ladang kakeknya yang gersang. Ia bertanya lagi, “Kapan kita bisa memetik zaitun?”
Kakeknya menjawab perlahan, “Saat dunia berhenti memanggil penjajahan ini dengan nama perdamaian.”
Tepi Barat kini hidup dalam paradoks: dijanjikan negara, tapi dijadikan koloni; diberi peta, tapi dipagari; diberi air, tapi diputus kuotanya. Setiap undang-undang baru dari Tel Aviv menandai kematian sebatang pohon zaitun—dan sekaligus kelahiran perlawanan baru.
Karena tanah yang dicintai tak bisa ditinggalkan, bahkan jika pohonnya ditebang.
Israel mungkin berhasil menghapus garis batas Oslo, tapi tidak bisa menghapus memori orang-orang yang tertindas. Setiap akar zaitun yang tertimbun debu akan tumbuh lagi—entah di kebun Ramallah, di hati anak-anak Gaza, atau di doa jutaan orang yang masih percaya bahwa keadilan tak bisa selamanya disembunyikan di balik pagar baja.
0 komentar: