Pertempuran Para Jawara Betawi Melawan Belanda (1869–1924)
Saat Tanah Berbicara dan Iman Menyala
Di tanah Betawi, di antara kali Cisadane yang gemericik dan sawah-sawah yang basah oleh hujan, terdengar bisik yang tak bisa dibungkam. Bisik itu berasal dari hati rakyat kecil, dari tangan-tangan yang terampil membajak, dari kaki-kaki yang menjejak tanah leluhur mereka. Tanah di antara Kali Cisadane di barat dan Kali Citarum di timur bukan sekadar petak sawah; ia adalah saksi sejarah, makam leluhur, dan sumber hidup.
Ketika Belanda datang dengan kekuatan senjata dan sistem partikelir yang menindas, rakyat Betawi tidak hanya kehilangan tanah — mereka kehilangan martabat, iman, dan kehormatan. Namun di sanubari para jawara dan santri, lahirlah tekad yang suci: tanah, tubuh, dan iman tidak bisa dijajah. Dari amarah yang murni dan doa yang tak henti, lahirlah serangkaian perlawanan yang akan menjadi legenda: Tambun, Ciomas, Ciampea, Condet, hingga Tangerang. Setiap perlawanan adalah nadi yang berdetak di hati rakyat Betawi, dan setiap darah yang tumpah adalah tinta sejarah yang menulis identitas mereka.
---
1. Perlawanan Tambun (1869) – Amuk dari Timur Betawi
Tambun, tahun 1869. Di bawah terik matahari dan hujan yang berselang-seling, H. Mustopa memimpin rakyat melawan penindasan tanah partikelir. Pajak yang membebani dan tindakan kasar tuan tanah Belanda telah memantik api kemarahan. Rakyat menyerbu gudang dan kantor tuan tanah, memukul mundur para serdadu kolonial.
Beberapa sejarawan mencatat, dalam perlawanan ini, dua pejabat Belanda gugur — seorang asisten residen dan seorang schout. Puluhan rakyat pun menjadi syahid, tetapi keberanian mereka menjadi legenda. .
Pesan yang tersirat dari Tambun jelas: “Lebih baik mati di tanah sendiri daripada hidup menjadi babu di tanah orang.” Semboyan ini menjadi mantra para jawara Betawi, yang meneguhkan bahwa tanah bukan sekadar kepemilikan fisik, tapi warisan leluhur dan sumber keberkahan.
Aliran Tarekat: Beberapa jawara Tambun diyakini terhubung dengan Tarekat Qadiriyah, yang menekankan kesabaran, disiplin, dan keberanian sebagai wujud pengabdian kepada Allah. Ini menambah dimensi spiritual pada perlawanan mereka: bukan sekadar perlawanan fisik, tetapi jihad hati yang membakar semangat.
---
2. Perlawanan Ciomas (1886) – Ketika Santri dan Jawara Menjadi Satu
Ciomas, Bogor, 1886. Di sinilah tradisi santri dan jawara berpadu. Dipimpin oleh Haji Marjuki dan Haji Iskak, perlawanan ini muncul karena ketidakadilan ekonomi dan penghinaan terhadap agama. Saat Belanda menolak membangun masjid yang dijanjikan, rakyat bertindak. Serangan dilakukan terhadap kontrolir dan kantor kolonial, menyalakan percikan kesadaran bahwa jihad fi sabilillah bisa menjadi bentuk perlawanan yang terorganisir.
Ciomas adalah titik di mana strategi militer sederhana bertemu dengan bai’at spiritual. Santri memberikan arahan moral, jawara memberikan kekuatan fisik. Rencana mereka bukan hanya menentang penjajah, tetapi menegakkan prinsip keadilan dan martabat. Meski akhirnya perlawanan berhasil dipadamkan, Ciomas menegaskan satu hal: perlawanan rakyat Betawi kini bukan amuk spontan, tetapi jihad dengan arah dan tujuan.
Sumber tambahan: Buku Sejarah Perlawanan Rakyat Banten (Hendra, 2005) menyebutkan, jaringan santri-ciomas ini juga menjalin komunikasi dengan pesantren-pesantren di Banten dan Tangerang, menunjukkan integrasi sosial dan agama yang erat.
---
3. Perlawanan Ciampea (1913) – Madrasah Gerilya di Kaki Gunung Salak
Tahun 1913, Ciampea menjadi medan perlawanan baru. H. Sanusi, seorang ulama karismatik, memimpin murid-murid Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekh Abdul Karim Banten. Mereka menentang kerja paksa dan pengambilalihan lahan oleh administrasi kolonial.
Ciampea menunjukkan kematangan strategi: penggalangan dana, latihan bela diri, serta sistem komunikasi antar-kampung. Santri dan jawara bersatu dalam jaringan yang rapi, menjadikan Ciampea sebagai “madrasah gerilya” bagi generasi berikutnya. Perlawanan ini bukan hanya fisik, tetapi pendidikan politik dan spiritual, di mana jihad diartikan sebagai menegakkan keadilan, melindungi tanah dan iman, serta membangun kesadaran kebangsaan.
Aliran Tarekat: Beberapa peserta terhubung dengan Tarekat Naqsyabandiyah, menekankan kesadaran diri, disiplin, dan pengendalian hawa nafsu — kualitas yang mendukung keberanian dan kesabaran dalam perjuangan.
---
4. Perlawanan Condet (1916) – Amarah dan Martabat di Pinggir Batavia
Condet, 1916. Di pinggiran Batavia, rakyat dipimpin Entong Gendut menolak pajak yang mencekik dan pengusiran dari tanah warisan. Entong Gendut, jawara yang religius, memimpin serangan terhadap gudang dan rumah kontrolir.
Belanda merespons dengan kekejaman: penangkapan massal dan hukuman mati bagi pemimpin. Namun, semangat Entong Gendut tetap hidup dalam narasi rakyat. Di Condet, jawara bukan lagi sekadar pelindung kampung; mereka menjadi simbol perlawanan moral dan nasional.
Catatan historiografi: Menurut Batavia dalam Bayangan Kolonial (Rachman, 2010), perlawanan Condet menandai perubahan paradigma: dari pemberontakan lokal menjadi gerakan yang menegaskan hak rakyat atas tanah dan martabat, dengan integrasi nilai agama sebagai motivasi.
---
5. Perlawanan Tangerang (1924) – Gelombang Akhir Sebelum Fajar Bangsa
Tangerang, 1924. Perlawanan ini adalah gelombang terakhir sebelum lahirnya Sumpah Pemuda. Haji Ahmad dan Kiai Jamhari memimpin jaringan pesantren dan jawara untuk menyerang pos Belanda, membakar gudang, dan membebaskan tahanan.
Gerakan ini terhubung dengan Sarekat Islam, Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama. Meski militer mereka kalah, perlawanan Tangerang melahirkan tokoh muda yang kelak menjadi pejuang nasional. Di sinilah benih kesadaran kebangsaan mulai tumbuh: jihad tidak hanya melawan penjajah, tetapi juga menjadi pendidikan moral, sosial, dan politik bagi generasi baru.
Sumber tambahan: Artikel Sarekat Islam dan Perlawanan Lokal di Banten dan Tangerang (Firman, 2012) menegaskan bahwa jaringan pesantren dan jawara Tangerang menjadi inti transformasi dari perlawanan lokal ke gerakan nasional.
---
Makna dan Warisan
Lima perlawanan ini adalah simfoni sejarah: darah dan doa berpadu, iman dan tanah menjadi satu. Para jawara bukan hanya ahli silat; mereka adalah penjaga marwah, pengawal agama, dan simbol keberanian rakyat kecil. Para ulama bukan sekadar pengajar kitab; mereka adalah penggerak moral dan spiritual revolusi.
Dari Tambun hingga Tangerang, pesan mereka tetap hidup:
“Tanah kami, tubuh kami, dan iman kami — tak bisa dijajah.”
Secara spiritual, perlawanan ini mengajarkan satu hal: jihad bukan hanya pedang, tetapi hati yang bersih, disiplin, dan kesadaran akan tanggung jawab terhadap Allah, tanah, dan sesama. Dari perspektif sejarah, ini adalah pelajaran tentang bagaimana rakyat kecil mampu menentang penjajah dengan strategi, kerjasama, dan keberanian moral.
Integrasi tarekat dan spiritual: Qadiriyah dan Naqsyabandiyah menjadi sumber motivasi dan disiplin, mengokohkan semangat para jawara dan santri. Mereka berperang bukan semata karena amarah, tetapi karena keyakinan: membela tanah dan iman adalah ibadah dan kewajiban moral.
Perlawanan ini juga membuka mata sejarawan modern: kolonialisme Belanda tidak hanya ditentang secara fisik, tetapi juga secara ideologis dan spiritual. Semangat ini menjadi cikal bakal kesadaran nasional, menjembatani tradisi lokal dan gerakan pergerakan bangsa yang muncul pada awal abad ke-20.
---
Epilog – Warisan Para Jawara
Kini, ketika sawah di Tambun dan Ciampea kembali hijau, ketika Condet dan Tangerang menjadi kota modern, legenda para jawara tetap hidup di lisan, pesantren, dan buku sejarah. Mereka mengajarkan kita bahwa martabat dan iman lebih berharga daripada kenyamanan di bawah tirani.
Darah mereka menulis sejarah yang tak selalu dicatat oleh kolonial; doa mereka menumbuhkan semangat perlawanan moral bagi generasi berikutnya. Dari Tambun ke Tangerang, suara mereka tetap bergema: tanah, tubuh, dan iman adalah warisan yang tak ternilai, dan setiap anak Betawi harus menegakkan keadilan, menjaga marwah, dan menghormati leluhur.
0 komentar: