Mengapa Allah Tidak Membekali Nabi dan Rasul dengan Kekuasaan, Kekayaan, dan Teknologi?
1. Dunia: Bukan Arena Kemenangan, Tapi Tempat Ujian
Seorang murid pernah bertanya kepada gurunya:
“Jika Allah Maha Kuasa, mengapa para nabi tidak dibekali kekuatan besar, harta melimpah, dan teknologi canggih untuk menaklukkan dunia?”
Sang guru tersenyum. Ia berkata pelan,
“Karena Allah tidak menciptakan hidup untuk menang, tapi untuk teruji.”
Allah berfirman:
“Dialah yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang paling baik amalnya.”
(QS. Al-Mulk: 2)
Dunia bukan panggung kemenangan, tapi laboratorium iman.
Jika para nabi dilengkapi kekuasaan mutlak, maka tak ada ruang untuk sabar, tawakal, dan perjuangan.
Ujian hanya berarti jika ada kekurangan;
keimanan hanya bermakna jika ada godaan;
dan kesetiaan hanya dapat diuji jika ada kesempatan untuk berkhianat.
Hasan Al-Banna pernah berkata,
“Allah tidak menghendaki kemenangan yang mudah, karena kemenangan yang mudah tidak membentuk manusia. Ia menghendaki perjuangan yang melelahkan, agar lahir generasi yang teruji.”
Inilah rahasia pertama: Allah tidak memberi kekuasaan langsung, karena iman lebih berharga daripada kemenangan.
---
2. Kekuatan yang Disimpan dalam Potensi, Bukan Diberikan Langsung
Allah tidak menurunkan istana bagi Nabi Ibrahim, tidak memberi pedang ajaib kepada Rasulullah ï·º, tidak menurunkan teknologi perang bagi kaum mukminin di Badar.
Namun Ia memberi sesuatu yang lebih dahsyat: akal, sabar, dan tekad.
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
(QS. At-Tin: 4)
Manusia tidak dibekali rumah mewah, tapi diberi tangan untuk membangunnya.
Tidak diberi emas, tapi diberi kecerdasan untuk menciptakan nilainya.
Tidak diberi kendaraan terbang, tapi diberi rasa ingin tahu yang melahirkan pesawat.
Muhammad Qutb menulis dalam Manhaj al-Tarbiyah al-Islamiyyah:
“Allah tidak menurunkan peradaban, Ia menanamkannya dalam hati orang-orang beriman. Karena peradaban yang lahir dari iman akan bertahan, sementara yang lahir dari nafsu akan runtuh.”
Potensi adalah bekal sejati.
Allah ingin manusia menjadi penemu, bukan penerima.
Sebab menemukan adalah bentuk ibadah — perjalanan menuju pengenalan diri dan Tuhan.
---
3. Kekuasaan yang Tak Diuji Akan Melahirkan Kezaliman
Setiap kekuasaan tanpa perjuangan melahirkan kesombongan.
Qarun tenggelam bukan karena hartanya, tapi karena merasa kekayaannya hasil dari dirinya sendiri.
Firaun binasa bukan karena tahta, tapi karena merasa dirinya Tuhan.
Allah menegaskan:
“Sekiranya Allah melapangkan rezeki bagi seluruh hamba-Nya, niscaya mereka akan melampaui batas di muka bumi.”
(QS. Asy-Syura: 27)
Yusuf Al-Qardhawi menafsirkan ayat ini dalam al-Iman wal-Hayah:
“Manusia diberi kekurangan agar ia sadar akan keseimbangan ciptaan. Jika semua kaya, tak ada lagi makna memberi; jika semua kuat, tak ada lagi makna menolong.”
Dalam pandangan geopolitik ilahi, ketimpangan bukan kesalahan, tapi mekanisme keseimbangan.
Allah membiarkan satu bangsa kuat agar yang lain belajar bertahan,
membiarkan satu umat miskin agar yang lain belajar memberi.
Tanpa ketimpangan, kasih dan kebijaksanaan akan mati.
---
4. Dunia Bukan Tempat Menjadi Tuhan
“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, ketika dia melihat dirinya serba cukup.”
(QS. Al-‘Alaq: 6–7)
Manusia yang merasa “cukup” akan berhenti mencari Allah.
Maka, kekurangan adalah pagar spiritual —
ia menjaga manusia agar tidak berubah menjadi Tuhan kecil.
Imam Al-Ghazali menulis dalam Ihya’ Ulumiddin:
“Keterbatasan manusia adalah rahmat, karena tanpa keterbatasan, manusia akan kehilangan makna doa.”
Teknologi, kekuasaan, dan kekayaan hanyalah bayangan dari Cahaya Ilahi.
Ketika manusia menyembah bayangan, ia kehilangan sumbernya.
Maka Allah menahan kesempurnaan, agar manusia selalu haus — bukan pada dunia, tapi pada Tuhan.
---
5. Hidup: Jalan Pulang, Bukan Tujuan Akhir
“Sesungguhnya dunia ini penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir.”
(HR. Muslim)
Jika Allah memberi kesempurnaan di dunia, tak akan ada lagi kerinduan pada surga.
Dunia hanyalah sekolah jiwa.
Kesulitan adalah kurikulum, dan kematian adalah wisuda.
Hasan Al-Banna menulis,
“Hidup ini adalah perjalanan dari Allah menuju Allah. Yang beruntung bukan yang sampai di istana, tapi yang sampai ke hadirat-Nya.”
Allah menahan nikmat agar manusia tak menetap.
Ia menanam rindu agar manusia mencari rumah sejati.
Karena dunia bukan akhir, melainkan pembuka kisah keabadian.
---
6. Hikmah dalam Ketidaklengkapan
Bayangkan manusia diciptakan sempurna: kaya, kuat, dan cerdas tanpa batas.
Ia tak akan pernah belajar menunduk, tak mengenal cinta, tak butuh doa.
Rumi menulis,
“Luka adalah tempat cahaya masuk ke dalam dirimu.”
Allah menciptakan kelemahan agar manusia mengenal kasih sayang.
Ia menciptakan perbedaan agar manusia belajar saling memahami.
Ia menciptakan kehilangan agar manusia mengenal makna doa.
Setiap kekurangan adalah undangan untuk mendekat.
Setiap kesulitan adalah surat cinta yang disamarkan menjadi ujian.
---
7. Khalifah: Pemikul Amanah, Bukan Pewaris Tahta
Ketika Allah berfirman:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi.”
(QS. Al-Baqarah: 30)
Ia tidak bermaksud menjadikan manusia sebagai raja, tapi penanggung jawab.
Khalifah bukan pewaris tahta, tapi penjaga keseimbangan antara bumi dan langit.
Adam tidak dibekali istana, tapi akal dan wahyu.
Dua bekal itu cukup untuk membangun dunia.
Muhammad Qutb menulis,
“Khilafah sejati bukanlah kekuasaan di atas manusia lain, tapi kekuasaan atas diri sendiri — nafsu, ego, dan ambisi.”
Karena itu, para nabi tidak turun sebagai penguasa, tapi sebagai pendidik jiwa.
Kemenangan mereka bukan pada istana, tapi pada kesadaran manusia.
---
8. Penderitaan: Dapur Peradaban
Lihat sejarah.
Semua peradaban besar lahir dari luka:
Islam lahir di padang pasir yang gersang.
Jepang bangkit dari dua kota yang hancur.
Eropa muncul dari abad kegelapan.
Palestina melahirkan keberanian dari reruntuhan.
Hasan Al-Banna berkata,
“Kemenangan bukanlah hadiah bagi yang kuat, tapi hasil dari kesetiaan orang-orang yang bertahan dalam kesempitan.”
Allah tidak memberi teknologi karena penderitaan adalah laboratorium jiwa.
Tanpa kepedihan, tak ada keteguhan.
Tanpa kehilangan, tak ada makna sabar.
Tanpa perjuangan, tak ada keindahan iman.
---
9. Kekuasaan, Kekayaan, dan Ilmu: Bayangan dari Cahaya Ilahi
Dalam pandangan para sufi, dunia hanyalah bayangan dari cahaya Tuhan.
Kekuasaan adalah refleksi dari Al-Qadir (Yang Maha Kuasa).
Kekayaan adalah pantulan dari Al-Ghani (Yang Maha Kaya).
Ilmu dan teknologi adalah percikan dari Al-‘Alim (Yang Maha Mengetahui).
Bayangan tak pernah memiliki cahaya.
Ia hanya bergerak mengikuti sumbernya.
Maka manusia yang mengejar bayangan akan tersesat —
seperti seseorang yang mengejar pantulan matahari di air, padahal cahaya sejatinya ada di langit.
Rumi menggambarkannya dengan indah:
“Jangan kejar bayangan di tanah. Naiklah ke arah matahari. Di sanalah sumber segala cahaya.”
---
10. Tujuan Akhir: Kembali, Bukan Menetap
Akhirnya, seluruh perjalanan ini kembali pada satu kalimat:
“Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.”
Sesungguhnya kita milik Allah dan kepada-Nya kita akan kembali.
Kekuasaan hanyalah alat untuk menakar kejujuran.
Kekayaan hanyalah cermin untuk menguji rasa syukur.
Teknologi hanyalah titipan untuk melihat sejauh mana manusia menjaga ciptaan-Nya.
Yusuf Al-Qardhawi menulis,
“Kemajuan tanpa iman hanyalah percepatan menuju kehancuran.”
Maka Allah menakar segala sesuatu:
menahan satu nikmat untuk membuka nikmat lain,
menciptakan kelemahan agar muncul tolong-menolong,
menciptakan miskin agar tumbuh kasih,
menciptakan gagal agar lahir doa.
---
Epilog: Hikmah dari Ketiadaan
Seandainya para nabi dibekali kekuasaan, dunia akan menganggap mereka menang karena harta dan teknologi.
Namun justru karena mereka miskin, mereka menjadi saksi kebenaran.
Karena mereka lemah, mereka menunjukkan kekuatan Tuhan.
Karena mereka diuji, mereka menyalakan harapan bagi yang terluka.
Allah tidak membekali Nabi dan Rasul dengan kekuasaan dan kekayaan bukan karena mereka kurang,
tapi karena Allah ingin menunjukkan bahwa kekuatan sejati bukan di tangan, tapi di hati.
Seperti kata Rumi:
“Ketika kamu kehilangan segalanya, di sanalah kamu akan menemukan bahwa Tuhan adalah segalanya.”
0 komentar: