Kerinduan Rasulullah ﷺ terhadap Wahyu — Seperti Itukah Kita?
“Tuhanmu tidak meninggalkanmu dan tidak membencimu.”
(QS. ad-Dhuha: 3)
Ada kalimat yang terasa mengguncang ketika dibaca perlahan — bukan karena kerasnya, tapi karena lembutnya.
Sebuah kalimat yang hanya bisa dipahami oleh hati yang pernah menunggu sesuatu dari langit:
firman, petunjuk, atau sekadar rasa bahwa Allah masih menyapa.
Rasulullah ﷺ menunggu wahyu sebagaimana seorang kekasih menunggu kabar dari yang dicintai.
Ia menanti bukan karena ingin tahu, tapi karena ingin bersua.
Dan di setiap kali wahyu tertunda, beliau tidak gelisah karena urusan dunia — tapi karena rindu kepada Allah.
Namun, sebelum wahyu itu datang, mari kita kembali ke awal —
ke masa sebelum cahaya turun di Gua Hira —
ketika kerinduan itu belum bernama, tapi telah berdenyut di dada seorang manusia pilihan.
---
1. Sebelum Gua Hira: Rindu kepada Cahaya yang Belum Bernama
Bayangkan Makkah sebelum kenabian.
Langitnya biru, tapi jiwanya kelabu. Kaum Quraisy beribadah kepada batu, membanggakan keturunan, dan menindas yang lemah.
Di tengah hiruk pikuk itu, ada satu lelaki muda yang merasa asing — Muhammad bin Abdullah.
Ibnu Ishaq meriwayatkan, sejak usia muda beliau tidak pernah ikut arak, pesta, atau sembahan berhala.
Beliau lebih suka diam, memandang langit, atau mendaki ke bukit-bukit yang sunyi.
Ada keresahan yang tidak bisa dijelaskan dengan logika, hanya bisa dirasakan:
rindu akan sesuatu yang belum dikenal, namun jiwanya tahu itu datang dari Tuhan.
Ibnu Hisham dalam Sirah Nabawiyah-nya menulis bahwa beliau setiap tahun ber-tahannuts di Gua Hira —
menyendiri berhari-hari, membawa sedikit bekal, beribadah, dan merenungi makna hidup.
Al-Qurthubi menjelaskan: tahannuts berarti “membersihkan diri dari dosa dan keburukan masyarakat untuk mendekat kepada kesucian.”
Maka, sebelum wahyu pertama pun, Allah telah menyiapkan jiwa Rasul-Nya untuk menanggung cahaya.
Kerinduan itu tumbuh dalam kesunyian, menjadi gema yang hanya bisa didengar oleh hati yang telah dimurnikan.
Di malam-malam sunyi Hira, mungkin beliau mendengar bisikan lembut di dalam dada:
“Bangunlah… engkau tidak diciptakan untuk diam, tapi untuk menyampaikan.”
Namun kepada siapa, dan tentang apa, beliau belum tahu.
Karena wahyu belum datang, dan rindu itu masih menunggu namanya.
---
2. Setelah Gua Hira: Ketika Rindu Itu Menjadi Getaran Wahyu
Lalu malam itu datang.
Langit terbuka. Malaikat Jibril turun, mengguncang semesta dengan satu kata:
“Iqra’ — Bacalah, dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.”
(QS. al-‘Alaq: 1)
Ibnu Katsir menulis dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim:
“Ayat ini adalah cahaya pertama yang menembus kegelapan bumi setelah berabad-abad wahyu terputus sejak Isa ‘alaihis-salam.”
Rasulullah ﷺ pulang dengan tubuh gemetar, wajah pucat, jiwanya bergetar antara takut dan takjub.
“Zammiluni… selimuti aku,” katanya kepada Khadijah.
Bukan karena takut pada malaikat, tapi karena gentar oleh kedahsyatan pertemuan langsung dengan Sang Pencipta.
Namun, setelah itu, wahyu terhenti — masa yang dikenal sebagai fatratul wahyi.
Tak ada lagi suara Jibril, tak ada ayat yang turun.
Hanya sunyi.
Dan di situlah kerinduan Rasulullah ﷺ mencapai puncak pertamanya.
Ibnu Sa‘d meriwayatkan: beliau sering berjalan ke bukit, menatap langit, berharap malaikat datang.
Ia menangis bukan karena kehilangan kekuatan gaib, tapi karena tidak lagi mendengar suara Tuhannya.
Hingga akhirnya turun wahyu kedua:
“Wahai orang yang berselimut, bangkitlah dan berilah peringatan.”
(QS. al-Muddatsir: 1–2)
Al-Tabari menafsirkan:
“Wahyu ini bukan perintah yang keras, tapi panggilan lembut.
Allah menyapa Rasul-Nya dengan kasih, mengembalikan semangat yang sempat gentar.”
Sejak saat itu, rindu beliau tak lagi sunyi.
Kerinduan itu berubah menjadi misi, dan setiap ayat yang turun menjadi percakapan cinta antara langit dan bumi.
---
3. Ketika Ada Pertanyaan: Rindu yang Menunggu Jawaban Langit
Rasulullah ﷺ tidak pernah menjawab pertanyaan besar tanpa wahyu.
Ketika kaum Quraisy atau orang Yahudi datang bertanya tentang Ashabul Kahfi, Dzulqarnain, atau Ruh, beliau berkata, “Besok akan aku jawab,” tapi lupa mengucap insya Allah.
Wahyu pun tertunda beberapa hari.
Malam-malam itu berat.
Beliau gelisah, bukan karena takut dicemooh, tapi karena rindu pada suara yang tak kunjung datang.
Ia menatap langit, menanti firman Allah.
Lalu turunlah ayat:
“Dan janganlah engkau mengatakan terhadap sesuatu: ‘Aku akan melakukannya besok pagi,’ kecuali dengan (mengucapkan) insya Allah.”
(QS. al-Kahfi: 23–24)
Al-Qusyairi menafsirkan:
“Allah mendidik kekasih-Nya agar ia bergantung penuh pada wahyu, bukan pada dirinya sendiri. Karena cinta sejati adalah menunggu kata dari yang dicintai.”
Demikianlah, setiap kali wahyu datang, bukan hanya akal beliau yang tercerahkan — tapi hatinya terobati.
Rindu itu terbayar.
Dan umat pun belajar bahwa ilmu sejati adalah hasil dari sabar menunggu firman, bukan tergesa-gesa menjawab dengan akal.
---
4. Ketika Ujian Datang: Rindu yang Menumbuhkan Keberanian
Rasulullah ﷺ menghadapi banyak badai:
pengusiran dari Makkah, perang, kematian orang yang dicintai, bahkan fitnah keji terhadap keluarga.
Namun di setiap peristiwa, beliau selalu menanti wahyu, bukan sekadar keputusan.
Ketika luka Uhud masih berdarah, dan sahabat gugur di sekitarnya, beliau berdoa:
“Ya Allah, ampunilah kaumku, karena mereka tidak tahu.”
Setelah perang, beliau duduk diam menunduk — menunggu wahyu.
Lalu turun ayat:
“Janganlah kamu lemah dan janganlah bersedih hati; kamulah yang paling tinggi jika kamu beriman.”
(QS. Ali ‘Imran: 139)
Ibnu Katsir menulis:
“Ayat ini adalah pelukan langit bagi hati Nabi sebelum menjadi penghiburan bagi umatnya.”
Begitulah wahyu — ia bukan hanya petunjuk, tapi obat rindu dan luka.
Di tengah derita, Rasulullah ﷺ tidak mencari hiburan dunia, melainkan menanti bisikan Allah.
Imam al-Ghazali berkata:
“Orang yang mengenal Allah tidak tenang dengan dunia, karena jiwanya selalu rindu mendengar kata-kata-Nya.”
Kerinduan itu menjadi sumber keberanian.
Karena siapa yang mencintai Allah, tidak akan takut pada siapa pun selain-Nya.
---
5. Ketika Wahyu Menjadi Nafas Cinta
Di puncak perjalanan hidupnya, Rasulullah ﷺ tidak lagi menunggu wahyu karena tugas, tetapi karena cinta.
Setiap kali Jibril datang, wajah beliau bersinar.
Ibnu Abbas meriwayatkan:
“Jika wahyu terlambat, wajah Nabi tampak sedih. Tapi begitu turun ayat, wajahnya kembali berseri seperti matahari yang muncul setelah mendung.”
Wahyu terakhir turun pada Haji Wada’:
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu.”
(QS. al-Ma’idah: 3)
Para sahabat bersorak gembira, tapi Rasulullah ﷺ menangis.
Ibnu Katsir menulis:
“Beliau menangis karena tahu: cinta itu akan segera berakhir di dunia. Wahyu akan berhenti, dan kerinduannya harus menunggu pertemuan di sisi Allah.”
Menjelang wafat, beliau sering berbisik:
“Ya Allah, temanilah aku bersama ar-Rafiq al-A‘la (Teman yang Mahatinggi).”
Itulah puncak rindu.
Rasulullah ﷺ tidak hanya ingin mendengar lagi wahyu, tapi ingin bertemu langsung dengan Pemilik wahyu.
---
6. Apakah Kita Masih Rindu Seperti Itu?
Pertanyaan ini menghantam sunyi kita:
Apakah kita masih merindukan wahyu sebagaimana Rasulullah ﷺ merindukannya?
Beliau menanti setiap ayat dengan air mata.
Kita? Kadang menunda membaca mushaf karena sibuk dengan layar gawai.
Beliau menangis jika wahyu terlambat, kita jarang menangis meski lama tak menyentuh Al-Qur’an.
Namun cinta itu belum mati.
Setiap kali kita membaca ayat dengan hati terbuka, kita sedang menghidupkan kembali jejak kerinduan beliau.
Ketika dada terasa sempit lalu Al-Qur’an membuat kita tenang,
itulah gema kecil dari cinta yang dulu membuat Nabi tersenyum di tengah malam.
Imam Al-Qurthubi berkata:
“Barang siapa rindu mendengar kalam Allah, maka cahaya kenabian masih menyala dalam hatinya.”
Maka, mari bertanya dengan jujur:
Apakah kita menunggu petunjuk Allah dalam doa-doa kita sebagaimana Rasulullah menanti Jibril?
Ataukah kita lebih cepat menunggu pesan manusia ketimbang wahyu Tuhan?
---
7. Wahyu, Rindu, dan Cinta yang Tak Pernah Padam
Kerinduan Rasulullah ﷺ terhadap wahyu bukan sekadar sejarah spiritual, tetapi warisan cinta yang hidup hingga kini.
Ia mengajarkan bahwa hubungan antara manusia dan Tuhan bukan hanya ketaatan — tetapi kerinduan dua arah.
Allah berfirman:
“Ingatlah Aku, niscaya Aku ingat kalian.”
(QS. al-Baqarah: 152)
Rasulullah ﷺ mengingat Allah dengan seluruh hidupnya,
dan Allah membalasnya dengan wahyu, dengan cinta, dengan kedekatan yang tak terlukiskan.
Kini, setiap kali kita membuka Al-Qur’an, sebenarnya kita sedang menyambung kembali percakapan lama antara langit dan bumi.
Firman yang sama, cinta yang sama, rindu yang sama — hanya pembacanya yang berbeda.
Wahyu bukan milik masa lalu.
Ia adalah suara yang terus hidup, menunggu hati yang ingin mendengarnya.
Dan setiap kali seseorang membaca dengan cinta,
malaikat seakan turun lagi, membawa kedamaian seperti dahulu kepada Rasulullah ﷺ.
---
8. Epilog: Jika Engkau Masih Rindu
Cobalah malam ini, di tengah kesunyian, buka mushafmu.
Baca perlahan, seakan ayat itu baru turun dari langit.
Bayangkan Rasulullah ﷺ menunduk di Hira, menahan tangis, mendengar “Iqra’.”
Bayangkan rindu yang membuncah di dadanya.
Dan biarkan ayat itu berbicara padamu:
“Tuhanmu tidak meninggalkanmu, dan tidak membencimu.”
Rasulullah ﷺ pernah menunggu setetes wahyu selama berbulan-bulan.
Kita hanya perlu membuka mushaf untuk menemuinya.
Jika engkau merasakan sejenak kehangatan di dada ketika membaca firman-Nya,
maka ketahuilah:
itu bukan sekadar ketenangan, tapi sapaan dari langit —
sebuah balasan lembut untuk kerinduan kecilmu.
Sebab Allah masih mencintai hati yang rindu,
dan rindu terbesar di bumi ini pernah bergetar dalam dada Rasulullah ﷺ
— yang tak pernah bosan menunggu kalam Tuhannya.
---
Apakah engkau masih rindu seperti itu?
Ataukah wahyu kini hanya bacaan tanpa getar cinta?
Rasulullah ﷺ menunggu wahyu dengan air mata,
kita menundanya karena kesibukan.
Namun Allah tak pernah menutup pintu.
Setiap kali kita membaca,
Ia seolah berkata,
“Aku masih berbicara kepadamu — sebagaimana dahulu Aku berbicara kepada Kekasih-Ku.”
Dan di situlah letak cinta yang abadi:
rindu yang tak pernah selesai,
antara hamba yang menanti dan Tuhan yang selalu menyapa.
0 komentar: