basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Evolusi Pemukim Ilegal Yahudi: Dari Alat Penjajahan hingga Memusuhi IDF Oleh: Nasrulloh Baksolahar Rakyat Palestina bukan hanya ...

Evolusi Pemukim Ilegal Yahudi: Dari Alat Penjajahan hingga Memusuhi IDF

Oleh: Nasrulloh Baksolahar



Rakyat Palestina bukan hanya menghadapi kekerasan dari militer Israel (IDF), tetapi juga dari pemukim ilegal Yahudi yang dikirim secara sistematis untuk merampas tanah, membakar rumah, dan mengusir warga dari kampung halaman mereka. Mereka bukan sekadar warga biasa—tetapi bagian dari strategi penjajahan terstruktur yang kini mulai berbalik arah, bahkan menyerang militer Israel sendiri. Bagaimana proses ini terjadi?



1. Penjajahan Gaya Baru: Pemukim sebagai Alat Pengusiran

Penjajahan modern tidak selalu hadir lewat tank dan senapan serbu. Di Palestina, wajah penjajahan justru tampil dengan pakaian sipil: pemukim Yahudi ilegal yang ditempatkan oleh pemerintah Israel di wilayah Tepi Barat dan Yerusalem Timur.

Dengan dalih klaim historis dan agama, mereka hadir bukan untuk hidup berdampingan, tetapi untuk mengusir warga Palestina, menghancurkan ladang zaitun, membakar rumah-rumah, dan menciptakan ketakutan. Aksi-aksi mereka sering dilakukan di bawah perlindungan langsung atau diam-diam dari tentara Israel.

"Penjajahan kini berpakaian sipil, memegang senjata, dan mengaku warga biasa."



2. Pemukim Yahudi Dipersenjatai secara Resmi oleh Negara

Sejak 2023, Israel mempercepat distribusi senjata ke kalangan sipil Yahudi, terutama pemukim ilegal. Menteri Keamanan Nasional sayap kanan, Itamar Ben-Gvir, bahkan membentuk “Pasukan Sipil” dari kalangan pemukim, lengkap dengan pelatihan militer oleh IDF.

Fakta-fakta mencengangkan:

1. Ribuan senapan otomatis dibagikan ke pemukim.

2. Pelatihan militer diberikan secara resmi.

3. Pos-pos pemukim berubah menjadi barak-barak bersenjata.


Senjata-senjata ini bukan untuk membela diri dari kriminalitas, melainkan untuk mengintimidasi dan mengusir rakyat Palestina dari tanah mereka sendiri.

“Pemukim kini bersenjata, dilegalkan negara, dan didiamkan dunia internasional.”



3. IDF: Pelindung Hukum yang Diam atau Berpihak

Secara resmi, IDF (Israel Defense Forces) bertugas menjaga ketertiban hukum. Namun, kenyataan di lapangan berbeda. Dalam banyak serangan pemukim terhadap desa-desa Palestina, IDF tidak mencegah, bahkan sering melindungi pelaku dan menahan warga Palestina yang membela diri.

Realitas di lapangan:

1. Serangan pemukim hanya berujung penahanan singkat, tanpa dakwaan.

2. Korban Palestina justru dipenjara atau dibunuh.

3. Perintah evakuasi pemukiman liar sering tidak dijalankan karena tekanan politik.


IDF bukan lagi pelindung hukum, tetapi penonton pasif atau bahkan pelaku kedua dalam penjajahan.



4. Bentrokan Pemukim dan IDF: Ketika Monster Menyerang Penciptanya

Ironisnya, pemukim bersenjata kini juga menyerang IDF ketika kepentingannya terganggu. Ketika tentara Israel mencoba menertibkan atau membongkar pos pemukiman ilegal, bentrokan pun pecah.

Insiden serius:

1. Pemukim menyerang IDF saat pembongkaran pos liar.

2. Mereka melempar batu, molotov, bahkan menembaki tentara yang hendak mengamankan lokasi.


Israel kini menghadapi konsekuensi dari ideologi ekstrem yang mereka pelihara sendiri—pemukim yang merasa lebih berhak dari negara, dan kini menolak dikendalikan oleh hukum manapun.



5. Menteri Keuangan Membela Pemukim dan Menyalahkan IDF

Bezalel Smotrich, Menteri Keuangan Israel dan tokoh penting dalam ekspansi pemukiman, secara terbuka membela pemukim bersenjata, bahkan saat mereka bentrok dengan IDF.

Pernyataan kontroversialnya:

“IDF seharusnya mendukung, bukan melawan para patriot Yahudi.”

Menuduh tentara “terlalu lembek” pada warga Palestina dan “terlalu keras” pada pemukim.

Menolak pembongkaran pos liar meski dinyatakan ilegal secara hukum Israel sendiri.


Smotrich bahkan mendorong penambahan anggaran negara untuk memperkuat pemukiman Yahudi, menjadikannya proyek penjajahan yang disokong penuh oleh dana publik dan aparat resmi.



Penjajahan yang Kini Berbalik Menghantam Dirinya Sendiri

Kita sedang menyaksikan penjajahan yang tidak hanya brutal terhadap yang dijajah, tetapi juga berbalik menghantam institusi yang menciptakannya. Pemukim Yahudi bukan lagi hanya alat, melainkan aktor utama dalam konflik:

1. Mereka menyerang warga Palestina dengan impunitas.

2. Mereka dipersenjatai dan dilegalkan oleh negara.

3.Mereka melawan tentara sendiri demi ideologi.

4. Dan mereka dibela oleh elit politik, meski telah melanggar hukum.


Para pemukim Yahudi telah berevolusi dan akan terus berevolusi. Seperti kaum Bani Israil yang dibebaskan oleh Nabi Musa, lalu mendurhakai Nabi Musa sendiri. Kelak, mereka akan membangkang kepada penguasa penjajah Israel sendiri. Seperti penolakan kaum Haredim yang menolak untuk wajib militer.

Hasan bin Ali dalam Mengelola Harta dan Amanah Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT 1. Mengelola Keuangan Keluarga:...

Hasan bin Ali dalam Mengelola Harta dan Amanah

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT


1. Mengelola Keuangan Keluarga: Qana’ah dan Kedermawanan

Hasan bin Ali tumbuh dalam rumah yang penuh kesucian dan kesederhanaan. Ia mewarisi sifat dermawan dari kakeknya (Rasulullah ï·º) dan ayahnya (Ali bin Abi Thalib).

Diriwayatkan bahwa:

Hasan bin Ali pernah membagikan seluruh hartanya kepada fakir miskin sebanyak dua kali dalam hidupnya, dan pernah membagi hartanya menjadi dua, lalu memberikan separuhnya sebanyak tiga kali.

Namun, ia tetap memenuhi kebutuhan keluarga dengan tanggung jawab dan penuh kasih. Meski hidup sederhana, ia menjaga izzah (kehormatan) keluarga, tanpa meminta-minta dan tanpa membiarkan mereka kelaparan.

Prinsip utama Hasan: Harta adalah titipan, dan keluarga tidak boleh menjadi alasan untuk mencintai dunia secara berlebihan.



2. Mengelola Kas Negara: Menjaga Amanah Umat

Ketika menjabat sebagai khalifah, Hasan bin Ali hanya memerintah selama beberapa bulan sebelum menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah demi mencegah pertumpahan darah (peristiwa ini dikenal sebagai “Tahun Jamaah”).

Selama kepemimpinannya yang singkat, Hasan bin Ali dikenal tidak mengambil sepeser pun dari kas negara untuk kepentingan pribadi.

Ia memisahkan dengan tegas antara harta umat (baitul mal) dan harta pribadinya. Ia menolak menggunakan harta negara, kecuali untuk urusan umat dan kebutuhan mendesak.

Hasan bin Ali adalah teladan pemimpin yang memandang kekuasaan bukan hak, tapi amanah berat yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.



3. Mengelola Gaji sebagai Khalifah: Menolak Kemewahan

Ketika diangkat menjadi khalifah, Hasan menolak fasilitas mewah. Ia memilih tinggal di rumah biasa dan hidup dari usaha pribadi dan sedekah yang halal, tanpa membebani umat.

Diceritakan bahwa beliau lebih banyak mendermakan hartanya daripada menyimpannya. Bahkan jika diberi harta oleh seseorang, ia segera membaginya kepada yang lebih membutuhkan.

Suatu hari, ia ditanya, “Mengapa engkau banyak bersedekah?”
Ia menjawab: “Aku malu kepada Allah bila aku menerima nikmat-Nya, tapi aku enggan memberi kepada hamba-Nya.”



4. Melunasi Utang: Segera dan Diam-diam

Hasan bin Ali sangat menjaga kehormatan diri dan keluarga dalam soal utang. Ia tidak membiarkan utang menumpuk, dan jika berutang, maka ia akan berusaha melunasi secepat mungkin.

Salah satu teladan luar biasa adalah sikapnya terhadap utang orang lain.

Ia pernah mendengar seorang lelaki dari kalangan sahabat ayahnya terjerat utang. Ia lalu diam-diam menyuruh seseorang membayar seluruh utangnya tanpa memberitahukan sang lelaki.

Bagi Hasan bin Ali, utang bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal kemuliaan jiwa dan kepercayaan sosial.



5. Wasiat Soal Hutang saat Wafat: Tidak Mau Membawa Utang ke Alam Kubur

Menjelang wafatnya, Hasan bin Ali berwasiat kepada saudaranya, Husain, agar melunasi utang-utang pribadinya jika belum sempat terbayar.

"Wahai saudaraku Husain, bila aku wafat dan masih punya utang, maka lunasilah. Aku tidak ingin menghadap Allah dengan membawa hak manusia yang belum ditunaikan."



Wasiat ini menunjukkan betapa beratnya tanggung jawab soal utang dalam pandangan beliau, dan betapa tingginya kehati-hatian Hasan bin Ali terhadap hak-hak orang lain.



Penutup: Hasan bin Ali, Pewaris Akhlak Kenabian

Hasan bin Ali bukan hanya pemimpin yang bijak, tapi juga contoh nyata bagaimana seorang Muslim mulia memperlakukan uang:

Tidak bergantung padanya,

Tidak rakus terhadapnya,

Dan tidak membiarkan dirinya diperbudak oleh dunia.


“Dunia hanya tempat kita memberi, bukan tempat kita menggenggam.”
— Hasan bin Ali

Ali bin Abi Thalib: Kaya Hikmah, Bersih Harta Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT  Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra...

Ali bin Abi Thalib: Kaya Hikmah, Bersih Harta

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT 

Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. adalah pintu ilmu, menantu Rasulullah ï·º, dan khalifah keempat yang hidup dalam gejolak fitnah besar. Namun di tengah konflik politik, beliau tetap menjaga satu hal dengan sangat serius: harta.

Di tangannya, uang tidak berkuasa. Ia tidak menjadi hamba harta, justru menjadikan harta alat untuk menguatkan keadilan dan menjaga harga diri umat.

Inilah enam cara Sayyidina Ali mengelola uang dalam berbagai sisi kehidupannya.



1. Mengelola Uang di Keluarga: Sederhana dan Bersahaja

Ali hidup dengan Fatimah az-Zahra dalam kesederhanaan luar biasa. Mereka pernah hidup hanya dengan satu tikar kulit dan satu penggiling tangan dari batu.

Suatu hari, Fatimah mengeluh karena tangannya kasar akibat menggiling sendiri gandum. Ia minta pembantu. Tapi Ali berkata:

“Wahai Fatimah, maukah kau kuajari sesuatu yang lebih baik daripada pembantu?”

Lalu ia ajarkan tasbih, tahmid, dan takbir sebagai kekuatan spiritual menggantikan keluhan duniawi.

Ali memberi nafkah seadanya. Ketika uang cukup, mereka makan. Ketika tidak, mereka bersabar. Tapi kehormatan rumah tangga mereka tak pernah dijual demi dunia.



2. Mengelola Uang dalam Bisnis: Mandiri dan Produktif

Ali bukan pedagang besar seperti Abu Bakar atau Utsman, tapi ia bekerja keras sebagai buruh, petani, dan penggali sumur. Ia membuka banyak lahan di Madinah dan sekitarnya, menggali sumur dengan tangan sendiri.

Hasil dari pertanian dan airnya diwakafkan. Ia berkata:

“Bekerja dengan tangan sendiri adalah kemuliaan, dan berbagi dengan ikhlas adalah kebebasan.”

Ia menjadikan bisnis sebagai jalan kemandirian, bukan jalan menjadi kaya raya. Tidak bergantung, tidak meminta.



3. Mengelola Uang Soal Utang: Hati-hati dan Bertanggung Jawab

Ali sangat hati-hati dengan utang. Ia berkata:

“Utang adalah kehinaan di siang hari, dan kegelisahan di malam hari.”

Ia tidak suka berutang, dan tidak suka rakyatnya terlilit utang karena ketidakadilan. Bila seseorang berutang karena kebutuhan mendesak, ia bantu. Tapi bila karena malas, ia ingatkan.

Ia juga tidak meninggalkan utang saat wafat, dan mewasiatkan untuk melunasi semua hak orang sebelum jasadnya ditanam.



4. Mengelola Uang di Kas Negara: Sangat Tegas, Sangat Bersih

Saat menjabat khalifah, Ali ra. memimpin negara dalam kondisi yang kacau: fitnah, pemberontakan, dan perpecahan. Tapi ia tetap memisahkan mutlak antara harta negara dan kepentingan pribadi.

Ia berkata:

“Demi Allah, andai aku kelaparan dan kas negara ada madu dan gandum, aku tidak akan menyentuhnya tanpa hak.”

Ia membakar surat-surat permintaan dari kerabatnya yang meminta jatah. Ia menolak anak-anak Bani Hasyim yang meminta keistimewaan.

Pernah seseorang memberi madu sebagai hadiah, lalu Ali bertanya, “Apakah ini hadiah atau zakat?” Ketika dijawab “zakat,” ia menolak dan berkata:

“Zakat tidak halal bagi keluarga Nabi.”



5. Mengelola Uang Gaji Khalifah: Cukup untuk Hidup, Tak Lebih

Ali menerima gaji sebagai khalifah, tapi sangat minimal. Ia hanya mengambil kebutuhan pokok, dan bila berlebih ia kembalikan ke Baitul Mal.

Ia memakai pakaian biasa, makan roti kering dan garam, dan tidak pernah duduk di meja makanan mewah. Bila ada undangan jamuan yang mewah, ia lebih memilih absen.

Ia pernah berkata:

“Apakah pantas aku makan enak, sementara rakyatku lapar?”

Dalam suatu khutbah, ia menangis dan berkata:

 “Bisa jadi di pelosok negeri ini ada orang lapar yang tak aku ketahui. Bagaimana aku akan menjawabnya kelak di hadapan Allah?”



6. Wasiat Uang Saat Wafat: Semua untuk Allah, Jangan Tinggalkan Beban

Sebelum wafat akibat tusukan Ibnu Muljam, Ali menulis wasiat:

“Bertakwalah kepada Allah dalam urusan harta. Jangan kalian wariskan utang. Tunaikan hak orang sebelum kalian ditanya oleh Allah.”

Ia mewasiatkan tanah, sumur, dan kebun miliknya untuk dijadikan wakaf. Anak-anaknya tidak diwarisi tanah kekuasaan, tapi warisan kehormatan dan ilmu.

Ia wafat dalam keadaan sederhana. Tak ada kekayaan besar. Tak ada istana. Tapi jiwanya telah kaya sejak dulu: kaya dalam takut kepada Allah.



Penutup: Zuhud Bukan Menolak Uang, Tapi Menundukkan Hati dari Dunia

Sayyidina Ali bin Abi Thalib mengajarkan bahwa zuhud bukan berarti anti-harta, melainkan menguasai harta, bukan dikuasai olehnya.

Ia menanam dengan tangan sendiri, tapi hasilnya untuk umat.
Ia menjabat khalifah, tapi tak ambil fasilitas.
Ia bisa kaya, tapi memilih mulia.

Kalau para pemimpin dan kepala keluarga meneladani Ali, negeri ini akan penuh amanah, dan harta akan menjadi jalan ke surga, bukan ke neraka.

Utsman bin Affan: Saudagar Dermawan, Khalifah Zuhud Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT  Utsman bin Affan ra., kha...

Utsman bin Affan: Saudagar Dermawan, Khalifah Zuhud

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT 

Utsman bin Affan ra., khalifah ketiga Islam, adalah sahabat Nabi ï·º yang diberi dua cahaya—menikahi dua putri Rasulullah secara bergantian. Ia adalah pemalu di depan manusia, tapi berani memberi besar-besaran di jalan Allah.

Ia kaya raya, tapi hatinya tak pernah terpaut pada harta. Uang baginya bukan simbol kekuasaan, tapi alat untuk menyelamatkan umat dan membeli ridha Allah.

Inilah cara Utsman bin Affan mengelola harta dalam berbagai peran hidupnya:



1. Mengelola Uang di Keluarga: Lembut, Adil, dan Penuh Tanggung Jawab

Utsman berasal dari keluarga Quraisy terpandang, dan ia salah satu saudagar sukses di Makkah. Namun kekayaan itu tidak membuatnya pelit atau arogan.

Ia dikenal sangat penyayang terhadap istri-istrinya, termasuk saat mendampingi Ruqayyah dan kemudian Ummu Kultsum (putri Rasulullah ï·º). Ia menafkahi mereka dengan layak, bahkan sering memberikan hadiah atau pakaian mewah sebagai bentuk cinta—tanpa berlebihan.

Tapi di balik kelembutan itu, Utsman tetap menjaga prinsip syariat: tidak boros, tidak riya, dan tidak melampaui batas kemampuan.



2. Mengelola Uang dalam Bisnis: Profesional, Jujur, dan Berkah

Utsman adalah pedagang yang sangat sukses. Ia berdagang kain, rempah, dan barang kebutuhan pokok hingga memiliki armada dagang sendiri.

Namun prinsipnya dalam berdagang sangat kuat:

Tidak pernah menipu timbangan

Tidak memonopoli

Tidak menimbun barang saat harga naik

Selalu membayar utang dagang tepat waktu

Tidak mengambil keuntungan dari musibah orang lain


Ia pernah berkata:

“Harta ini hanya amanah. Jika Allah mengambilnya kembali, aku rela. Jika Allah memintanya untuk agama-Nya, aku beri.”


Itulah sebabnya, walau hartanya banyak, Utsman tidak pernah tertawa keras di hadapan orang miskin.



3. Mengelola Uang Soal Utang: Jangan Biarkan Jadi Beban Akhirat

Utsman sangat berhati-hati dalam berutang. Ia tidak berutang untuk spekulasi bisnis, dan lebih memilih memperluas modal dari hasil keuntungan dagang.

Tapi bila orang lain berutang padanya, ia gampang memaafkan. Bahkan ia pernah membebaskan utang seorang sahabat yang tidak mampu bayar, dengan berkata:

“Aku berharap Allah membebaskanku dari utang di akhirat, sebagaimana aku membebaskanmu di dunia.”


Utsman mengajarkan bahwa harta bisa jadi penyelamat, jika digunakan untuk meringankan beban orang lain.



4. Mengelola Uang di Kas Negara: Pisahkan Harta Pribadi dan Publik

Ketika menjadi khalifah, Utsman tetap memisahkan jelas antara harta pribadinya yang melimpah dan kas negara yang harus dijaga.

Ia bahkan tidak mengambil gaji dari Baitul Mal di masa awal pemerintahannya. Ia hidup dari hasil usahanya sendiri. Jika menggunakan fasilitas negara, ia catat dan bayar.

Ia juga memperbaiki administrasi fiskal, mencatat aset negara, dan membentuk unit akuntansi. Ia adalah pemimpin yang menerapkan prinsip audit dan pelaporan kekayaan.

Namun karena ia memberi banyak subsidi dan bantuan, muncul tuduhan nepotisme dari sebagian pihak—yang kelak dimanfaatkan untuk menggulingkannya. Padahal, ia membagikan bantuan bukan karena hubungan darah, tapi karena tanggung jawab sosial.



5. Mengelola Uang Gaji Khalifah: Menolak Gaji, Hidup dari Usaha Sendiri

Ketika ditawari gaji sebagai khalifah, Utsman menolak. Ia berkata:

“Aku tidak butuh dari Baitul Mal. Allah telah mencukupiku dari hasil perniagaanku.”


Ia mencontoh Abu Bakar dan Umar, tapi bahkan lebih ketat dalam hal ini.

Ia hidup dari ladang kurma, kebun, dan bisnis kafilah dagangnya yang masih terus berjalan, meski ia memimpin negara besar.

Ia hanya memakai gaji negara jika benar-benar darurat, dan selalu mencatat setiap pengeluaran negara yang ia gunakan.



6. Wasiat Uang Saat Wafat: Kembali kepada Umat, Beli Surga dengan Sedekah

Saat wafat dalam keadaan dizalimi oleh para pemberontak, Utsman tidak meninggalkan utang, tidak meninggalkan kekayaan yang belum dibagi, dan tidak menguasai harta umat.

Ia justru meninggalkan jejak sedekah besar:

Sumur Raumah yang ia beli dan hibahkan untuk rakyat Madinah

Biaya besar untuk perang Tabuk (menyumbang 1.000 unta lengkap dengan peralatannya)

Rumah dan lahan yang ia wakafkan untuk masjid Nabawi

Harta pribadinya yang ia wasiatkan sebagian untuk anak yatim dan fakir miskin


“Jika surga bisa dibeli dengan harta, aku akan membelinya berkali-kali,” demikian prinsip hidupnya.

Ia mati dalam keadaan puasa, membaca Al-Qur'an, dan darahnya menodai mushaf saat ia dibunuh. Dunia mencelakainya, tapi ia sudah membeli akhirat dengan seluruh hartanya.



Penutup: Kaya Tak Harus Rakus

Utsman bin Affan membuktikan bahwa menjadi kaya itu tidak haram, asal:

Jujur dalam mencari

Bersih dalam menggunakan

Banyak dalam memberi

Kecil dalam mengambil

Besar dalam hisab

 Ia adalah simbol kedermawanan tak bersyarat, pemilik harta yang tidak dikuasai dunia, dan pemimpin yang wafat dengan kehormatan dan Al-Qur’an di dadanya.

Umar bin Khattab: Pemimpin Besi dengan Hati yang Takut Hisab karena Uang Ide Tulisan:Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT  Umar ...


Umar bin Khattab: Pemimpin Besi dengan Hati yang Takut Hisab karena Uang

Ide Tulisan:Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT 


Umar bin Khattab ra., khalifah kedua dalam sejarah Islam, adalah simbol kekuatan dan keadilan. Ia menaklukkan Persia dan sebagian besar wilayah Romawi, tapi tidak pernah menaklukkan satu pun dirham untuk kepentingan dirinya.

Di balik sosoknya yang tegas, tersimpan akhlak luar biasa dalam mengelola uang—baik sebagai ayah, pedagang, pemimpin negara, maupun hamba Allah yang takut akan hisab.



1. Mengelola Uang di Keluarga: Tegas, Adil, dan Tak Berlebihan

Sebagai kepala keluarga, Umar tidak pernah membiarkan istri dan anak-anaknya hidup bermewah-mewah. Ia memberikan kebutuhan pokok secukupnya, tanpa memanjakan.

Pernah suatu hari istrinya meminta tambahan belanja. Umar menjawab:

"Aku tidak memiliki hak lebih dari hak kaum Muslimin lainnya. Jika aku beri lebih, lalu dari mana aku jawab di hadapan Allah?"

Anaknya, Abdullah bin Umar, pernah ingin membeli pakaian bagus. Umar melarang. Ia ingin keluarga khalifah tidak berbeda dengan rakyat biasa.



2. Mengelola Uang dalam Bisnis: Jujur dan Penuh Etika

Sebelum masuk Islam, Umar adalah saudagar sukses. Ia berdagang di pasar Ukaz dan Makkah. Tapi bahkan sebelum kenal Islam, ia sudah dikenal jujur dan berani berkata benar.

Setelah masuk Islam, ia lebih berhati-hati. Ia berdagang bukan untuk menumpuk harta, tapi untuk hidup mandiri. Ia tak pernah menimbun barang, menaikkan harga seenaknya, apalagi menipu pelanggan.

Bisnis baginya bukan jalan menjadi kaya, melainkan jalan menghindari meminta-minta dan hidup mulia.



3. Mengelola Uang Soal Utang: Tak Suka Menunda, Tak Suka Berutang

Umar sangat benci pada orang yang berutang tapi tidak berusaha melunasi. Ia berkata:

"Berhati-hatilah kalian terhadap utang, sebab awalnya kekhawatiran dan akhirnya permusuhan."



Ia tak suka rakyat menggampangkan utang. Tapi ia juga membela orang miskin yang benar-benar terpaksa berutang. Ia memerintahkan Baitul Mal membantu mereka, agar tak dijerat riba.

Umar sendiri dikenal tidak suka berutang. Jika harus meminjam, ia akan segera melunasinya. Bahkan dalam pengawasan pasar, ia menegur pedagang yang terlalu banyak berutang dagang.



4. Mengelola Uang di Kas Negara: Seperti Pengelola Amanah Allah

Umar sangat keras terhadap pengelolaan Baitul Mal. Ia memisahkan urusan pribadi dan negara secara tegas. Ia tak mau memakai lilin negara untuk urusan keluarganya.

Pernah ia kedatangan tamu urusan pribadi, lalu memadamkan lampu. Ketika ditanya, ia menjawab:

“Lampu ini menyala dari harta negara. Dan urusan kita bukan urusan negara.”

Ia juga mencatat sendiri pemasukan dan pengeluaran kas negara, serta mewajibkan para pejabat mencatat dan melaporkan kekayaan mereka. Bila ada yang tiba-tiba kaya, ia akan menyelidikinya.

Harta rampasan perang pun tak pernah ia sentuh untuk kepentingan pribadi. Ia langsung membaginya sesuai syariat dan mendahulukan orang-orang miskin dan keluarga syuhada.



5. Mengelola Uang Gaji Khalifah: Cukup Makan dan Pakaian, Tak Lebih

Gaji Umar sebagai khalifah sangat kecil. Ia hanya menerima 2 dirham sehari, cukup untuk makan roti, kurma, dan air. Bahkan terkadang itu pun ia hematkan untuk rakyat.

Pernah sahabat-sahabat mendesak agar ia menaikkan gajinya. Umar menolak. Ia berkata:

“Apakah kalian ingin aku kehilangan keberkahan jabatan ini? Aku cukup dengan apa yang cukup untuk rakyatku.”

Bajunya tambalan. Rumahnya kecil. Ia tak menyimpan makanan lebih dari sehari. Bukan karena ia miskin, tapi karena takut kelak Allah bertanya tentang setiap suap dan kain yang dipakai.



6. Wasiat Uang Saat Wafat: Kembali kepada Rakyat dan Allah

Menjelang wafat karena tusukan Abu Lu’lu’ah, Umar memanggil anak-anaknya dan berkata:

 “Jika aku memiliki utang, lunasilah segera. Jika aku memiliki kelebihan, kembalikan ke Baitul Mal.”

Ia tidak meninggalkan warisan besar. Tidak ada tanah, emas, atau rumah mewah. Ia hanya meninggalkan takut kepada Allah, dan catatan bersih di hadapan umat.

Ia mewasiatkan agar jasadnya dimakamkan di dekat Rasulullah ï·º, tapi tetap meminta izin dari Aisyah lebih dulu—sebagai tamu, bukan sebagai khalifah.



Penutup: Kekuasaan Tak Membuatnya Kaya

Khalifah Umar mengelola harta bukan dengan logika untung-rugi dunia, tapi dengan takut akan hisab dan cinta pada keadilan.

“Jika seekor keledai tergelincir di Irak, aku takut Allah akan tanya: mengapa kau tak perbaiki jalannya, wahai Umar?”


Di zamannya, negara kaya, tapi pemimpinnya tetap hidup sederhana. Rakyat kenyang, tapi pemimpinnya tetap lapar demi menjaga keadilan.

Umar bin Khattab telah membuktikan:
Keadilan bukan teori, tapi pilihan hidup. Dan uang bukan hak, tapi amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban.

Abu Bakar Ash-Shiddiq: Teladan Mengelola Uang dengan Amanah dan Akhirat di Hati Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGP...


Abu Bakar Ash-Shiddiq: Teladan Mengelola Uang dengan Amanah dan Akhirat di Hati

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT


Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. adalah sahabat Nabi ï·º yang paling dicintai dan khalifah pertama setelah wafatnya Rasulullah. Namun di balik kemuliaan iman dan kepemimpinannya, ada satu hal penting yang kerap dilupakan: cara beliau mengelola uang—dengan akhlak, amanah, dan pandangan akhirat yang tajam.



1. Mengelola Uang di Keluarga: Sederhana dan Bertanggung Jawab

Abu Bakar hidup dengan penuh kesederhanaan. Rumahnya tak lebih dari bangunan batu sederhana di Madinah. Ia tetap berdagang kain meski telah memeluk Islam dan menjadi tangan kanan Rasulullah.

Suatu ketika, setelah diangkat menjadi khalifah, ia tetap memikul barang dagangannya. Umar bin Khattab melihat dan berkata, "Wahai Abu Bakar, uruslah umat! Kami akan mencukupimu dari Baitul Mal."

Namun ia menjawab, "Siapa yang akan menafkahi keluargaku jika aku tak berdagang?"

Bagi Abu Bakar, keluarga adalah amanah dunia, dan ia tidak ingin membebani umat karena tanggung jawab pribadinya. Ia baru menerima gaji khalifah setelah dipastikan jumlahnya cukup untuk kebutuhan dasar istri dan anak-anaknya, tanpa berlebihan.



2. Mengelola Uang dalam Bisnis: Jujur dan Bersih

Sebagai pedagang, Abu Bakar terkenal jujur, adil, dan tak pernah menipu. Ia lebih suka mengambil untung sedikit tapi halal daripada meraih banyak keuntungan dari ketidakjujuran.

Ia tidak berutang untuk spekulasi. Ia berdagang berdasarkan modal nyata, dengan prinsip ridha dan kejelasan. Ia tahu bahwa setiap dirham akan dihisab.

Karena kejujurannya, banyak orang Quraisy percaya padanya—dan itulah yang menjadi bekal spiritual ketika ia menemani Rasulullah ï·º hijrah: dipercaya membawa harta dan rahasia, karena dikenal tak pernah menyalahgunakan amanah.



3. Mengelola Uang Soal Utang: Segera Dilunasi, Jangan Ditunda

Abu Bakar sangat berhati-hati terhadap utang. Ia sering berkata, "Utang kepada manusia adalah beban dunia, dan hisab di akhirat."

Bahkan menjelang wafat, ia mewasiatkan:

 “Barang siapa yang merasa memiliki hak atau piutang atas diriku, hendaklah mendatanginya anakku agar dilunasi.”

Ia tidak pernah menunda-nunda. Bila punya utang, ia akan segera membayar. Bila menerima titipan, ia kembalikan tepat waktu. Ia hidup dengan prinsip: jangan bawa utang ke liang kubur.



4. Mengelola Uang di Kas Negara: Bersih dan Sangat Hati-hati

Sebagai kepala negara, Abu Bakar mengelola Baitul Mal dengan penuh takut kepada Allah. Ia memastikan harta negara tidak digunakan untuk kepentingan pribadi, bahkan sekadar lilin penerang saat menulis surat pribadi pun ia padamkan jika urusan negara selesai.

Jika ada kelebihan dari kas negara, ia kembalikan. Bila ada kebutuhan darurat dari rakyat, ia prioritaskan.

Ia tidak memungut pajak berlebihan. Zakat dikelola dengan baik. Saat ada pemberontakan yang menolak membayar zakat, Abu Bakar tegas:

 “Demi Allah, aku akan perangi siapa pun yang memisahkan zakat dari salat!”



5. Mengelola Uang Gaji Khalifah: Kembalikan Jika Tidak Layak

Gaji khalifah ditetapkan oleh para sahabat dengan sangat minimal. Abu Bakar hanya menerima gaji cukup untuk makan, pakaian sederhana, dan kebutuhan dasar.

Namun menjelang wafatnya, ia merasa khawatir gaji itu melebihi kebutuhannya.

Ia berkata kepada Aisyah ra.:

“Aku telah mengambil beberapa dirham dari Baitul Mal. Jika aku wafat, juallah kebun milikku, dan kembalikan seluruhnya ke kas negara.”


Ia tidak ingin bertemu Allah dalam keadaan masih menanggung harta yang bukan miliknya, meski itu diberikan secara resmi.



6. Wasiat Uang Saat Wafat: Bersih dan Tak Meninggalkan Beban

Sebelum wafat, Abu Bakar menghitung seluruh hartanya. Ia berkata kepada Umar:

“Aku tidak meninggalkan harta, kecuali satu budak, seekor unta, dan satu kebun. Sisanya, kembalikan ke umat.”

Ia mewasiatkan kepada anaknya untuk melunasi semua utangnya dan menyelesaikan segala urusan harta dengan manusia sebelum tubuhnya masuk ke liang lahat.

Ia tidak ingin dikenal sebagai orang kaya, tidak juga dikenang sebagai pemimpin berpakaian mewah. Ia ingin wafat seperti ia hidup: ringan, bersih, dan tak menggantung satu dirham pun milik orang lain.



Teladan di Era Penuh Godaan

Hari ini, ketika banyak orang bangga dengan kekuasaan, jabatan, dan harta, Abu Bakar justru memberi teladan kepemimpinan yang takut kepada Allah dalam setiap sen uang yang dikelola.

Harta tidak membuatnya tinggi,
utang tidak membuatnya merunduk,
dan jabatan tidak mengubah kejujurannya.


Jika para pemimpin, pebisnis, dan kepala keluarga hari ini belajar dari Abu Bakar, mungkin negeri ini akan lebih ringan beban utangnya—baik di dunia, maupun di akhirat.

Sultan-Sultan Minangkabau: Melunasi Utang Demi Marwah Nagari Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT  Tanah Minangkaba...

Sultan-Sultan Minangkabau: Melunasi Utang Demi Marwah Nagari

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT 


Tanah Minangkabau dikenal sebagai negeri para raja adat, ulama, dan pedagang tangguh. Namun di balik kejayaannya, para sultan dan pemimpin Minang menghadapi tantangan ekonomi serius, terutama sejak abad ke-18 saat intervensi kolonial Belanda dan sistem utang dagang mulai menjerat rakyat.

Dalam kondisi itu, para penghulu adat, raja, dan sultan di nagari-nagari besar Sumatera Barat mengambil sikap. Utang rakyat bukan hanya beban pribadi, tapi kehormatan nagari. Dan ketika marwah nagari terancam karena utang, maka para pemimpinnya harus turun tangan.



1. Sultan Alam Bagagarsyah: Melunasi Utang Rakyat di Era Kolonial

Pada masa Sultan Alam Bagagarsyah (raja Pagaruyung terakhir, 1795–1833), intervensi kolonial Belanda mulai menggoyang ekonomi lokal. Melalui praktik rente dan sistem “pinjaman paksa” kepada para penghulu dan rakyat, banyak nagari jatuh miskin, dan harta pusaka mulai tergadai.

 Sang Sultan:

Menolak pinjaman berbungakan tinggi dari pemerintah kolonial

Melunasi utang beberapa penghulu nagari dari kas kerajaan dan emas simpanan istana

Mewajibkan musyawarah adat untuk menyelesaikan persoalan utang tanpa kekerasan


Beliau berkata kepada para datuk:

“Utang yang membuat rakyat kehilangan sawah dan ladang, akan membuat kita kehilangan harga diri.”



2. Para Datuk Nagari: Melindungi Rakyat dari Utang Menindas

Dalam sistem pemerintahan Minangkabau, para Datuk atau penghulu bukan hanya tokoh adat, tapi juga pelindung ekonomi rakyatnya. Banyak kisah turun-temurun tentang datuk yang:

Menebus tanah rakyat yang digadaikan karena utang

Melarang menjual pusaka tinggi (tanah warisan kaum) demi utang pribadi

Menggalang kas bersama (sando, pitih sanak, pitih nagari) untuk melunasi utang petani dan pedagang kecil


“Tanah pusako bukan untuk dilelang. Bila anak kemenakan terjerat utang, datuk yang terlebih dulu malu.”



3. Ulama Harimau Nan Salapan: Menentang Utang Kolonial dan Rente

Kelompok ulama reformis Minang, seperti Tuanku Nan Renceh, Tuanku Imam Bonjol, dan ulama Harimau Nan Salapan pada abad ke-18–19, bukan hanya berjuang dalam medan jihad fisik, tetapi juga melawan sistem ekonomi rente yang menjajah rakyat.

Mereka:

Membakar buku utang yang dibuat rentenir Belanda dan pedagang Cina di pasar-pasar

Mendirikan lembaga zakat dan pinjaman tanpa bunga

Mendorong rakyat menghindari utang konsumtif dan melawan sistem “gadai pusako”


Tuanku Imam Bonjol berkata:

 “Jika utang menjadikan kita budak, maka membebaskannya adalah jihad.”



4. Falsafah Minang: Utang Adalah Ujian Adat dan Agama

Falsafah Minangkabau menempatkan utang dalam posisi serius:

 “Utang dibayar, janji ditunai.”
“Nan tabao pinjam, nan digadai ditebus.”
“Biar lapar, asal tidak berutang ke musuh.”


Karena itu, kesultanan dan sistem nagari bertanggung jawab membantu rakyat keluar dari jeratan utang yang menghina.



Penutup: Utang, Marwah, dan Kepemimpinan Minangkabau

Para sultan dan pemimpin adat Minangkabau telah memberi contoh:

Tidak menjadikan utang sebagai alat menundukkan rakyat

Menggunakan kas kerajaan dan sistem sako-pusako untuk menolong rakyat

Menjaga agar tanah pusaka tidak terjual demi utang sesaat


 “Kita bukan bangsa peminta, tapi pewaris marwah. Jika anak nagari terjerat utang, pemimpin wajib membebaskannya dengan kehormatan, bukan dengan menjual negeri.”

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (356) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (541) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (27) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (7) Namrudz (2) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (224) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (466) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (486) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (234) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (228) Sirah Sahabat (144) Sirah Tabiin (42) Sirah Ulama (144) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)