Umar bin Khattab: Pemimpin Besi dengan Hati yang Takut Hisab karena Uang
Ide Tulisan:Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT
Umar bin Khattab ra., khalifah kedua dalam sejarah Islam, adalah simbol kekuatan dan keadilan. Ia menaklukkan Persia dan sebagian besar wilayah Romawi, tapi tidak pernah menaklukkan satu pun dirham untuk kepentingan dirinya.
Di balik sosoknya yang tegas, tersimpan akhlak luar biasa dalam mengelola uang—baik sebagai ayah, pedagang, pemimpin negara, maupun hamba Allah yang takut akan hisab.
1. Mengelola Uang di Keluarga: Tegas, Adil, dan Tak Berlebihan
Sebagai kepala keluarga, Umar tidak pernah membiarkan istri dan anak-anaknya hidup bermewah-mewah. Ia memberikan kebutuhan pokok secukupnya, tanpa memanjakan.
Pernah suatu hari istrinya meminta tambahan belanja. Umar menjawab:
"Aku tidak memiliki hak lebih dari hak kaum Muslimin lainnya. Jika aku beri lebih, lalu dari mana aku jawab di hadapan Allah?"
Anaknya, Abdullah bin Umar, pernah ingin membeli pakaian bagus. Umar melarang. Ia ingin keluarga khalifah tidak berbeda dengan rakyat biasa.
2. Mengelola Uang dalam Bisnis: Jujur dan Penuh Etika
Sebelum masuk Islam, Umar adalah saudagar sukses. Ia berdagang di pasar Ukaz dan Makkah. Tapi bahkan sebelum kenal Islam, ia sudah dikenal jujur dan berani berkata benar.
Setelah masuk Islam, ia lebih berhati-hati. Ia berdagang bukan untuk menumpuk harta, tapi untuk hidup mandiri. Ia tak pernah menimbun barang, menaikkan harga seenaknya, apalagi menipu pelanggan.
Bisnis baginya bukan jalan menjadi kaya, melainkan jalan menghindari meminta-minta dan hidup mulia.
3. Mengelola Uang Soal Utang: Tak Suka Menunda, Tak Suka Berutang
Umar sangat benci pada orang yang berutang tapi tidak berusaha melunasi. Ia berkata:
"Berhati-hatilah kalian terhadap utang, sebab awalnya kekhawatiran dan akhirnya permusuhan."
Ia tak suka rakyat menggampangkan utang. Tapi ia juga membela orang miskin yang benar-benar terpaksa berutang. Ia memerintahkan Baitul Mal membantu mereka, agar tak dijerat riba.
Umar sendiri dikenal tidak suka berutang. Jika harus meminjam, ia akan segera melunasinya. Bahkan dalam pengawasan pasar, ia menegur pedagang yang terlalu banyak berutang dagang.
4. Mengelola Uang di Kas Negara: Seperti Pengelola Amanah Allah
Umar sangat keras terhadap pengelolaan Baitul Mal. Ia memisahkan urusan pribadi dan negara secara tegas. Ia tak mau memakai lilin negara untuk urusan keluarganya.
Pernah ia kedatangan tamu urusan pribadi, lalu memadamkan lampu. Ketika ditanya, ia menjawab:
“Lampu ini menyala dari harta negara. Dan urusan kita bukan urusan negara.”
Ia juga mencatat sendiri pemasukan dan pengeluaran kas negara, serta mewajibkan para pejabat mencatat dan melaporkan kekayaan mereka. Bila ada yang tiba-tiba kaya, ia akan menyelidikinya.
Harta rampasan perang pun tak pernah ia sentuh untuk kepentingan pribadi. Ia langsung membaginya sesuai syariat dan mendahulukan orang-orang miskin dan keluarga syuhada.
5. Mengelola Uang Gaji Khalifah: Cukup Makan dan Pakaian, Tak Lebih
Gaji Umar sebagai khalifah sangat kecil. Ia hanya menerima 2 dirham sehari, cukup untuk makan roti, kurma, dan air. Bahkan terkadang itu pun ia hematkan untuk rakyat.
Pernah sahabat-sahabat mendesak agar ia menaikkan gajinya. Umar menolak. Ia berkata:
“Apakah kalian ingin aku kehilangan keberkahan jabatan ini? Aku cukup dengan apa yang cukup untuk rakyatku.”
Bajunya tambalan. Rumahnya kecil. Ia tak menyimpan makanan lebih dari sehari. Bukan karena ia miskin, tapi karena takut kelak Allah bertanya tentang setiap suap dan kain yang dipakai.
6. Wasiat Uang Saat Wafat: Kembali kepada Rakyat dan Allah
Menjelang wafat karena tusukan Abu Lu’lu’ah, Umar memanggil anak-anaknya dan berkata:
“Jika aku memiliki utang, lunasilah segera. Jika aku memiliki kelebihan, kembalikan ke Baitul Mal.”
Ia tidak meninggalkan warisan besar. Tidak ada tanah, emas, atau rumah mewah. Ia hanya meninggalkan takut kepada Allah, dan catatan bersih di hadapan umat.
Ia mewasiatkan agar jasadnya dimakamkan di dekat Rasulullah ï·º, tapi tetap meminta izin dari Aisyah lebih dulu—sebagai tamu, bukan sebagai khalifah.
Penutup: Kekuasaan Tak Membuatnya Kaya
Khalifah Umar mengelola harta bukan dengan logika untung-rugi dunia, tapi dengan takut akan hisab dan cinta pada keadilan.
“Jika seekor keledai tergelincir di Irak, aku takut Allah akan tanya: mengapa kau tak perbaiki jalannya, wahai Umar?”
Di zamannya, negara kaya, tapi pemimpinnya tetap hidup sederhana. Rakyat kenyang, tapi pemimpinnya tetap lapar demi menjaga keadilan.
Umar bin Khattab telah membuktikan:
Keadilan bukan teori, tapi pilihan hidup. Dan uang bukan hak, tapi amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban.
0 komentar: