Utsman bin Affan: Saudagar Dermawan, Khalifah Zuhud
Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT
Utsman bin Affan ra., khalifah ketiga Islam, adalah sahabat Nabi ï·º yang diberi dua cahaya—menikahi dua putri Rasulullah secara bergantian. Ia adalah pemalu di depan manusia, tapi berani memberi besar-besaran di jalan Allah.
Ia kaya raya, tapi hatinya tak pernah terpaut pada harta. Uang baginya bukan simbol kekuasaan, tapi alat untuk menyelamatkan umat dan membeli ridha Allah.
Inilah cara Utsman bin Affan mengelola harta dalam berbagai peran hidupnya:
1. Mengelola Uang di Keluarga: Lembut, Adil, dan Penuh Tanggung Jawab
Utsman berasal dari keluarga Quraisy terpandang, dan ia salah satu saudagar sukses di Makkah. Namun kekayaan itu tidak membuatnya pelit atau arogan.
Ia dikenal sangat penyayang terhadap istri-istrinya, termasuk saat mendampingi Ruqayyah dan kemudian Ummu Kultsum (putri Rasulullah ï·º). Ia menafkahi mereka dengan layak, bahkan sering memberikan hadiah atau pakaian mewah sebagai bentuk cinta—tanpa berlebihan.
Tapi di balik kelembutan itu, Utsman tetap menjaga prinsip syariat: tidak boros, tidak riya, dan tidak melampaui batas kemampuan.
2. Mengelola Uang dalam Bisnis: Profesional, Jujur, dan Berkah
Utsman adalah pedagang yang sangat sukses. Ia berdagang kain, rempah, dan barang kebutuhan pokok hingga memiliki armada dagang sendiri.
Namun prinsipnya dalam berdagang sangat kuat:
Tidak pernah menipu timbangan
Tidak memonopoli
Tidak menimbun barang saat harga naik
Selalu membayar utang dagang tepat waktu
Tidak mengambil keuntungan dari musibah orang lain
Ia pernah berkata:
“Harta ini hanya amanah. Jika Allah mengambilnya kembali, aku rela. Jika Allah memintanya untuk agama-Nya, aku beri.”
Itulah sebabnya, walau hartanya banyak, Utsman tidak pernah tertawa keras di hadapan orang miskin.
3. Mengelola Uang Soal Utang: Jangan Biarkan Jadi Beban Akhirat
Utsman sangat berhati-hati dalam berutang. Ia tidak berutang untuk spekulasi bisnis, dan lebih memilih memperluas modal dari hasil keuntungan dagang.
Tapi bila orang lain berutang padanya, ia gampang memaafkan. Bahkan ia pernah membebaskan utang seorang sahabat yang tidak mampu bayar, dengan berkata:
“Aku berharap Allah membebaskanku dari utang di akhirat, sebagaimana aku membebaskanmu di dunia.”
Utsman mengajarkan bahwa harta bisa jadi penyelamat, jika digunakan untuk meringankan beban orang lain.
4. Mengelola Uang di Kas Negara: Pisahkan Harta Pribadi dan Publik
Ketika menjadi khalifah, Utsman tetap memisahkan jelas antara harta pribadinya yang melimpah dan kas negara yang harus dijaga.
Ia bahkan tidak mengambil gaji dari Baitul Mal di masa awal pemerintahannya. Ia hidup dari hasil usahanya sendiri. Jika menggunakan fasilitas negara, ia catat dan bayar.
Ia juga memperbaiki administrasi fiskal, mencatat aset negara, dan membentuk unit akuntansi. Ia adalah pemimpin yang menerapkan prinsip audit dan pelaporan kekayaan.
Namun karena ia memberi banyak subsidi dan bantuan, muncul tuduhan nepotisme dari sebagian pihak—yang kelak dimanfaatkan untuk menggulingkannya. Padahal, ia membagikan bantuan bukan karena hubungan darah, tapi karena tanggung jawab sosial.
5. Mengelola Uang Gaji Khalifah: Menolak Gaji, Hidup dari Usaha Sendiri
Ketika ditawari gaji sebagai khalifah, Utsman menolak. Ia berkata:
“Aku tidak butuh dari Baitul Mal. Allah telah mencukupiku dari hasil perniagaanku.”
Ia mencontoh Abu Bakar dan Umar, tapi bahkan lebih ketat dalam hal ini.
Ia hidup dari ladang kurma, kebun, dan bisnis kafilah dagangnya yang masih terus berjalan, meski ia memimpin negara besar.
Ia hanya memakai gaji negara jika benar-benar darurat, dan selalu mencatat setiap pengeluaran negara yang ia gunakan.
6. Wasiat Uang Saat Wafat: Kembali kepada Umat, Beli Surga dengan Sedekah
Saat wafat dalam keadaan dizalimi oleh para pemberontak, Utsman tidak meninggalkan utang, tidak meninggalkan kekayaan yang belum dibagi, dan tidak menguasai harta umat.
Ia justru meninggalkan jejak sedekah besar:
Sumur Raumah yang ia beli dan hibahkan untuk rakyat Madinah
Biaya besar untuk perang Tabuk (menyumbang 1.000 unta lengkap dengan peralatannya)
Rumah dan lahan yang ia wakafkan untuk masjid Nabawi
Harta pribadinya yang ia wasiatkan sebagian untuk anak yatim dan fakir miskin
“Jika surga bisa dibeli dengan harta, aku akan membelinya berkali-kali,” demikian prinsip hidupnya.
Ia mati dalam keadaan puasa, membaca Al-Qur'an, dan darahnya menodai mushaf saat ia dibunuh. Dunia mencelakainya, tapi ia sudah membeli akhirat dengan seluruh hartanya.
Penutup: Kaya Tak Harus Rakus
Utsman bin Affan membuktikan bahwa menjadi kaya itu tidak haram, asal:
Jujur dalam mencari
Bersih dalam menggunakan
Banyak dalam memberi
Kecil dalam mengambil
Besar dalam hisab
Ia adalah simbol kedermawanan tak bersyarat, pemilik harta yang tidak dikuasai dunia, dan pemimpin yang wafat dengan kehormatan dan Al-Qur’an di dadanya.
0 komentar: